March 18, 2010

Masa Depan Bahasa Lampung

Oleh Muhammad Muis


ADA suatu realitas kebahasaan di Lampung yang kiranya kita sepakati bersama, yakni bahwa di dalam komunikasi sehari-hari jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, kekerapannya—boleh dikatakan--sangat kecil atau sangat jarang. Penggunanya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati, agak jarang terdengar anak muda atau generasi muda--orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung, menggunakan bahasa daerah Lampung.

Perbedaan yang mencolok akan kita peroleh pada provinsi lain yang dianggap kuat akar penggunaan bahasa daerahnya, misalnya di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur (untuk wilayah penggunaan bahasa Jawa), di Provinsi Jawa Barat dan sebagian Provinsi Banten (wilayah penggunaan bahasa Sunda), di Provinsi Sumatera Barat (untuk bahasa Minang), dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (untuk penggunaan bahasa Melayu Bangka). Di beberapa provinsi itu penggunaan bahasa daerah masing-masing terasa sangat kental.

Kenyataan lain yang cukup mencengangkan juga adalah bahwa banyak pendatang yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung tidak memahami atau tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.

Bandingkanlah jika Anda sudah bertahun-tahun bermukim di Yogyakarta, di Bandung, di Bukittinggi, atau di Pangkalpinang. Akan bagaimanakah tingkat penguasaan bahasa daerah Anda di wilayah itu? Boleh jadi, penguasaan bahasa daerah Anda hampir sama baiknya dengan penutur asli bahasa daerah itu.

Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu dan bagaimana mengatasinya?

Upaya untuk Mengatasi Permasalahan: Beberapa Alternatif Jalan Keluar

Persoalan rendahnya frekuensi penggunaan bahasa daerah Lampung itu, dengan itikad baik dan kemauan keras, dapat diatasi asalkan dilakukan secara rasional, berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan pelbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat. Beberapa usulan berikut mungkin dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.

Pertama, tanggung jawab terhadap penggunaan, pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa Lampung pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama. Artinya, semua unsur dalam masyarakat Lampung: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, tokoh adat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus terlibat secara sinergis bahu-membahu untuk itu.

Kedua, program pencantuman bahasa daerah Lampung di dalam sistem kurikulum sekolah, misalnya di SD dan SMP, sebagai muatan lokal (mulok) sebenarnya—menurut hemat saya—adalah terobosan dan lompatan besar. Hal itu, pada satu sisi, sudah sangat menguntungkan posisi bahasa Lampung—yang eksistensinya amat diakui, baik oleh masyarakat penuturnya maupun—secara yuridis—oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Lampung. Pada sisi lain, program itu berimbas pada terbukanya pasar kerja bagi guru/tenaga pengajar bahasa Lampung (baik PNS maupun tenaga honorer), penulis buku bahasa dan sastra Lampung—terutama buku ajar bahasa itu, penggerakan roda ekonomi Lampung oleh penerbit dan toko buku/penjual buku yang menjual buku-buku itu, dan pembukaan peluang baru perencanaan kebudayaan—dalam hal itu bahasa dan budaya Lampung—di jajaran birokrasi Pemerintah Daerah Lampung, khususnya mengenai bagaimana dan apa sebaiknya yang akan dilakukan untuk masa depan bahasa Lampung.

Ketiga, berbagai kelompok masyarakat--pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, peneliti, akademisi, tokoh adat, dan guru--perlu duduk bersama untuk membahas masalah bahasa (dan sastra) Lampung. Musyawarah mencari mufakat yang terbaik seperti itu diharapkan memberikan kontribusi yang besar bagi pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa (dan sastra) daerah Lampung.

Keempat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan II Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja harus memberikan apresiasi atau perhatian kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung. Keterserapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, saya duga, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung. Pada gilirannya, jika hal ini telah berhasil dilakukan—sebagaimana alumni bahasa dan sastra daerah (Sunda, Jawa, dan Batak)—yang telah banyak yang berhasil menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta, akan memacu semangat generasi muda, khususnya lulusan SMTA untuk belajar bahasa Lampung lebih lanjut. Langkah ini kelak berimplikasi pada pembukaan kembali Program Bahasa dan Sastra Lampung pada level D-3 atau bahkan S-1, misalnya di Universitas Lampung. Nanti, di Indonesia akan terdapat
setidaknya lima bidang studi bahasa dan sastra daerah yang utama yang berakar kuat di beberapa perguruan tinggi Indonesia: bahasa dan sastra Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Lampung—yang juga laris di pasar kerja.

Kelima, harus segera direncanakan untuk rekrutmen atau penerimaan CPNS guru bahasa (dan sastra) Lampung pada level SD, SMP (untuk mengisi kekurangan guru agar rencana besar muatan lokal bahasa Lampung di dunia persekolahan di Provinsi Lampung dapat tercapai lebih cepat), dan CPNS dosen bahasa (dan sastra) Lampung. Perealisasian semua ini untuk kepentingan pembangunan, khususnya pembangunan dunia pendidikan kebahasaan dan kesastraan, mestinya dapat dilakukan secepat mungkin. Penambahan guru bahasa (dan sastra) Lampung di dunia persekolahan haruslah menjadi perhatian serius pelbagai pihak yang terkait untuk itu.

Keenam, menggencarkan penerbitan karya sastra (cerita ataupun puisi) dalam bahasa daerah serta menerbitkan media komunikasi pada tataran daerah, seperti surat kabar dan majalah dalam bahasa daerah, mungkin dapat juga ditempuh.

Ketujuh, penutur bahasa Lampung harus bersikap lebih positif terhadap bahasa Lampung dan harus bangga menggunakannya dalam aktivitas komunikasi sehari-hari yang tidak bersifat resmi.

Kedelapan, untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.

Bahasa Lampung Menatap Masa Depan

Upaya pelestarian, pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan harus dilakukan secara sistematis, terencana, dan berkesinambungan. Usaha-usaha yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan menghasilkan capaian yang maksimal.

Mengingat tanggung jawab untuk pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa Lampung adalah tanggung jawab bersama, pelbagai upaya positif harus terus diusahakan untuk menuju masa depan bahasa Lampung yang lebih baik.

* Muhammad Muis, Mantan peneliti pada Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra, Subbidang Pengkajian Bahasa, Pusat Bahasa, Kemendiknas, Jakarta, dan kini kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Maret 2010

No comments:

Post a Comment