-- B Josie Susilo Hardianto
TAKTIS. Itulah ungkapan yang tepat untuk strategi yang digunakan pemerintah Belanda ketika melancarkan ekspansinya ke luar Jawa. Upaya mereka untuk memperluas wilayah perkebunan di luar Jawa, dibangun dengan pendekatan sosiologis dan antropologis yang amat akurat.
SEBELUM pemerintah Kolonial Belanda datang, mereka lebih dahulu mengirim para ahli sosiologi dan antropologi terkemuka, Snouck Hurgronje (1857-1936), untuk melihat dan memahami budaya dan perilaku masyarakat setempat.
Hal itu juga dilakukan Belanda ketika hadir di Lampung. Mereka mengadaptasi sistem pemerintahan lokal untuk mengontrol kawasan yang kaya hasil bumi itu.
Seorang budayawan Lampung, Anshori Djausal, memaparkan, pemerintah Kolonial Belanda saat itu tetap menghidupkan pola pemerintahan lokal yang berbentuk kepasirahan atau komunitas masyarakat adat.
Sistem itu memberi keleluasaan pada Belanda untuk mengontrol masyarakat. Bahkan, Belanda saat itu membiarkan kepasirahan menggunakan tata hukum lokal untuk menangani kasus-kasus tertentu.
Penetapan kepasirahan yang dilakukan pada tahun 1920 hingga 1928, disertai dengan penetapan dan pembagian wilayah riil pada marga-marga yang ada dalam kepasirahan itu. Pada tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda mengatur kembali struktur masyarakat hukum adat yang berbentuk marga.
Pengaturan itu tertuang dalam Marga Regering Voor de Lampungche Districten. Dengan pengaturan itu, di Lampung terdapat 83 marga. Sebanyak 78 dari 83 marga itu merupakan marga mayoritas penduduk asli Lampung.
Penegasan administratif itu menjadi dasar penyelesaian konflik tanah pada masa itu. Batas-batas wilayah menjadi tanggung jawab masing-masing marga. "Semua persoalan yang berkaitan dengan tanah saat diselesaikan mengacu pada ketentuan itu," papar Anshori.
Meskipun demikian, kemunculan kepasirahan itu tidak meminggirkan kontrol Belanda terhadap perilaku warga. Kepemimpinan lokal dan modernisasi administrasi hukum lokal menjadi tanggung jawab pasirah (kepala marga). Namun, kasus-kasus yang berkaitan dengan kriminalitas dan keamanan lokal menjadi wewenang Pemerintah Belanda.
"Setidaknya ada beberapa wilayah yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin lokal, yaitu kawasan Menggala, Teluk Betung, dan Kotabumi," katanya.
Cara Belanda untuk menguasai Lampung terbukti berhasil. Bahkan, taktik tidak mengubah susunan struktural masyarakat adat yang telah ada, memberi keleluasaan bagi Belanda untuk mengelola wilayah itu.
Dengan pendekatan demikian, Belanda mampu menguasai kawasan yang membentang dari Bakauheni di ujung Pulau Sumatera hingga Liwa, Blambangan Umpu, dan Mesuji yang merupakan wilayah yang berbatasan dengan Sumatera Selatan saat ini.
Selain mengadopsi sistem lokal dalam tata pemerintahan administratif, penggunaan strategi infrastruktur yang dilakukan Belanda pun terbukti akurat. Misalnya, pembukaan wilayah-wilayah pedalaman Lampung dengan kereta api, membuat Belanda menguasai betul jalur perdagangan lada yang merupakan komoditas utama masa itu.
Jaringan rel kereta api mulai dari pelabuhan Panjang di Lampung hingga ke Kertapati, Palembang, membuat arus pengangkutan hasil bumi sekaligus kontrol terhadap rakyat dapat dilayani dengan baik
Jaringan jalan utama dan irigasi teknis masa itu dibangun untuk memberi akses yang lebih bagi Belanda untuk mengeksploitasi kekayaan alam Lampung. Bahkan, untuk menggenjot laju perkembangan hasil bumi waktu Belanda melancarkan kolonisasi di Lampung.
Itu mengulang sukses Belanda dalam pengelolaan lahan perkebunan di Deli Serdang dan Medan, Sumatera Utara. Antara tahun 1905 dan 1942 Belanda mendatangkan ribuan warga dari Jawa untuk bekerja di ladang-ladang kopi, tebu, dan persawahan.
Awalnya, Belanda mendatangkan sekitar 155 keluarga asal desa Bagelen, Kedu, Jawa Tengah. Mereka ditempatkan di kawasan Gedongtataan, Lampung Selatan.
Program itu merupakan bagian dari upaya Belanda untuk merebut simpati rakyat Indonesia lewat pendekatan politik yang dikenal dengan Politik Balas Budi yang digagas Van De Venter. Pendekatan politik itu memberi keuntungan pada Belanda karena mendapat tenaga terdidik yang murah untuk ikut mengelola perkebunan.
CARA seperti itu, dalam kajian sejarah yang dilakukan Anshori, tidak dilakukan oleh dua kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya. Mereka enggan memasuki wilayah Lampung lantaran penduduknya sedikit, berpindah, dan tersebar di dalam kawasan yang luas.
Dalam pandangan Sriwijaya atau Majapahit, terlalu mahal untuk menguasai wilayah Lampung yang amat terbuka, terutama dari serbuan laut.
Sumber: Kompas, Senin, 08 September 2003
No comments:
Post a Comment