August 10, 2020

Ajip Rosidi dan Kongres Daerah Nusantara

Oleh Rachmat T Hidayat


KETIKA Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) akan menyelenggarakan Kongres Basa Sunda, 19-22 Januari 1988, di Cipayung, Bogor, Ajip Rosidi, yang ketika itu menjadi gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku, Jepang, menyampaikan gagasannya, bahwa selain Kongres Basa Sunda--yang pertama kali diselenggarakan di Bandung, tahun 1924, perlu diselenggarakan pula "Kongres Bahasa-bahasa Daerah" yang diikuti oleh para penutur bahasa daerah seluruh Indonesia. Gagasannya itu kemudian dimuat dalam surat kabar Pikiran Rakyat dengan judul, "Perlu diadakan, Kongres Bahasa-bahasa Daerah (1988). Mengingat pentingnya gagasan tersebut berikut ini dikutipkan in ex-tenso berikut ini.

     

"Di dalam pertemuan-pertemuan khusus bahasa atau sastera daerah tertentu, sering orang merasa heurin ku letah (susah bicara karena takut menimbulkan salah paham) dalam membahas kedudukan bahasa daerahnya, atau kecemasannya melihat masa depan bahasa daerahnya. Dia seakan-akan mengira bahwa nasib demikian itu hanya dialami oleh bahasa daerah atau sastera daerahnya saja, sehingga kalau dia mengemukakan soal itu di forum nasional dia takut akan mengganggu kepentingan nasional. Padahal apa yang dicemaskannya itu juga dirasakan oleh suku bangsa Indonesia lain di daerah lain yang menghadapi persoalan yang sama. Dengan demikian kecemasannya itu sebenarnya bukan saja tidak akan mengganggu kepentingan nasional, melainkan merupakan bagian yang sah dari kepentingan nasional dalam soal bahasa dan kebudayaan.



Karena itu saya berpendapat, sudah waktunya kini diselenggarakan kongres bahasa daerah, yang didalamnya dibahas persoalan-persoalan pokok yang dihadapi oleh bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, baik bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Banjar, Minahasa, Gorontalo, Aceh, dan lain-lain. Tentu saja karena bahasa daerah di Indonesia jumlahnya lebih dari 400 buah, tak mungkinlah kita membahas semuanya dalam kongres itu. Untuk pertama barangkali cukup kalau di dalam kongres itu dibahas soal-soal yang bertalian dengan bahasa Jawa, Sunda, Bali, Batak, Bugis, Minang dan Aceh dahulu. Atau bahasa-bahasa daerah yang jumlah pemakainya di atas satu juta orang.


Dalam kongres tersebut, mungkin untuk pertama kalinya para ahli bahasa daerah bertemu dan saling mengemukakan persoalan-persoalan pokok yang dihadapinya. Kesempatan demikian niscaya akan menimbulkan saling mengerti yang lebih mendalam di antara para ahli dan pemakai bahasa daerah yang selama ini masing-masing merasa bahwa dia hanya menghadapi persoalan daerahnya saja, bukan menghadapi masalah yang sebenarnya bersifat nasional." (Ajip Rosidi,

Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan, Pustaka Jaya, 2016,

h. 273-274)

     

Tetapi gagasan Ajip Rosidi untuk menyelenggarakan Kongres  Bahasa-bahasa Daerah tersebut seperti gayung tidak bersambut, kata tidak berjawab. Tidak pernah ada lembaga, organisasi, atau instansi yang tertarik untuk melaksanakannya. Padahal persoalan-persoalan mengenai eksistensi bahasa daerah kian lama kian mengkhawatirkan. Penelitian-penelitian para ahli menunjukkan bahwa beberapa bahasa daerah di Indonesia sudah punah, sebagian lagi dinyatakan nyaris punah, dan sebagian besar lagi berada berada dalam antrean di ambang kepunahan. Menurut peneliti Abdul Rachman Panji, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, dari 726 bahasa daerah di Indonesia, hanya 10 persen yang akan bisa bertahan. Penyebabnya, bahasa-bahasa daerah itu semakin jarang dipergunakan khususnya bahasa-bahasa yang digunakan oleh para penutur yang tinggal di Indonesia bagian timur. 

     

Menyadari kenyataan demikian, pada bulan Agustus 2014, Yayasan Kebudayaan Rancage, membuat keputusan yang dituangkan dalam bentuk program

kerja, untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa-bahasa Daerah (Lihat buku Penganugrahan Hadiah Sastera "Rancage" 2014, h. 18-19). Tujuan dari penyelenggaraan Kongres ini antara lain untuk: (a) meru-

muskan, menggali, memelihara, dan mengembangkan bahasa daerah (bahasa ibu) sebagai sumber jatidiri dan karakter bangsa, agar sejajar dan setara dengan bahasa nasional, sehingga bahasa daerah berperan sebagai pemerkaya bahasa dan budaya bangsa Indonesia; (b) memberikan pencerahan dan pemikiran tentang bagaimana bahasa daerah bertahan, berdampingan, dan berkembang bersama bahasa-bahasa lain dalam dunia global dan majemuk sehingga menjadi bagian tak terpi-

sahkan dari masa depan generasi muda dalam memperkaya kehidupan bangsa Indonesia.

     

Gagasan untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa-bahasa Daerah tersebut mula-mula disampaikan oleh Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage kepada Pak Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat, ketika sedang mempersiapkan peluncuran Kamus Utama Basa Sunda sekaligus memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional di Bale Rumawat Universitas Padjadjaran, 21 Februari 2015. Pak Wagub begitu antusias menyambut gagasan tersebut hingga beliau mengusulkan agar pelaksanaan Kongres Bahasa-bahasa Daerah dilaksanakan di Jawa Barat dan akan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

     

Melalui serangkaian pertemuan dengan Wakil Gubernur Jawa Barat dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage mengusulkan agar dibentuk kepanitian Kongres Bahasa Daerah Nusantara yang tidak hanya terdiri dari Yayasan Kebudayaan Rancage dan Disparbud Jawa Barat saja, tetapi juga mengajak lembaga lain seperti Paguyuban Pasundan, perguruan tinggi, dan terutama lembaga yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam bidang kebahasaan, yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Yayasan Kebudayaan Rancage kemudian melakukan audiensi dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan diterima oleh Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum., Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dalam pertemuan itu, Kepala Badan Bahasa menyambut baik gagasan pelaksanaan Kongres Bahasa Daerah Nusantara, dan bersedia membantu dalam teknis pelaksanaannya, termasuk membentuk kepanitiaan bersama antara Yayasan Kebudayaan Rancage, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Balai Bahasa Jawa Barat.

     

Dalam rapat yang dilaksanakan di kantor Disparbud Jawa Barat, dibentuklah untuk pertana kalinya Panitia Kongres Bahasa Daerah Nusantara, yang selengkapnya diputuskan sebagai berikut.


SUSUNAN PANITIA KONGRES BAHASA DAERAH NUSANTARA (KBDN)

PENANGGUNG JAWAB

Gubernur Provinsi Jawa Barat

PEMBINA 

1. Prof. Dr. Dadang Sunendar (Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI)

2. Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si. (Ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan)

3. Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr. (Rektor Unpad)

4. Prof. Furqon, Ph.D. (Rektor UPI)

5. Erry Riyana Flardjapamekas (Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage)

6. Ida Hernida, S.H., MSi. (Kadisparbud Jawa Barat).

 

PENGARAH  (SC)

1. Prof. Dr. Ganjar Kurnia, DEA

2. Dr. (Hc) Ajip Rosidi

3. Prof. Dr. Hasan Alwi

4. Prof. Dr. Mahsun

5. Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, M.A.

6. Saut Poltak Tambunan

7. Dr. Ganjar Harimansyah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)

8. Wahyu Iskandar, Drs., M.Pd. (Kabid. Kebudayaan Disparbud)

PELAKSANA (OC)

Ketua                    : Rachmat Taufiq Hidayat

Wakil Ketua           : Etti RS., M.Hum.

Sekretaris              : Dr.Safrina Noorman, M.A.

Wakil Sekretaris   : Dra Hj. Titin Sumiati, M.M

Bendahara            : Apipudin, S.Sos. (Rancage) 

Wakil Bendahara : Suhendar (Disparbud)

                  Akik Takyudin, S.Pd. (BPPB)

Bidang IT dan Design : Dadan Sutisna

Kesekretariatan :

 1. Angga Ficky

 2. Yulianto Agung Prastowo 

 3. lham Nurwansah, MPd.

 4. M. Insan Kamil

 5. Intan Sri Nursalimah

 6. Roni Permadiyanto

 7. Amin R. Iskandar 

 8. Elis Risa Juraida Harahap, S.S.

 9. Yatun Romdonah, S.Pd. 

 10. Lince Siagian, S.E. 

Koordinator Acara:  

1. Miftahul Malik, S.S, M.Hum.

2. Mas Tavivurochman, S.SOs.

Kordinator Persidangan:

 1. Dr. Dingding Chaerudin, M.Pd.

 2. Dr. Teddy AN. Muhtadin, M.Hum. 

 3. Dr. Teddy Permadi 

 4. Dr. Jamaludin Wiartakusumah

 5. Zahrorotul Mahmudah, S.S, M.Hum.

 6. Resti Nurfaidah, M.Hum.

 7. Dr. Nanang Koswara, M.M.

 8. Drs. Kusnadi Adimiharja, M.M.

 9. Dra. Tini Rustini

Koordinator Transportasi & Akomodasi:

 1. Edi Hadiya R. 

 2. Nunung Nurnaningsih, S.Sos., M.Hum.

 3. Muh. Ridwan

 4. Dodi Eka Pratama 

Koordinator Artistik:

1. Budi Riyanto 

2. Firman Permana 

Koordinator Pameran:

 1. Deni Lawang

 2. Asep Miftahudin (Balai Bahasa)

Koordinator Humas Publikasi & Dokumentasi)

 1. Cecep Burdansyah, S.H, M.H.

 2. Ellin R.N.

 3. Kiki Kurnia

 4. Drs. Subagio Budi Prajitno 

 5. Agung Kusnadi, S.Pd.

 6.  Drs. H. Elin Syamsuri 

Koordinator Konsumsi:

 1. Yuyu Sri Rahayu, M.M.

 2.  Jujun Herlina

Koordinator Keamanan

 1.  Mulyana Hidayat 

 2. Tim Jagabaya Damas

Koordinator Kesehatan: 

 1. dr. Arif & Tim.

     

Demikianlah, setelah Panitia Pelaksana Kongres Bahasa Daerah Nusantara terbentuk, ditetapkan tanggal pelaksanaan Kongres Bahasa Daerah Nusantara (KBDN) yaitu 2--4 Agustus 2016, sedangkan tempat pelaksanaan acara di Gedung Merdeka Bandung, sekretariat Panitia di Gedung Perpustakaan Ajip Rosidi, Jl. Garut No. 2, Bandung. Sedangkan tempat menginap para peserta di Hotel Savoy Homann. 

     

Panitia juga mengundang para narasumber untuk menjadi pembicara dalam Kongres ini, yang semuanya berjumlah 23 orang, yaitu (secara alfabetis):  Abdullah Mustappa (Bahasa Daerah: Kekayaan Nadional yang Hampir Terlupakan), Ajip Rosidi (Tinjauan Kritis atas Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan), Alice Eastwood (Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar Pendidikan Usia Dini di Papua: Usaha Meningkatkan Mutu Pendidikan di Daerah Terisolir), Antonia Soriente (Peran Dokumentasi Bahasa dalam Upaya Pelestarian Bahasa Daerah: Pengalaman di Kalimantan dengan Bahasa Kenyah dan Punan), C.W. Watson (Kebijakan Melestarikan Bahasa Wales sebagai Model untuk Melestarikan Bahasa Sunda), Dadan Sutisna (Metodologi Penyusunan Kamus Bahasa Daerah Berbasis Teknologi Informasi), Dhanu Priyo Prabowo (Mendokumentasikan Kekayaan Bahasa Daerah Melalui Kamus: Kasus Bahasa Jawa), I Nyoman Darma Putra (Nyanyi Sunyi: Tantangan dan Prospek Penerbitan Buku Sastra Bali Modern), Eriyanti Nurmala Dewi (Merawat Bahasa Menjaga Budaya: Implementasi Kebijakan Bahasa Daerah  di Provinsi Jawa Barat), Gufron A. Ibrahim (Merawat Ibu yang Sedang Sakit: Catatan Permukaan tentang Ketergerusan Bahasa-bahasa di Maluku), Hasan Alwi (Peran Bahasa Daerah dalam Leksikografi Bahasa Indonesia), Hasanudin W.S. (Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya Takbenda: Tunjuk Ajar dan Nasihat-nasihat Mulia Ungkapan Tradisional Minangkabau), Iskandarwassid (Dilema Kurikulum Pendidikan Bahasa Daerah dalam Bingkai Kurikulum Nadional), Mahsun (Bahasa Daerah Nusantara dalam Perspektif Politik Kebahasaan: Menimang Bahasa Membangun Bangsa), Multamia R.M.T. Lauder (Inisiatif DPD RI Menyusun RUU Bahasa Daerah), Muhammad Rapi (Pemertahanan Bahasa Bugis; Tantangan dan Peluang), Saut Poltak Tambunan (Quo Vadis Bahasa Batak dan Sastra Batak Modern), Sutrisna Wibawa (Urgensi Undang-undang Perlindungan Bahasa Daerah sebagai Payung Hukum dalam Melestarikan Bahasa Daerah di Indonesia), Suwardi Endraswara (Mungkinkah Bahasa Jawa Dijadikan Bahasa Pengantar dalam Pelbagai Mata Pelajaran di PAUD dan Sekolah Dasar?), Udo Z. Karzi (Penerbitan Buku Bahasa Lampung: Bukan Sekadar Menunda Kekalahan), Yapi Tambayong/Remy Sylado (Bahasa Asi Ibu [BAI] dan Bahasa Daerah Asal [BDA] adalah Kekuatan bagi BKI), Yayat Sudaryat (Prospek Bahasa Sunda sebagai Bahasa Pengantar di Sekolah), dan Yus Rusyana (Menghadirkan Bahasa-bahasa Daerah dalam Kehidupan Masa Kini).

     

Antusiasme calon peserta untuk mengikuti KBDN ini sungguh luar biasa, sampai hari pendaftaran tercatat sampai 700 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk juga peserta dari luar negeri. Tidak semua calon peserta Kongres dapat kami terima, karena keterbatasan tempat acara dan tempat menginap. Panitia hanya mampu menerima 350 peserta. Dengan panitia, semua yang terlibat dalam KBDN ini berjumlah 400 orang.

     

Sebagaimana kita ketahui, Kongres Bahasa Daerah Nusantara ini merupakan kongres bahasa daerah atau kongres bahasa ibu yang pertama kali diselenggarakan sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Jadi, 71 tahun sejak kita terlepas dari belenggu kolonialisme, kita baru mampu melaksanakan Kongres Bahasa Daerah Nusantara, atau 28 tahun sejak Ajip Rosidi mengumumkan tulisannya di Harian Pikiran Rakyat tentang perlu diadakannya Kongres Bahasa-bahasa Daerah, yaitu ketika jumlah penutur bahasa ibu semakin menyusut dan sejumlah bahasa daerah berada di ambang kepunahan. []


Sumber: Facebook Rachmat T Hidayat, Senin, 10/8/2020

No comments:

Post a Comment