January 14, 2007

Kopi, Lada, dan Petani Lampung

DALAM laporan realisasi perdagangan luar negeri Provinsi Lampung disebutkan, volume ekspor nonmigas Lampung pada bulan Juli 2003 mencapai 230.922 ton lebih dengan nilai ekspor sebesar 72,53 juta dollar AS. Sekitar 16,97 persen atau 22.000 ton lebih dari total volume itu disumbang oleh komoditas andalan Lampung, yaitu kopi robusta.

Jika dibandingkan dengan volume ekspor kopi pada bulan sebelumnya, jumlah itu naik sebesar 13,46 persen. Komoditas ini memang menjadi komoditas andalan Lampung, selain lada hitam yang memang sejak zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya telah menjadi komoditas unggulan.

Bahkan, hingga saat ini kopi produksi Lampung masih mendominasi ekspor kopi Indonesia. Setidaknya sekitar 50 persen ekspor kopi Indonesia berasal dari Lampung. Hingga akhir 2002, misalnya, tercatat ekspor kopi Indonesia mencapai 283.711 ton dengan nilai ekspor 240 juta dollar AS. Sebanyak 196.038 ton dari total volume ekspor itu berasal dari Lampung.

Namun sayang, saat ini, kondisi yang bagus itu belum banyak dirasakan para petani. Harga kopi amat ditentukan oleh pasar dunia. Apalagi saat ini serbuan kopi Vietnam membuat harga kopi tak bergerak lebih dari Rp 4.900 per kilogram.

Hal itu tentu berpengaruh pada kinerja petani kopi di Lampung yang mengelola lahan 135.202 hektar, dengan total produksi rata-rata 150.193 ton per tahun. Populasi tegakan per hektar terbanyak berada di Kabupaten Lampung Barat, rata-rata 2.186 pohon per hektar dengan jumlah pohon yang berproduksi 1.610 pohon per hektar.

Semua kebun itu dikelola oleh petani dengan sistem budidaya dan permodalan yang terbatas. Padahal, beberapa jenis kopi robusta yang ditanam petani Lampung merupakan jenis unggulan yang dimereka kembangkan sendiri. Namun, pada umumnya produktivitas tanaman kopi itu masih rendah dengan kualitas kopi yang beragam.

"Meskipun ada petani yang mampu menghasilkan dua hingga tiga ton per hektar, rata-rata hasil kopi Lampung sebanyak 900 kilogram per hektar," papar Humas Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Azischan Satib.

Jika harga dasar kopi hanya berkisar Rp 4.900 per kilogram, tidak banyak yang diperoleh petani untuk mengelola lahan kebunnya. Apalagi harga kopi di pasar dunia sangat fluktuatif, bahkan tak jarang anjlok tajam.

Kondisi itu berbeda jauh dengan petani Vietnam yang mampu menghasilkan lebih dari delapan ton kopi per hektar. Mereka masih mampu memperoleh pendapatan yang lumayan lantaran produktivitas mereka tinggi.

Dari hasil taksasi yang dilakukan AEKI dan Dinas Perkebunan di Lampung diketahui bahwa total produksi kopi robusta Lampung mencapai 141.734,694 ton, dengan tingkat produktivitas berkisar antara 451,20-1.561,48 kilogram atau rata-rata 900 kilogram per hektar. Hasil itu diperoleh dari tingkat produksi sebesar 0,46-0,97 kilogram atau sekitar 0,748 kilogram per pohon.

Produktivitas yang kurang optimal itu disebabkan jumlah tegakan per hektar masih dianggap kurang. Per pohon hanya terdapat sembilan hingga 26 cabang produktif, dengan jumlah dompolan buah berkisar antara tiga hingga 14 dompol buah. Rata-rata tiap dompol buah berisi 5-28 butir buah kopi.

Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Lampung Suryono mengungkapkan, tanaman kopi yang dimiliki rakyat rata-rata bukanlah tanaman utama. Mereka kebanyakan memiliki pohon kopi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, dan berada di tempat yang jauh dari pemukiman.

"Mereka kadang-kadang saja menjenguk kebun itu. Tentu saja mereka mengelolanya dengan kurang optimal, apalagi harga kopi saat ini kurang bagus sehingga membuat mereka lebih enggan untuk mengolahnya," papar Suryono.

Hal serupa juga terjadi pada para petani lada. Hasil bumi yang menjadi bagian dari lambang Provinsi Lampung itu kini perlahan-lahan kehilangan pamornya. Sebagai gambaran perbandingan, tempo dulu petani lada yang memiliki lebih dari 5.000 batang atau sekitar tiga hektar lada termasuk kategori warga berkecukupan.

Mereka dikenal sebagai orang kaya dan diperhitungkan di kampungnya. Dengan 5.000 batang lada mereka juga mampu menyekolahkan anak ke HIS, sekolah dasar lanjutan pada masa Kolonial Belanda. Artinya 5.000 batang lada membuat gengsi mereka di mata masyarakat naik.

"Mereka mampu membeli sepatu kulit merek Robinson dengan setelan jas putih, yang tiap kali harus dijinjing ketika melewati jalan desa yang berlumpur," tutur Anshori Djausal, pemerhati budaya Lampung. (jos)

Sumber: Kompas, Senin, 8 September 2003

No comments:

Post a Comment