August 31, 2013

Konflik Memisahkan, Pers Menginformasikan, Budaya Menyatukan*)

Oleh Djadjat Sudradjat**)


JUDUL di atas memang terasa simplistis. Tetapi, anggaplah ini semacam tesis yang harus mendapat banyak tanggapan.  Konflik memang tak selamanya memisahkan,  pers kadang tak sekadar menginformasikan apa adanya tapi kerap juga “menafsirkan“, bahkan di masa Orde Baru sebagian fakta “harus” disembunyikan. Sementara budaya juga tak selamanya menjadi perekat dan membangun harmoni sosial.  Bukankah perbedaan budaya justru kerap menjadi faktor pemicu konflik?

Tetapi, kebudayaan sebagai “kata kerja”, seperti kata Van Peursen, adalah sebuah siasat manusia menghadapi hari depan. Ia melihat kebudayaan sebagai suatu proses pelajaran (learning process) yang terus menerus sifatnya. Di dalam proses ini bukan saja kreativitas dan inventivitas (penciptaan) merupakan faktor penting, melainkan keduanya kait-mengkait dengan pertimbangan-pertimbangan etis. Judul ini saya pilih juga sengaja agar ia menjadi harapan yang harus terus diperjuangkan. Menjadi  learning process yang terus menerus.



A. Konflik

Konflik,  baik yang vertikal maupun yang horizontal, yang di bawah permukaan atau terpendam (latent) maupun yang terbuka (manifest)  dalam konteks tertentu memang cara  untuk  mencapai tujuan.  Misalnya menuntut turunnya pejabat yang korup, perebutan wilayah antarawarga, menuntut ketersedian pupuk bersubsidi, perebutan wilayah “operasional”  dunia jalanan atau preman, sengketa pilkada, konflik agraria di Register 45 Mesuji, dan masih banyak lagi. Tetapi, dalam banyak kasus di Indonesia sekarang ini  konflik dan kekerasan justru menjadi tujuan itu sendiri.  Tiba-tiba konflik terjadi dan kekerasan pun tak bisa dihindari. Inilah yang disebut konflik ekspresif. Terjadi spontan, penyebabnya kadang amat sepele, dan tak terorganisir dengan baik.

Apa pun jenis konfliknya, terlebih lagi jika disertai dengan kerusuhan, fandalisme, dan kekerasan, yang pertama-tama menjadi korban adalah kebenaran. Kebenaran diperebutkan. Tapi, kebenaran yang mana yang paling BENAR?  Kebenaran bisa jadi menjadi banyak versi, dan hukumlah –baik hukum positif maupun hukum adat atau mungkin kesepakatan sosial-- yang harus menyelesaikannya.  Tetapi, penyelesaian apa pun, juga bukan sepenuhnya menjadi jaminan konflik tak terjadi lagi. Kerap konflik terjadi setelah “pencarian kebenaran” sudah ditemukan: ada vonis pengadilan, ada kesepakatan adat, dan kesepakatan sosial.

Saya ingin menitikberatkan pembicaraan konflik ini, terutama konflik horizontal,  pada kasus Lampung, sesuatu yang sangat dekat dengan kita.  Lampung kita ketahui, sering disebut “Jawa Utara”, tidak saja karena dekatnya dengan Pulau Jawa, tetapi ia punya kaitan historis yang lebih dari satu abad sebagi tanah harapan bagi pemecahan soal kependudukan yang meningkat drastis di Pulau Jawa. Pulau kecil ini, tulis Bernard HM Vlekke dalam buku Nusantara Sejarah Indonesia (2003), pada 8015 berjumlah 5 juta Jiwa, tetapi pada 1990 telah meningkat menjadi 28 juta jiwa.

Jumlah penduduk sebesar itu menurut pemerintah Hindia Belanda sudah amat menganggu, tidak saja soal ketersediaan makanan tetapi juga bisa mengandung keresahan sosial.  Lampung menjadi pilihan solusi karena cocok dengan karakter masyarakat petani Jawa yang punya kohesi sosial bagus di desa-desa. Maka, pada 1905 mulailah migrasi masyarakat petani Jawa (asal Bagelen) ke Lampung dalam pendekatan bedol desa. Karena dalam masyarakat komunal ketergantungan antaranggotanya sangatlah tinggi.  Inilah sejarah transmigrasi pertama di Indonesia. Pada 1932 pelaksanaan transmigrasi dari Jawa lebih massif lagi, sekitar 15.000 orang Jawa pindah ke Lampung.

Tetapi, menurut ahli hukum adat Hilman Hadikusuma dkk, jauh sebelum itu masyarakat adat di Lampung sendiri sudah terbiasa melakukan migrasi  ke beberapa daerah lain. “Pada abad 15 orang-orang Abung meninggalkan meninggalkan daerah Sekalaber’ak dan memasuki daerah Way Abung, kemudian terus mendesak orang Pubiyan ke arah Selatan. Sebaliknya orang-orang Pubiyan bergabung dengan orang Abung, atau seperti halnya orang-orang Way-kanan dan lainnya memasuki daerah perairan Tulangbawang.” (Adat Istiadat Daerah Lampung, 1986).

Dan Lampung  hari ini adalah sebuah masyarakat multietnis yang juga multikultur. Ada yang menyebut Indonesia mini. Tapi, ada pula yang tak sepaham dengan sebutan itu, karena umumnya kota-kota di Indonesia memang hiterogen. Lalu apa istimewanya Lampung? Buat saya Lampung tetaplah unik dilihat dari sisi kultur.

Dari  banyak penelitian, seperti ditulis Hartoyo dalam artikel “Memutus Mata Rantai Konflik di Bumi Lampung” dalam Merajut Jurnalisme Damai di Lampung (2012) , karakter dasar masyarakat Lampung, seperti juga beberapa daerah di Indonesia,  adalah tersegmentasi, “struktur sosialnya beragam, kurang dapat mengembangkan diri, konflik latent sering berkembang menjadi konflik manifest, terintegrasi secara paksa, saling mendominasi, dan  tidak terdapat budaya dominan dalam kehidupan sehari-hari.”

Beberapa konflik kekerasan yang terjadi di Lampung, seperti di Mesuji soal Register 45 dan juga perebutan lahan perkebunan antara warga dan beberapa perusahaan perkebunan; konflik antara Desa Napal dan Desa Kotadalam, Sidomulyo, Lampung Selatan (Januari 2012); dan Konflik Balinuraga dan Sidoreno, Way Panji, Lampung Selatan (Oktober 2012) yang menewaskan 14 orang, melukai puluhan orang dan sekitar 402 rumah rusak akibat dibakar massa, 208 di antaranya rusak berat. Ribuan warga mengungsi.

Dua konflik di Lampung Selatan dipicu oleh urusan yang mestinya tak merembet jadi kekerasan.  Yang pertama cekcok dua warga di lahan parkir. Pemuda setempat menolak bayar parkir Rp2.000, berakibat baku pukul. Sentimen etnis (Bali dan Lampung?) tak bisa dihindari.  Sekitar 60 rumah warga desa Napal dibakar massa desa Kotadalam, ratusan orang mengungsi.

Yang kedua, (konflik Balinuraga), karena dua dua wanita muda asal Desa Agom yang mengendarai kendarai sepeda motor terjatuh karena digoda pemuda Balinuraga. Salah seorang terluka di sekitar paha. Menurut versi penduduk Balinuraga, justru pemuda Balinuraga inilah yang menolong dua pemudi yang jatuh naik motor. Para pemuda bahkan minta izin untuk mengangkat (yang sudah pasti memegang tubuh korban) dari jalanraya ke pinggir. Keluarga korban sesungguhnya hanya minta pertanggungjawaban dari para pemuda, terutama biaya pengobatan. Ini telah pula disanggupi, tetapi berita yang berkembang orang Bali melecehkan gadis Lampung, dan segera ajakan untuk menyerang beredar lewat pesan pendek (SMS) dan media sosial seperti facebook. Penyerangan pertama justru tiga orang pihak penyerang yang tewas. Kabar dan ajakan untuk membalas dendam pun kian cepat dan massif, konflik kekerasan pun tak terhindarkan. Hari berikutnya Balinuraga pun hancur, 11 orang penduduk Balinuraga meninggal karena amuk massa yang penuh dendam.   

Betapa konflik kekerasan dan menyimpan prasangka kesukuan ini amatlah serius. Luka akibat konflik warga Napal dan Kota Dalam belum sepenuhnya sembuh, muncul konflik Balinuraga.  Agaknya inilah konflik dan kekerasan yang mengandung prasangka kesukuan yang paling besar yang pernah terjadi di Lampung.  Balinuraga hancur. Kita semua berduka. Inilah bukti amat nyata betapa ikatan sosial antara “pendatang” dan penduduk “lokal”, khususnya di Lampung Selatan, terbukti memang rapuh.

Kita masih ingat, tiga bulan setelah keurusan Napal, pada 30 April, ribuan warga  unjuk rasa ke kantor Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Mereka  menolak pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam, kakek Rycko yang juga ayah Gubernur Lampung Syachroedin ZP. Patung yang memakan anggaran Rp.1, 2 miliar itu dirobohkan dengan paksa, ditarik kendaraan dengan kepala terpotong.  Warga merobohkan patung karena selain patung itu dinilai tak ada urgensinya, massa marah karena Rycko juga mengganti Jalan Kolonel Makmun Rasyid, tokoh pejuang Lampung Selatan. Ribuan warga memblokir jalan raya. Kalianda memanas. Masyarakat terganggu.

Adakah kerusuhan Balinuraga punya kaitan dengan dua peristiwa sebelumnya di bulan Januari dan April? Ini tentu perlu penelitian yang valid. Tetapi, agak sulit untuk mengatakan tidak ada kaitan. Terlebih lagi ketika kerusuhan Balinuraga, Rycko tengah berada di luar kota, di Jatinangor, Jawa Barat.  Ia telah meminta maaf, tetapi ketiadaan bupati di lokasi sungguh amat disesalkan banyak pihak. “Sebenarnya konflik hari pertama bisa dicegah, jika hari pertama seluruh elite di Lampung Selatan mengerahkan seluruh energi dan pikiran. Kami tentara dan polisi bergerak seperti apa pun kalau tidak ada keputusan dari pemerintah sipil, gak bisa apa-apa,” kata seorang perwira pertama yang sejak awal konflik berupa mencegah agar konflik tak terjadi.

Untuk mengakhiri konflik, beberapa kali pertemuan antartokoh (juga tokoh adat) dari terutama yang mewakili suku Lampung dan Bali digelar, baik yang formal maupun yang nonformal. Lebih dari lima kali, kesepakatan perdamaian yang difasilitasi pemerintah daerah pun dilakukan. Beberapa tokoh Bali, baik yang ada di Lampung maupun yang datang dari Bali, hadir di Lampung, antara lain Gubernur Bali Mangku Pastika.  Mereka ikut menyerukan perdamaian di Lampung, warga Lampung yang telah hidup berdampingan selama berpuluh tahun dengan pendatang, jangan dilukai oleh hal-hal sepele.

Beberapa aktivis antikorupsi, aktivis hukum, aktivis lingkungan, jurnalis, seniman, berbagai tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) mendeklarasikan “Gerakan Lampung Damai” di Taman Budaya Lampung, menyerukan betapa perdamaian adalah hak setiap warga negara. Kami bergandengan tangan, menggemakan perdamaian, menolak kekerasan. “Perdamaian harus terus diteguhkan karena kekerasan adalah musuh kemanusiaan,” kata saya memberi refleksi ketika deklarasi. “Konflik ini terjadi karena tiadanya leadership dari elite pemerintah di Lampung Selatan,”  kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila. Saya memang yang mula-mula melontarkan usulan “gerakan kebudayaan” (Gerakan Lampung Damai),  di sebuah acara minum kopi, untuk merekatkan jiwa-jiwa yang gelisah dan marah.

Menurut sosiolog Hartoyo, sumber utama konflik di Lampung secara umum adalah masalah sosial-ekonomi. Hartoyo menambahkan, bukan berarti faktor lain tidak penting. “Faktor etnik, agama, dan lokalitas dapat dipandang sebagai komplementer yang menambah semakin kerasnya konflik. Faktor komplementer ini dapat menjadi sumber konflik, tetapi sulit berdiri sendiri tanpa didukung faktor sosial ekonomi sebagai infrastrukturnya.” Saya juga mendapatkan informasi di lapangan, ”isu Lampungisasi” dalam birokrasi di Lampung, juga bisa menjadi bom waktu. Bisa menjadi faktor pemicu konflik. 

Merapuhnya kohesi sosial, jelas akan menjadi hambatan dalam mencapai tujuan sebuah masyarakat. Konflik, baik vertikal maupun horizontal, terlebih lagi dengan intensitas tinggi dan eskalasi besar,  adalah cermin dari ketidakpercayaan antarawarga. Menurut Francis Fukuyama tingkat kepercayaan antarwarga mempunyai pengaruh terhadap kemakmuran sebuah masyarakat, sebuah bangsa. Fukuyama memberi contoh, masyarakat yang tingkat kepercayaannya tinggi  (high trust society) seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang, ternyata lebih makmur daripada masyarakat yang tingkat kepercayaannya rendah (low trust society) seperti umumnya bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. (Lawrence E. Harisson dan Samuel P. Huntington,  Cultural Matters How Values Shape Human Progress (2000).

Meminjam tesis Fukuyama, bagaimanakah jika diterapkan dalam masyarakat Lampung? Adakah korelasi rendahnya tingkat kepercayaan antaramasyarakat dengan rendahnya kemakmuran masyarakat di provinsi ini? Ini tentu perlu penelitian tersendiri. Tetapi, konflik dan kekerasan di Lampung jelas harus ada solusi memadai. Tidak hanya upaya menyelesaikan masalah, tetapi justru yang terpenting adalah menyelesaikan akar masalah.

B. Pers

“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Berdasarkan ketentuan pasal 33 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sementara itu Pasal 6 UU Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar melakukan pengawasan.

2. Sebagai pelaku media informasi

Pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat. Dan masyarakat membeli surat kabar, mendengarkan radio, dan menonton televisi, karena memerlukan informasi.

a. Fungsi Pendidikan

Pers sebagi sarana pendidikan massa (mass education), memuat informasi yang obyektif dan berbagai tulisan yang penting bagi publik: mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya. Ia memberi pencerahan kepada masyarakat tentang sesuatu yang penting tapi mereka belum tahu atau sudah tahu tetapi ragu-ragu. 

b. Fungsi Hiburan

Pers juga memuat hal-hal yang bersifat “menghibur” bahkan bisa menjadi sumber kontemplasi, untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang penuh muatan pemikiran. Mungkin cerita bersambung,  cerita pendek, sajak feature yang menghibur, cerita bergambar, cerita lucu, teka-teki silang, pojok, anekdot, dan karikatur.

c. Fungsi Kontrol Sosial

Fungsi ini terkandung makna demokratis yang di dalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan)
2. Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)
3. Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah)
4. Social control (kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)

Karena peranannya itu, wajar jika pers dianggap sebagai pilar demokrasi keempat (four estate of demoracy), setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebuah peran yang sungguh amat berat. Ia seolah menjadi solusi dalam banyak hal. Ada banyak anggota masyarakat merasa lebih efektif “mengadu” dan “melapor” kepada  pers daripada pemerintah ketika mereka menghadapi persoalan. Misalnya tentang jalan rusak, pelayanan publik yang buruk, atau berbagai penyelewengan lain oleh penyelenggara negara. Ini artinya pers harus punya “kekuatan memadai” untuk menjalankan fungsi ini. Sayangnya menurut Dewan Pers, pers yang sehat secara bisnis di Indonesia hanya 30%, 70% justru tidak sehat secara bisnis. Bersyukur, meski 70% tidak sehat secara bisnis, yang 30% adalah pers yang masuk kategori arus utama.

d. Sebagai Lembaga Ekonomi

Pers selain lembaga sosial juga lembaga ekonomi. Ia harus bermanfaat untuk orang banyak, tetapi juga harus menghasilkan keuntungan secara ekonomi untuk melangsungkan kehidupannya. Di sini memang kerap terjadi benturan antara idealisme memperjuangkan fungsi-fungsi sosial di satu pihak dan harus mendapatkan keuntungan di lain pihak. Ia perlu seni menyelaraskan secara seimbang antara kepentingan masyarakat dan pemasukan ekonomi.

Lalu bagaimana ketika pers meliput dan menghadirkan konflik sosial, baik vertikal maupun horizontal? Di masa pemerintahan Orde Baru, pers memang dibelenggu. Ia terancam pemberedelan jika penguasa menilai pemberitaan pers merugikan pemerintah. Beberapa media cetak yang yang dibekukan dan bahkan dibredel di masa Orba antara lain, Sinar Harapan, Prioritas, Pelita, Kompas, Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid Detik. Pers masa itu memang mengalami masa perekayasaan informasi dengan akibat adanya realitas semu (pseudo-reality atau ada yang menyebut hyper-reality), setengah memberitakan fakta, setengah lagi disembunyikan. Penguasa dengan ringan bisa menekan pemberitaan yang boleh dan tidak boleh. Tetapi, dalam banyak fakta, tak akan pernah bisa sebuah fakta publik disembunyikan secara terus menerus. Misalnya Tragedi Talangsari, Lampung,  dan Tragedi Tanjungpriok. Reformasi, sesungguhnya pembongkaran fakta-fakta yang selama ini disembunyikan atau ditutup-tutupi itu.

Tidak mudah meliput konflik. Sebab, sering wartawan juga menjadi korban. Tetapi, dalam unsur layak berita, konflik memang masuk di dalamnya. Bahkan bisa disebut “seksi”. Inilah yang disebut bad news is good news, dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu, hampir semua media massa, terlebih lagi televisi, menempatkan konflik sebagai berita yang penting, karena memang banyak diminati. Ketika Perang Teluk terjadi pada 1990, antara Amerika Serikat dan Irak, mampu meningkatkan tiras surat kabar nasional secara signifikan. Bahkan, Perang Teluk kemudian melambungkan nama televisi CNN. Inilah televisi berita pertama di dunia. 

Meski, berita konflik banyak diminati publik, tetapi secara jujur, konflik yang besar, yang disertai kekerasan, dengan masa yang panjang seperti konflik Ambon, sesungguhnya merugikan pers itu sendiri. Terlebih lagi jika sampai menimbulkan dampak ekonomi. Daya beli masyarakat di situ menjadi makin lemah, distribusi koran/media cetak juga akan terganggu. Kemampuan masyarakat beriklan sudah pasti juga menurun.

Bahkan dalam konflik Ambon yang berlangsung bertahun-tahun sejak penghujung 1999, yang penuh muatan SARA, tak mudah bagi wartawan untuk meliputnya. Wartawan yang beragama Islam tidak bisa masuk ke wilayah konflik komunitas Kristen, begitu juga wartawan yang beragama Kristen tak bisa masuk wilayah Islam. Sebagai solusinya, di Ambon, Jawa Pos Group membuat dua koran untuk pembaca yang Muslim dan Kristen.

Karena itu, dalam meliput konflik pers, kini banyak yang menerapkan Jurnalisme Damai, seperti ditulis Jake Lynch dan Annabel Mc.Goldrick dalam buku Peace Journalism (2005), meski menulis konflik wartawan punya pilihan-pilihan untuk tak “mengembangkan” konflik. Sebuah, reportase yang bertujuan agar konflik tidak membesar. Dalam jurnalisme damai, penyebutan identitas-identitas yang punya potensi menambah eskalasi konflik, sebisa mungkin dihindari, juga subyektivitas-subyektivitas pada salah satu kelompok yang berkonflik. Menjauh dari judul-judul yang provokatif dan insinuatif. Rekonstruksi berita pun harus diarahkan untuk mengingatkan betapa dalam konflik semua pihak dirugikan, semua pihak menjadi korban.

Secara umum, media massa di Lampung (ada 28 media cetak, 7 stasiun televisi, dan 217 stasiun radio, termasuk 38 radio komunitas) , dalam meliput konflik kekerasan horizontal, terutama konflik Balinuraga, cukup baik dalam pengertian tidak bombastis, tidak menghasut, dan ada upaya untuk merawat keberagaman. Ada banyak tulisan yang berupaya memotret sisi kemanusiaan, atau berupaya mengungkap sejarah hidup bersama masyarakat Lampung, terutama antara penduduk asli dan pendatang seperti dalam buku Merajut Jurnalisme di Lampung (2012).
 
C. Budaya

Sudah disebut di atas, Lampung sesungguhnya berada dalam krisis identitas yang menyebabkan merapuhnya ikatan sosial. Meski punya pengalaman lebih dari satu abad hidup bersama dengan pendatang, masyarakat Lampung hidup dalam segmentasi budaya. Mereka hidup, terutama di desa-desa, dalam enclave-enclave etnis tertentu. Sejarah memang “mengajarkan” mereka begitu, tetapi manusia hari ini pula memperbaiki sejarah yang salah. (Baca: Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan).

Masyarakat lokal, ulun Lampung, meski mempunyai bahasa dan sistem aksara sendiri, sesungguhnya masih dalam pencarian diri yang tak kunjung selesai. Ia sebuah masyarakat budaya yang tak satu. Dengan masyarakat adat Saibatin dan Pepadun, dengan dialek “A”, “O”, dan “E”, dengan berbagai subdialek, yang terdiri 84 marga, hingga hari ini belum ada kesepakatan siapa yang paling mewakili Lampung. Lampung dengan penduduk hari ini 9,8 juta jiwa: 61% beretnis Jawa, 12, 92% beretnis Lampung, 11,27 % Sunda dan Banten, 3,55% asal Sumatera Selatan, 11,81%  selebihnya (11,81) terdiri dari macam-macam suku seperti Bengkulu, Batak, Minang, Bugis, Makassar, dll (BPS tahun 2000). Agaknya komposisi itu kini tak jauh berubah). 

Dari sisi kultural sesungguhnya dalam menjaga keharmonisan dalam keluarga orang Lampung punya pegangan nilai etis yang disebut budaya muakhi. Inilah kearifan lokal yang telah melandasi tata hubungan keluarga dan kerabat yang sudah berlangsung lama. Ia nilai etis yang dinamis, tetapi pemanfaatannya sekarang memang perlu dilakukan redifinisi atau reaktualisasi. (Fauzi Nurdin. 2009. Budaya Muakhi).

Sementara falsafah hidup ulun Lampung yang lebih luas  termaktub dalam kitab Kuntara Raja Niti. Lima falsafah hidup itu adalah, 1. Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri). 2. Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya). 3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu). 4. Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis). 5.Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Internalisasi nilai-nilai itu memang tak mudah sebagai modal hidup bersama. Piil-Pusanggiri, misalnya, masih ada yang menafsirkan semata hanya gengsi. Pekerjaan hina yang dimaksud tentulah pekerjaan yang melanggar hukum dan etika agama dan sosial.

Mungkin agak tak enak didengar, jika disimpulkan, tentang masyarakat Lampung: yang lokal masih sibuk dengan pencarian jatidiri, yang pendatang asyik dengan diri sendiri masing-masing. Sementara bahasa Lampung juga dipakai kalangan terbatas seperti temuan Hilman Hadikusuma dalam penelitian. Ia dipakai di rumah, di kampung-kampung penduduk asli antara sesame mereka, dan dalam permusyawaratan adat. Di kota-kota bahasa Lampung tak digunakan. Sementara Orang Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang, di mana pun bertemu, umumnya mereka tak canggung berbahasa daerah masing-masing. Mereka tak punya hambatan mengekspresikan identitas kultural masing-masing. Dalam konteks kultural, secara umum, ulun Lampung sesungguhnya masyarakat yang teralineasi di tanahnya sendiri.

Bahasa adalah ibu kebudayaan. Dalam bahasa nilai-nilai budaya, kode budaya, ekspresi budaya, diperlihatkankan. Tetapi, kecenderungan menurunya minat berbahasa Lampung di kalangan anak muda, jelas akan menjadi persoalan terhadap “sosialisasi” dan pengembangan budaya Lampung. Siapa peduli prediksi ahli sosiolinguistik UI, Asim Gunarman, 75-100 tahun lagi bahasa Lampung akan punah? Ini “provokasi” bagus.

Labelisasi Lampung yang identik dengan malas, lekat dengan kekerasan, jelas steriotip yang membuat segmentasi masyarakat kian mendapat kebenaranya. (Di luar Lampung saya sering mengatakan, orang Lampung adalah pemberani, terbuka, dan punya orientasi pendidikan yang bagus, punya spirit dalam dunia politik yang kuat. Wajar, jika orang Lampung banyak yang  menjadi tokoh nasional).

Sementara para elite Lampung yang mestinya berupaya merumuskan sebuah formula kelampungan, juga tak memahami bagaimana seharusnya yang mesti dilakukan. Budaya menjadi penuh muatan politik. Gelar adat dilekatkan pada elite politik. Baca  Kritik Udo Z. Karzi terhadap Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang dinilai mengobral pemberian gelar adat dalam buku Feodalisme Modern (2013). Sebab, adat Lampung tak satu dan tak struktural. 

Saya punya pandangan, membangun kohesi sosial yang solid di Lampung, yang mengarah pada harmoni sosial, harus dimulai pada penyelesaian problem kelampungan terlebih dahulu. Jika kata Van Peursen kebudayaan sebuah siasat manusia untuk menghadapi hari depannya, dan hari depan perlu modal sosial yang kuat untuk mencapai keunggulan sebuah masyarakat. Tentu saja kebudayaan punya peran merekatkan yang terpisah, menguatkan yang lemah, memberi harapan pada jiwa-jiwa yang suram. Menyelesaikan persoalan menuju hari depan. Lampung harus mendapatkannya, bukan saja karena di masa lalu telah menjadi solusi soal kependudukan di Pulau Jawa, tetapi karena mencintai daerahnya adalah tugas semua warga negara.

Dan, pers, khususnya di Lampung, harus terus mengingatkan memori kolektif masyarakat Lampung tentang betapa bermanfaat hidup bersama dari berbagai keragaman, yang masing-masing punya keunggulan itu. Pengalaman hidup bersama selama lebih dari satu abad, dengan etnis lain, adalah modal amat penting untuk membangun kebersamaan di Provinsi Lampung ini.

Gelar-gelar budaya: tarian, musik, teater, seni rupa, sastra, film, mestinya sering diadakan sebagai ruang bersama saling menghargai dan memahami. Sebab, seni yang kerap menjadi cermin sebuah masyarakat, ia sesungguhnya bicara manusia secara umum. Inilah nilai universal seni. Lampung agaknya butuh film yang berbicara tentang kebersamaan masyarakat multietnis dan multikultur.

Berkenaan dengan paparan di atas, saya punya beberapa usulan atau saran.

1. Sudah seharusnya ada perguruan tinggi di Lampung, yang paling tepat Universitas Lampung, mempunyai kajian budaya yang serius. Bahkan mestinya punya Fakultas Ilmu Budaya, mengingat ini bumi multikultur, dan tradisi lisan di Lampung, juga peran para penyeimbang adat, di beberapa daerah masih hidup. Fakultas ini juga mesti membuka jurusan Bahasa dan Sastra Lampung, yang kini kian terpinggirkan itu.

2. Para elite politik harus memahami betapa keragaman ini harus dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama khususnya bagi Lampung, dan umumnya bagi Indonesia.

3. Pemerintah harus mengalokasikan dana besar untuk penelitian tentang sosio-kultural masyarakat Lampung untuk mencari jalan keluar merapuhnya kehidupan bersama.

4. Betapapun ulun Lampung tak tunggal (seperti juga sesungguhnya beberapa etnis lain di Indonesia), tetapi perlu kearifan bersama untuk merumuskan satu Lampung dalam arti punya lembaga adat/budaya yang representatif, yang kredibel, yang punya legitimasi kuat, jika lembaga-lembaga adat yang ada sekarang saling dinegasi (ditolak). Malaysia contohnya bisa bersepakat setiap lima tahun memilih raja bersama (Yang Dipertuan Agung) dari 9 Pemerintah Negeri Melayu yang ada. Ini adalah sebuah solusi. Sebuah pilihan.

5. Lampung butuh buku sejarah Lampung, tidak saja penting untuk ulun Lampung, tetapi untuk masyarakat Lampung secara umum.

6. Lampung yang unik, pertama-tama harus bermanfaat untuk Lampung sendiri. Tetapi, di tengah dunia global, keunikan ini menjadi amat penting. Ia “sesuatu” banget. Betul kata John Naisbitt dalam Global Paradox (2000), semakin global, sesungguhnya kita semakin lokal. Karena yang lokal, yang khas, adalah milik kita yang paling berharga. Juga Lampung.

7. Setiap ada konflik etnis tokoh adat selalu dibutuhkan, juga dalam konflik Balinuraga. Karena itu tokoh adat mestinya jangan dicemari oleh kepentingan politik. Biarkan, mereka mendapatkan kepercayaan karena kemampuan dan kewibawaannya secara kultural di dalam masyarakat. Tokoh adat jangan digantikan tokoh “pragmatis”, yang “ketokohannya” lahir karena misalnya karena kerap membagi-bagi sembako di tengah sorot kamera. Tokoh adat dan budaya bisa jadi bekerja dalam ruang sunyi.

8. Penting ditanya kepada para calon dan pemimpin publik bagaimana pandangan dan visinya tentang budaya Lampung dan bagaimana cara merajut kebersamaan yang kokoh. Sebab, ini persoalan yang amat penting.

9. Isu “Lampungisasi” birokrasi harus dibuktikan bahwa ini tidak benar. Sebab, jika isu ini ternyata benar,  akan menambah sumber konflik sosial di Lampung. Ia akan menjadi bom waktu.

D.    Penutup

Terlalu sayang Lampung untuk tidak dicintai.
                                          
                                          

Bacaan

Budiman, Budisantoso, Oyos Saroso HN (Penyunting),2012. Merajut Jurnalisme Damai di Lampung. Bandar Lampung: Aliansi Jurnalis Indonesia

Hadikusuma, Hilman, dkk.1986. Adat Istiadat Lampung. Lampung: Kakanwil Depdikbud Propinsi Lampung.

Karzi, Udo Z. 2013. Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing

Lawrence E. Harrison, Samuet P. Huntington (editor). 2000. Culture Matters: How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books. 

Naisbitt, John. 2000. Global Paradox.

Ricklefs, MC. 2008. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Siahaan, Hotman. 2001. Pers yang Gamang. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Van Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.

Vlekke, Bernard HM.2006. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

*) Disampaikan pada acara Pengenalan Sistem Akademik Pascasarjana Mahasiswa Baru Program Pascasarjana Unila, 31 Agustus 2013.

**) Djadjat Sudradjat, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post, Anggota Dewan Redaksi Media Group

No comments:

Post a Comment