August 25, 2013

[Refleksi] Warung Kopi

Oleh Djadjat Sudradjat

OBROLAN warung kopi. Ini sebuah pembicaraan yang rancak, penuh kesederajatan, kesadaran diri. Yang yang menjadi "moderator" adalah diri kita sendiri, masing-masing. Tak ada dominasi. Tak ada interupsi yang menegangkan seperti dalam tata diskusi yang formal. Apalagi seperti di parlemen kita, yang seolah-olah bersiurat tegang leher--karena tersebar sorot kamera?nyatanya kerap seperti gelembung sabun.

Di warung kopi, topik obrolan bahasan bisa berganti kapan kita suka. Ia semacam diskusi tak bertema. Yang melintas di kepala itulah yang dibicarakan. Ia mungkin serupa fiksi ketakesadaran. Melintas-lintas, liar, datang dan pergi, mungkin juga serupa mozaik, fragmen, atau potongan-potongan cerita yang tercecer. Pelakunya tanpa takut citra jadi turun, juga enggak peduli jadi naik.


Dan, Lampung menjadi lokus yang punya relasi historis dan kultural yang kuat jika punya banyak warung kopi. Ada identifikasi yang melekat antara kopi dan bumi Lampung. Warung kopi tak saja punya arti literal atau harfiah (ekonomis), tapi juga sesuatu yang bermakna rileks, ringan, apa adanya, penuh keakraban, penuh gelak tawa, tanpa batas waktu, tanpa jaga citra, tanpa takut isi kantong terkuras. Tapi, obrolan warung kopi kerap juga menghasilkan gagasan-gagasan yang bernas dan penting. (Alangkah aneh, jika kini di negeri ini, juga Lampung, berkembang warung kopi dengan merek dagang Singapura: Kopitiam. Di mana negeri-kota itu punya kebun kopi?). Lampung yang identik dengan kopi, dengan masyarakat yang lebih egaliter, seperti umumnya kultur Sumatera, mestinya bisa menumbuhkan "obrolan warung kopi" yang asyik.

Dalam arus besar budaya massa yang menghasilkan "demam selebritas", yang wangi, mewah, serbapermukaan, penuh "lipstick", termasuk juga tren "ustaz bergaya selebritas", obrolan warung kopi juga bisa menjadi "perlawanan" terhadap itu semua. Juga pada elite-borjuasi yang kerap menggunakan tempat-tempat mahal hanya untuk membahas sebuah soal yang tak penting, bahkan persengkokolan jahat, seperti kasus daging sapi (Fathanah) dan semacamnya.

Obrolan warung kopi bisa menjadi semacam "konfrontasi" seperti gagasan Soedjatmoko pada 1950-an menghadapi krisis kesusastraan, yang juga berarti tanda krisis kebudayaan, politik, dan kepemimpinan. Kini rasanya krisis itu hadir kembali. Karena itu, obrolan warung kopi bisa menjadi ruang pembebasan dari sesuatu yang sesungguhnya dekaden. Obrolan warung kopi--dalam arti yang sesungguhnya maupun konotatif--semacam ruang pembebasan. Juga bagi kalangan kampus dan kaum terpelajar yang kini risau, kehilangan daya kritis karena tarikan arus politik yang keruh dan kehilangan inspirasi. Kaum terpelajar nyaris tak jelas posisinya. Padahal, mereka mesti menjadi oasis bagi masyarakat.

Di warung kopi siapa saja bisa bergabung. Mula-mula antarkita yang sudah saling kenal, tapi masing-masing bisa membawa siapa saja jadi "peserta". Seperti di warung kopi malam itu, ada seseorang yang baru saya kenal. Seorang Lampung yang punya pendidikan bagus, tapi gelap memandang masa depan bumi yang ia cintai. Sebab, katanya, Lampung hanya dimaknai dari sisi yang amat permukaan, bagian dalam yang substantif (sosio-kultural) tercecer, bahkan teronggok di ruang belakang. Padahal, seperti yang dicemaskan banyak pihak, Lampung dengan kohesi sosial yang belum kukuh, dengan para pemimpin yang tak paham mengelola keberagaman, selalu punya potensi untuk meregang kapan saja. Konflik Way Panji, Lampung Selatan, tahun lalu, misalnya, adalah pekerjaan rumah yang amat serius.

"Keberagaman itu kini kerap menjadi pemantik ketegangan. Sebab, para elite tak mengerti bagaimana merawatnya. Tidak hanya antaretnis, di antara kami pun Lampung tak satu, tak padu. Menentukan bahasa Lampung yang mana yang paling mewakili seluruh entitas adat pun, sampai hari ini belum bisa," kata teman itu.

Obrolan warung kopi kemudian sampai pada soal takdir dan kematian, soal wanita-wanita di sekitar para pelaku korupsi, infrastruktur Lampung yang hancur, dan Pemilihan Gubernur Lampung yang ruwet karena pemerintah daerah krisis anggaran dan waktu yang maju mundur. Kami sepakat dari lima pasang calon gubernur, satu pun belum ada yang sudah bisa diraba bagaimana membangun masyarakat Lampung dengan kohesi sosial kuat.

Obrolan makin mengecil volumenya karena pagi mulai hadir. Kantuk mulai menyergap. Kami bubar begitu saja. Mungkin tak terlalu penting apa yang diobrolkan, tapi semangat obrolan warung kopi itulah yang terpenting. Kalaupun bukan perlawanan dan konfrontasi yang tegas terhadap yang "mainstream", ia setidaknya semangat indie yang tak takluk pada segala "hukum industri" yang dianggap jadi belenggu. Dan, Lampung lokus yang tepat untuk memulai atau memantapkan tradisi obrolan warung kopi.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment