June 12, 2011

Sansayan Sekeghumong: Pemantik Sendratari Skala Brak?

Oleh Sigid Nugroho


Nujum Gerinung di tanah kerajaan Skala Brak
Percintaan berbeda kasta adalah tabu
Pangeran dan rakyat jelata tak akan bersatu
Darah "Saibatin" harus selalu biru
Tak akan bercampur darah jelata Seperdu
: Inilah titah Pun Beliau Ratu
Bertaruh nyawa risalah cinta tanpa restu
Kemurkaan Sekeghumong Saibatin Ratu




SANSAYAN SEKEGHUMONG. Pementasan Tari Sansayan Sekeghumong dalam rangkaian Gelar Kereografi Ajang Kreasi 2011 di Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (4-6) lalu. Koreografi tarian dari salah satu bagian novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni ini digarap Ayu Endiarti dan Dina Febriani. (FOTO: SIGID NUGROHO)

SEJENAK ruangan gelap dan sunyi. Lirih sayatan biola mengiring kemunculan Ratu Sekeghumong di tengah panggung yang disulap menjadi Lamban Dalom Skala Brak berbalut temaram cahaya bernuansa magis, menandai dimulainya pertunjukan Sansayan Sekeghumong dalam rangkaian Gelar Koreografi Ajang Kreasi 2011 di Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta pada 4 Juni 2011.

Sansayan Sekeghumong adalah tarian tentang kemurkaan. Garapan koreografer muda Ayu Endiarti dan Dina Febriani ini melibatkan tujuh penari beserta tujuh pengiring musik yang kesemuanya berasal dari Lampung. Mereka adalah mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa Lampung dan sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.

Pertunjukan itu mengisahkan Kekuk Siuk, Pangeran Sekala Bgha yang memimpikan Seperdu menjadi Ratu Skala Bgha. Ia ingin mendudukkan kekasihnya yang berasal dari perempuan desa itu menjadi permaisuri "semua kasta", berbekal keyakinan bahwa kelahiran seorang anak manusia dari perkawinan keturunan Wangsa Sekala Bgha dengan rakyat jelata tidak melanggar aturan dewa. Tapi tidak bagi ibundanya, Ratu Sekeghumong. Perkawinan semacam itu hanyalah cara purba yang biasa ditempuh para penakluk untuk mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya dan tak lebih dari sekadar ungkapan tanda takluk suatu bangsa terhadap bangsa lain. Kisah cinta putra mahkota dan Seperdu, gadis pekon pedalaman Kulut itu pun berakhir dengan kematian tragis Seperdu.

Kisah Sansayan Sekeghumong sendiri adalah hasil eksplorasi yang bersumber dari salah satu bagian cerita dalam novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni (BE Press, 2011) yang mengangkat kenyataan sejarah asal muasal Lampung. Hal ini juga ditegaskan oleh Ayu Erindiasti, "Novel ini secara tidak langsung berpengaruh bagi kami, terutama mahasiswa Lampung yang tinggal di asrama. Kami semacam menemukan gerbang untuk menyelami muasal moyang kami. Lewat pergelaran inilah kemudian kami sengaja menyuguhkan cerita rakyat Lampung kepada khalayak luas sebagai wujud kecintaan terhadap kebudayaan Lampung yang harus tetap dijaga," ujar mahasiswi semester akhir Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) ini.

Warna Baru

Selama pertunjukan berlangsung, penonton tidak melulu disuguhi tarian klasik. Pada beberapa adegan tarian memang masih terlihat gerak dasar tari klasik, sepeti gerak kenui melayang, samber yang biasa ditemui pada tari Sembah, gerak babar kipas atau sughung skapan pada tari Melinting. Selebihnya gerakan tari melayu yang rampak mendominasi adegan jogetan pasangan, sedangkan pada adegan-adegan romantis tidak berpijak pada gerak apa pun, mengalir begitu saja.

Begitu pula dengan iringan musiknya, boleh dibilang lebih modern. "Dalam pertunjukan ini kami sengaja mencoba untuk keluar dari pakem, ini sebagai proses pembelajaran sekaligus ingin menawarkan warna berbeda dari model musik pengiring pertunjukan tari yang biasa ditemui di Lampung. Musik yang kami kemas lebih menonjolkan warna musik kolosal dan kekinian dengan menggunakan alat musik seperti biola dan gamolan peghing Lampung," ujar Risendy Nopriza, penata musik yang sedang menyelesaikan studi di Jurusan Entomusikologi, Institut Seni Indonesia ini.

"Keberadaan musik di Lampung sangatlah beragam, sebut saja misalnya gambus, biola, harmonium kayu, gitar peting, serdam, gamolan peghing, ghaddap/teghbangan, hadra, ini menunjukkan Lampung sangatlah kaya, tetapi lebih jauh kalau melihat dan mengamati musik-musik tari di Lampung saat ini masih terkesan monoton, belum berani mengeksplor, contohnya pada lomba tari kreasi dalam Festival Krakatau," ujarnya.

Butuh Apresiasi Lebih

Setiap tahunnya mahasiswa Lampung yang berproses di Yogyakarta menghasilkan dua sampai tiga garapan baru dalam bentuk pertunjukan tari yang mengangkat kebudayaan Lampung. Meskipun proses kelahiran karya tersebut masih terbatas pada jalur formal pendidikan seni tari, tidak bisa dipungkiri bahwa Lampung mampu memberi insiprasi bagi kemunculan kreator-kreator baru dibarengi dengan catatan-catatan penting yang masih sangat terbuka bagi siapa saja untuk terlibat memberikan kontribusi dalam kerangka pengembangan dan pendokumentasiannya.

"Sesungguhnya novel Perempuan Penunggang Harimau bisa menjadi modal kita untuk melahirkan karya-karya besar," ujar Novan Adi Putra Saliwa, anggota Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Pelajar Mahasiswa Lampung (Himpala) Jogja yang juga salah satu penari dalam pertunjukan tersebut. "Jika belajar dari pergelaran Sendratari Ramayana yang sudah dikenal hingga mancanegara, selayaknya pertunjukan Sansayan Sekeghumong bisa menjadi pemantik lahirnya Sendratari Skala Brak," kata Novan.

Tidak berlebihan jika pertunjukan Sansayan Sekeghumong membutuhkan apresiasi lebih dan panggung yang luas, khususnya di Lampung sendiri. n

Sigid Nugroho, penikmat seni, tinggal di Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2011YA

No comments:

Post a Comment