June 12, 2011
[Buku] Menanam Kata Mengetam Makna
Judul buku : Menanam Benih Kata
Penulis : Ari Pahala Hutabarat
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung
Cetakan I : Desember 2010
Tebal : 284 halaman
ADA saatnya menanam ada saatnya mengetam. Sebelum mengetam ada proses menanam jika tidak ingin menjadi pengetam tanaman orang. Tapi sebelum menanam, ada proses lain yang harus ditunaikan. Mulai dari babat alas bagi pemula, mencangkul, membuat lalahan, menggemburkan persemaian, menyiram, menaburi pupuk, hingga lahan siap dibenami biji-biji yang kelak bermunculan manjadi pohon dengan buah ranumnya.
Itu idealnya. Untuk menuju yang ideal itu, sehuma langkah menjadi PR petani kata. Untuk sampai pada pencapaian buah makna, benih kata harus dijaga, disiram, disiangi, selain petani harus telaten mengusir setiap hama yang bertandang. Itu saja tak purna, perlu ketekunan dan kesabaran menanti bunga yang tak juga tiba atau buah yang hanya muncul pada waktunya. Aha....adakah itu melelahkan? Ataukah itu pekerjaan mahasulit yang tak dapat diselesaikan? Jika pertanyaan ini disampaikan pada petani yang begitu besar cintanya pada pekerjaanya, tentu ini pekerjaan yang membahagiakan. Tak ingin rasanya meninggalkan semua hanya untuk menengok layar televisi sekalipun. Tapi coba tanyakan kepada para pejabat yang tak pernah kenal musim pun sasmita alam. Pasti akan menganggapnya sebagai beban mahaberat yang tak layak bagi kaum intelektual. Huffff.....
Semua berasal dari rasa cinta yang membuat segala hal menjadi tanpa beban, ringan, seringan cahaya. Lalu bagaimana menjadikan semua seringan cahaya. Bagi para pemula pun pencinta sastra yang kesulitan megeluarkan kata-kata, meroncenya menjadi kalimat, hingga pembaca menuai makna, tanyakan pada Ari Pahala! Lo, kok???!
Kita tidak akan memberikan tanda tanya jika telah membaca bukunya: Menanam Benih Kata. Ari pahala Hutabarat yang menjadi suhu di Komunitas Berkat Yakin (Kober) tak berbeda dengan petani sastra yang begitu tekun babat alas kegersangan dunia sastra Lampung, mencangkul lahan puisi, menyemai biji-biji huruf hingga tumbuh kata yang siap ditanam di persilatan intelektual. Semoga bertaburanlah makna yang dicecap para pembaca yang mengetam lembar-lembar karyanya. Seperti pada buku Menanm Benih Kata yang tak bosan saya baca.
Sebenarnya jika diringkas ini akan menjadi buku metodologi menulis puisi yang bisa tunai dalam beberapa lembar saja. Tapi saya yakin jika itu yang dilakukan penulis, tak beda dengan pelajaran-pelajaran sastra di sekolah yang menjemukan. Sebagai seorang “petani ulung”, bukan itu yang dilakukan Ari. Dengan sadar ia mengatakan dalam bukunya yang disarikan dari soneta Sanusi Pane : “...Yang menjadi soal baik dan buruknya sebuah karya pertama-tama bukanlah dilihat dari apa yang akan disampaikan oleh penulis, tapi bagaimana cara kita mengungkapkannya.”
Dari kesadaran itu lahirlah lembar-lembar makna tanpa membebani pembaca dengan kesulitan-kesulitan yang mengerutkan dahi. Tulisan yang dikemas dalam bentuk cerita antara murid dan sang guru ini terasa ringan tapi begitu hadir. Seperti cahaya yang tak membebani tapi menerangi. Dengan diselingi gurauan kocak antara Mbah Bob dan para santrinya, menjadikan bacaan ini tak lagi menjelma metodologi menulis puisi bagi pemula. Ia serupa warahan dari Sang Guru kepada muridnya. Kita tidak hanya dituturi ajaran-ajaran, tapi kita seolah masuk dalam halakah sastra yang setiap harinya mendapatkan pencerahan tanpa kesakitan. Pada halaman 13, salah satu ungkapan Mbah Bob pada santrinya, Budi, yang menjadi murid tercerahkan.
“Menulis itu enggak perlu serius. Kalau kamu mau serius, saat kamu mengumpulkan bahan untuk apa yang kau tuliskan nanti. Risetlah yang sedalam-dalamnya, seteliti-setelitinya, sebanyak-banyaknya, tapi ketika datang saatnya untuk menulis, santailah, bergembiralah, apalagi kalau kau mau menulis puisi.”
Pada bagian lain, dengan piawai Ari menaburkan ajaran dengan cara kocak tapi cukup mengena. Saat Mbah Bob menanyakan tujuan Budi menulis puisi, spontan muridnya menjawab:
“Ya, aku ingin menyampaikan gagasan-gagasan yang ada di kepalaku kepada pembaca, Mbah.”
Dengan nada kocak Sang Guru menjawab:
“Ke kepala pembaca saja? Ke hatinya enggak?”
Pertanyaan Sang Guru tentu menjadi koreksi bagi para penulis, baik pemula maupun yang telah mendapat gelar Malaikat Sastra sekalipun. Karena tulisan yang dapat diterima hati tentu bukan tulisan biasa, melainkan tulisan yang ditulis dengan segenap hati oleh penyampainya.
Buku ini dikemas dengan elok, membuat kita tak bosan membaca lembar demi lembar. Dikuatkan aforisma dari penulis dan penyair ternama pada lembar kiri buku dan cerita pada lembar kanan membuat kita semakin termanjakan untuk belajar sastra, wabilkhusus puisi.
Budi, sang tokoh, yang semula sangat kesulitan dalam menulis puisi, setelah mendapat pencerahan dari lembar-lembar harinya bersama Mbah Bob dan teman-teman sepergurunnya menjadi penulis yang dengan sepenuh cinta menaburkan ide-idenya.
Pada lembar ke 281 dikisahkan :
Budi tersenyum, sekian banyak citra, personifikasi, dan metafora bercahaya di ujung jari-jarinya. Sekian ungkapan yang dianggapnya ketinggalan zaman dan klise tanpa ragu-ragu dibuang dan diubahnya.
Penutup ini seperti happy ending dalam cerita-cerita dongeng, tapi bukan hal yang mustahil bagi para peminat sastra untuk memasuki rimba sastra pun menulis dongeng.
S.W. Teofani, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment