November 12, 2015

Dongeng yang Merawat Kewarasan

Oleh Aris Kurniawan

BAGI sebagian orang, penyair adalah filsuf dan filsuf adalah penyair; seseorang yang senantiasa merawat kesadaran masyarakatnya; ialah yang mengasah kegelisahan dan penderitaan dirinya untuk menyuarakan kecemasan zamannya; yang terus menerus  menjaga  keseimbangan dan mengajak kita menjenguk ke dalam diri. Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy tampaknya termasuk yang mempercayai kekuatan puisi semacam itu, sehingga dia mengatakan, apabila politik kotor, maka puisi yang membersihkannya. 

Tetapi, teori sastra modern menepis anggapan yang menempatkan penyair serupa sosok filsuf dan puisi sebagai rujukan untuk mencari kejernihan menangkap realitas. Membersihkan politik yang kotor terlalu berat sebagai tugas yang dibebankan kepada puisi. Dalam drama keseharian yang makin banal kita melihat, puisi terus dilahirkan para penyair seiring dengan kejahatan yang dilalukan secara terang benderang oleh para politisi. Karena puisi hanya permainan kata-kata. Bahkan Sapardi Djoko Damono mengatakan, puisi pada dasarnya adalah deretan kata-kata, tak beda dengan  seperti teks laporan jurnalistik, catatan harian, dan status di media sosial sekalipun.

Untuk dapat menyusun dan merangkai kata-kata sehingga memiliki makna, pesona, keunikan, dan daya gugah diperlukan kerja keras dan  proses latihan terus menerus. Sama halnya dengan, petenis, atau pesepak bola yang demi membobol gawang lawan harus mampu menunjukkan permainan yang menarik dan teknik yang jitu. Dengan demikian, untuk menulis puisi kita tidak harus jadi filsuf apalagi nabi. Cukuplah banyak membaca dan getol belajar sampai mampus guna menghasilakan puisi yang menggugah kesadaran estetis.

Lupakan dua pendapat yang sepintas terlihat saling bertolakan itu. Mari kita membaca puisi-puisi dalam buku Melihat Api Bekerja anggitan M Aan Mansyur. Puisi-puisi Aan tidak sekadar memunculkan imaji-imaji tertentu dalam benak pembaca dengan deretan kata-kata yang terjalin indah dan cara penyampaian serupa dongeng, tetapi juga menyuarakan tentang kecemasan atas ruang hidup kita sehari-hari yang terus dirangsek kekuatan modal, tentang negara yang tidur pulas.

Negara tak menggubris ketika ruang publik lenyap dan beralih rupa taman-taman komersil. Kau tak bisa menikmati taman kota tanpa memesan secangkir kopi dan setangkup roti. Kalau kau tak punya uang silakan berteriak di jalanan, bergabung dengan geng motor dan mencelakai orang-orang. Dengarlah kecemasan Aan dalam sajak Melihat Api Bekerja  berikut ini: Di kota ini ruang bermain/ adalah sesuatu yang hilang/ dan tak seorang pun berharap/ menemukannya. Anak-anak tidak/ butuh permainan. Mereka akan/ memilih kegemaran masing-masing/ setelah dewasa. Menjadi dewasa/ bukan menunggu negara bangun./ menjadi dewasa adalah menu/ favorit restoran cepat saji.

Kecemasan Aan makin tegas dalam bait-bait berikutnya… Para tetangga lebih butuh pagar/ tinggi daripada pendidikan.  Sekolah/ adalah cara terbaik untuk/ istirahat berkelahi di rumah. Anak- anak  membeli banyak penghapus/ dan sedikit buku. Terlalu banyak hal/ yang mereka katakan dan gampang/ jatuh cinta. Mereka menganggap/ jatuh cinta sebagai kata kerja dan/ ingin mengucapkannya sesering/ mungkin. Mereka tidak tahu jatuh/ cinta dan mencintai adalah dua/penderitaan yang berbeda.

Negara yang tertidur

Aan mengritik keras negara yang abai menyediakan ruang publik dan meruyaknya sistem sosial yang mengkhawatirkan. Pada bait ketiga Aan seperti frustrasi, ia mendesis:  Para tetangga lebih butuh pagar/ tinggi daripada pendidikan.  Sekolah/ adalah cara terbaik untuk/ istirahat berkelahi di rumah. Anak- anak  membeli banyak penghapus/ dan sedikit buku. Terlalu banyak hal/ yang mereka katakan dan gampang/ jatuh cinta. Mereka menganggap/ jatuh cinta sebagai kata kerja dan/ ingin mengucapkannya sesering/ mungkin. Mereka tidak tahu jatuh/ cinta dan mencintai adalah dua/penderitaan yang berbeda. Negara terus lelap ketika “...tanpa mereka tahu,/ sepasang kekasih diam-diam/ ingin mengubah kota ini jadi/ abu. Aku mencintaimu dan kau/ mencintaiku—meskipun tidak/ setiap waktu. Kita menghabiskan/ tabungan pernikahan untuk beli/ bensin.//Kita akan berciuman sambil /melihat api bekerja.

Negara yang tercitrakan dalam sajak-sajak Aan seperti menegaskan teori negara menurut Benedict Anderson bahwa ia tak lebih komunitas yang dibayangkan. Secara riil ia tak hadir. Kondisi ini yang mendapat kritik keras Aan. Simaklah sajak Menyimak Musik di Kafe: Tidak ada yang istimewa dari kafe itu. Minumannya/ biasa-biasa saja. Lampu-lampunya terlalu terang./ Dan para pengunjung ribut membicarakan negara yang sedang tidur. Konsekuensinya terlukis dalam sajak  Sajak Catatan Seorang Pedagang di Pasar Terong Makassar ini: Dulu aku tak percaya orang lain/ berani mengusirku dari rumah/ sendiri. Tapi kota ini memaksaku/ paham selalu ada orang mengaku/ lebih berhak atas milikku.. Aan kerap menghadirkan diksi anak kecil sebagai simbol kejernihan, kejujuran yang semakin terpinggirkan dalam sistem kapitalsitik yang serba eksploitatif. Anak kecil dan permainan masa lalu kemudian dihadapkan pada realitas dan rasionalitas modern.

Tengoklah sajak Bermain Petak Umpet: Kututup mata di depan, atau barangkali di belakang, pohon/ mangga dan menghitung satu dua tiga empat lambat hingga/ sepuluh. Kubiarkan kau berlari, menemukan jarak dan/ tempat sembunyi. Kutahu, di suatu tempat, kau cemas menunggu.// Rasanya baru dua tiga bulan, bukan sepuluh, anak-anak/belum sempat menggalkan diri dari kita. Tapi, di antara/ pohon mangga tempatku terpejam menghitung dan sunyi/ tempatmu bersembunyi, telah dibentangkan jalanan. Di/ dadanya, orang-orang asing dan mesin-mesin lalu-lalang/ lebih cepat dari waktu, saling kejar mencari dan mencari/ dan mencari dan mencair jadi apa dan kenapa dan kapan./ Kau, meski tak lagi bersembunyi, tidak juga kutemukan.

Sajak-sajak Aan melintasi perselisihan sastra dan perannya pada masa lalu dengan teori sastra-teori sastra modern. Dan ia melakukannya dengan cara yang menarik; deretan kata-katanya, seperti dikatakan Sapardi dalam pengantar buku ini, seperti dongeng yang membuat kita terus bertahan untuk mendengarnya hingga bait terakhir. Sajak-sajak Aan dengan begitu berhasil menunjukkan nilainya sebagai sastra yang berharga; ia berhasil meniupkan makna dan kesadaran sosial—dan barangkali spiritual— secara perlahan-lahan serupa seorang filsuf, dan pada saat bersamaan mampu memilih dan memilah kata-kata, menderetkannya, dan memilin-milinnya sedemikian rupa hingga sanggup memesona kita. Ilustrasi ciamik goresan Muhammad Taufiq (emte) yang menghiasi setiap halaman buku serupa bonus yang melengkapi kenikmatan membaca sajak-sajak Aan. n

Aris Kurniawan, Sastrawan


Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 12 November 2015









3 comments: