March 13, 2010

Budaya Lampung, 'Quo Vadis'?

Oleh Harthoni B.A.Y. Suway Umpu


MINGGU, 24 Januari 2010, terjadi pergulatan pemikiran antara sejarah dan perspektif kebudayaan. Itulah, setidaknya simpul awal dari pertemuan Lappung Jejamou yang dihadiri lebih dari seribu orang. Pertemuan yang digelar di TMII itu dimulai dengan uraian sejarah Sekala Brak.

Yang menjadi pangkal tolak kegalauan penulis adalah kekhawatiran Anshori Djausal dan Abdurrachman Sarbini ketika mereka mengatakan terkikisnya budaya Lampung. Penulis merasakan argumen dua tokoh Lampung ini terasa sumir dan ironi karena mereka berpangkal tolak dari kebanggaan tentang aksara dan bahasa Lampung.

Bagi penulis, perihal aksara cukup membanggakan. Tetapi soal bahasa--karena begitu banyaknya semangat linguistik di provinsi ujung Sumatera itu--wajar jika bahasa Lampung semakin terkikis. Tidak digunakannya bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar dalam dialog tersebut menjadi ambivalen dengan tema yang diusung. Ketiadaan bahasa Lampung dalam sebuah dialog Bagaimana Upaya Melestarikan Budaya Lampung: Sungguh ironi.

Padahal, Anshori Djausal sebagai narasumber pernah menulis Konservasi Kebudayaan Lampung (Lampung Post, 31 Oktober 2010). Pertanyaan besar bagi penulis, apakah buah pikiran Anshori Djausal tersebut merupakan sebuah kegamangan akan kepunahan budaya Lampung atau sebuah retorika usang (klise) dan hanya sebagai lipstick. Mudah-mudahan saya keliru.

Upaya pelestarian budaya Lampung bukanlah hal yang mudah. Karena, pelestarian budaya secara umum (tidak terbatas pelestarian budaya Lampung) merupakan sebuah terminologi yang memuat persoalan yang cukup kompleks. Kompleks, karena berkaitan dengan definisi budaya yang sampai saat ini pun belum mencapai kata akhir. Karena itu, kita harus mengaktualisasikan perspektif budaya pada eksistensi yang faktual.

Lampung terdiri dari beberapa suku dan marga yang setiap suku dan marga mempunyai bahasa dan adat yang berbeda-beda dan telah berinteraksi dengan suku lain akibat adanya transmigrasi pada dasawarsa 1930-an. Itulah sebabnya, kita tidak bisa merepresentasikan budaya Lampung secara keseluruhan, terlebih lagi kompleksitas sosial akibat mobilitas yang tinggi karena jarak antara Lampung dan Jakarta semakin "memperkaya" proses akulturasi budaya.

Di tengah kompleksitas tersebut, celakanya, belum selesai tantangan budaya pada tingkat nasional, impian bagi terwujudnya sebuah kampung global (global village) semakin menjadi kenyataan. Arus informasi dari luar pulau, bahkan dari negara dan kawasan lain, bisa dinikmati lewat layar televisi dan monitor komputer. Masyarakat dunia sudah menjadi masyarakat informasi digital yang bisa melakukan komunikasi dan interaksi budaya tanpa ada lagi batasan jarak dan waktu. Gaya hidup, tren, dan segala pernak-pernik budaya populer bisa begitu mudahnya kita konsumsi lewat berbagai akses. Dengan demikian, perubahan demi perubahan tersebut terjadi begitu cepat dan semakin cepat. Lalu, siapakah di antara kita yang sanggup membendungnya?

Di tengah penetrasi arus global, yang muncul kemudian, orang Lampung bagaikan kehilangan identitas dirinya. Saat ini sangat jarang orang Lampung yang menuliskan nama marganya di belakang nama. Sehingga, penggunaan nama marga semakin tidak populer. Berbeda misalnya apabila kita melakukan komparasi terhadap saudara-saudara kita yang berasal dari tanah Batak. Mereka masih mempertahankan penggunaan nama marganya. Bahkan, ada semacam kebanggan tersendiri bagi mereka ketika menunjukkan nama marganya.

Belum lagi jika kita menyoroti tentang pemakaian gelar pada orang Lampung. Sampai akhir era 60-an, pemakaian adek (adok) pada orang yang sudah menikah masih sangat familiar. Namun, saat ini pemakaian gelar tersebut sangat sedikit sekali kita temui, khususnya di wilayah Tulangbawang. Namun, apakah hal-hal seperti itu harus kita risaukan secara berlebihan?

Dalam lawatan sejarah, kita bisa menyaksikan pasang surut kebudayaan dan peradaban besar di dunia. Ada kebudayaan dan peradaban yang gemilang pada suatu masa, tapi pada masa yang berbeda hilang karena perlahan-lahan tergerus oleh kebudayaan lain. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang lumrah, jika suatu kebudayaan bahkan peradaban hilang pada suatu ketika. Demikian pula halnya bila budaya Lampung kemudian sirna.

Analisis di atas didasarkan pada bahwa budaya dibuat oleh manusia. Merujuk kepada pengertian ini, penulis ingin mengatakan bahwa kebudayaan bukan merupakan sebuah produk jadi. Kebudayaan dihasilkan oleh proses kehidupan itu sendiri dan akan terus berproses. Bahkan, budaya itu sendiri ada pada zamannya. Maka, ketika zaman itu berubah, budaya pun bisa berubah, malah bisa jadi berada di ambang kepunahan.

Kegamangan kita akan hilangnya sebuah budaya (dalam hal ini Budaya Lampung) sebenarnya merupakan kegamangan yang tidak perlu. Yang penting bagi kita justru apakah budaya dan masyarakat Lampung itu sudah terdokumentasikan secara serius? Serius tidak hanya dalam pengertian dimuat dalam studi yang sifatnya akademis, semacam History of Java atau History of Atjeh. Pun, bisa juga dimuat dalam sebuah prosa seperti ditunjukkan oleh cerita-cerita Firman Muntaco tentang keseharian masyarakat Betawi atau model Para Priyayi-nya Umar Kayam tentang orang Jawa dan juga seperti Mak Dawah Mak Dibingi, kumpulan sajak karya Udo Z. Karzi yang telah menasional. Dokumentasi semacam ini penting. Sebab, jangan sampai sejarah pun tidak sempat mencatatnya. Hal ini mungkin berguna bagi generasi yang akan datang (masyarakat Lampung pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya). n

* Harthoni B.A.Y. Suway Umpu, Peminat budaya, tinggal di Jakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Maret 2010

No comments:

Post a Comment