HAWA terasa amat panas, terik sekali. Setiap kali mobil atau sepeda motor melintas hempasan anginnya menerbangkan debu tanah. Tebal sekali. Akibatnya, daun-daun tanaman di sepanjang jalan itu berwarna cokelat, bukan karena mengering tetapi karena tertutup debu tanah.
Semak dan ilalang kering yang tumbuh di sepanjang tepi jalan membuat siang yang panas semakin terik dan kering. Fatamorgana yang berupa bayangan air di permukaan jalan, menjadi pemandangan di sepanjang jalan yang mengitari tepi Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Beberapa waktu lalu, hampir 250 hektar lahan kering bekas pemukiman di kawasan itu terbakar. Di tempat lain, di kaki Gunung Betung, ratusan hektar hutan mulai tandus. Pohon-pohon tak lagi berdaun, tanah mulai pecah-pecah rumput-rumput hutan pun mulai layu dan mati.
Lampung yang kawasannya didominasi perbukitan mulai kehilangan pohon-pohon besar. Bukit-bukit lain di seputar Bandar Lampung juga tak luput dari penjarahan dan penggerusan. Bahkan, pada awal Juni lalu, sebuah bukit yang letaknya di pinggiran Kota Bandar Lampung, Bukit Kunyit, longsor.
Ribuan ton batu runtuh dan menimbun perkampungan penambang batu yang berada di bawahnya. Tercatat, tak satu pun korban jiwa jatuh dalam bencana itu.
Meskipun demikian, ratusan juta rupiah lenyap, karena rumah berikut harta benda yang ada di dalamnya hancur tak bersisa dilumat bongkahan karang.
Perlahan-lahan kondisi perbukitan dan hutan di kawasan Lampung hancur. Perambahan hutan, penggerusan, serta perluasan permukiman dan perladangan terus-menerus menggerogoti hutan Lampung. Mirip sel kanker yang melumat paru-paru, meski pelan namun berakibat fatal.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Edy Suryadi mengungkapkan, lebih dari 70 persen hutan di kawasan Lampung rusak. Bahkan, ada kawasan hutan yang saat ini sudah tidak lagi memiliki tegakan atau tak lagi berpohon, alias hancur. Akibatnya, banyak fungsi hutan hilang.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik, Lampung memiliki hutan sebanyak 1.237.208 hektar. Kawasan itu terbagi menjadi 336.100 hektar hutan lindung, 294.050 hektar hutan suaka alam dan hutan wisata, 44.120 hektar hutan produksi terbatas, 281.029 hekar hutan produksi tetap, 153.459 hektar hutan produksi yang dapat dikonservasi, dan 128.450 hektar hutan fungsi khusus yang diperuntukkan sebagai pusat pelatihan gajah di Way Kambas.
Sayangnya, sebagian besar kawasan itu hilang dalam proses transmigrasi era pembangunan lima tahun (Pelita) di masa Orde Baru lalu. Ledakan pendatang serta kurangnya pemahaman mereka terhadap status tanah, serta didorong keinginan memiliki tanah garapan, mereka kemudian masuk ke kawasan hutan. Mereka menganggap hutan merupakan tanah yang tidak bertuan. Nyaris sebanyak 145.000 hektar hutan rusak karena dirambah.
Akibatnya, kerusakan fisik hutan menimbulkan dampak sosial yang sulit dipecahkan. Para perambah itu kemudian ditata lagi, sebab kehadiran mereka tentu membahayakan fungsi hutan sebagai paru-paru alam, daerah tangkapan air, serta menjadi cadangan air ketika musim kering melanda.
SEKARANG ini, sungguh terasa betapa beratnya kehilangan hutan. Ratusan hektar bahkan ribuan hektar sawah kering tak berair. Musim kemarau yang panjang membuat semua sumber air seolah mati. Mengenaskan, padi yang baru berumur sebulan mati kering. Jagung yang baru berumur setengah bulan pun turut kering, dan terpaksa dijual kepada pemilik sapi untuk pakan ternak.
Hancurnya hutan menyebabkan kehidupan petani makin sulit. Hal itu disebabkan irigasi teknis yang mengandalkan sumber air dari kawasan hutan dan perbukitan turut mengering. Penyebabnya, mata air di hutan mati seiring hancurnya pepohonan yang tumbuh di atasnya. Tak ada lagi peneduh dan pelindung mata air itu.
"Lihat saja, Mas, di atas sana pohon-pohonnya sudah tidak ada lagi. Kalau ada, juga sudah mulai mati. Mana bisa ada air di situ," papar Suyanto, petani asal Desa Bulukwangi, Gadingrejo, Tanggamus. Bukit-bukit yang ada di seberang desanya sudah kering.
Seorang dosen dan ahli ilmu lingkungan dari Universitas Lampung, KES Manik, membenarkan, sebanyak 65 persen kawasan hutan yang merupakan daerah tangkapan air rusak berat. Akibatnya, ketika musim kemarau, sumber air di kawasan itu mengering.
Padahal, hutan di Lampung merupakan sumber utama cadangan air bagi tiga daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Way Sekampung, DAS Way Seputih, dan DAS Way Tulang Bawang. Ketiga DAS tersebut berhulu di kawasan Pegunungan Bukit Barisan Selatan yang berada di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat.
Way Sekampung memiliki panjang 256 kilometer, dengan kawasan tangkapan air seluas 5.675 kilometer persegi. Way Seputih yang panjangnya mencapai 249 kilometer memiliki daerah tangkapan air seluas 7.550 kilometer persegi, dan Way Tulang Bawang yang panjangnya 136 kilometer memiliki daerah tangkapan air seluas 10.150 kilometer persegi.
Manik mengemukakan, kondisi hutan yang berada di kawasan tangkapan air Way Sekampung amat berpengaruh pada umur teknis Waduk Batutegi yang berada di hulu Way Sekampung. Waduk itu, selain digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan pariwisata, ternyata juga diproyeksikan untuk irigasi bagi pengembangan sawah seluas 60.000 hektar di Kabupaten Lampung Tengah.
Way Seputih juga memiliki fungsi serupa, yaitu untuk mengairi sawah sekitar 20.000 hektar yang tersebar di daerah Bandarjaya dan sekitarnya. Way Tulang Bawang juga memiliki fungsi yang sama, bahkan sebaran anak sungai Way Tulang Bawang menjadi sumber irigasi bagi wilayah Lampung Barat, Lampung Utara, dan Way Kanan.
Kajian yang dilakukan Manik menunjukkan, kerusakan wilayah tangkapan air di tiga DAS tersebut ditunjukkan oleh besar fluktuasi debit air sungai antara musim kemarau dan musim hujan. Menurut Manik, debit air Way Sekampung pada musim kemarau hanya mencapai enam meter kubik per detik, sedangkan pada musim hujan mencapai 237 meter kubik per detik.
Manik mencatat, selain kerusakan hutan, petani masih belum melakukan tindakan konservasi tanah dalam pengelolaan usaha taninya. (jos)
Sumber: Kompas, Senin, 08 September 2003
No comments:
Post a Comment