November 11, 2015

Strategi Kebudayaan dan Multikulturalitas

Oleh Febrie Hastiyanto

TELAH menjadi realitas sejarah bahwa bangsa kita, Indonesia berdiri di atas lansekap keberagaman. Etnis, agama, kelompok kepentingan yang ada berbeda sekaligus banyak jumlahnya. Sejak lama pula kita merumuskan dan menerapkan strategi kebudayaan memaknai keberagaman yang ada. Secara sosiologis, tak dapat dihindarkan sentimen-sentimen in group dan out group; orang “sini” dan orang “sana.” Pada mulanya, politik kebudayaan cenderung ingin mengelompokkan orang sana” menjadi orang “kita.” Sejarah pembentukan nasion banyak bangsa seringkali diwarnai oleh politik aneksasi. Strategi kebudayaan ini dapat disebut sebagai etnosentrisme (Nurdaya, 2012). Padahal hampir pasti setiap kebudayaan selalu ingin independen, selalu ingin mengaktualisasikan dirinya sendiri, serta selalu menolak menjadi orang lain. Konflik kemudian menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Perasaaan-perasaan identitas yang berlebihan cenderung memicu peniadaan identitas lain. Genosida-genosida atas nama etnis, agama, atau ideologi mewarnai perjalanan peradaban manusia. Sudah tentu kita tak ingin mengulangi dampak terburuk perasaan identitas yang berlebihan ini. Strategi kebudayaan alternatif, sebagai antitesis etnosentrisme kemudian disusun dan coba diamalkan. Bentuknya paling tidak ada dua: integrasi budaya (melting pot, cawan peleburan) dan pluralisme atau multikulturalisme (Nurdaya, 2012).
   
Strategi integrasi kebudayaan merupakan pendekatan politik terhadap budaya yang mulanya hendak diterapkan di Indonesia. Realitas keberagaman hendak diikat oleh satu entitas baru, yang disebut bangsa. Bangsa atau nasion merupakan entitas yang melingkupi dan melampau entitas dan identitas primordial yang ada. Bangsa menjadi konstruksi imajiner yang mengidentifikasi identitas yang satu dan baru. Secara sosiologis pula, sentimen atau perasaan identitas akan menguat ketika entitas dihadapkan pada dua kondisi: adanya musuh bersama (common enemy) dan tujuan bersama (goal enemy).
   
Musuh bersama harus diakui merupakan faktor yang membuat kita mengidentifikasi dan menemukan nasib yang sama sebagai bangsa: penjajah. Perasaan senasib, sebagaimana doktrin Ernest Renan, merupakan sebab kita merasa sebagai “kita,” kita sebagai “satu” dan kita sebagai “sama.” State of the art “perasaan senasib” ini pulalah yang menjadi legitimasi teoretik bapak-bapak bangsa kita (founding fathers) dalam sidang-sidang BPUPKI untuk menjadi pembenar bahwa negara Indonesia perlu ada. Perasaan keindonesiaan kita, harus diakui, sedikit banyak derajatnya, terbentuk karena adanya musuh bersama dan perasaan senasib ini.

Strategi Kebudayaan Nasional
   
Periode perjuangan nasional kita melalui sejumlah fase, yang memiliki implikasi strategis bagi politik kebudayaan. Setelah identifikasi musuh bersama dilakukan serta musuh bersama dapat ditiadakan, politik kebudayaan memerlukan identitas baru sebagai perekat, identitas yang menjadi sebab selanjutnya kita berbangsa, yaitu tujuan bersama. Secara sederhana, tujuan bersama kita adalah meningkatkan derajat hidup masyarakat dan bangsa menuju titik yang selalu lebih baik. Untuk mewujudkan tujuan bersama, dipandang strategis bila kita sebagai bangsa merasa sebagai satu kesatuan yang “tunggal.” Seloka yang telah dikenal sejak periode Majapahit kemudian dipilih sebagai identitas pengikat bangsa: Bhineka Tunggal Ika. Bahwa meskipun kita berbeda-beda, sejatinya kita satu: bangsa Indonesia.
   
Tafsir idiom “tunggal” memang dapat dimaknai sebagai “satu” dapat pula dimaknai sebagai “utuh.” Pemaknaan “tunggal” sebagai “satu” menjadi epsitemologi strategi kebudayaan integrasi sosial. Strategi kebudayaan integrasi ingin mewujudkan satu kebudayaan yang “satu,” dalam hal ini kebudayaan “baru” atau kebudayaan nasional di atas kebudayaan lokal melalui asimilasi budaya. Asimilasi merupakan strategi melebur kebudayaan-kebudayaan yang ada, menjadi satu kebudayaan “nasional” yang “baru.” Politik asimilasi kebudayaan ini antara lain dapat ditengok dari diskursus politik kebudayaan kepada saudara kita dari etnis Tionghoa pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Strategi kebudayaan etnis Tionghoa dalam mendudukkan posisi mereka dalam konstelasi kebudayaan nasional setidaknya menguat dalam dua pendulum: integrasi dan asimilasi atau pluralisme dan multikulturalisme.
   
Strategi kebudayaan asimilasi misalnya melahirkan kebijakan-kebijakan indonesianisasi nama, naturalisasi kewarganegaraan hingga menekan perkembangan kesenian agar warna etnis memudar dan melebur menjadi identitas “nasional” yang baru. Sementara kelompok-kelompok yang setia pada epistemologi pluralisme dan multikulturalisme tetap mempertahankan nama asli dan berusaha merawat kesenian dan kebudayaan sebagai tanda (sign), bahwa etnis Tionghoa ada dan secara eksisting hidup bersama di tengah masyarakat. Identitas yang melebur utamanya adalah kewarganegaraan, karena memang kewarganegaraan dan kebangsaan merupakan sebab atau tujuan bersama yang didesain untuk menyatakan kita sebagai entitas yang “tunggal.”

Prospek Multikulturalitas
   
Dalam kerangka epistemologi strategi kebudayaan multikulturalisme dan pluralisme, hanya bangsa dan negara sebagai satu-satunya entitas yang “tunggal” dalam makna “satu.” Kita sadar, meyakini dan sepakat untuk bertanah air dan berbangsa yang satu sebagaimana ditulis dalam teks Sumpah Pemuda yang diikrarkan hampir satu abad lalu. Pemuda-pemuda Indonesia dalam permufakatan di tahun 1928 itu tampaknya memahami realitas keberagamaan yang ada dan mendasarkan epistemologi strategi kebudayaannya dalam pendekatan pluralisme dan multikulturalisme. Realitas eksisting yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa kita memijak tanah yang sama, tanah air yang kita sebut Indonesia. Kita memiliki perasaan identitas yang sama dengan pengalaman musuh dan tujuan bersama, yang kita sebut sebagai bangsa Indonesia. Pernyataan identitas yang sama secara budaya ini kemudian dilembagakan dalam perjuangan politik, sehingga bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai Negara Indonesia.
   
Tanah air, bangsa dan negara telah dinyatakan satu. Namun teks Sumpah Pemuda tidak memaksakan diri hendak menjadikan semua aspek kehidupan masyarakat menjadi “satu” pula. “Tunggal” dimaknai oleh teks Sumpah Pemuda sebagai “utuh,” sebagai “sesuatu yang tak dapat dipisahkan” tetapi bukan sesuatu yang “satu.” “Sesuatu yang tak dapat dipisahkan” ini dapat dan sangat mungkin berjumlah “banyak,” namun semua “tak dapat dipisahkan” dan “utuh” dalam satu kesatuan. Teks Sumpah Pemuda kemudian mengikrarkan bahwa selain tanah air dan bangsa yang satu, bahasa nasional yang dipilih bukan bahasa yang “satu”, melainkan “bahasa yang dijunjung tinggi” yakni Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang dijunjung tinggi melampaui bahasa-bahasa daerah merupakan strategi kebudayaan yang dapat disebut berakar dari semangat pluralisme. Teks Sumpah Pemuda tak ingin menjadikan bahasa nasional “satu” dalam Bahasa Indonesia, tetapi menjadikan bahasa nasional “utuh” dalam Bahasa Indonesia yang melingkupi bahasa-bahasa daerah yang ada.

Bahasa, dalam studi etnologi seringkali sinonim dengan budaya. Klasifikasi kebudayaan dalam etnis dan sub etnis seringkali mendasarkan pada bahasa di samping tentu saja sistem kehidupan meliputi sistem bahasa, sistem kesenian, sistem teknologi dan peralatan hidup, sistem religi dan kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan dan sistem pengetahuan. C. Kluckhon menyebut tujuh unsur pokok kebudayaan ini sebagai universal categories of culture.
   
Bahasa, dalam teks Sumpah Pemuda diyakini dan diakui tidak “satu.” Sudah barang tentu analogi dapat ditarik, bahwa selain bahasa, teks Sumpah Pemuda tidak hendak menyatakan bahwa etnis, agama dan kelompok kepentingan dalam masyarakat sebagai “satu” pula. Realitas eksisting ini perlu dipahami oleh semua anak bangsa. Meskipun secara sosiologis karakter nature peradaban menginginkan integrasi, kesatuan identitas sekalipun dengan strategi aneksasi dan asimilasi, namun secara sosiologis pula karakter asali peradaban selalu mengharapkan penghormatan atas identitas kebudayaannya. Sintesis yang ideal dari spektrum kecenderungan untuk menguasai namun sekaligus tak ingin dikuasai adalah bersikap adil. Sikap-sikap tepo seliro sesungguhnya merupakan alat ukur yang efektif: bila tak ingin dikusai, maka jangan pula hendak menguasai. Dalam bahasa yang lebih sederhana: bila tak ingin dicubit, maka jangan mencubit. Karena semua tahu: dicubit rasanya sakit.
   
Hari ini, keberagaman menjadi realitas yang tak dapat diingkari. Tujuan bersama, yang kemudian menjadi identitas bersama kita, yakni bangsa dan negara Indonesia seharusnya dibangun di atas strategi kebudayaan pluralisme dan multikulturalisme. Bahwa yang hanya boleh “satu” adalah negara dan bangsa Indonesia. Pengingkaran terhadap keberagaman merupakan pintu masuk bagi konflik. Sudah tentu kita bukan bangsa yang menggandrungi konflik. Sikap penerimaan dan penghormatan terhadap keberagaman merupakan sikap dasar terjaminnya perdamaian, sebagai kebalikan dari konflik.
   
Mencermati realitas keberagaman yang berkembang hari ini, potensi konflik seringkali ada di dalam masing-masing identitas: etnis, agama, ideologi, atau kelompok kepentingan. Potensi konflik dalam masing-masing identitas lahir bukan dalam semangat hendak menjadikan “orang sana” menjadi “orang sini” melainkan ingin memurnikan (purifikasi) identitas yang dinilai berbeda. Secara sosiologis, keberagaman dalam satu identitas tertentu sejatinya merupakan satu keniscayaan. Dalam identitas yang “satu” tak terhindarkan melahirkan beragam “tafsir.” Masing-masing tafsir mengklaim sebagai tafsir yang benar dan orisinal, serta merasa terpanggil untuk mengembalikan tafsir lain ke “jalan yang benar dan orisinal.”
   
Strategi kebudayaan terhadap potensi konlik dalam satu identitas primordial memang perlu dirumuskan secara hati-hati. Sikap untuk menyatakan bahwa “tafsir alternatif” dari tafsir utama (mainstream) sebagai identitas primordial baru cenderung tidak efektif bila dilakukan tanpa syarat. Perbedaan tafsir dalam ajaran satu agama misalnya, tidak dapat serta merta disentuh dengan kebijakan mengeluarkan tafsir ajaran tersebut sebagai “agama baru.” Secara sosiologis, tafsir cenderung merupakan keniscayaan. Tafsir dipengaruhi oleh preferensi (pengetahuan, sikap, keyakinan), yang memungkinkan terjadinya akulturasi. Akulturasi, pengaruh rupa-rupa identitas dalam identitas primordial yang ada merupakan sesuatu yang tak terhindarkan karena interseksi identitas merupakan sesuatu yang juga tak terhindarkan. Agama misalnya, sebagai sistem religi memiliki interseksi dengan sistem kemasyarakatan sebagai budaya. Sistem kemasyarakatan suatu etnis misalnya, akan sangat dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatannya yang “asli” sebagai produk budaya dan sistem kemasyarakatan yang diatur dalam agama bahkan sistem kemasyarakatan yang diatur oleh negara termasuk sistem kemasyarakatan yang diatur oleh etnis lain.
   
Kedudukan negara sebagai identitas yang mengikat kita sebagai satu entitas, secara legal formal merupakan entitas yang tertinggi yang melingkupi entitas-entitas yang lain. Potensi konflik dapat lahir dari memaknai kedudukan negara. Interseksi antara negara dan entitas-entitas yang ada seringkali terjadi secara asimetris. Negara merupakan entitas legal formal tertinggi, menurut perspektif negara. Entitas-entitas yang ada, seringkali menganggap dirinya sebagai entitas yang lebih tinggi ketimbang negara. Relasi antara agama dan negara misalnya. Terdapat tafsir bahwa agama melingkupi semua aspek kehidupan, termasuk negara. Negara, meskipun agama tidak menjadi negara, merupakan salah satu aspek kehidupan yang diatur agama. Sistem hidup agama mungkin saja berbeda dengan sistem hukum negara. Relasi antara negara dan ideologi juga berpotensi sama dengan relasi negara dengan agama. Ideologi-ideologi tertentu misalnya memiliki semangat pan internasional yang kuat, yang dengan sendirinya menempatkan ideologi tertentu tersebut di atas negara.

Realitas ini merupakan potensi konflik, paling tidak konflik sikap individu. Ketika memilih satu sikap, seseorang harus memilih apakah bersikap sebagai umat beragama atau sebagai warga negara, atau sebagai penganut ideologi tertentu. Secara sosiologis memang setiap orang memiliki interseksi fungsi sosial. Seorang individu dapat sekaligus sebagai ayah, sebagai anak, adik atau kakak, sebagai warga negara, sebagai umat agama A, sebagai warga kampung Y, atau sebagai anggota organisasi Z.

Bersikap sebagai umat beragama dengan preferensi nilai-nilai agama menurut konstitusi dijamin oleh negara. Sementara pada saat yang bersamaan negara menuntut setiap warga negara tunduk dengan sistem hukum negara. Mendudukkan antara preferensi agama dan negara ini memang memerlukan pikiran yang jernih. Realitas sosiologis ini dapat menjadi masukan bagi negarawan-negarawan kita: bagaimana mendudukkan secara jernih interseksi identitas-identitas entitas yang ada dalam satu formula yang menghormati semua.
   
Seorang yang adil adalah seorang yang dapat bersikap jernih dan mampu memahami realitas secara jujur dan menurut perspektif multipihak. Kita membutuhkan negarawan yang adil menurut perspektif ini. Bahkan kita pun harus bersikap adil sebagaimana kita berharap negarawan-negarawan kita bersikap. Adil boleh disebut sebagai sikap yang dengan sendirinya akan meminimalkan peluang konflik. Tabik.

Febrie Hastiyanto, Pegiat Kelompok Studi IdeA

Sumber: Fajar Sumatera, dimuat dalam dua bagian 10 dan 11 November 2015

1 comment: