BERBAHAGIALAH menjadi—atau sebagai—orang Lampung. Bukan cuma dianugerahi alam dan iklim yang elok, daerah ini mewarisi jiwa yang baik. Unsurnya mulai dari sikap terbuka warga asli terhadap pendatang, menghormati orang lain, sampai sifat komunal yang mengesankan. Kulturnya, antara lain, undangan makan antar-sanak keluarga (tradisi chuak mengan) dengan seruit sebagai main course dan pengikat utama.
Maka, ketika ribuan orang berkumpul nyeruit (makan dengan menu utama seruit) di lapangan Saburai, pecahlah rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Perhelatan puncak menyambut ulang tahun ke-329 Bandar Lampung itu menjadi penegas kearifan lokal yang mengitari suku di ujung Sumatera ini. Unsur superlatif, langka, dan unik memang syarat penting rekor Muri.
Namun, urusan sesungguhnya jelas bukan pada rekor semata. Ribuan orang dengan pakaian adat, lengkap dengan sarung yang melilit pinggang plus cara duduk mengangkat kaki—sangat khas. Di luar tampilan fisik, atmosfer persatuan memayungi hajat yang disaksikan belasan ribu warga yang antuasias menyaksikan kejadian langka ini.
Seruit adalah makanan yang terdiri dari ikan bakar atau goreng beserta lalapannya. Lalu dicampur sambal terasi, tempoyak, atau mangga. Tempoyak merupakan hasil fermentasi durian. Seruit kian nikmat jika disantap dengan nasi, ikan pindang kuning, dan serbat (jus mangga dan kiwi). Nyeruit identik dengan makan rame-rame, khususnya dengan anggota keluarga. Maka, prosesi nyeruit massal kemarin menjadi puncak keindahan masyarakat yang amat mengutamakan persaudaraan.
Yang menarik, semua unsur makanan diracik sekaligus dan harus habis saat itu juga. Lap dan air es atau jus menjadi syarat berikutnya mengingat tangan yang mesti "dinetralkan" dan tenggorokan yang perlu didinginkan untuk mengurangi rasa panas akibat sambal yang pedas. Seruit yang sudah jadi dalam satu wadah dimakan bareng. Rebusan daun singkong diambil secukupnya lalu dicocol ke seruit. Setelah itu letakkan di sesuap nasi, dan tandas masuk perut dalam satu entakan. Lalapan mentah mengiringi nasi yang segera ditelan tersebut. Rasa seruit yang pedas, asam, dan manis memiliki "daya desak" penikmatnya untuk menuntaskan hidangan sampai habis. Mereka umumnya saling berbicara pada momen ini; dari masalah domestik sampai urusan luar negeri.
Bagi masyarakat Lampung, seruit bukan sekadar makanan. Inilah lambang yang menegaskan kebersamaan; kebersamaan yang dikayuh berabad-abad, sehingga proses akulturasi budaya berlangsung mulus di sini. Daerah ini telah membuktikan dirinya sebagai Indonesia mini. Ratusan suku bergabung dan tersebar di hampir setiap inci wilayah.
Kekayaan tradisi ini menjadi penanda penting bergeraknya Lampung, khususnya Bandar Lampung sebagai ibu kota, menghadapi modernitas tanpa kehilangan visi. Dan seruit sukses menjadi unsur yang mempertalikan keberagaman tersebut dalam suatu ikatan yang indah.
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
No comments:
Post a Comment