October 30, 2015

Sastra Melawan Stagnasi Bahasa

BANDARLAMPUNG, FS – Fungsi sastra adalah untuk menghidupkan kata-kata yang dalam keseharian terancam stagnan karena banalisasi kehidupan sosial politik. Bahasa Indonesia yang di tangan politisi dan birokrat terasa kehilangan makna menjadi segar dan hidup dalam olahan penyair atau sastrawan.

DISKUSI SASTRA. Penyair Ahmad Yulden Erwin (kedua dari kiri) menyampaikan pandangan dalam sesi diskusi Wisata Seni Baca Sastra 2015 di Taman Budaya Lampung, Bandarlampung, Kamis, 29/10/2015. (FOTO: FAJAR SUMATERA/UDO Z KARZI)
Penyair Joko Pinurbo mengatakan hal itu dalam Wisata Seni Baca Sastra 2015 di Taman Budaya Lampung (TBL), Bandarlampung, Kamis (29/10). Selain Joko Pinurbo, tampil juga dalam kegiatan yang diisi baca puisi dan cerpen ini sastrawan AS Laksana, Ahda Imran, Ari Pahala Hutabarat, Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, dan  Wicaksono Adi.


Menurut Joko Pinurbo, sastra adalah seni bermain kata. “Menulis itu bukan sesuatu yang berat. Bahasa Indonesia itu luar biasa. Tadi saya bacakan puisi yang menunjukkan betapa kata-kata dalam bahasa Indonesia itu bisa menjelma untaian syair yang asyik,” ujar penyair yang biasa disapa Jokpin ini.

Meskipun demikian, kata Jokpin, untuk menulis puisi tidak bisa mengandalkan ilham dari langit. “Kata kuncinya persiapkan bahan yang hendak ditulis. Lakukan riset kecil-kecilan, misalnya tentang persamaan bunyi, lawan kata, sinonim, dan lain-lain untuk menghasilkan tulisan yang baik.”

Riset yang paling mungkin, menurut Jokpin, adalah dengan banyak-banyak membaca. Ia menganjurkan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari bacaan, yang kelak bisa menjadi bahan untuk menulis.
Cerpenis AS Laksana mengaku berkali-kali membuat puisi, tetapi berkali-kali pula ia gagal melahirkan puisi. Ia lalu memutuskan untuk fokus pada penulisan prosa dan esai.

Namun, diam-diam ia selalu mencari kalimat-kalimat yang menarik dari penyair. “Meski tidak menulis puisi, saya suka puisi. Saya selalu banyak membaca puisi untuk mengasah pena saya. Membaca itu kan seperti bercakap-cakap dengan penulisnya,” kata dia.

Penyair Wicaksono Adi yang bertindak sebagai kurator acara ini menambahkan, sastra membawa fakta lain dari sebuah peristiwa atau hal tertentu. Ia mengibaratkan peneliti biologi yang membawa ikan ke laboratorium, sementara sastrawan menghadirkan angin, ombak, pasir dalam karya mereka. (UZK)


Sumber: Fajar Sumatera, Jumat, 30 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment