January 15, 2007

Mendengar Raja Cetik Memainkan Musik

-- Udo Z. Karzi

BANDAR LAMPUNG--Acara Ragom Budaya Lampung (RBL) terus mengumandang dari Studio 2 RRI Bandar Lampung setiap Sabtu malam. Tak terasa empat tahun sudah acara yang mengangkat kesenian lokal Lampung ini berjalan.

Sabtu, 7 Mei 2005, giliran Sanggar Waya Kenyangan dari Lampung Barat menyuguhkan berbagai bentuk seni tradisi. Sanggar yang telah menelurkan album Nyambai Agung ini tampil mengesankan. Hadrah, gambus klasik, dikir, muayak, nyambai, dan hahiwang, mengalir asyik dari para seniman tradisi yang aktif di sanggar ini.

Penampilan sanggar pimpinan Ir. Nurul Adiyati gelar Ratu Mas Dalam Ratu Marga Buay Kenyangan tampak rampak. Seniman tradisi Syapril Yamin dan Nurdin Darsan yang terlibat di dalamnya membuat suguhan seni Waya Kenyangan lebih hidup.

Rampak rebana dalam hadrah misalnya, terasa kental mengiringi syair-syair bernuansa Islami. Petikan gambus lunik yang ditingkahi gamolan peghing membawa kerinduan pada suasana pemekonan.

Di tengah-tengah jeda, penyelia acara Sutan Dermawan Sutan dan Sutan Purnama menyempatkan mewawancarai Syaprin Yamin. Seniman yang dikenal sebagai Raja Cetik ini mengatakan, cetik atau gamolan peghing adalah alat musik dari bilah-bilah bambu yang sangat memasyarakat di Lampung Barat.

Lil, begitu panggilan akrab Syapril Yamin yang juga anggota Komite Tradisi Dewan Kesenian Lampung (DKL) itu sempat memeragakan tabuh sekoal, tabuh jaghang, dan tabuh nyambai agung dengan iringan gamolan peghing.

"Gamolan peghing ini lebih memasyarakat di Lampung Barat karena mudah didapat. Sedangkan talo balak sulit didapat. Bahkan, di Lampung Barat hanya ada satu. Padahal, alat musik talo balak ini sangat penting. Mestinya Pemda Lambar membantu pengadaan alat musik ini untuk sanggar-sanggar," ujar Syapril.

Pindah Frekuensi


Dalam perjalanannya, acara RBL mulai menuai kritik. Perpindahan frekuensi dari 89,9 ke 87,7 yang menjadi biangnya. Pemirsa merasa kesulitan memonitor acara ini. "Sejak pindah frekuensi, kami tak bisa mendengar RBL," kata Hi. Syahroni gelar Paksi Marga dari Way Semah.

Keluhan serupa datang dari Usup Babatan (Sidomulyo), M. Abbas Sutan Ulangan (Negarasaka), Hernawati (Lampung Timur), Syarifudin Buay Turgak (Lampung Tengah), dan Sutan Punyimbang Mergo (Metro). "Saya terpaksa ke studio kalau ingin mengikuti acara ini," kata Sutan Babatan.

Ketua RBL Hermansyah menyayangkan perpindahan frekuensi ini. "RRI Bandar Lampung sudah berhasil membuat acara ini diminati masyarakat. Sayang kalau hanya karena persoalan teknis, acara ini tidak bisa dinikmati masyarakat," ujarnya.

RBL merupakan peran nyata RRI Bandar Lampung dalam memberikan stimulan dalam menumbuhkembangkan seni-budaya Lampung. "Jadi, agar RBL bisa didengar masyarakat Lampung, sebaiknya dikembalikan ke frekuensi semula," kata Hermansyah.

Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 Mei 2005

No comments:

Post a Comment