Oleh Djadjat Sudradjat**)
JUDUL di atas memang terasa simplistis. Tetapi, anggaplah ini semacam tesis yang harus mendapat banyak tanggapan. Konflik memang tak selamanya memisahkan, pers kadang tak sekadar menginformasikan apa adanya tapi kerap juga “menafsirkan“, bahkan di masa Orde Baru sebagian fakta “harus” disembunyikan. Sementara budaya juga tak selamanya menjadi perekat dan membangun harmoni sosial. Bukankah perbedaan budaya justru kerap menjadi faktor pemicu konflik?
Tetapi, kebudayaan sebagai “kata kerja”, seperti kata Van Peursen, adalah sebuah siasat manusia menghadapi hari depan. Ia melihat kebudayaan sebagai suatu proses pelajaran (learning process) yang terus menerus sifatnya. Di dalam proses ini bukan saja kreativitas dan inventivitas (penciptaan) merupakan faktor penting, melainkan keduanya kait-mengkait dengan pertimbangan-pertimbangan etis. Judul ini saya pilih juga sengaja agar ia menjadi harapan yang harus terus diperjuangkan. Menjadi learning process yang terus menerus.
JUDUL di atas memang terasa simplistis. Tetapi, anggaplah ini semacam tesis yang harus mendapat banyak tanggapan. Konflik memang tak selamanya memisahkan, pers kadang tak sekadar menginformasikan apa adanya tapi kerap juga “menafsirkan“, bahkan di masa Orde Baru sebagian fakta “harus” disembunyikan. Sementara budaya juga tak selamanya menjadi perekat dan membangun harmoni sosial. Bukankah perbedaan budaya justru kerap menjadi faktor pemicu konflik?
Tetapi, kebudayaan sebagai “kata kerja”, seperti kata Van Peursen, adalah sebuah siasat manusia menghadapi hari depan. Ia melihat kebudayaan sebagai suatu proses pelajaran (learning process) yang terus menerus sifatnya. Di dalam proses ini bukan saja kreativitas dan inventivitas (penciptaan) merupakan faktor penting, melainkan keduanya kait-mengkait dengan pertimbangan-pertimbangan etis. Judul ini saya pilih juga sengaja agar ia menjadi harapan yang harus terus diperjuangkan. Menjadi learning process yang terus menerus.