Oleh
Oyos Saroso HN
DIBUKA dengan tata cahaya panggung yang muram, menit-menit awal pertunjukan The Song of Dajang Rindu (Travelling Back to the Source) oleh Komunitas Berkat Yakin (Kober) di Taman Budaya Lampung, 16-17 Juni 2012, langsung menggebrak dengan suguhan tarian.
‘THE SONG OF DAJANG RINDU’. Komunitas Berkat Yakin (Kober) mementaskan lakon The Song of Dajang Rindu (Travelling Back to the Source) di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, 16—17 Juni lalu. (ISTIMEWA)
Itu terjadi setelah seorang "dalang" membuka ihwal riwayat pertunjukan. "Sekaranglah mulai awal cerita. Kepada puan-puan para saudara. Dukanya perang, kasih, dan cinta Si Dayang Rindu dan Pangeran Riya," kata sang dalang (narator).
Dan, panggung yang diset secara minimalis itu menjadi arena eksplorasi penari. Ditingkah perubahan warna cahaya panggung terang perlahan, sembilan perempuan penari itu memainkan beberapa komposisi, gerak ritmis perlahan bagai gerak tarian bedaya ketawang atau bedaya anglir mendung ala Keraton Jawa, gerak bertenaga dengan pola gerak silat Lampung, hingga hentakan keras seperti pola gerak tari komtemporer Boy G. Sakti.
Sementara itu, di antara gerak rintis para penari, di panggung bagian belakang tiga perempuan membawa payung bergagang panjang bergerak perlahan dari sisi kanan menuju kiri panggung.
Ketika para penari itu "menghilang" dari atas panggung, setting pun berubah: kursi plastik warna hitam ukuran kecil ditaruh di tengah, ada seorang laki-laki menuntun sepeda, sepasang laki-laki dan perempuan saling bergandengan tangan untuk kemudian saling melepaskan, sementara di bagian belakang panggung ada dua perempuan berjalan perlahan membawa balon berbentuk pesawat terbang dan gumpalan awan.
"Kehebohan" itu hanyalah pembuka menuju fragmen kedua, yaitu adegan yang menggambarkan suasana di Pusiban Kerajaan Palembang. Selain Pangeran Riya, dalam pertemuan agung itu juga hadir Kriya Niru (adik Pangeran Riya), para prajurit, punggawa kerajaan, dan para inang pengasuh.
Pertemuan itu hanya membahas satu hal: kecantikan Dayang Rindu. Kriya Niru menggambarkan kecantikan Dayang Rindu sebagai "Kulitnya putih kuning pohon pisang. Tahi lalatnya jarang bak bintang bertaburan. Rambutnya panjang menyapu gelombang, mengilat bak sutra pemikat. Wajahnya elok bulan purnama. Pipinya ranum bak buah mangga, waktu tersenyum bagaikan bunga."
Sementara Ki Bayi Metig menggambarkan keelokan Dayang Rindu sebagai Muli rebah penontong, ngualai keding siku sango penasak sedong, mak urung jadi ratu.
Gambaran kecantikan Dayang Rindu yang disampaikan Kriya Niru dan Ki Bayi Metig makin memperbesar hasrat Pangeran Riya untuk menyunting Dayang Rindu, meskipun ia belum pernah bertemu. Ia makin mabuk kepayang. Maka, titah pun diturunkan: Temenggung Itam, Ki Bayi Metig, dan Kriya Niru harus segera menyunting Dayang Rindu. Para prajurit itu pun bergegas berangkat bersama prajurit terbaik. Mereka membawa aneka persembahan untuk meminang Dayang Rindu. Antara lain 70 helai kulit macan, sirih, tembakau, gambir, pinang, sepeti uang mas dan perak, sepeti kain kuning, 25 peti permata bergambar bunga kencana, dan pusaka keris mulia.
Kedatangan mereka ke Tanjung Iran, kediaman Dayang Rindu, digambarkan seperti guruh di dasar laut, bunyinya bersorak bertaut lagunya kapal tiada tandingan. Mereka datang dengan perahu dan kapal dan serta peralatan perang lengkap: tombak, pedang, bedil, dan meriam.
Sesampai di rumah Dayang Rindu, utusan Pangeran Riya itu kecewa karena pinangan ditolak Wayang Semu (ayah Dayang Rindu). Itu karena Dayang Rindu sudah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, anak Batin Pasak di Rambang. Perang tak bisa dihindarkan. Dayang Rindu kehilangan tiga orang yang dicintai sekaligus: Wayang Semu (ayah), Ki Bayi Cili (kakak, dan Bayi Radin (calon suami). Ketiganya tewas dalam perang tersebut.
Sakit hati Dayang Rindu makin dalam. Ia pun menolak pinangan Pangeran Riya. Akhir cerita tidak menjelaskan secara detail nasib Dayang Rindu. Hanya ada penggambaran bahwa Dayang Rindu kemudian terbang ke kahyangan. Secara simbolik pula, Dayang Rindu digambarkan bertemu dengan Pangeran Riya. Namun, toh Pangeran Riya tidak bisa memperistri Dayang Rindu.
***
The Song of Dajang Rindu yang dipentaskan Komunitas Berkat Yakin naskah aslinya merupakan manuskrip karya Van der Tuuk. Naskah asli berbahasa Lampung itu kini masih tersimpan baik di Leiden, Belanda. Itu hanyalah salah satu versi di antara banyak versi legenda Dayang Rindu. Konon setidaknya ada 10-an versi legenda Dayang Rindu. Selain di Leiden, versi lain legenda Dayang Rindu manuskrip aslinya tersimpan di London, Munich, dan Dublin. Selain di Sumatera Selatan, legenda Dayang Rindu juga ada di Lampung, Sumatera Barat, dan beberapa daerah lain di Sumatera.
Sebagai legenda, masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung meyakini bahwa kisah Dayang Rindu dulunya benar-benar ada. Di Musi Rawas, Sumatera Selatan, misalnya, Dayang Rindu digambarkan sebagai putri yang turun dari langit ke bumi dengan membawa beras untuk menolong masyarakat miskin. Warga yang tidak punya benih padi diberi benih. Padi yang dibawa Putri Dayang itulah yang secara turun-temurun dibudidayakan dan kemudian disebut padi dayang rindu. Di zaman kiwari, padi jenis ini dikembangkan di Cianjur.
Tafsir lain Dayang Rindu yang dilakukan oleh sutradara Komunitas Berkat Yakin, Ari Pahala Hutabarat, saya kira menjadi momen penting untuk menggali kembali tentang naskah-naskah Malayu kuno yang kini bisa dibilang sudah "terkubur" itu. Sebagai sutradara, Ari berani keluar dari mainstream pola pemanggungan konvesional. Pementasan The Song of Dajang Rindu tidak begitu mementingkan moral cerita di balik kasih tak sampai.
Saya kira komposisi perahu-kapal dan ombak yang dimainkan para aktor Berkat Yakin sangat artistik. Lumayan dahsyat. Beberapa adegan lain juga menunjukkan kejelian dan kepiawaian Ari menafsir naskah kuno yang bahasanya klise itu. Selain menggarap secara substil beberapa komposisi, aneka gerak, tata cahaya, dan musik, pentas Komunitas Berkat Yakin kali ini juga memberikan kesegaran kepada penonton berupa aneka pembocoran yang disengaja. Misalnya adalah munculnya penyelam (dengan masker selamnya) di sela-sela gemuruh ombak pasukan Kesultanan Palembang menuju Tanjung Iran.
Bagi sebagian besar penonton, "pembocoran" semacam itu mungkin menghibur karena lucu. Pada sisi lain "pembocoran" itu justru berpotensi merusak bangunan pementasan secara keseluruhan. Keseriusan penggarapan naskah yang dilakukan lewat pendekatan "teater tari" seolah-olah menjadi sangat cair (juga "berlemak"). Semoga ini baru sebuah awal proses yang masih akan berlanjut.
Semoga tafsir saya atas tafsir Dayang Rindu yang dilakukan Komunitas Berkat Yakin ini salah. Dengan begitu masih ada harapan munculnya eksplorasi lebih dalam dan proses dialog yang lebih panjang sehingga Dayang Rindu benar-benar dirindu.
Oyos Saroso H.N., pengamat kesenian
Sumber:
Lampung Post, Minggu, 24 Juni 2012