-- Firdaus Augustian**
Dimulai dari acara bedah buku Rizani Puspawijaya (19 Oktober 2006) Hukum adat dalam Tebaran Pemikiran, 19 Oktober 2006. Relatif tak ada yang baru, begitu kata Udo Z Karzi dalam "Pemikir(an) Kebudayaan Lampung?" (Lampung Post, 2 Desember 2006). Diskusinya tidak menggigit, normatif, dan formal. Mungkin karena ketokohan senior Rizani Puspawijaya. Karena itu saya mencoba mengelaborasicatatan saya dalam bedah buku tersebut melalui tulisan di Lampung Post (11 November 2006): "Puzzle bernama Piil Pesenggiri”.
Terima kasih buat catatan diskusi yang disampaikan Fachruddin, Muhammad Aqil Irham, Udo Z Karzi, dan Budi Hutasuhut. Semua memperkaya dan menambah pencerahan pemikiran kita bersama. Dan, tentunya kita amat percaya di antara reaksi yang konkrit dan signifikan atas tulisan saya, pasti ada reaksi bisik-bisik dan rencana gugatan pemikiran yang muncul dalam diskusi imaginer masing-masing kita. Semua ini adalah refleksi kebanggaan dan rasa
memiliki dan tanggung jawab kita buat masyarakat dan daerah “Sai Bumi Ruwai Jurai”.
Rasanya terlalu berlebihan bila wacana (discource) Piil Pesenggiri kita anggap sebagai puzzle atau scrable. Tapi, nyatanya tak terhindar, begitu asyik permainan kata-kata berputar bicara tentang Piil Pesenggiri.
Catatan Fachruddin (Lampung Post, 18 Nopember 2006) “Piil Pesenggiri bukan Puzzle”, pada dasarnya memperkuat substansi tulisan saya (Lampung Post, 11 Nopember 2006) “Puzzle bernama Piil Pesenggiri”.
Terima kasih pada Fachruddin, hanya perlu diingatkan bersama, bahwa kalaulah Piil Pesenggiri sudah menjadi milik Perguruan Tinggi, diuji dengan pendekatan akademis oleh para guru besar, apakah sudah menjadi sesuatu yang istimewa, prestisius. Rasanya sih biasa-biasa saja, bahwa setiap fenomena, gejala alam, gejala sosial, apa pun harus (bukan dapat) menjadi kajian akademis di Perguruan Tinggi. Sebab, salah satu tugas perguruan tinggi sebagai
bagian dari Tridharma Perguruan Tingginya, adalah penelitian.
Jangankan Piil Pesenggiri sebagai sebuah tatanan moral dari kebudayaan Lampung, 'rumput teki' (Latin: Cyperus rotumdus, Cina : Xiang Fu) telah lama menjadi kajian akademis yang melahirkan banyak doktor dalam ilmu pertanian. Begitu juga “puzzle” sebagai satu bentuk exercise, permainan untuk “killing time” juga merupakan obyek kajian akademis di Fakultas Psychologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, yang juga menghasilkan banyak Doktor. Mungkin kita melupakan Prof. Dr. Tubagus Ronny Nitibaskoro, SH, MH (Guru Besar UI) melakukan penelitian Santet untuk disertasi doktornya di Banten sana (1980). Dengan demikian, tidak ada yang menjadi istimewa apabila Piil Pesenggiri menjadi kajian akademis. Biasa-biasa saja.
Saya mulai tulisan “puzzle” ini dengan ungkapan (AL Kroeber & Clyde Klukhon, 1952). Kebudayaan merupakan way of life, petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, sebuah ekspresi nilai-nilai dan cita-cita. Sebuah kebudayaan mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial. Kebudayaan berada di belakang sikap dan tingkah laku lahiriyah masyarakat yang secara eksklusif share a different tradition.
Sejarah penelitian kebudayaan kita pahami merupakan sejarah panjang berawal dari catatan-catatan deskriptif, kebanyakan naskah-naskah perjalanan (itineraria). Perkembangan selengkapnya lebih bersifat analitis, lahir berbagai aliran seperti interpretasi geografis, interpretasi biologis, interpretasi pralogis, psikologisme kebudayaan, determinisme ekonomi, dan interpretasi sosiologis. Dengan demikian, wajarlah tahun 1952 oleh AL Kroeber & Clyde Klukhon ditemukan 166 definisi Kebudayaan selama kurun waktu 1871 – 1952. Sementara saya terkesan pada pemikiran Prof. Van Baal (Universitas Leiden, Belanda) tentang kebudayaan Cultuur bestaats in de mens, van daar ze uit”.
Heterogenitas pendekatan maupun diversitas definisi mengenai kebudayaan yang kebanyakan bersifat dogmatis dan deterministik mengungkapkan kompleksitas dari kebudayan itu sendiri. Dengan demikian penilaian subyektif kebudayaan yang bentuk aktualnya adalah peradaban ada dimana-mana. Termasuk apa yang dikemukakan oleh Muhammad Aqil Irham “Piil Pesenggiri” antara Langit dan Bumi (Lampung Post, 29 Nopember 2006), secara lantang menyatakan masyarakat Lampung sebagai kelompok etnis, dalam sejarahnya pernah menempati puncak peradaban yang tinggi dan dikenal oleh puncak-puncak peradapan dunia. Era itu dikatakan oleh Muhammad Aqil Irham sebagai zaman keemasan bagi komunitas etnis Lampung.
Saya hanya ingin menekankan eksistensi sebuah kebudayaan, berangkat dari proses akulturasi dan interdependensi. Pengalaman mengungkapkan bahwa manusia adalah pribadi yang berada dalam sebuah lingkungan, berada dalam komunitas yang lebih luas, berada didalam sejarah, bergerak mengatasi keterbatasan-keterbatasan. Kebudayaan berada dalam proses humanisasi, proses sosialisasi dan proses kebudayaan itu sendiri.
Fachruddin secara cerdas menjelaskan pada dasarnya Piil Pesenggiri sebagai tatanan moral masyarakat Lampung, sebagai semangat, sebagai sikap dasar dalam membangun kebudayaan lokal juga ada pada kebudayaan lokal lain. Sesungguhnya ini benang merah yang harus kita perhatikan, supaya kita terhindar dari sikap eksklusif dan megalomania.
Benarkah apa yang dikemukakan Muhammad Aqil Irham, etnis Lampung dalam sejarahnya pernah mencapai puncak peradaban yang tinggi? Tergantung parameter dan asumsi yang kita gunakan. Masyarakat asli Lampung baru mengenal budidaya kopi, lada, karet karena pengaruh tekanan Pemerintah Kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan Sultan Banten, Sultan Haji (1682) untuk memperkuat perekonomian Kolonial. Sementara Belanda melakukan perdagangan monopoli lada, kopi untuk pasar di Eropa.
Cornelis Speelman (1681-1684) adalah Gubernur Jenderal di Hindia Belanda yang menggagas penduduk Lampung menanam kopi dan lada secara besar-besaran. Masyarakat Lampung baru mengenal sistem sawah air (non ladang) karena pengaruh Kolonisasi Belanda pada tahun 1905. Rumah tradisonal masyarakat Lampung rumah panggung besar, banyak kamar, kokoh terbuat dari kayu pilihan. Rumah semacam ini sekitar tahun 1700 bukan hanya ada di Lampung tersebar di masyarakat Melayu mulai dari Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Timur, Jakarta (Betawi) sampai Kalimantan.
Sementara pada tahun 1745 Istana Bogor dengan konstruksi beton bertulang berarsitektur art deco, dan banyak bangunan lain yang sejenis dengan itu telah terbangun. Sampai dengan tahun 1945 Lampung hanya memiliki fasilitas pendidikan sebatas Sekolah Rakyat, 1 buah ELS (Europeesche Lagere School), 2 HIS (Holands Inlands School) dan sekitar 20-an sekolah “ongko loro” yang tersebar di seluruh Lampung, Voor Volk School dan Volk School. Sampai dengan Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak ada seorang Lampung pun yang lulus Hogere Burgelijk School (HBS), yang lulus Algemeene Middlebaar School (AMS) sekitar 7 orang. Satu-satunya sarjana adalah Drh. A Syamil. Orang Lampung yang pertama kali mendapat gelar Mesteer In de Rechten dari Universitas Indonesia tahun 1961 adalah Mr. Ahmad Rusli Darmawan (alm, terakhir karier beliau Hakim Agung). Mr. Rusma S. Alamsyah (Alm, terakhir pejabat senior Kejaksaan Agung), Mr. Alimuddin Umar (mantan ketua DPRD Propinsi Lampung, mantan Sekwilda Propinsi Lampung).
Menatap ke Depan dan Bukan Membangun Mitos
Saya terkesan pada pemikiran Udo Z Karzi yang menyatakan kebanyakan ulun Lappung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, Piil Pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serba kecil semacam Tugu Siger yang tidak mampu menjelaskan kebudayaan Lampung secara general, holistik dan strategis.
Saya berpikir, sebatas itulah yang dapat dibicarakan tentang kebudayaan Lampung, betapa pun hasrat kita ingin menjelaskan tentang adiluhungnya kebudayaan Lampung dan peradabannya. Selama ini kita tidak lebih berbicara tentang pernik-pernik kecil atau pengamatan terhadap mozaik pada sebuah konfigurasi.
Di hadapan kepentingan/tantangan global dan lokal, kebudayaan sekonyong-konyong mengartikulasikan dirinya tidak hanya sekadar terbaca sebagai peluang, tetapi juga merupakan beban. Kebudayaan yang selama ini dilihat dari sisi positif telah berubah menjadi beban. Terlebih lagi ketika pertanyaan dan pernyataan itu bersinggungan dengan bagaimana sesungguhnya identitas dan tradisi kebudayaan itu harus dikonstruksikan di tengah sejumlah paradoksal dan anomali kepentingan antara ruang global dan lokal.
* Artikel ini yang dikirim ke Lampung Post, tetapi belum dimuat.
** Firdaus Augustian, peminat masalah kebudayaan.
No comments:
Post a Comment