January 31, 2007

Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah

-- Abdul Wahab


Bagaimana Kondisi Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah Saat ini?

Untuk memperoleh potret kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah, idealnya dilakukan penelitian etnografis, terutama pada bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya besar dan memiliki sistem tulisan sendiri. Oleh karena penelitian semacam itu makan waktu yang lama dengan biaya yang sangat tinggi, apa yang saya bentangkan di sini adalah hasil kajian kepustakaan, terutama hasil kongres bahasa daerah (bahasa Bali dan bahasa Jawa), dan hasil wawancara saya dengan mahasiswa program S2 dan S3 yang penutur asli bahasa Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Bima, Lampung, dan Batak (yaitu bahasa-bahasa daerah yang mempunyai sistem tulisan sendiri.)

Sebenarnya, kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah saat ini sudah berkali-kali dibentangkan, disedihkan, ditangiskan, dan dijeritkan oleh para pemeduli bahasa daerah dalam kongres-kongres bahasa daerah antara lain Kongres Bahasa Bali, mulai kongres yang pertama sampai kongres yang kelima dan Kongres Bahasa Jawa dari kongres pertama sampai dengan kongres yang ketiga.

Seandainya bahasa-bahasa Nusantara lainnya dengan jumlah penutur yang besar, seperti bahasa Dayak, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lainnya, juga mengadakan kongres bahasa daerah semacam Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, potret yang akan disajikan tentang kondisinya akan senada, yaitu potret yang suram.

Pada Kongres III Bahasa Bali, misalnya, terasa adanya jati diri orang Bali yang mulai (atau sudah?) goyah, sehingga diperlukan peningkatan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali yang merupakan cerminan jati diri orang Bali itu. Pernyataan ini saya buat atas dasar tema yang diambil oleh penyelenggara kongres yang ke lima dua tahun silam. Goyahnya jati diri orang Bali dan budayanya itu tercermin dalam menurunnya kualitas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa Bali di kalangan penuturnya, di dalam dan luar keluarga.

Orang Bali menyadari bahwa bahasa Bali mempunyai fungsi yang sangat penting antara lain (1) sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat Bali, (2) sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Bali, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Bali, (4) sebagai pendukung sastra daerah Bali dan sastra Indonesia, dan (5) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia. Sayang dalam kehidupan sehari-sehari, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan menggunakan bahasa Bali Alus (analog dengan Krama Inggil dalam bahasa Jawa), terutama di Bali Utara, menurun. Stratifikasi bahasa ini jarang (tak dipakai lagi?) bila seseorang berbicara dengan orang dari kasta yang lebih tinggi.

Sebagai gambaran tentang menurunnya penggunaan stratifikasi ini, orang Bali dari generasi yang berusia 30 tahun ke atas masih mampu secara aktif menggunakanya. Orang Bali dari generasi yang berusia antara 20 dan 30 tahun sudah mulai kurang aktif, sedang orang Bali dari generasi yang berusia kurang dari 20 tahun sudah tidak peduli lagi. Keadaan di Bali Selatan masih lebih baik. Ada beberapa alasan mengapa kondisi semacam itu bisa terjadi pada orang-orang Bali Utara. Alasan pertama yang paling ditonjolkan ialah adanya demokratisasi. Karena itu ada keyakinan pada sementara orang Bali Utara bahwa kehidupan kekastaan digeser oleh adanya perbedaan warna. Tidak jarang orang Bali dari kasta yang lebih tinggi mempunyai status ekonomi, jabatan, dan pendidikan yang lebih rendah dari orang yang berkasta lebih rendah. Alasan kedua ialah adanya keyakinan secara historis bahwa Bali Utara itu tempat pengasingan atau pengucilan sebagai hukuman bagi orang-orang Bali Selatan yang vocal atau menentang sikap, kebijakan, dan perilaku raja-raja yang ada di Bali Selatan. Alasan ketiga ialah banyaknya pendatang dari luar Bali yang kemudian bermukim di Bali Utara, sehingga orang Bali yang ingin mengadakan komunikasi dengan para pendatang ini menggunakan bahasa Indonesia atau ragam bahasa Bali yang tidak halus.

Bagaimana keadaan sastra Bali? Sastra daerah Bali merupakan bukti historis masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, sastra daerah Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya, yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social, politik, dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Pengalaman hidup orang Bali dengan segala macam aspeknya itu unik dan memikat budaya lain, sehingga ada sebagian cerita Bali yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris, seperti “Mati Salah Pati” oleh Gde Aryantha Soethama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris; penerjemah yang pertama ialah Vern Cork dengan pengalihan judul menjadi “Death by Misfortune” dan penerjemah kedua ialah Jennifer Lindsay dengan perubahan judul menjadi “The Wrong Kind of Death.” Cerita pendek “Luh Galuh” oleh Putu Oka Sukanta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris, yaitu Vern Cork dan oleh Mary Zurbuchen tanpa adanya perubahan judul, karena cerita pendek itu memaparkan pengalaman hidup gadis Bali yang bernama Luh Galuh. Satu lagi cerita pendek yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh penutur asli bahasa ini ialah “Mega Hitam di atas Pulau Kahyangan” yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta oleh Vern Cork dengan perubahan judul dalam bahasa Inggris “Storm Clouds over the Island of Paradise.”

Melihat sikap orang asing yang sangat positif terhadap sastra Bali, sehingga karya sastra Bali diterjemahkan kedalam bahasanya, dengan tujuan supaya pengalaman hidup orang Bali yang sangat unik itu melengkapi aspek kehidupan yang tak mereka dapatkan dalam budayanya, saya berpendapat bahwa sastra Bali itu memiliki nilai humanisme universal.

Bagaimana kondisi aksara Bali dewasa ini? Bangsa yang memiliki aksara sendiri sebenarnya mencerminkan adanya budaya baca tulis, keinginan untuk mendokumentasikan segala bentuk kehidupan agar dapat diketahui, dipelajari, dan dinikmati oleh orang lain inter-generasi maupun antar-generasi tanpa batas ruang dan waktu. Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Bali ke V menyimpulkan bahwa aksara Bali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya masyarakat Bali. Melihat fungsinya, aksara Bali digunakan dalam “nyastra”, seni, pendidikan, adat, dan agama Hindu. Dalam kehidupan sehari-hari, Juru Arah di Bali misalnya, menyampaikan wewarahnya dalam bahasa Bali yang masih tertulis dalam huruf Bali. Karena itu, upaya pelestarian dilakukan melalui jalur formal dan jalur nonformal. Lewat jalur formal, secara umum aksara Bali diajarkan mulai tingkat sekolah dasar sampai kelas dua SMU dan secara khusus, aksara Bali diajarkan sampai tingkat perguruan tinggi bagi mahasiswa yang mengambil jurusan yang terkait dengan budaya dan sastra Bali. Lewat jalur non-formal upaya pelestarian aksara Bali dilakukan dengan pemberian fungsi aksara itu seperti penggunaannya oleh Juru Arah tersebut di atas. Sayang pada kalangan generasi muda Bali yang sekarang ini berusia 20 tahun ke bawah, penguasaan aksara Bali secara receptive apalagi secara produktif ada kecenderungan memudar.

Bagaimana halnya dengan kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah lainnya seperti Batak, Bugis, Bima, dan Lampung? Perkembangan bahasa, sastra, dan aksara daerah pada daerah-daerah ini memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi pada daerah Bali. Pada bahasa Bali, seperti halnya dengan yang terjadi pada bahasa Jawa, stratifikasi dan ekspresi kehalusan masih terdapat pada leksikon dan kaidah sintaksis. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa yang saya sebut terakhir di atas ini, stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan sudah tinggal dalam ekspresi paralinguistik saja. Saya percaya bahwa pada jaman dulu bahasa-bahasa ini memiliki stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan yang tidak hanya tercermin dalam paralinguistik, melainkan pada leksikon dan wujud sintaksis sebagaimana yang terdapat pada ciri bahasa-bahasa Nusantara. Hilangnya leksikon dan wujud sintaksis pada bahasa-bahasa ini merupakan suatu kealpaan yang besar, karena sikap tidak-peduli kita terhadap bahasa-bahasa daerah.

Seperti halnya yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, pemakaian bahasa daerah yang saya sebut pada paragraf di atas ini terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di antara orang dewasa Batak, Bugis, Makasar, Lampung, dan Bima misalnya frekuensi penggunaan bahasa Indonesia lebih tinggi dari penggunaan bahasa daerahnya, untuk urusan formal maupun non-formal. Sebagai ilustrasi, jika dalam keluarga terdapat ayah yang berpenutur asli bahasa Bugis dan ibu yang berpenutur asli bahasa Makasar, komunikasi antara suami istri lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah, yaitu bahasa Bugis atau bahasa Makasar. Komunikasi antara orang tua dan anak pun selalu menggunakan bahasa Indonesia, meski dalam keluarga dari suku yang sama. Pada bahasa-bahasa yang saya bahas pada paragraf di atas, penggunaan bahasa daerah dilakukan oleh generasi usia 40 tahun keatas. Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, pada daerah-daerah yang saya sebut belakangan itu tak terdapat media cetak dalam bahasa daerah.

Sastra pada daerah-daerah ini, terutama sastra modern tertulis dalam bahasa Indonesia dengan setting Indonesia. Khas daerah sukar ditemui. Sastra kuno seperti “Nenek Malomo” ditulis dalam bahasa Bugis dengan aksara Bugis pada rontal. Pelestarian sastra semacam ini justru terdapat di desa. Semakin masuk ke jantung kota, minat terhadap sastra daerah oleh penutur aslinya semakin berkurang (atau tidak ada.) Upaya pelestarian sastra dan kesenian daerah masih terbatas pada penelitian yang terbatas pula pada kegiatan pendataan saja, belum sampai kepada pemberian fungsi.

Kehidupan aksara Batak, Bugis, Lampung, dan Bima tidak sebaik kehidupan aksara Bali. Kini hanya sebagian generasi yang berusia 40 tahun keatas saja yang mampu mengenali aksara daerah. Itu pun terbatas pada tingkatan recognitif, bukan pada tingkatan produktif. Pada kalangan generasi usia 20 tahun ke bawah, aksara daerah itu mereka anggap sebagai hiasan museum belaka.

Nasib aksara Bima tidak hanya memprihatinkan, tetapi sudah tinggal kenangan, sebab aksara yang pernah berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dalam urusan administrasi pemerintahan dan representasi karya sastra itu kini sudah musnah seperti musnahnya burung dodo di planet bumi ini. Menurut ingatan orang Bima, tradisi menulis Bo’ [buku] dengan bahasa dan aksara Bima dimulai oleh perdana menteri Tureli Nggampo Makapiri Solo, setelah mempelajari sistem administrasi kerajaan Goa dan Luwu’. Karena alasan pengembangan agama Islam di Bima, pada tanggal 15 Muharam 1005 (13 Maret 1645), Sultan Abi’l Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo’ selanjutnya ditulis di atas kerta [bukan di atas rontal] dengan menggunakan bahasa Melayu [bukan bahasa Bima] dengan rupa tulisan yang diridlai oleh Allah [yang dimaksud aksara Arab] (Chambert-Loir dan Salahuddin, 1999: xii).

Bahasa Jawa adalah bahasa dengan jumlah penutur yang paling besar di Indonesia dan masih ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi yang lain seperti di Afrika Selatan dan Suriname. Bagaimana kondisi bahasa, sastra, dan aksara Jawa sekarang? Kondisi bahasa Jawa dewasa ini sebenarnya telah saya bentangkan dua kali dalam dua kongres kebahasaan yang bertaraf internasional. Yang pertama saya bentangkan pada Kongres Bahasa Jawa ke III di Yogyakarta pada bulan Juli 2001 melalui makalah saya yang berjudul “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa”, dan yang kedua saya bentangkan pada Kongres Linguistik Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Bali pada bulan Juli 2002, dengan judul “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.”

Pada Kongres Bahasa Jawa yang ke III itu saya katakan bahwa bahasa Jawa sekarang ini telah mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas, stratifikasi bahasa Jawa yang ada—krama inggil, krama andhap, krama lugu, ngoko ndhap, dan ngoko lugu—yang sudah tertata secara rapi an indah itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dalam bebahasa oleh sebagian besar penutur asli bahasa Jawa. Kesalahan pemilihan leksikon, sintaksis, dan semantis dalam bertutur kata sering terjadi pada kalangan penutur bahasa Jawa. Secara kuantitas, penggunaan bahasa Jawa krama inggil dan karma andhap frekuensinya sangat kecil, dalam kalangan keluarga dan masyarakat untuk urusan formal maupun non-formal, terutama pada kalangan generasi muda. Bahkan pada kalangan Keraton (yang diharapkan merupakan pusat tempat mempertahankan dan melestarikan kualitas dan kuantitas bahasa Jawa), interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Jawa frekuensinya tidak setinggi frekuensi interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya, Dr. Pranowo (1998: x) mengungkapkan kenyataan sebagai berikut.

Kemampuan berdwibahasa [bahasa Jawa dan bahasa Indonesia] kerabat keraton tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar keraton. Kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia lebih baik daripada kemampuan berbahasa Jawa. Faktor penyebabnya antara lain pengaruh modernisasi yang tidak mungkin dihindari, anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lebih praktis daripada bahasa Jawa, keyakinan bahwa kemampuan bahasa Jawa kurang memiliki nilai ekonomis, dan lain-lain. Kenyataan seperti ini memperjelas bahwa peranan keraton Kesultanan Yogyakarta [dalam hal pemeliharaan budaya dan bahasa Jawa] sudah bergeser. Zaman dahulu, keraton berperan sebagai pusat bahasa dan budaya [Jawa], … sekarang tidak [lagi] demikian.

Saya amati, kehalusan bertutur kata yang tercermin dalam stratifikasi bahasa Jawa sudah mengalami erosi berat. Anak-anak muda tidak lagi mau dan mampu berbahasa krama dengan orang tuanya dan dengan orang lain yang lebih tua sebagai wujud adanya rasa hormat (yang mestinya etikanya begitu). Dari 87 orang mahasiswa saya yang berasal dari etnis Jawa, program S1 bahasa Inggris yang mengambil matakuliah binaan saya, tak seorang pun berbahasa krama dengan orang tuanya. Dalam simulasi berbahasa krama yang baik dan benar, tak seorang pun mampu melakukannya. Paling tidak ini yang terjadi di Malang dan sekitarnya. (Mudah-mudahan di daerah Jawa lainnya keadaan semacam di Malang itu masih lebih baik.) Pada kalangan anak-anak muda, sulit bagi kita mengharapkan sapaan yang didahului dengan ujaran “Nuwun sewu …”, atau “Kepareng …” , dan lainnya yang semacam yang digunakan sesuai dengan fungsinya.

Menurunnya kualitas bahasa Jawa bagi penutur aslinya tercermin dalam banyak makalah yang disajikan pada Kongres Bahasa Jawa III itu. H. Budiono Herusatoto, sarjana filasafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, misalnya, menulis tentang terjadinya rancu pikir di kalangan penutur asli bahasa Jawa dalam memahami makna tata karma dan unggah-ungguh. Menurut Herusatoto, ada tiga sebab yang menjadikan rancu pikir itu: (a) dalam mengartikan dan memahami makna kata unggah-ungguh dan tata karma, kebanyakan penutur asli bahasa Jawa menggunakan ‘nalar dan rasa bahasa Indonesia’ [bukan nalar dan rasa kebahasaan dari perspektif bahasa dan budaya Jawa), (b) buku pegangan pokok atau kamus yang dijadikan sebagai sumber untuk memahami arti kedua istilah itu adalah kamus dalam bahasa Indonesia, [yang tidak dapat menyentuh rasa dalam perspektif bahasa dan budaya Jawa], dan (c) penulis dan peneliti yang non-Jawa tidak mau melihat dari pandangan perspektif budaya dan bahasa Jawa, melainkan memandangnya dari perspektif budaya dan bahasanya sendiri.

Terhadap menurunnya kualitas bahasa Jawa ini, I Wayan Bawa dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, juga menuturkan dalam Kongres Bahasa Jawa III bahwa telah terjadi pengausan kemampuan menggunakan undha-usuk bahasa Jawa bagi etnik Jawa yang bermukim di Denpasar, Bali. Pada forum yang sama, Kisyani Laksono, dari Universitas Negeri Surabaya, dalam kajiannya tentang identifikasi dialek dan sub-dialek bahasa Jawa di Jawa Timur bagian timur dan Blambangan, menunjukkan bahwa pemilihan kosa kata ragam ngoko dan krama mengalami kekacauan.

Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen, Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.

Selain faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi-bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.

Bagaimana kondisi sastra Jawa dewasa ini? Meskipun penghormatan dan pemeliharaan bahasa Jawa hanya terbatas pada pencantuman gagasan dalam undang-undang dasar pasal 36 dan aturan tambahannya, sastra Jawa berkembang terus dari jaman ke jaman. Pada jaman bahasa Jawa kuna (periode sebelum jatuhnya kerajaan Majapahit), ada beberapa karya sastra yang terkenal, antara lain, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bharatayuda, Mahabharata, Nagara Kertagama, Nitisastra, dan Sutasoma. Pada Abad Pertengahan, karya sastra yang terkenal antara lain Calon Arang, Dewa Ruci, Pararaton, Sri Tanjung, dan Tantri Kamandaka. Pada Jaman Baru, sastra Jawa dapat dibagi menjadi dua—sastra tradisional dan sastra modern. Karya sastra Jawa tradisional dapat dibaca pada Serat Ambiya, Serat Arjuna Sasrabau, Serat Bratayuda, Serat Centhini, Serat Menak, Serat Nitipraja, Serat Pustaka Raja, Serat Rama, Serat Sabda Jati, Serat Sastra Gendhing, Serat Surya Raja, Serat Wedhatama, dan Serat Wulangreh. Kreativitas menciptakan karya sastra modern oleh penutur asli bahasa Jawa terus berlangsung hingga sekarang, meski tidak ditulis dalam aksara Jawa. Hasil ciptaan dalam karya sastra itu antara lain Anteping Tekad, Candhikala Kapuranta, Dokter Wulandari, Dongeng Sato Kewan, Hera-Heru, Jarot, Kemandang, Kidung Wengi ing Gunung Gamping, Kinanthi, Kirti Njunjung Drajad, Kreteg Emas Jurang Gupit, Layang Saka Paran, Mendhung Kesaput Angin, Nalika Langite Obah, Ngulandara, Pupus kang Pepes, Sinta, Serat Durcara Arya, Serat Rangsang Tuban, Serat Riyanta, Serat Gerilya Sala, Siter Gadhing, Sri Kuning, Sumpahmu Sumpahku, Timbreng, Trem, dan belum termasuk karya sastra dengan seting Jawa yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra yang sebut di atas itu berbentuk prosa. Puisi (dalam bahasa) Jawa yang pernah dimuat pada berbagai media cetak antara tahun 1940 dan tahun 1980, dikumpulkan oleh Suripan Sadi Hutomo (almarhum) dalam satu antologi, yaitu Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.

Selama manusia hidup, ia tidak akan berhenti memiliki pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Sastra, pada hemat saya, merupakan jelmaan pengalaman itu dalam bahasa yang terpilih, dalam bahasa yang secara sadar atau tidak oleh penulisnya dinyatakan atas dasar prinsip-prinsip estetika. Itulah sebabnya, betapa pun jelek atmosfir yang melingkunginya, sastrawan tidak akan berhenti berkreasi. Saya kira, begitulah yang terjadi pada para sastrawan Jawa, Bali, Makasar, Bugis, Batak, Lampung, Sunda, dan lain-lainnya di tanah air ini.

Bagaimana halnya dengan aksara Jawa saat ini. Meskipun penutur asli bahasa Jawa merupakan penutur yang jumlahnya paling besar dibanding dengan penutur-penutur bahasa daerah lainnya di Nusantara, nasib aksara Jawa lebih buruk dari nasib aksara Bali. Aksara Jawa sekarang ini kedudukannya sebagai pengetahuan saja yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar mulai kelas tiga sampai dengan kelas lima. Pengajaran aksara Jawa sekarang tidak sampai menjadi ketrampilan karena tidak difungsikan sebagai representasi ortografis bahasa Jawa. Oleh karena itu, matapelajaran bahasa Jawa termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat menempati kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap sebagai siksaan oleh para siswa, karena mereka beranggapan bahwa pengajaran pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan mereka saja.

Meskipun Belanda didakwa sebagai biang keladi menurunnya derajad bahasa, sastra, dan aksara Jawa (dalam Riyadi, 2002: 5), pemerintah Belanda sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia masih menghormati dan memelihara aksara Jawa dengan memberikan fungsi pada urusan-urusan resmi misalnya dalam peringatan akan bahasa listrik dan pecahan mata uang, sebagaimana pada terdapat lampiran makalah ini. Pada mata uang logam mulai ketheng, sen, benggol, kelip, kethip, dan seterusnya, terdapat tiga macam aksara—aksara Jawa, Arab, dan Latin. Sekarang, setelah bangsa sendiri merdeka, aksara Jawa itu tak dipakai dalam mata uang. Begitu pula untuk keperluan lain, aksara daerah (kecuali aksara Bali) tak difungsikan lagi.

Generasi Jawa di bawah umur 50 tahun tahu akan huruf Jawa, tetapi tidak dapat membaca dengan lancar, apalagi menulisnya sebagai alat melahirkan cipta, rasa, karsa, dan karyanya, baik yang menyangkut urusan formal, maupun yang menyangkut urusan informal dalam kehidupan sehari-hari.


Manfaat Apa yang Diharapkan Apabila Kita Mempertahankan dan Mengembangkan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?

Pertanyaan ini sebenarnya mempunyai ikutan atau pelibatan makna bahwa sudah ada keraguan terhadap nilai budaya sendiri, sebagai akibat ketidak-mampuan kita menghormati dan memelihara budaya daerah. Pemahaman budaya suatu bangsa dapat dilakukan secara mendalam jika pemahaman itu dilakukan atas dasar perspektif budaya bangsa itu sendiri, bukan dari perspektif budaya asing. Demikian pula halnya dengan pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah. Pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah dapat dicapai kedalamannya, apabila kita mampu melihatnya dari perspektif budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri.

Dengan mengingat definisi budaya sebagai “pola keyakinan, sikap, dan perilaku yang dipelajari oleh suatu bangsa yang kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya,” saya percaya bahwa keyakinan, sikap, dan perilaku suatu etnis selalu dinyatakan dalam bahasa daerah yang dipergunakan dalam interaksi antar anggota etnis itu. Banyak ungkapan yang mencerminkan keyakinan, sikap, dan perilaku suku-suku bangsa kita ini yang tak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing. Di samping itu, hasil pengalaman hidup dan pemikiran yang sudah berlangsung berabad-abad, misalnya dalam hal seni dan budaya dengan segala aspeknya, seperti model pakaian, masakan, obat-obatan, keperluan rias, dan lain-lain hanya dapat diungkap dan dipahami secara sempurna dalam bahasa daerah yang ada di Nusantara ini.

Dalam masalah sastra juga banyak terdapat ungkapan yang hanya bisa dinyatakan dalam bahasa daerah untuk mempertahankan keindahan dan makna yang dikandungnya. Tidak heran jika kita mendapatkan pemakaian bahasa daerah dalam ranah sastra Indonesia, karena pengarang lebih “sreg” menggunakan bahasa daerah daripada menggunakan bahasa Indonesia. Pengarang novel atau serita pendek yang berasal dari Batak, Bali, Lampung, Makasar, Bugis, Jawa dan lain-lainnya yang ada di Nusantara ini tak dapat lepas dari penggunaan bahasa daerah masing-masing, karena dengan menggunakan ungkapan bahasa daerah itu pengarang tetap dapat menyampaikan maksud yang dikehendaki tanpa mengorbankan aspek keindahannya.

Bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara ini tidak lebih rendah dari bahasa-bahasa yang ada di dunia termasuk bahasa-bahasa yang ada di Asia, seperti bahasa Arab, bahasa Thai, bahasa Tamil, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea dan lain-lainnya. Bahasa-bahasa ini tetap dipertahankan oleh masyarakat penutur-aslinya, karena eksistensi bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari bahasanya. Bahasa-bahasa di atas ini dipelajari oleh bangsa lain bukan karena kemampuan komunikasi bahasa itu dalam ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan interaksi umat manusia lebih tinggi dari bahasa-bahasa daerah kita. Bahasa-bahasa itu menjadi begitu bergengsi karena kualitas manusia dengan etos kerja yang tinggi menjadikan bangsa-bangsa itu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang lebih kreatif. Bukan karena bahasanya. Bahasa merupakan representasi untuk mengungkapkan segala sesuatu yang mereka capai itu. Biar bangsa lain mempelajari bahasa-bahasa Jepang, Cina, Korea, Inggris, dan lain-lain, karena memang hasil keras mereka yang berupa ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya itu memang dibutuhkan oleh bangsa lain termasuk oleh bangsa Indonesia.

Seandainya bangsa-bangsa yang saya sebutkan itu tidak memiliki presatasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi, bahasa mereka tidak akan dipelajari oleh bangsa-bangsa lain di dunia, karena tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Itu seandainya begitu. Sebaliknya, seandainya suku-suku bangsa kita yang beraneka ragam ini juga memiliki prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi dan dinyatakan dalam bahasa dengan aksara daerah masing-masing, bangsa lain akan lebih memperhatikan bahasa-bahasa daerah yang kita miliki. Jangan karena kualitas bangsa dengan etos kerja dan disiplin yang rendah sehingga prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budayanya rendah, lalu menganggap bahwa bahasa, sastra, dan aksara daerah dialpakan begitu saja. Prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya sudah miskin, mau mengalpakan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah yang dimiliki. Lalu kita punya apa yang bisa dipakai tanda bahwa kita ini eksis di dunia ini?

Khusus tentang aksara daerah. Budaya yang sudah memiliki system tulisan sendiri menandakan bahwa budaya itu memiliki derajad yang tinggi, sebab dalam budaya itu segala pola pikiran, keyakinan, dan perilaku pemiliknya terekam untuk dipelajari dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, tanpa batas ruang dan waktu. Berapa jumlah bangsa dan bahasa yang ada di dunia ini tak terhitung banyaknya. Tetapi berapa budaya yang memiliki system tulisan sendiri perkiraan saya tidak lebih dari lima persen. Perkiraan ini saya dasarkan atas banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Ada tidak kurang dari lima ratus bahasa, tetapi bahasa yang memiliki sistem tulisan sendiri tidak ada lima persen dari seluruh bahasa yang ada di Nusantara ini.

Di samping itu, menciptakan simbol, sebagai suatu sistem tulisan, yang dapat menyatakan semua aspek cipta, rasa, karsa, dan karya suatu bangsa dengan budaya dan bahasanya tidak mudah. Lima kali, sepuluh kali, atau berapa kali pun kongres bahasa ini belum tentu dapat merumuskan simbol-simbol sebagai suatu sistem tulisan yang dapat diterima oleh suatu budaya untuk merekam semua pola pikiran, keyakinan, dan perilaku dan dipelajari serta diwariskan kepada generasi mendatang tanpa batas ruang dan waktu.

Demikianlah halnya dengan sistem tulisan daerah yang ada dalam budaya Nusantara ini, seperti aksara Batak, Bali, Bugis, Jawa, Lampung, dan Bima. Saya percaya banyak dokumentasi pola pikiran, keyakinan, dan perilaku budaya-budaya daerah ini yang tak ternilai harganya yang direkam dengan sistem tulisan daerah-daerah itu, baik yang masih ada di museum-museum di tanah air maupun yang ada di museum-museum manca negara, terutama yang ada di Eropa dan Amerika seperti yang pernah saya lihat di Smithsonian Institution di Washington D. C.

Jika nanti sistem tulisan daerah ini lenyap dari bumi Nusantara, maka generasi yang sangat bertanggung-jawab atas lenyapnya aksara daerah ini ialah generasi yang sekarang ini, terutama individu-individu yang secara formal diberi tanggung-jawab untuk menghormati dan memelihara aksara daerah itu. Saya katakan generasi yang sekarang, sebab sekarang ini masih ada individu-individu yang mampu menguasai aksara daerah itu untuk tujuan-tujuan rekognitif dan produktif, tetapi kita tidak memberikan atmosfir yang menunjang penghormatan dan pemeliharaan aksara daerah tersebut. Kita tidak mau mempelajari aksara daerah itu kemudian menurunkan kepada generasi berikutnya, pada hal, jika ada niatan, kita masih belum kematian dian. Atas dasar pemikiran di atas saya meneriakkan suara pecinta dan pemeduli hidupnya aksara daerah agar aksara-aksara daerah itu tetap dipelihara dan dihormati, bukan dibiarkan mati tak terurus.


Bagaimanakah Kita Memelihara Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?

Sebelum melakukan tindakan penghormatan, penyelamatan, dan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, yang utama ialah adanya kemauan untuk menghormati, menyelamatkan, dan memelihara bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri. Adanya kemauan yang keras akan memberi semangat untuk mencari cara. Sebenarnya untuk menghormati dan memelihara bahasa dan sastra daerah, Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa selalu merumuskan butir-butir tindakan, mulai dari rumusan perda, keterlibatan pemerintah daerah, sampai dengan langkah-langkah kongkrit yang harus dilaksanakan. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, misalnya, telah mengeluarkan Buku Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali, atas dasar Peraturan Daerah Nomor 3/1992, yang secara khusus diperkuat oleh Edaran Gubernur Nomor 1/1995, tentang Penulisan Papan Nama dengan Dwi Aksara Bali.

Dengan mengambil analogi yang terdapat pada Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, penyelamatan, pemeliharaan, dan penghormatan bahasa-bahasa daerah, terlebih dahulu pemilik dan penutur asli bahasa daerah itu sendiri perlu dibuat sadar bahwa daerah itu berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah dan masyarakat penuturnya, (2) lambang identitas daerah dan masyarakat penuturnya, (3) alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat, (4) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, dan (5) sarana pendukung daerah dan budaya Indonesia.

Apabila pemilik dan penutur asli bahasa daerah sadar bahwa begitu besar dan pentingnya fungsi bahasa daerah, perlu diupayakan peningkatan mutu pemakaian bahasa daerah, mencakup upaya meningkatkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa daerah melalui jalur formal—pendidikan dan pengajaran di sekolah dan jalur informal--dengan memfungsikan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Pembinaan sastra daerah juga perlu didahului dengan penanaman kesadaran kepada seluruh rakyat Indonesia dan pemilik sasrta daerah bahwa sastra daerah merupakan bukti historis masyarakat daerah. Sehubungan dengan itu, sastra daerah sebagai salah satu bagian dari sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya Indonesia, yang di dalamnya terekam pengalaman etika, estetika, moral, agama, dan social masyarakat daerah. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra daerah memiliki fungsi sebagai perekam kebudayaan daerah dan pemelihara, pemupuk, dan penumbuh solidaritas daerah.

Apabila kesadaran akan begitu besar dan pentingnya sastra daerah telah timbul, pembinaan yang perlu dilakukan ialah meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah. Upaya peningkatan ini bisa dilakukan lewat pendidikan, pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan sastra daerah. Secara kongkrit, (1) adakan pendidikan dan pengajaran sastra daerah tersendiri sebagai matapelajaran dalam kurukulum, bukan merupakan bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran bahasa daerah, (2) adakan guru-guru satra daerah yang bermutu, (3) adakan atmosfir yang bermutu untuk mendukung penciptaan karya sastra yang bermutu pula, (4) manfaatkan tokoh-tokoh sastra daerah yang masih kreatif dan produktif, (5) berikan penghargaan yang wajar kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra yang memiliki nilai universal.

Singkatnya, pengembangan sastra daerah adalah upaya untuk meningkatkan mutu sastra daerah agar sastra daerah itu dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi pencarian dan pencerminan jati diri dalam membangun masyarakat daerah yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Kegiatan pengembangan meliputi penelitian dan penulisan-penulisan.

Aksara daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Melihat fungsinya, aksara daerah telah dan dapat digunakan lagi dalam kehidupan bersastra, berseni, pendidikan, adapt, agama, serta komunikasi tulis sehari-hari. Dengan lain perkataan, aksara daerah itu dapat diberi kedudukan yang tinggi seperti yang terdapat pada mata uang logam jaman Belanda berikut ini.

Anehnya, kita ini ada dalam jaman kemerdekaan. Tetapi justru pada alam kemerdekaan ini sendiri, bahasa, sastra, dan aksara daerah tidak kita pelihara, tidak kita hormati, apalagi kita junjung tinggi seperti pada jaman penjajahan. Sebenarnya, jika kita mau, bahasa dan penulisan aksara daerah dapat saja dicantumkan pada mata uang resmi Indonesia. Masih banyak ruang pada mata uang kita itu yang dapat memuat bahasa dan aksara daerah kita. Perhatikan betapa banyaknya ruang pada mata uang kertas kita seandainya kita mau memberi muatan bahasa dan aksara daerah.

Saya kira, tidak hanya pada mata uang saja, aksara daerah itu bisa kita beri kedudukan yang terhormat. Pada petunjuk-petunjuk produk Indonesia pun, bisa saja kita muati bahasa dan aksara daerah sebagaimana para produsen Cina, Jepang, Korea, Thailand, dan lain-lain, yang dengan bangganya mencantumkan bahasa dan aksara mereka masing-masing pada petunjuk pemakaian produknya.

Mungkin ada yang berfikiran begini. Jika bahasa dan aksara daerah itu kita cantumkan pada mata uang, tidakkah akan menimbulkan rasa iri hati dan sentiment kedaerahan? Untuk menangkis kecurigaan semacam itu, kita memunculkan bahasa dan aksara daerah pada mata uang secara seri. Mata uang tertentu dengan bahasa dan aksara Bali, bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Bugis, bahasa dan aksara Jawa, dan lain sebagaimana yang sudah kita lihat pada mata uang kita dengan seri gambar-gambar pahlawan nasional, seni tari dan lain sebagainya yang berasal dari daerah.

Untuk menutup makalah saya ini ada dua hal yang ingin saya tekankan. Saya melihat semua kegiatan semacam kongres ini dari dua segi: segi ergon dan segi energiae. Dari segi ergon, kita sadar bahwa Kongres Bahasa Indonesia ini akan merumuskan hasil kongres untuk dideseminasikan ke lembaga-lembaga pemerintah dan disosialisasikan kepada masyarakat ramai. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus memperhatikan segi energiae-nya, yaitu adanya dinamika untuk menindak lanjuti hasil kongres ini dengan perbuatan nyata. Oleh karena pembinaan dan pengembangan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah daerah bertanggung-jawab melaksanakan undang-undang itu dengan segala konsekuensinya, sedangkan pemerintah pusat mengatur perekatan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah menjadi budaya nasional Indonesia.-


Bacaan:

Bandana, I Gde Wayan Soken. 2003. “Sekilas Tentang Fungsi dan Asal-Usul Aksara Bali.” Dalam Aksara, Jurnal Bahasa dan Sastra No. 21, Tahun XIII, 2003. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.

Bawa, I Wayan. 2001. “Pengausan Kemampuan Menggunakan Undha-Usuk Bahasa Jawa Bagi Etnik Jawa Setelah Satu Tahun Tinggal di Denpasar.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.

Brata, Suparto. 2002. “Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa dalam Kaca Mata Pengarang.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.

Chambert-Loir, Henri dan Siti Maryam R. Salahuddin. 1999. Bo’ Sangaji (Catatan Kerajaan Bima). Jakarta: Ecole Francais d’Extreme-Orient Yayasan Obor Indonesia.

Gossweiler, Christian. 2001. “Jenggelekipun Basa-Basa Daerah Wonten Tengahing Globalisasi: Refleksi Pengalaman ing Eropa lan ing Indonesia.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.

Herusatoto, Budiono. 2001. “Rancu Pikir dalam Memahami Makna Kata Tata-Tata Krama dan Undha-Usuk.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.

Laksono, Kisyani. 2001. “Identifikasi Dialek dan Sub-Dialek Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan. Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.

Riadi, Slamet. 2002. “Kebijakan Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.

Wahab, Abdul. 2001. “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.

Wahab, Abdul. 2002. “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.” Kongres Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar-Bali, Juli 2002.

Widati, Sri. 2002. “Kontribusi Hasil Penelitian Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.

-----, 1966. Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali (Pedoman Penulisan papan nama dengan Aksara Bali).Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

-----, 2001. Makalah Kongres Bahasa Jawa III.

-----, 2002. Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Kerja Sama Pemerintah Propinsi Bali, Badan Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali, Fakultas Sastra Unud, dan Balai Bahasa Denpasar.


Sumber: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id

No comments:

Post a Comment