November 5, 2015

Dari Annie MG Schmidt ke Gustaaf Peek

Oleh Dyah Merta


Di Oleanderstraat, ada sebuah toko buku mungil. Pemiliknya seorang perempuan yang ramah. Awalnya aku ke situ untuk mencari buku Jip en Janneke. Aku pernah membaca buku itu beberapa tahun silam di perpustakaan Karta Pustaka –sebelum akhirnya lembaga itu gulung tikar lalu menebar koleksi perpustakaannya yang sangat berharga ke orang-orang: ini menjadi peristiwa paling menyedihkan dari akhir sebuah lembaga kebudayaan. Kudengar, kurangnya pendanaan membuat lembaga yang menjembatani budaya antara Indonesia-Belanda di Yogyakarta itu akhirnya tutup. Sungguh tidak istimewa.

Aku terpesona pada Jip en Janneke atas kesederhanaan, keluguan dan kelucuannya. Buku itu ditulis oleh Annie MG Schmidt dan terbit pertama kali pada tahun 1971. Schmidt lahir di Zeeuwse Kapelle pada 20 Mei 1911. Ia memperoleh Hans Christian Andersenprijs pada tahun 1988 atas karya-karyanya. Pada 21 Mei 1995, Schmidt tutup usia di Amsterdam. Sosok perempuan yang menghidupkan visual Jip en Janneke hingga ke cerita-cerita Schmidt berikutnya adalah Fiep Westendorp. Satu sama lain membangun jalinan antara kata-gambar tak terpisahkan.

Selama di Amsterdam, aku tinggal di Oleanderstraat Bed&Breakfast Welcome2Amsterdam nomor 33. Lokasinya persis di Amsterdam Utara, sebuah pulau kecil dan terpisah oleh sungai IJ dan dihubungkan dengan feri yang dioperasikan GVB secara gratis setiap tujuh menit sekali dari dan ke Central Station. Dari port, aku hanya perlu jalan kaki sekitar sepuluh menit. Toko buku itu hanya satu belokan persis dari tempatku tinggal.

Di toko buku itu, aku tak menemukan Jip en Janneke. Pemilik toko kemudian menawariku sebuah buku Pluk van de Petteflet karya Annie M.G. Schmidt yang lain. Ia menjamin bahwa ceritanya tak kalah bagus dari Jip en Janneke. Baiklah, karena aku tak punya banyak waktu untuk menelusuri toko buku lain, aku ambil buku itu! Harganya sekitar 20 Euro. Kami kemudian membicarakan karya-karya sejarah dan novel yang sedang menjadi trend di Belanda, sembari menunggu petugasnya menyampul bukuku dengan bungkus kado yang cantik, “Anggap saja itu kado untuk diriku sendiri,” kataku ketika petugas itu bertanya apakah aku ingin menghadiahkan buku itu untuk seseorang. “Oya, soal Gustaaf Peek?” celetukku tiba-tiba di antara deretan novel-novel baru dari penulis Belanda.

“Ouu, karyanya agak jorok!”

“Begitukah?” jawabku. Entah kenapa aku tertawa.

Malam hari nanti, aku akan bertemu dengan Gustaaf. Ia penulis Belanda berdarah Asia. Ibunya orang Solo. “Dover” adalah salah satu karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang bercerita tentang lima puluh delapan imigran ilegal yang ditemukan tewas di peti kemas karena kehabisan oksigen.

Gustaaf ganteng dan tinggi! Itu reaksi saat pertama kali melihatnya. Ya aku tak lebih dari makhluk mini –sejenis minions- di antara mereka. Ada yang bilang bahwa orang Belanda adalah orang tertinggi nomor dua di dunia. Rasis banget. En toch, meski mini, aku baik-baik saja –terkecuali saat ingin berkaca di toilet, sepertinya aku butuh ganjalan untuk kakiku sebab yang bisa kulihat hanya rambutku!

Seorang pembisikku, orang Belanda juga –tapi maaf aku lupa namanya, mengatakan bahwa Gustaaf Peek baru saja mendapat anugerah Skenario Terbaik untuk Gouden Kalf lewat film “Gluckauf” pada malam sebelumnya. Dan aku mengucapkan selamat sebagai salam perkenalan.

Kami ada program bersama di Read My World Festival yang akan dipandu oleh Matthjis Ponte. Kami membicarakan dua pahlawan ‘kami’, Multatuli dan Kartini. Untuk apa pula hari-hari ini kita bicara soal pahlawan? Dalam “The Denial of Death”, Ernest Becker menyinggung bahwa rasa takut pada kematianlah yang memunculkan konsep pahlawan. Itu seperti menawarkan gagasan jika “manusia bisa hidup lebih panjang” yang sejatinya hanya merepresentasikan ego kita dalam wilayah evolutionary blunder alias keblunderan proses evolusi manusia. Teror kematian bahwa manusia akan menghadapi kepunahan –seperti riwayat dinosaurus- menunjukkan konsep pahlawan dibutuhkan sebagai bagian dari sistem ketika krisis menimpa kehidupan manusia modern. Ya, alih-alih karena konsep kenabian sudah tidak lagi relevan.

Pandangan Bekker berkesan romantik. Hari ini kita masih memaknai pahlawan-pahlawan kita juga dengan cara yang romantik. Bukankah sebentar lagi tanggal 10 November dan kita memperingatinya sebagai Hari Pahlawan? Pahlawan, selain bagian dari pengokoh mitos kebangsaan (ibarat tiang-tiang penyangga komunitas terbayang), apalagi fungsinya? Gagasan yang sungguh elok. Ironisnya, sesuatu yang seelok itu luput selalu dari tafsir dan kajian kita. Selebrasi semacam daya pikat. “Jadi, masih perlukah pahlawan seperti Multatuli?”

Gerah oleh suara-suara Max Havelaar yang disebut Pramoedya sebagai buku yang ‘membunuh’ kolonialisme, sebuah proyek digulirkan Belanda dengan Politik Etis sebagai cara cuci tangan dari seluruh keburukan eksploitasi ekonomi Cultuurstelsel yang diberlakukan atas Hindia Belanda sepanjang kurun 1830-1870 dan telah meraup keuntungan lebih dari 800 juta gulden. Duit seabrek itu bisa membayar defisit negara Belanda pada tahun-tahun sebelumnya.

Maka setiap kali melihat gedung-gedung seperti Royal Palace di Dam Square, pembangunan lebih dari 12.000 kanal di Amsterdam, aku sering bertanya, “Dari mana mereka punya uang untuk membangun itu semua?” Hal yang sama yang aku tanyakan tatkala melihat Grote Markt van Brussel. Aku tak sengaja mendengar kelakar seorang imigran Maroko di Brussel bahwa semua itu dibangun oleh para hacker, “Hari ini semua mungkin. Mereka bisa mencuri dan membongkar apa saja hanya dengan duduk di depan laptop!”

“Apa ada konsep bangsa di dunia maya?” tanyaku. Ia tak balik jawab, malah melempar kata-kata, “Di sini lotre juga legal!”

“Ya, mungkin itu sedikit saja dari semua itu.”

Tapi aku kembali ingat sejarah gedung-gedung itu yang sudah berusia sangat tua yang bahkan benih hackers belum menyembul. Sebagaimana masih terngiang suara-suara dari Black Heritage Tours yang dipandu Nancy Jouwe dan Jennifer Tosch soal sejarah perdagangan budak-budak di Amsterdam bahwa di beberapa gedung-gedung di Amsterdam, ada jejak-jejak perdagangan manusia dari Afrika dan Asia yang menimbun pundi-pundi keuntungan bagi para pemiliknya. Mereka yang datang berstatus budak itu kemudian sebagian berakhir dan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan di Suriname dan Antilles. Sebuah penelitian terbaru mengenai budak-budak dari Hindia Belanda dapat kita baca melalui Kleurrijke Tragiek: De geschiedenis van slavernij in Azie onder de VOC karya Matthias van Rossum yang menarasikan dua abad perbudakan dari nusantara.

Kembali ke Gustaaf, ia diam-diam menulis surat untuk Kartini:

Dear Raden Ajeng Kartini,

You’re so thoroughly human, so full of contradictions, and that’s why you are my hero as well. You were revolutionary, but at the same time a prisoner. You were both rebellious and obedient. You were dreamer, who never lost sight of actual concerns.

Wherever you are, dear Kartini, I wish you books and schools and gamelan and writing paper, I wish you wildly fascinating strangers and intimate friends, I wish you Time and Love.

Yours,
Gustaaf


Hari itu, ya, aku sedikit kecewa tanpa Jip en Janneke. Tapi setidaknya, aku masih menyimpan beberapa cerita tentang dua bocah itu yang sempat aku terjemahkan beberapa tahun silam. Kisah itu sudah sering aku dongengkan untuk anak-anak di sekitarku. Reaksi mereka, “Lagi Ma, baca lagi!” Hmm ... begitulah anak-anak. Dunia di mana aku selalu ingin menjadi bagian dari mereka, suatu hari, sesederhana Annie M.G. Schmidt! n

Dyah Merta, Sastrawan, mahasiswi pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.



Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 5 November 2015

No comments:

Post a Comment