November 4, 2015

Akademia dan Aktivisme

Oleh Virtuous Setyaka

SELAMA ini akademia identik dengan para akademisi yang berada di ranah kampus dengan tugas pokok dan fungsinya di bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Sedangkan aktivisme identik dengan gerakan sosial yang berada di luar kampus dan kerja-kerja advokasi berbagai isu atau permasalahan masyarakat. Gerakan sosial dalam perspektif yang luas adalah bagian dari politik, sehingga aktivisme adalah aktivitas yang secara langsung maupun tidak langsung termasuk dalam aktivitas politik. Menarik untuk mendiskusikan keterkaitan bahkan keterikatan academia dengan aktivisme di Indonesia.

Keterkaitan Akademia-Aktivisme
Titik hubung antara akademia dan aktivisme menurut Flood, Martin dan Dreher (2013) secara akademis dapat ditelusuri diantaranya dengan pemikiran Zerai (2002) serta Downs dan Manion (2004). Akademia dapat menjadi situs bagi aktivisme setidaknya dalam empat cara: (1) sebagai sarana untuk menghasilkan pengetahuan untuk menginformasikan perubahan sosial yang progresif; (2) sebagai sarana untuk melakukan penelitian yang melibatkan perubahan sosial itu sendiri; (3) sebagai situs untuk strategi pengajaran dan pembelajaran progresif; dan (4) sebagai institusi yang relasi kekuasaannya sendiri mungkin ditantang dan direkonstruksi. Akademisi dapat menghasilkan pengetahuan, sengaja atau tidak, menginformasikan perubahan sosial yang progresif.

Hasil penelitian akademik dapat diambil dan dimanfaatkan oleh organisasi aktivis dan advokasi untuk membantu dan mendukung pekerjaan mereka. Akademisi juga dapat menyebabkan atau menginisiasi munculnya perdebatan kebijakan dan perubahan politik dengan berpartisipasi dalam debat publik atau dengan pengajuan/merekomendasikan langsung ke pembuat kebijakan. Akademisi dalam melakukan penelitian sangat mungkin melibatkan perubahan sosial dalam pekerjaanya. Istilah 'action research' menggambarkan bagian dari metodologi penelitian yang melibatkan secara bersamaan dalam hal melakukan tindakan perubahan sosial (action) dan pemahaman ilmiah (research). Penelitian tindakan biasanya bersifat partisipatif, dengan semua pihak yang terkait dalam suatu komunitas tertentu atau organisasi yang terlibat dalam memeriksa praktik-praktik terkini dalam rangka untuk mengubah dan memperbaikinya (Herr & Anderson, 2005; McIntyre, 2007; Smith, Willms & Johnson, 1997).

Dengan demikian, akademisi dapat melakukan aktivisme sebagai karya akademis, memvalidasi (bentuk-bentuk tertentu dari) aktivisme atas nama nilai intelektual mereka. Praktik pengajaran dan pembelajaran kelas di universitas adalah untuk mendorong refleksi diri yang kritis, pemberdayaan politik dan mobilisasi kolektif (Curle, 1973; Hooks, 1994; Newman, 2006; Shor, 1980). Selain itu juga melakukan karya akademis konvensional dalam konteks baru dalam hubungannya dengan aktivisme, seperti menjalankan seminar akademik bersamaan dengan aktivitas memblokade pangkalan senjata nuklir (Vinthagen, Kenrick & Mason, 2012).

Melepaskan aktivisme sebagai domain yang dihapus dari akademis justru meniadakan potensi keterlibatan aktivis dalam mengerjakan kembali praktik-praktik pengajaran akademik itu sendiri. Akhirnya, universitas dapat dikritik karena sistem birokrasi yang tidak fleksibel dan untuk subordinasi mereka di bawah agenda-agenda negara dan perusahaan atau korporasi, misalnya melalui militerisasi dan pendanaan perusahaan (Hil 2012; Newson & Buchbinder, 1988; Slaughter & Leslie, 1997; Smith, 1974; Veblen, 1918).

Berbagai cara dalam melibatkan akademia dan aktivisme menurut Flood, Martin dan Dreher (2013) diantaranya adalah sebagai berikut: (1) terlibat dalam kelompok-kelompok aksi pada isu-isu tertentu; (2) melakukan penelitian dan berbicara kepada media tentang berbagai permasalahan; (3) berkampanye tentang hal-hal yang menjadi perhatian dalam universitas, termasuk melalui serikat pekerja dan asosiasi professional; dan (4) melakukan penelitian yang menginformasikan atau mendukung aktivisme, dan memberikan saran dan mendukung mahasiswa aktivis. Sedangkan berbagai isu-isu advokasi dalam akademia dan aktivisme diantaranya adalah perubahan iklim atau degradasi lingkungan, penanganan pencari suaka, advokasi masyarakat adat, lingkungan, gender, perburuhan, pertanian dan agraria, dan sebagainya.

Namun, ada kesenjangan antara akademia dan aktivisme menurut Nulman (2013) yang perlu dicermati. Meskipun penelitian tentang gerakan sosial telah terwakili sebagai bagian dari berbagai bidang pengetahuan, terutama Sosiologi dan Ilmu Politik (Finley dan Soifer, 2001) dan seringkali menarik dalam memberikan dukungan dalam fasilitasi berbagai proses gerakan (Lofland, 2009). Masalah pertama dalam kesenjangan antara akademis dan aktivisme adalah perpecahan antara akademisi dan praktisi/aktivis gerakan sosial. Masalah lainnya adalah bahwa literatur gerakan sosial bisa cenderung ke arah terlalu berteori dan luaran yang abstrak (Choudry, Hanley dan Shragge, 2012).

Selain itu adalah penggunaan bahasa yang tidak beresonansi dengan aktivis (Campbell, 2002). Ketika berbicara tentang penelitian dan aktivisme di dunia akademis, bisa jatuh kembali pada penelitian sebagai analisis dan aktivisme sebagai hal yang dilakukan 'di luar sana', yang mengarah ke perceraian/pemisahan antara kesadaran dan praktik (Kinsman, 2006 seperti dikutip dalam Choudry dan Kuyek 2012; Dawson dan Sinwell, 2012).

Penelitian sering berfokus pada pengetahuan yang tidak langsung menguntungkan atau berlaku untuk aktivis atau organisasi gerakan. Dibutuhkan pengetahuan khusus untuk mendukung agenda aktivis yang seringkali belum terpenuhi. Teks-teks di mana analisis tersebut muncul sering tidak tersedia secara luas dan lebih lanjut menciptakan perpecahan antara akademi dan aktivis berbasis masyarakat (Naples, 1998). Tentu saja hal ini terjadi mungkin terutama karena target audien untuk penelitian gerakan sosial berbeda bagi peneliti gerakan sosial atau akademisi, daripada dialog antara akademisi dan aktivis, karena penghargaan secara kerangka kelembagaan/institusional mengalami difusi internal.

Keterikatan Akademia dengan Aktivisme

Setelah menguraikan keterkaitan atau titik hubung antara akademia dengan aktivisme, maka pada bagian ini akan didiskusikan keterikatan antara akademia dengan aktivisme. Perspektif yang paling umum dan klasik untuk mendiskusikan keterikatan antara akademia dengan aktivisme adalah tentang masyarakat sipil. Terutama sekali ketika merujuk pada pemikiran Antonio Gramsci (1971) yang menjelaskan relasi kuasa politik dengan memisahkan antara masyarakat politik dengan masyarakat sipil.

Masyarakat politik adalah mereka yang dalam relasi kuasa menjabat sebagai pejabat negara atau pemerintahan dalam berbagai tingkat. Sedangkan masyarakat sispil adalah mereka yang dalam relasi kuasa tidak menjabat dalam jabatan negara atau pemerintahan. Para akademisi bukanlah para pejabat negara secara langsung, meskipun mungkin menjadi aparat sipil negara (ASN) seperti di Indonesia saat ini. Terutama apalagi para aktivis gerakan sosial yang sama sekali tidak menjadi bagian dari pemerintahan, oleh sebab itu jika para aktivis gerakan sosial berorganisasi maka disebut sebagai Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau Non Governmental Organization (NGO).

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, maka para akademisi jelas sekali terikat dalam kewajibannya atau setidaknya ada pilihan yang terbuka luas dan terbentang lebar untuk menjadi bagian dari aktivisme dalam gerakan sosial. Hal tersebut juga telah dijelaskan Gramsci bahwa dalam relasi kuasa pada struktur sosial politik, terutama dengan teori hegemoni, dengan keberadaan intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah mereka para intelektual yang terkungkung dengan pemikiran dan sikap bahwa ilmu adalah untuk keilmuan itu sendiri, sehingga tindakan mereka sama sekali tidak mencerminkan keberpihakan pada masyarakat (sebagai yang dikuasai dalam relasi kuasa) dalam berbagai masalah sosial. sedangkan intelektual organik adalah mereka para intelektual yang terikat/mengikatkan diri atau terlibat/melibatkan diri dengan penguasa (hegemon) atau dengan masyarakat (kontra hegemon).  

Masalah dalam Akademia-Aktivisme dan Cara Mengatasinya?

Akademisi yang terlibat dalam aktivisme mungkin menghadapiberbagai permasalahan di antaranya balas dendam, baik secara eksternal dari lawan-lawan politik dan internal dari orang-orang dalam universitas yang memandang keterlibatan mereka sebagai nonkonformis (Martin, Baker, Manwell & Pugh, 1986; Meranto, Meranto & Lippman, 1985; Nocella II, dan lain-lain). Akademisi yang berusaha untuk menggabungkan aktivisme dengan pekerjaan di universitas dapat dikenakan ancaman, pelecehan, taktik pembungkaman, dan tekanan teman sebaya dan harapan untuk beralih dari aktivisme ke ilmiah.

Bagaimana untuk menghindari perangkap dan menjaga komitmen sebagai akademisi yang berorientasi pada aktivisme dan aktivis yang berorientasi akademis? Perlu strategi dan juga taktik untuk menjembatani dan mengisi kesenjangan antara academia dan aktivisme. Nulman (2013) menyontohkan tentang adanya Interface, sebuah jurnal yang diterbitkan untuk dan tentang gerakan sosial. Selain itu, melalui pengembangan pengorganisasian kurikulum, berbagi sumber daya, dan mengorganisir lokakarya yang didukung dengan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komputer/penggunaan dan pempublikasian melalui situs internet (web). Selain itu, sejalan dengan Downs & Manion, dan Zerai yang dikutip oleh Flood, Martin & Dreher adalah dalam bentuk beberapa tingkat penelitian aksi partisipatif dengan organisasi gerakan sosial dan LSM. 

David Croteau, William Hoynes, dan Charlotte Ryan (2005) mengeditori sebuah buku yang mengintegrasikan teori dan praktik gerakan sosial. Di dalamnya dibahas tentang aktivisme dan penelitian, menjembatani yang terbelah dengan mengambil pelajaran dari lapangan, dan implikasi bagi teori dan penstudi. 

Akademia dan Aktivisme di Indonesia


Di Indonesia, karena sebagian para intelektual adalah para akademisi dan para akademisi sebagian besarnya adalah Pegawai Negeri Sipil atau Aparat Sipil Negara, maka perlu untuk mempertimbangkan persoalan struktur dan sistem yang dikonstruksi di negara ini. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 (PP 37/2004) misalnya, adalah sebuah peraturan tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik. Di dalamnya ada konsiderans menimbang PP 37/2004 yang disebutkan bahwa pegawai negeri sebagai unsur aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik. Dituntut untuk tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Oleh karena itu, pegawai negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai poiitik harus diberhentikan sebagai pegawai negeri, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat. Perlu dipahami secara historis bahwa wacana itu dimunculkan dan peraturan itu dibuat dan diterbitkan karena kecenderungan dari para PNS atau ASN yang tidak netral atau menjadi diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, persoalan korupsi yang justru melanda aparat birokrasi negara atau pemerintahan yang tumbuh subur di Indonesia sejak Orde Baru. Perilaku korup, kolusif dan nepotis (KKN) tersebut celakanya juga menjangkiti dinamika partai politik yang ada di Indonesia. Maka dalam konteks tersebut, sesungguhnya menguntungkan jika para intelektual-akademis justru dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik.

Namun perlu dicermati, apakah aktivisme dalam gerakan sosial berarti sama dengan menjadi anggota atau pengurus partai politik? Dan apakah berpolitik itu sesempit pengertian dengan menjadi anggota atau pengurus partai politik? Pertama, tentu saja tidak, sebab biasanya para aktivis gerakan sosial sekalipun sangat jarang yang berafiliasi atau bahkan menjadi anggota atau pengurus partai politik. Di Indonesia, kecenderungan menjadi anggota atau pengurus partai politik adalah akan menjadi bagian dari aparat politik negara secara langsung. Baik di eksekutif (pemerintahan) dan legislatif (perwakilan rakyat). Itu sebagai sebuah konsekuensi dari sistem politik dan pemerintahan yang memilih demokrasi.

Meskipun para aktivis gerakan sosial juga sangat memungkinkan sekali untuk menjadi bagian dari aparat politik negara, namun itu bersifat terbuka atau sebagai pilihan saja, bukan keharusan apalagi paksaan. Namun secara prinsip, menjadi aktivis dengan segala aktivisme-nya dalam gerakan sosial berbeda dengan aktivitas politik dalam bingkai keanggotaan atau kepengurusan partai politik. Sebab secara faktual dan teoritis, praktik-praktik atau tindakan-tindakan dalam berorganisasi pada gerakan sosial berbeda dengan berorganisasi pada partai politik.

Kedua, berpolitik tidak sama dengan atau sesempit menjadi anggota atau pengurus partai politik. Sebab berpolitik secara teoritik dapat dimaknai mulai dari yang sederhana yakni bertindak dalam dinamika keseharian sebagai bagian dari warga negara sampai makna berpolitik dalam konteks tata kelola atau pemerintahan secara umum di berbagai tingkat: lokal, nasional dan internasional. Sedangkan gerakan sosial itu sendiri juga sama maknanya dengan berpolitik secara luas karena aktivisme sesungguhnya adalah berpolitik. Sehingga ketika akademia dan aktivisme saling berkaitan bahkan berikatan, maka sesungguhnya para intelektual-akademisi telah dan sedang berpolitik.

Ketika itu terjadi maka para akademisi tersebut telah melampaui peranannya sebagai intelektual tradisional, meskipun menjadi intelektual organik yang hegemonik atau kontra hegemonik adalah pilihan-pilihan yang akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan moral dan juga ideologi. Maka tidak mengherankan jika di Indonesia sampai saat ini banyak ditemui para intelektual-akademisi yang terlibat di dalam pemerintahan atau di dalam gerakan sosial.

Virtuous Setyaka, Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Andalas, Padang


Sumber: Fajar Sumatera, Rabu, 4 November 2015

No comments:

Post a Comment