July 19, 2007

Pustaka: Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung Gelar Penerbitan Bahasa Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sekolah Kebudayaan Lampung adalah yayasan pendidikan informal yang didirikan sejak Desember 2004. Tujuannya melakukan upaya sinergis dalam penataan hubungan antarkelompok, penguatan budaya Lampung, dan resolusi konflik, melalui penelitian/kajian, pelatihan tentang pencegahan konflik, mediasi kepada berbagai kalangan. Sekaligus pengembangan untuk kurikulum pendidikan yang berbasis pada hubungan antarkelompok dan resolusi konflik yang ditawarkan pada lembaga pendidikan formal, dan penerbitan buku.

Sekretaris Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) Budi Hatees menjelaskan, sebagai sebuah lembaga yang melakukan kerja penelitian dan pelatihan untuk penguatan budaya Lampung di tengah-tengah masyarakat Lampung yang sangat heterogen, Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) melalui Penerbit Matakata yang dikelolanya membuat Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung.

Ia menjelaskan program ini digulirkan sejak Januari 2007 lalu sebagai out put dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan terhadap fenomena budaya yang kini menghantui upaya pelestarian kebudayaan Lampung. Dari salah satu penelitian yang dilakukan pada 2006 menunjukkan, penganut budaya Lampung tinggal 15% dari 7 juta penduduk di Provinsi Lampung. Sebesar 20 % penduduk berasal dari penganut budaya yang ada di Sumatera Selatan (Palembang, Semendo, Komering, dan Jambi).

Sebanyak 30% terdiri dari penganut budaya Batak, Bugis, Sasak, Ambon, Padang, Tionghoa, dan Aceh. Sisanya, sebanyak 45% merupakan masyarakat penganut budaya yang datang dari Pulau Jawa dan Bali (Banten, Jawa, Sunda, dan Bali).

Menghadapi kondisi makin menurunnya penganut kebudayaan Lampung di Provinsi Lampung, SKL meluncurkan Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung pada 20 Januari 2007. Program ini berupa penerbitan buku-buku sastra dalam bahasa Lampung setiap tahun minimal tiga buku yang bertujuan melestarikan bahasa Lampung dengan cara memunculkan buku-buku bacaan berbahasa Lampung agar penutur bahasa asli masyarakat Lampung ini terus bertambah.

Salah satu realisasi Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung ini, pada Juli 2007 Penerbit Matakata akan meluncurkan antologi puisi berbahasa Lampung berjudul Mak Dawah, Mak Dibingi. Buku kumpulan 100 sajak karya Udo Z. Karzi bertemakan persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Lampung di tengah-tengah gempuran modernisasi yang keras dan tak terarah. RLS/S-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Juli 2007



Mak Dawah Mak Dibingi

YAYASAN Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) mengawali Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung dengan meluncurkan antologi puisi berbahasa Lampung, Mak Dawah, Mak Dibingi. Buku kumpulan 100 sajak berisi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Lampung di tengah-tengah gempuran modernisasi itu diterbitkan Juli 2007 oleh Penerbit Matakata.

Program yang digulirkan sejak Januari 2007 lalu merupakan output dari penelitian terhadap upaya melestarikan kebudayaan Lampung. Salah satu hasil penelitian menunjukkan penganut budaya Lampung tinggal 15 persen dari 7 juta penduduk Lampung. Sebesar 20 persen penduduk berasal dari penganut budaya yang ada di Sumatera Selatan (Palembang, Semendo, Komering, dan Jambi).

Sebanyak 30 persen terdiri dari penganut budaya Batak, Bugis, Sasak, Ambon, Padang, Tionghoa, dan Aceh. Sisanya, sebanyak 45% merupakan masyarakat penganut budaya yang datang dari Pulau Jawa dan Bali (Banten, Jawa, Sunda, dan Bali).

"Program ini berupa penerbitan buku-buku sastra dalam bahasa Lampung setiap tahun minimal 3 buku yang bertujuan melestarikan bahasa Lampung," kata Sekretaris SKL Budi Hatees dalam siaran persnya kemarin.

Dia mengharapkan antologi karya Udo Z. Karzi mampu membuat bahasa Lampung menjadi lebih dekat dengan masyarakat dengan cara menjadikan buku tersebut sebagai sumber (bahan) bacaan dalam dunia pendidikan formal sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal.

Selain buku kumpulan sajak itu, Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung sedang menyiapkan kumpulan dongeng masyarakat Lampung dari Kabupaten Lampung Selatan. Buku berisi 15 dongeng ini disiapkan sebagai bahan ajar muatan lokal. (hendarto setiawan)

Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 14 Juli 2007

No comments:

Post a Comment