BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tiga calon rektor Universitas Lampung (Unila) dalam debat kandidat kemarin sepakat menuntaskan rencana strategis tahun 2025 kampus Unila menjadi top ten university.
Debat kandidat yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila itu menghadirkan tiga calon rektor, yaitu Sugeng P. Harianto (rektor Unila sekarang), Wan Abbas Zakaria (dekan Fakultas Pertanian Unila), dan Paul B. Timotiwu.
Dalam kepemimpinannya selama ini, Sugeng ingin melanjutkan program pembangunan Unila yang sudah dikerjakannya. Selain itu, mendorong promosi calon guru besar juga menekan angka drop out (DO) bagi mahasiswa yang tidak bisa membayar SPP untuk mewujudkan top ten university.
"Jumlah guru besar selama empat tahun terus bertambah untuk penguatan kualitas kampus," kata Sugeng dalam debat yang digelar di Auditorium Perpustakaan Unila, Selasa (23-8).
Hal senada disampaikan Wan Abbas. Dia mengatakan penguatan manajemen dan budaya akademik harus dijalankan. Peran strategis Unila bersifat kompetensi global. "Lulusan berkarakter iptek, gagasan dan lain-lain. Kemudian ada peningkatan daya saing bangsa dalam bentuk global," ujar Wan Abbas.
Paul B. Timotiwu menuturkan jabatan rektor bukan semata-mata tujuannya, melainkan pencapaian visi yang lebih penting. "Unila harus menguatkan tata pamong (governance) yang baik. Harus ada tata pamong yang baik. Ini menjadi komitmen bersama dari pimpinan sampai karyawan paling bawah," kata dia.
Seorang panelis debat, Eko Primananda, presiden BEM Unila, meragukan kesanggupan tiga calon rektor membawa Unila menggapai top ten university beserta program-program yang lainnya.
Dalam pertanyaannya kepada ketiga calon tersebut, Eko menyinggung tentang program-program yang akan dijalankan tersebut tidak disosialisasikan ke masyarakat, khususnya di lingkungan Unila. "Fasilitas sarana dan prasarana perkuliahan yang ada di Unila harus dibenahi untuk mewujudkan Unila mencapai top ten university," kata dia.
Di akhir debat, ketiga calon rektor menginginkan yang terbaik untuk Unila pada empat tahun mendatang, terutama persoalan kekurangan fasilitas perkuliahan yang masih dirasakan mahasiswa. (*/R-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 Agustus 2011
August 24, 2011
August 23, 2011
Suksesi Unila: Pemimpin Harus Kedepankan Jaga Kearifan Lokal
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Calon rektor Universitas Lampung (Unila) jika terpilih nanti diharapkan menjaga dan mendukung keberadaan aksara dan budaya Lampung. Selain itu, juga membuka kembali Program Bahasa dan Sastra Lampung di Unila.
"Karena orang Lampung sendiri saja tidak mau berbicara bahasa Lampung. Dan ini yang harus diperhatikan oleh calon rektor, agar aksara, budaya, dan bahasa Lampung tidak hilang," ujar Nasrun Rakai dari Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) dalam diskusi yang diadakan BEM Unila di kantor Lampung Post, Senin (22-8).
Diskusi bertema Kepemimpinan Unila untuk pembangunan Lampung ini dihadiri Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Lampung Post), Syarief Makhya (Akademisi Unila), Rahmad Nurudin (Wakil Presiden Unila), dan dimoderatori Basrin (Mensospol BEM Unila).
Unila sendiri pada pertengahan September mendatang akan menggelar pemilihan rektor. Tiga calon yang siap bertarung memperebutkan kursi nomor satu di Unila itu adalah Sugeng P. Harianto (Rektor Unila sekarang), Wan Abbas Zakaria (Dekan Fakultas Pertanian), dan Paul Benyamin Timotuwu (Guru Besar Fakultas Pertanian).
Menurut Syarief Makhya, sistem kepemimpinan di perguruan tinggi sangat berbeda pola penerapannya di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga politik. "Letak dan karakter perguruan tinggi itu ilmu pengetahuan. Kalau sudah masuk ranah politik, akan kacau dan tidak berhasil," katanya.
Pola kepemimpinan bukan hanya menggaet peringkat, harus ada kontribusi positif ke masyarakatnya. Pemimpin harus mengembangkan budaya lokal, bukan hanya adat istiadat, melainkan sistem nilai. "Sebuah perguruan tinggi harus punya kepedulian lokal," kata dia.
Menurut Djadjat, Unila dan setiap universitas harus mengembangkan keunggulan. Selain dari bidang pertanian, terutama Lampung sebagai wilayah yang prospek dalam bidang pertanian, Unila harus mengembangkan kebudayaan.
Dalam perspektif media, menurut Djadjat, sebuah institusi pendidikan sama halnya dengan institusi negara, basisnya adalah kepercayaan kepada publik. "Unila kalau tidak ada makna publik buat apa? Jadi, hal ini menjadi sangat penting," ujarnya. (*/D-2)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 August 2011
"Karena orang Lampung sendiri saja tidak mau berbicara bahasa Lampung. Dan ini yang harus diperhatikan oleh calon rektor, agar aksara, budaya, dan bahasa Lampung tidak hilang," ujar Nasrun Rakai dari Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) dalam diskusi yang diadakan BEM Unila di kantor Lampung Post, Senin (22-8).
Diskusi bertema Kepemimpinan Unila untuk pembangunan Lampung ini dihadiri Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Lampung Post), Syarief Makhya (Akademisi Unila), Rahmad Nurudin (Wakil Presiden Unila), dan dimoderatori Basrin (Mensospol BEM Unila).
Unila sendiri pada pertengahan September mendatang akan menggelar pemilihan rektor. Tiga calon yang siap bertarung memperebutkan kursi nomor satu di Unila itu adalah Sugeng P. Harianto (Rektor Unila sekarang), Wan Abbas Zakaria (Dekan Fakultas Pertanian), dan Paul Benyamin Timotuwu (Guru Besar Fakultas Pertanian).
Menurut Syarief Makhya, sistem kepemimpinan di perguruan tinggi sangat berbeda pola penerapannya di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga politik. "Letak dan karakter perguruan tinggi itu ilmu pengetahuan. Kalau sudah masuk ranah politik, akan kacau dan tidak berhasil," katanya.
Pola kepemimpinan bukan hanya menggaet peringkat, harus ada kontribusi positif ke masyarakatnya. Pemimpin harus mengembangkan budaya lokal, bukan hanya adat istiadat, melainkan sistem nilai. "Sebuah perguruan tinggi harus punya kepedulian lokal," kata dia.
Menurut Djadjat, Unila dan setiap universitas harus mengembangkan keunggulan. Selain dari bidang pertanian, terutama Lampung sebagai wilayah yang prospek dalam bidang pertanian, Unila harus mengembangkan kebudayaan.
Dalam perspektif media, menurut Djadjat, sebuah institusi pendidikan sama halnya dengan institusi negara, basisnya adalah kepercayaan kepada publik. "Unila kalau tidak ada makna publik buat apa? Jadi, hal ini menjadi sangat penting," ujarnya. (*/D-2)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 August 2011
August 22, 2011
Tugas (Baru) Rektor Unila
Oleh Ricky P. Marly
PROSES penjaringan bakal calon rektor Universitas Lampung periode 2011—2015 telah berakhir. Dari proses verifikasi, muncul tiga nama yang bersedia dan kelak akan memangku jabatan sebagai rektor Unila. Ketiga nama tersebut adalah Sugeng P. Harianto, Wan Abbas Zakaria, dan Paul Benyamin Timotiwu. Ketiga nama ini berasal dari Fakultas Pertanian.
Siapa pun yang bakal terpilih pada pertengahan September nanti, yang jelas pekerjaan rumah Unila menanti. Tak sekadar angan pencapaian Unila ingin menjadi 10 perguruan terbaik di Indonesia dan juga hendak go international dalam skema World Class Research University (WCRU). Namun lebih dari itu, berbagai persoalan yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Seperti fasilitas kuliah yang minim, kualitas dan kuantitas dosen yang masih sedikit diragukan, terutama kualitas guru besar, hingga kualitas lulusan yang nantinya akan terjun ke dunia kerja (masyarakat) dengan menerapkan Tridarma Perguruan Tinggi.
Visi Unila, secara subtansial adalah pengembangan ilmu, bukan visi dalam pengertian yang bersifat teknis. Oleh sebab itu, pengelolaan sumber daya harus diarahkan pada pengembangan ilmu dan peningkatan kinerja dalam proses pembelajaran. Pengembangan ilmu dan peningkatan proses pembelajaran bukan hanya dalam konteks mengejar peringkat, melainkan sampai seberapa jauh ilmuwan Unila itu mampu memberi kontribusi terhadap masyarakat dan lingkungannya (Syarief Makhya, Lampung Post, 25 Juli 2011).
Fasilitas Perkuliahan
Banyak keluhan dari mahasiswa tentang fasilitas perkuliahan. Terlepas dari dana APBD dan dana SPP mahasiswa yang diperoleh Unila-cukup atau tidak, tetapi mahasiswa merasakan ketidaknyamannya untuk saat ini dalam mengikuti proses perkuliahan. Terbukti, keluhan mahasiswa ini kurang berhasil dijalankan oleh kepemimpinan Sugeng P. Harianto, Rektor Unila saat ini.
Permasalahan ini harus diperhatikan untuk ketiga calon rektor. Sebisa mungkin menjadi prioritas serta sudah terprogramkan sebelumnya. Ketika kelak terpilih menjadi menjadi rektor, mahasiswa langsung merasa nyaman dalam menggunakan fasilitas perkuliahan. Karena fasilitas perkuliahan dan mahasiswa yang cerdas dan kreatif merupakan faktor utama dalam program-program lainnya dalam memajukan Unila.
Sehingga budaya akademik di lingkungan kampus bisa berjalan dengan cepat bila kendala tersebut diselesaikan. Budaya yang saat ini mulai tergerus di lingkungan kampus Unila yang bisa mengancam Unila dalam menggapai cita-citanya saat ini.
Pengamat Sosial Redi Panuju mengatakan masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan tinggi di Indonesia telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan, melainkan juga akibat keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri.
Dalam hal pengaruh keadaan internal perguruan tinggi ini, Unila harus sanggup mengatasinya. Masalah utama yang harus diatasi adalah memberi kenyamanan kepada mahasiswa dengan memberikan fasilitas yang memadai untuk menopang aktivitas perkuliahan. Selain itu, pengaruh keadaan internal di kampus terjadi juga pada kualitas dosen, karyawan, serta pengaruh-pengaruh yang lainnya.
Terlepas dari penilaian Menteri Pendidikan Nasional yang sebesar 35% dalam memilih rektor perguruan tinggi negeri dan 65% suara senat. Hal ini jelas menodai otonomi kampus, karena suara senat akan kalah dengan suara menteri dan tentunya juga akan membawa korban. Namun, saya pikir, hal ini tidak dipermasalahkan oleh ketiga calon rektor tersebut. Karena hal ini memang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2010. Hal terpenting adalah siapa pun yang terpilih menjadi rektor Unila nanti, harus benar-benar serius membangun Unila ke arah yang lebih baik. Senat Unila dan Mendiknas akan memilih salah satu dari tiga calon ini untuk menjadi rektor Unila yang akan menentukan Unila pada empat tahun mendatang. Dalam usia yang menginjak 46 tahun, bagi Unila sudah cukup mapan dan selayaknya siap untuk bersaing dengan universitas lain di tingkat Sumatera dan juga di tingkat nasional menjadi top ten university. Semoga saja terwujud!
Ricky P. Marly, Alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Agustus 2011
PROSES penjaringan bakal calon rektor Universitas Lampung periode 2011—2015 telah berakhir. Dari proses verifikasi, muncul tiga nama yang bersedia dan kelak akan memangku jabatan sebagai rektor Unila. Ketiga nama tersebut adalah Sugeng P. Harianto, Wan Abbas Zakaria, dan Paul Benyamin Timotiwu. Ketiga nama ini berasal dari Fakultas Pertanian.
Siapa pun yang bakal terpilih pada pertengahan September nanti, yang jelas pekerjaan rumah Unila menanti. Tak sekadar angan pencapaian Unila ingin menjadi 10 perguruan terbaik di Indonesia dan juga hendak go international dalam skema World Class Research University (WCRU). Namun lebih dari itu, berbagai persoalan yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Seperti fasilitas kuliah yang minim, kualitas dan kuantitas dosen yang masih sedikit diragukan, terutama kualitas guru besar, hingga kualitas lulusan yang nantinya akan terjun ke dunia kerja (masyarakat) dengan menerapkan Tridarma Perguruan Tinggi.
Visi Unila, secara subtansial adalah pengembangan ilmu, bukan visi dalam pengertian yang bersifat teknis. Oleh sebab itu, pengelolaan sumber daya harus diarahkan pada pengembangan ilmu dan peningkatan kinerja dalam proses pembelajaran. Pengembangan ilmu dan peningkatan proses pembelajaran bukan hanya dalam konteks mengejar peringkat, melainkan sampai seberapa jauh ilmuwan Unila itu mampu memberi kontribusi terhadap masyarakat dan lingkungannya (Syarief Makhya, Lampung Post, 25 Juli 2011).
Fasilitas Perkuliahan
Banyak keluhan dari mahasiswa tentang fasilitas perkuliahan. Terlepas dari dana APBD dan dana SPP mahasiswa yang diperoleh Unila-cukup atau tidak, tetapi mahasiswa merasakan ketidaknyamannya untuk saat ini dalam mengikuti proses perkuliahan. Terbukti, keluhan mahasiswa ini kurang berhasil dijalankan oleh kepemimpinan Sugeng P. Harianto, Rektor Unila saat ini.
Permasalahan ini harus diperhatikan untuk ketiga calon rektor. Sebisa mungkin menjadi prioritas serta sudah terprogramkan sebelumnya. Ketika kelak terpilih menjadi menjadi rektor, mahasiswa langsung merasa nyaman dalam menggunakan fasilitas perkuliahan. Karena fasilitas perkuliahan dan mahasiswa yang cerdas dan kreatif merupakan faktor utama dalam program-program lainnya dalam memajukan Unila.
Sehingga budaya akademik di lingkungan kampus bisa berjalan dengan cepat bila kendala tersebut diselesaikan. Budaya yang saat ini mulai tergerus di lingkungan kampus Unila yang bisa mengancam Unila dalam menggapai cita-citanya saat ini.
Pengamat Sosial Redi Panuju mengatakan masalah budaya akademik yang cenderung sulit berkembang di perguruan tinggi di Indonesia telah menjadi topik perbincangan. Beberapa pakar pendidikan meyakini kemunduran kultur akademik bukan hanya karena pengaruh birokrasi pendidikan, melainkan juga akibat keadaan internal perguruan tinggi itu sendiri.
Dalam hal pengaruh keadaan internal perguruan tinggi ini, Unila harus sanggup mengatasinya. Masalah utama yang harus diatasi adalah memberi kenyamanan kepada mahasiswa dengan memberikan fasilitas yang memadai untuk menopang aktivitas perkuliahan. Selain itu, pengaruh keadaan internal di kampus terjadi juga pada kualitas dosen, karyawan, serta pengaruh-pengaruh yang lainnya.
Terlepas dari penilaian Menteri Pendidikan Nasional yang sebesar 35% dalam memilih rektor perguruan tinggi negeri dan 65% suara senat. Hal ini jelas menodai otonomi kampus, karena suara senat akan kalah dengan suara menteri dan tentunya juga akan membawa korban. Namun, saya pikir, hal ini tidak dipermasalahkan oleh ketiga calon rektor tersebut. Karena hal ini memang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2010. Hal terpenting adalah siapa pun yang terpilih menjadi rektor Unila nanti, harus benar-benar serius membangun Unila ke arah yang lebih baik. Senat Unila dan Mendiknas akan memilih salah satu dari tiga calon ini untuk menjadi rektor Unila yang akan menentukan Unila pada empat tahun mendatang. Dalam usia yang menginjak 46 tahun, bagi Unila sudah cukup mapan dan selayaknya siap untuk bersaing dengan universitas lain di tingkat Sumatera dan juga di tingkat nasional menjadi top ten university. Semoga saja terwujud!
Ricky P. Marly, Alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Agustus 2011
August 20, 2011
Pustaka: Tiga Buku Terbit Perkaya Khazanah Sastra Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Khazanah sastra Lampung bertambah dengan terbitnya tiga buku yang kental dengan sejarah dan budaya Lampung.
BUKU BARU. Buku-buku sastra Lampung (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
Budayawan Iwan Nurdaya-Djafar mengatakan ketiga buku diterbitkan tiga penerbit itu, masing-masing dua buku berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda diterbitkan BE Press, Bandar Lampung dan Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma, yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung.
"Satu lagi, Hikayat Nakhoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk. terbitan Ilagaligo Publisher, Bandar Lampung," kata Iwan Nurdaya.
Novel Radin Inten II menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari bumi Lampung dengan penuturan berbahasa Lampung.
Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu). Kisah petualangan ini rampung pada 1202 Hijriyah atau 1778 Masehi.
Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family, 1830. Lalu diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya-Djafar.
Editor Penerbit Pustaka Labrak Udo Z. Karzi, Kamis (18-8), mengatakan kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah dan sastra klasik di Lampung.
"Buku Radin Inten II terdiri dari enam pembabakan cerita, diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan," ujar Udo Z. Karzi.
Menurut Iwan Nurdaya, awalnya Warahan Radin Jambatmerupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang. Naskah ini diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.
"Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait, bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya brais dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal," kata Iwan.
Udo Z Karzi menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung. "Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.
Senada dengan itu, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku ini. "Ketiga buku ini, baik yang berbahasa Lampung maupun yang berbahasa Lampung, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah dan budaya Lampung," ujarnya. (MG1/D-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Agustus 2011
BUKU BARU. Buku-buku sastra Lampung (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
Budayawan Iwan Nurdaya-Djafar mengatakan ketiga buku diterbitkan tiga penerbit itu, masing-masing dua buku berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda diterbitkan BE Press, Bandar Lampung dan Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma, yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandar Lampung.
"Satu lagi, Hikayat Nakhoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk. terbitan Ilagaligo Publisher, Bandar Lampung," kata Iwan Nurdaya.
Novel Radin Inten II menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari bumi Lampung dengan penuturan berbahasa Lampung.
Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu). Kisah petualangan ini rampung pada 1202 Hijriyah atau 1778 Masehi.
Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family, 1830. Lalu diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya-Djafar.
Editor Penerbit Pustaka Labrak Udo Z. Karzi, Kamis (18-8), mengatakan kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah dan sastra klasik di Lampung.
"Buku Radin Inten II terdiri dari enam pembabakan cerita, diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan," ujar Udo Z. Karzi.
Menurut Iwan Nurdaya, awalnya Warahan Radin Jambatmerupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang. Naskah ini diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.
"Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait, bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya brais dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal," kata Iwan.
Udo Z Karzi menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung. "Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.
Senada dengan itu, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku ini. "Ketiga buku ini, baik yang berbahasa Lampung maupun yang berbahasa Lampung, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah dan budaya Lampung," ujarnya. (MG1/D-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Agustus 2011
Melihat Upaya Menyelamatkan Naskah Kuno di Lampung: Terbitkan Tiga Buku untuk Perkaya Khazanah Sastra Lampung
Laporan Taufik Wijaya, BANDARLAMPUNG
Khazanah sastra Lampung bertambah dengan terbitnya tiga buku yang kental dengan sejarah dan budaya Lampung. Seperti apa?
MINIM: Beberapa buku bernuansa Lampung. FOTO NET
DIBANDINGKAN daerah lain, khazanah sastra Lampung dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Bandingkan saja dengan provinsi tetangga, Riau misalnya, Lampung sudah jauh tertinggal. Apalagi dibandingkan daerah lain seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Di dunia maya pun masalah sastra Lampung sangat minim. Hal itu dipicu banyak faktor. Salah satunya karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur. Kondisi ini makin diperparah dengan minimnya perhatian elemen masyarakat, terutama aparat pemerintah, terhadap masalah tersebut.
Sangat jarang terdengar acara diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal membahas tentang sastra Lampung.
Kondisi ini makin miris dengan tingginya biaya operasional pencetakan buku.
Akibatnya dapat dirasakan. Saat ini siswa kesulitan menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas.
Namun, kini kita bisa sedikit tersenyum. Sebab, masih ada masyarakat Lampung yang peduli dengan permasalahan tersebut. Kepedulian itu ditandai dengan upaya menerbitkan tiga buku yang kental dengan nuansa Lampung.
Budayawan Iwan Nurdaya Djafar mengatakan, ketiga buku yang diterbitkan tiga penerbit itu terdiri dua buku berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press, Bandarlampung, dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandarlampung.
’’Satu lagi, Hikayat Nakhoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk. diterbitkan Ilagaligo Publisher, Bandarlampung,” kata Iwan.
Dalam novelnya Radin Inten II, Rudi ingin menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari Sai Bumi Ruwa Jurai dengan penuturan berbahasa Lampung.
’’Buku Radin Inten II terdiri enam pembabakan cerita. Diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala Keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan,” ujar editor Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z. Karzi.
Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu) yang ditulis oleh La Uddin dkk. Kisah petualangan ini rampung pada 1202 Hijriah atau 1778 Masehi.
Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family pada 1830. Lalu diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya Djafar.
Menurut Iwan, awalnya Warahan Radin Jambat merupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm.) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang. Naskah ini diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.
’’Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait. Bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya baris dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal,” terang Iwan.
Sementara itu, Udo Z. Karzi mengemukakan, kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah dan sastra klasik di Lampung.
Dia menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung.
’’Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.
Senada, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku ini. ’’Ketiga buku ini, baik yang berbahasa Lampung maupun yang tidak, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah serta budaya Lampung,” ujarnya. (c1/fik)
Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 20 Agustus 2011
Khazanah sastra Lampung bertambah dengan terbitnya tiga buku yang kental dengan sejarah dan budaya Lampung. Seperti apa?
MINIM: Beberapa buku bernuansa Lampung. FOTO NET
DIBANDINGKAN daerah lain, khazanah sastra Lampung dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Bandingkan saja dengan provinsi tetangga, Riau misalnya, Lampung sudah jauh tertinggal. Apalagi dibandingkan daerah lain seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Di dunia maya pun masalah sastra Lampung sangat minim. Hal itu dipicu banyak faktor. Salah satunya karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur. Kondisi ini makin diperparah dengan minimnya perhatian elemen masyarakat, terutama aparat pemerintah, terhadap masalah tersebut.
Sangat jarang terdengar acara diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal membahas tentang sastra Lampung.
Kondisi ini makin miris dengan tingginya biaya operasional pencetakan buku.
Akibatnya dapat dirasakan. Saat ini siswa kesulitan menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas.
Namun, kini kita bisa sedikit tersenyum. Sebab, masih ada masyarakat Lampung yang peduli dengan permasalahan tersebut. Kepedulian itu ditandai dengan upaya menerbitkan tiga buku yang kental dengan nuansa Lampung.
Budayawan Iwan Nurdaya Djafar mengatakan, ketiga buku yang diterbitkan tiga penerbit itu terdiri dua buku berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press, Bandarlampung, dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandarlampung.
’’Satu lagi, Hikayat Nakhoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk. diterbitkan Ilagaligo Publisher, Bandarlampung,” kata Iwan.
Dalam novelnya Radin Inten II, Rudi ingin menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari Sai Bumi Ruwa Jurai dengan penuturan berbahasa Lampung.
’’Buku Radin Inten II terdiri enam pembabakan cerita. Diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala Keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan,” ujar editor Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z. Karzi.
Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu) yang ditulis oleh La Uddin dkk. Kisah petualangan ini rampung pada 1202 Hijriah atau 1778 Masehi.
Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family pada 1830. Lalu diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya Djafar.
Menurut Iwan, awalnya Warahan Radin Jambat merupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm.) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang. Naskah ini diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.
’’Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait. Bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya baris dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal,” terang Iwan.
Sementara itu, Udo Z. Karzi mengemukakan, kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah dan sastra klasik di Lampung.
Dia menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung.
’’Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.
Senada, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku ini. ’’Ketiga buku ini, baik yang berbahasa Lampung maupun yang tidak, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah serta budaya Lampung,” ujarnya. (c1/fik)
Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 20 Agustus 2011
Tiga Karya Sastra Lampung Lahir
Bandar Lampung, Tribun--Tiga putra asal lampung kembali menelurkan karya sastranya. Dua buku menggunakan bahasa Lampung dan satu buku tetang hikayat Nakhoda Muda.
Dua buku berbahasa Lampung yakni, novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press, dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar, terbitan Pustaka Labrak. Sementara, Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk terbitan Ilagaligo Publisher.
Editor Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z Karzi dalam rilisnya mengatakan, kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama dalam mengenal sejarah dan sastra klasik Lampung.
Dalam novel Radin Inten II, diceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari bumi Lampung dengan penuturan berbahasa Lampung. Mengenai penerbitan Warahan Radin Jambat, berkisah tentang upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung. Hikayat Nahkoda Muda, merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu). Naskah ini ada terjemahan bahasa inggris dan indonesianya.
Direktur BE Press Y Wibowo mengapresiasi terbitnya tiga buku ini. "Ketiga buku ini memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah dan budaya Lampung," ujarnya (*/Lis)
Sumber: Tribun Lampung, Sabtu, 20 Agustus 2011
Dua buku berbahasa Lampung yakni, novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press, dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar, terbitan Pustaka Labrak. Sementara, Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk terbitan Ilagaligo Publisher.
Editor Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z Karzi dalam rilisnya mengatakan, kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama dalam mengenal sejarah dan sastra klasik Lampung.
Dalam novel Radin Inten II, diceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari bumi Lampung dengan penuturan berbahasa Lampung. Mengenai penerbitan Warahan Radin Jambat, berkisah tentang upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung. Hikayat Nahkoda Muda, merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu). Naskah ini ada terjemahan bahasa inggris dan indonesianya.
Direktur BE Press Y Wibowo mengapresiasi terbitnya tiga buku ini. "Ketiga buku ini memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah dan budaya Lampung," ujarnya (*/Lis)
Sumber: Tribun Lampung, Sabtu, 20 Agustus 2011
August 19, 2011
Budayawan Terbitkan Tiga Buku Budaya Lampung
Bandarlampung, 19/8 (ANTARA) - Tiga penerbit meluncurkan tiga buku bernuansa khazanah sastra, budaya, dan sejarah daerah Lampung.
Editor Penerbit Pustaka Labrak, salah satu penerbit yang menerbitkan buku tersebut, Udo Z Karzi, di Bandarlampung, Jumat, mengatakan, kehadiran tiga buku tersebut diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah, dan sastra klasik di Lampung.
Ketiga buku yang diterbitkan itu, dua buku diantaranya berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press Bandar Lampung dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dengan redaktur ahli, Hilman Hadikusuma yang diterbitkan Pustaka Labrak.
Satu buku lainnya yaitu Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin yang diterbitkan oleh Ilagaligo.
Rudi Suhaimi Kalianda dalam novelnya Radin Inten II menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari bumi Lampung dengan penuturan berbahasa Lampung.
"Buku Radin Inten II terdiri dari enam pembabakan cerita, diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan," kata sang penulis.
Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu), ditulis oleh La Uddin dkk.
Kisah petualangan tersebut merupakan karya klasik yang rampung pada 1202 Hijriyah atau 1778 Masehi.
Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family, 1830. Lalu, diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya-Djafar.
Sedangkan Warahan Radin Jambat merupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang.
Naskah itu diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.
"Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait, bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya brais dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal," kata Iwan.
Dia menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung.
"Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.
Senada dengan itu, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku tersebut.
"Ketiga buku itu, baik yang berbahasa Lampung maupun yang bukan berbahasa Lampung, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah dan budaya Lampung," kata dia.
Sumber: Antara, 19 Agustus 2011
Editor Penerbit Pustaka Labrak, salah satu penerbit yang menerbitkan buku tersebut, Udo Z Karzi, di Bandarlampung, Jumat, mengatakan, kehadiran tiga buku tersebut diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah, dan sastra klasik di Lampung.
Ketiga buku yang diterbitkan itu, dua buku diantaranya berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press Bandar Lampung dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar dengan redaktur ahli, Hilman Hadikusuma yang diterbitkan Pustaka Labrak.
Satu buku lainnya yaitu Hikayat Nakhoda Muda, Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin yang diterbitkan oleh Ilagaligo.
Rudi Suhaimi Kalianda dalam novelnya Radin Inten II menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari bumi Lampung dengan penuturan berbahasa Lampung.
"Buku Radin Inten II terdiri dari enam pembabakan cerita, diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan," kata sang penulis.
Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu), ditulis oleh La Uddin dkk.
Kisah petualangan tersebut merupakan karya klasik yang rampung pada 1202 Hijriyah atau 1778 Masehi.
Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family, 1830. Lalu, diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya-Djafar.
Sedangkan Warahan Radin Jambat merupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang.
Naskah itu diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.
"Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait, bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya brais dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal," kata Iwan.
Dia menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung.
"Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.
Senada dengan itu, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku tersebut.
"Ketiga buku itu, baik yang berbahasa Lampung maupun yang bukan berbahasa Lampung, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah dan budaya Lampung," kata dia.
Sumber: Antara, 19 Agustus 2011
August 14, 2011
[Perempuan] Inggit Putria Marga
Oleh Frans Ekodhanto
PEREMPUAN ini lebih memilih puisi karena sangat misterius. Menurut dia, puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.
Di kamar hotel 317 yang terletak di salah satu jantung Kota Palembang, beberapa waktu lalu, Inggit berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang proses kreatifnya. Dari bibirnya yang basah, terucap rangkaian cerita pada masa kecil hingga menjadi penyair papan atas.
"Sebenarnya saya suka dengan karya sastra sejak kecil. Saya hidup di lingkungan keluarga yang banyak menjadi guru bahasa Indonesia," ujar dara kelahiran Lampung, 25 Agustus 1981, ini.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia gemar membaca buku-buku sastra lama Indonesia, seperti karya Marah Rusli dan Sultan Takdir Alisabana. Buku-buku tersebut membuatnya mulai tertarik dengan sastra Indonesia, terlebih ketika menemukan cerita yang terkadang membuatnya terhanyut dalam aliran cerita. Sebuah cerita yang membawanya pada khayalan, selanjutnya membuatnya hadir dan hidup dalam cerita.
Tak mengherankan jika ia gandrung dengan pelajaran bahasa Indonesia, khususnya mengarang. Lewat pelajaran bahasa Indonesia itu pula ia menemukan pelajaran menganalisis puisi di bangku SMP dan SMA. "Sejak saat itulah saya mulai menyukai sastra," cetus dia.
Namun, saat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi, pililihan kuliahnya di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Walau begitu, ia tetap berusaha konsisten dengan kata hatinya untuk menggeluti dunia sastra. Karena itu, ia mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni pada divisi teater dan sastra.
Di sana ia mulai belajar dan berkenalan dengan penyair-penyair Lampung. "Memang saat itu saya masih kroco, namun sejak saat itu pulalah saya mulai kenal dengan penyair-penyair Lampung dan mulai mengikuti diskusi demi diskusi, workshop, dan mulai menulis serta kirim karya ke media," jelas perempuan yang pernah menyandang juara satu Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.
Intinya, Inggit mengenal sastra dan mempelajarinya sejak SD, SMP, SMA, akan tetapi memulai menulis puisi secara serius sejak kuliah. Waktu itu, kali pertama karyanya dimuat di media lokal Sumatra, seperti Lampung Post dan Sumatera Post.
Selama proses kreatif, ia lebih banyak menulis puisi dan sesekali menulis cerpen. Ia lebih memilih puisi karena baginya, puisi sangat misterius. Puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.
Pun tentang cara penyampaian dengan segala peraturan yang dimiliki puisi. Semacam kalimat yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu singkat, tetapi masih memiliki kekayaan makna, persepsi, dan interpretasi.
Kesulitan
Meski demikian, sama dengan penulis pemula lainnya, ia juga kerap menemukan kesulitan demi kesulitan, terlebih ketika memulai menulis. Beberapa kesulitan itu ialah cara menulis puisi itu sendiri (konsep), memilih judul yang baik, memakai kata-kata (diksi) yang bisa mewakili isi pesan, tanda baca, serta awalan dan akhiran yang secara keseluruhannya juga harus dipelajari.
"Hal-hal itulah yang kemudian membuat saya nyaman dengan puisi. Yang pasti, ketika menulis puisi, saya menemukan sebagian dari diri saya dalam puisi tersebut, dan saya bahagia ketika menulisnya. Dengan menulis puisi, diri saya seperti hidup," tandasnya.
Selain menulis puisi, Inggit melakukan proses kreatif seni dan sastra lainnya. Sebagai contoh, semasa kuliah, ia sempat mentas teater, tur keliling Sumatra, juga sempat pentas di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta). Tapi ketika main teater, ia merasa ada sesuatu yang tidak terekspesikan, dan itu bisa terekspresikan ketika menulis puisi. Artinya, ia lebih mendapatkan kepuasan ketika menulis puisi ketimbang main teater.
Setelah 10 tahun berproses, mulai dari tahun 2000 hingga 2010, akhirnya Inggit membuat antologi puisi tunggal. Ia mengemas beragam tema sedemikian rupa dengan judul besar Penyeret Babi. Respons konkret yang ia dapatkan dari antologi puisi tersebut adalah sebuah penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010.
Meski nama Inggit telah melambung hingga dipercaya mengisi acara-acara sastra ke pelbagai negara, ia tetap seorang perempuan yang rendah hati. Setidaknya, itu tecermin saat menyikapi dikotomi antara penyair senior dan junior yang terjadi sejak dulu.
Dikotomi tersebut juga pernah ia alami ketika baru menggauli puisi. Sekitar tahun 2005-2006, ia dan beberapa kawan sempat disebut sebagai penyair ilegal karena belum memiliki KTP kepenyairan (antologi puisi tunggal).
Karena itu, menurut dia, dikotomi sebaiknya diabaikan. Apalagi jika parameternya adalah umur. Sebab, meskipun seseorang telah berkarya bertahun-tahun, jika puisinya tidak bagus, secara artistik, estetik, kepenulisan, dan lainnya tidak memenuhi syarat, puisinya layak dikatakan tidak bagus.
Akan tetapi apabila ada penyair yang masih balita namun karyanya bagus, mau tidak mau penyair tersebut harus diakui, terlebih secara kekaryaan dan tidak boleh dijegal-jegal. "Artinya ketika kita ingin melihat seseorang (penyair), tentu kita juga harus melihat karyanya, bukan melihat background-nya," pungkas Inggit. frans ekodhanto
Mencari Kesempurnaan
Berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun.
Inggit Putria Marga memilih jalan hidupnya sebagai penyair. "Jalan hidup saya adalah puisi. Saya berharap karya saya bisa lebih sempurna, bisa lebih tidak serupa dengan karya yang sebelumnya. Karena kalau tidak berubah, itu artinya sama saja kita tidak hidup," tandas dia.
Ia berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun yang banyak, selanjutnya meledak, hanya menghadirkan kehampaan demi kehampaan saja. "Maka untuk mengisi kehampaan tersebut, tidak perlu buru-buru, harus ada proses yang intens, baik dengan diksi, tema, dan dengan hal-hal lainnya," tuturnya.
Selain sibuk menulis puisi, Inggit rajin menghadiri kegiatan-kegiatan sastra, baik yang diadakan di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu, misalnya, ia hadir dalam ajang Pertemuan Penyair Nusantara (PPN V), Palembang. Tahun lalu, ia juga hadir sebagai pembaca puisi dalam sebuah festival di Pangkor, Malaysia, dalam acara Festival Puisi Antarbangsa.
Menurut dia, kegiatan semacam itu bisa mempererat silaturahim antar penyair. "Lebih dari itu, penyair bisa saling berbagi pengalaman tentang kondisi perpuisian di daerahnya serta proses kreatif para penyair itu sendiri," ujar dia.
Proses kreatif setiap orang tentu berbeda antara satu dan lainnya. Menurut dia, setiap orang punya peraturan dan tingkat kesempurnaan puisinya masing-masing. "Kalau saya sendiri, terlebih pada saat sekarang ini, ketika menulis puisi untuk menghasilkan satu karya saja membutuhkan waktu yang lama. Bahkan puisi saya yang mulai ditulis sejak Mei 2011, sampai dengan sekarang belum tunai," jelas Inggit.
Di sela-sela menekuni dunia sastra, lulusan Fakultas Pertanian Lampung ini punya hobi menjalani kehidupan nyata, yaitu bertani. Kegiatan ini memberikannya kesempatan menerapkan apa yang pernah dipelajarinya di bangku kuliah.
Inggit Putria Marga
Tempat, tanggal lahir : Lampung, 25 Agustus 1981
Karier : Menulis puisi
Hobi : Bertani
Pendidikan : S-1 Universitas Lampung
Prestasi:
5 Besar Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2010
100 Puisi Terbaik Indonesia-Pena Kencana 2010
60 Puisi Terbaik Indonesia 2009
Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2005.
Juara 1 Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.
Juara 2 Festival Krakatau 2004
Riwayat Festival:
Festival Puisi Antar Bangsa-Pulau Pangkor, Perak, Malaysia, 2010
Ubud Writers Festival, 2009
Festival Sastra Internasional di Utan Kayu, 2005
Sumber: Koran Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2011
PEREMPUAN ini lebih memilih puisi karena sangat misterius. Menurut dia, puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.
Di kamar hotel 317 yang terletak di salah satu jantung Kota Palembang, beberapa waktu lalu, Inggit berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang proses kreatifnya. Dari bibirnya yang basah, terucap rangkaian cerita pada masa kecil hingga menjadi penyair papan atas.
"Sebenarnya saya suka dengan karya sastra sejak kecil. Saya hidup di lingkungan keluarga yang banyak menjadi guru bahasa Indonesia," ujar dara kelahiran Lampung, 25 Agustus 1981, ini.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia gemar membaca buku-buku sastra lama Indonesia, seperti karya Marah Rusli dan Sultan Takdir Alisabana. Buku-buku tersebut membuatnya mulai tertarik dengan sastra Indonesia, terlebih ketika menemukan cerita yang terkadang membuatnya terhanyut dalam aliran cerita. Sebuah cerita yang membawanya pada khayalan, selanjutnya membuatnya hadir dan hidup dalam cerita.
Tak mengherankan jika ia gandrung dengan pelajaran bahasa Indonesia, khususnya mengarang. Lewat pelajaran bahasa Indonesia itu pula ia menemukan pelajaran menganalisis puisi di bangku SMP dan SMA. "Sejak saat itulah saya mulai menyukai sastra," cetus dia.
Namun, saat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi, pililihan kuliahnya di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Walau begitu, ia tetap berusaha konsisten dengan kata hatinya untuk menggeluti dunia sastra. Karena itu, ia mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni pada divisi teater dan sastra.
Di sana ia mulai belajar dan berkenalan dengan penyair-penyair Lampung. "Memang saat itu saya masih kroco, namun sejak saat itu pulalah saya mulai kenal dengan penyair-penyair Lampung dan mulai mengikuti diskusi demi diskusi, workshop, dan mulai menulis serta kirim karya ke media," jelas perempuan yang pernah menyandang juara satu Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.
Intinya, Inggit mengenal sastra dan mempelajarinya sejak SD, SMP, SMA, akan tetapi memulai menulis puisi secara serius sejak kuliah. Waktu itu, kali pertama karyanya dimuat di media lokal Sumatra, seperti Lampung Post dan Sumatera Post.
Selama proses kreatif, ia lebih banyak menulis puisi dan sesekali menulis cerpen. Ia lebih memilih puisi karena baginya, puisi sangat misterius. Puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.
Pun tentang cara penyampaian dengan segala peraturan yang dimiliki puisi. Semacam kalimat yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu singkat, tetapi masih memiliki kekayaan makna, persepsi, dan interpretasi.
Kesulitan
Meski demikian, sama dengan penulis pemula lainnya, ia juga kerap menemukan kesulitan demi kesulitan, terlebih ketika memulai menulis. Beberapa kesulitan itu ialah cara menulis puisi itu sendiri (konsep), memilih judul yang baik, memakai kata-kata (diksi) yang bisa mewakili isi pesan, tanda baca, serta awalan dan akhiran yang secara keseluruhannya juga harus dipelajari.
"Hal-hal itulah yang kemudian membuat saya nyaman dengan puisi. Yang pasti, ketika menulis puisi, saya menemukan sebagian dari diri saya dalam puisi tersebut, dan saya bahagia ketika menulisnya. Dengan menulis puisi, diri saya seperti hidup," tandasnya.
Selain menulis puisi, Inggit melakukan proses kreatif seni dan sastra lainnya. Sebagai contoh, semasa kuliah, ia sempat mentas teater, tur keliling Sumatra, juga sempat pentas di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta). Tapi ketika main teater, ia merasa ada sesuatu yang tidak terekspesikan, dan itu bisa terekspresikan ketika menulis puisi. Artinya, ia lebih mendapatkan kepuasan ketika menulis puisi ketimbang main teater.
Setelah 10 tahun berproses, mulai dari tahun 2000 hingga 2010, akhirnya Inggit membuat antologi puisi tunggal. Ia mengemas beragam tema sedemikian rupa dengan judul besar Penyeret Babi. Respons konkret yang ia dapatkan dari antologi puisi tersebut adalah sebuah penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010.
Meski nama Inggit telah melambung hingga dipercaya mengisi acara-acara sastra ke pelbagai negara, ia tetap seorang perempuan yang rendah hati. Setidaknya, itu tecermin saat menyikapi dikotomi antara penyair senior dan junior yang terjadi sejak dulu.
Dikotomi tersebut juga pernah ia alami ketika baru menggauli puisi. Sekitar tahun 2005-2006, ia dan beberapa kawan sempat disebut sebagai penyair ilegal karena belum memiliki KTP kepenyairan (antologi puisi tunggal).
Karena itu, menurut dia, dikotomi sebaiknya diabaikan. Apalagi jika parameternya adalah umur. Sebab, meskipun seseorang telah berkarya bertahun-tahun, jika puisinya tidak bagus, secara artistik, estetik, kepenulisan, dan lainnya tidak memenuhi syarat, puisinya layak dikatakan tidak bagus.
Akan tetapi apabila ada penyair yang masih balita namun karyanya bagus, mau tidak mau penyair tersebut harus diakui, terlebih secara kekaryaan dan tidak boleh dijegal-jegal. "Artinya ketika kita ingin melihat seseorang (penyair), tentu kita juga harus melihat karyanya, bukan melihat background-nya," pungkas Inggit. frans ekodhanto
Mencari Kesempurnaan
Berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun.
Inggit Putria Marga memilih jalan hidupnya sebagai penyair. "Jalan hidup saya adalah puisi. Saya berharap karya saya bisa lebih sempurna, bisa lebih tidak serupa dengan karya yang sebelumnya. Karena kalau tidak berubah, itu artinya sama saja kita tidak hidup," tandas dia.
Ia berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun yang banyak, selanjutnya meledak, hanya menghadirkan kehampaan demi kehampaan saja. "Maka untuk mengisi kehampaan tersebut, tidak perlu buru-buru, harus ada proses yang intens, baik dengan diksi, tema, dan dengan hal-hal lainnya," tuturnya.
Selain sibuk menulis puisi, Inggit rajin menghadiri kegiatan-kegiatan sastra, baik yang diadakan di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu, misalnya, ia hadir dalam ajang Pertemuan Penyair Nusantara (PPN V), Palembang. Tahun lalu, ia juga hadir sebagai pembaca puisi dalam sebuah festival di Pangkor, Malaysia, dalam acara Festival Puisi Antarbangsa.
Menurut dia, kegiatan semacam itu bisa mempererat silaturahim antar penyair. "Lebih dari itu, penyair bisa saling berbagi pengalaman tentang kondisi perpuisian di daerahnya serta proses kreatif para penyair itu sendiri," ujar dia.
Proses kreatif setiap orang tentu berbeda antara satu dan lainnya. Menurut dia, setiap orang punya peraturan dan tingkat kesempurnaan puisinya masing-masing. "Kalau saya sendiri, terlebih pada saat sekarang ini, ketika menulis puisi untuk menghasilkan satu karya saja membutuhkan waktu yang lama. Bahkan puisi saya yang mulai ditulis sejak Mei 2011, sampai dengan sekarang belum tunai," jelas Inggit.
Di sela-sela menekuni dunia sastra, lulusan Fakultas Pertanian Lampung ini punya hobi menjalani kehidupan nyata, yaitu bertani. Kegiatan ini memberikannya kesempatan menerapkan apa yang pernah dipelajarinya di bangku kuliah.
Inggit Putria Marga
Tempat, tanggal lahir : Lampung, 25 Agustus 1981
Karier : Menulis puisi
Hobi : Bertani
Pendidikan : S-1 Universitas Lampung
Prestasi:
5 Besar Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2010
100 Puisi Terbaik Indonesia-Pena Kencana 2010
60 Puisi Terbaik Indonesia 2009
Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2005.
Juara 1 Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.
Juara 2 Festival Krakatau 2004
Riwayat Festival:
Festival Puisi Antar Bangsa-Pulau Pangkor, Perak, Malaysia, 2010
Ubud Writers Festival, 2009
Festival Sastra Internasional di Utan Kayu, 2005
Sumber: Koran Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2011
[Buku] Ular Kuning, Meliuk Membentuk Suluk
Judul : Ular Kuning
Penulis : Dahta Gautama
Penerbit : Pijar Media, Bandar Lampung
Cetekan : I, Juli 2011
Tebal : xii + 91 halaman
ADA yang mesti diabadikan dalam hidup ini karena setiap denyut nadi kehidupan kita telah mencipta beribu-ribu fragmen sejarah yang membuat kita terkenang atau terlupakan sama sekali. Mengenang hidup tak ubahnya membuka dan membaca lembar demi lembar buku, rangkaian kata per kata ibarat menyusuri peristiwa demi peristiwa dalam kehidupan, pun halaman demi halaman laksana hitungan hari, minggu, bulan hingga tahun.
Itulah hidup. Hidup bisa didokumentasikan dengan berbagai cara, salah satunya dengan puisi. Inilah yang dilakukan penyair yang telah malang melintang di dunia sastra, Dahta Gautama.
Dahta menulis puisi sejak 1993, tulisannya tersebar di berbagai media dan mengantologikan puisinya dengan titel Ular Kuning. Membaca kumpulan puisi Ular Kuningseakan mengajak kita memahami hidup dari dimensi yang berbeda dalam memaknai problematika kehidupan.
Sudut pandang saya tatkala membaca lembar demi lembar puisi-puisi yang ada dikumpulan puisi Ular Kuningmengingatkan kepada ular dari penjelmaan tongkat Nabi Musa as., yang mampu “menyihir” para penyihir di zamannya. Ketersihiran saya dalam membaca kumpulan puisi ini dengan gaya bahasanya yang lugas sedikit vulgar bak ular meliuk hingga membentuk suluk sebagai "nyanyian" kehidupan sang penulis.
Ular Kuningbagi Dahta Gautama merupakan replika hidup yang diejawantahkan ke dalam bentuk puisi. Di sini dia bebas mengekspresikan lakon kehidupan yang dialami, dirasakan, dan dicecapi dari segala kondisi. Itu sebabnya dari keseluruhan puisi yang berjumlah 80 judul ini, dia mengisahkan pengembaraan rasa yang terdedah dari nalar, sakit hati, cinta, benci, dendam dan air mata, semuanya terkemas dalam bait-bait puisi.
Membaca Ular Kuningsebenarnya dapat menguak perjalanan kepenyairan Dahta Gautama. Dia menghimpunnya selama satu dekade (2000—2010), tetapi sayang puisi-puisinya yang tercipta di tahun 1993—1999 tidak diikutsertakan dalam antologi ini. Menurut hemat saya, sebaiknya diikutsertakan meskipun hanya diwakili satu atau dua puisi saja, untuk mengetahui proses kreatif dan pengalaman pribadi yang dituangkan dalam puisi.
***
Ada yang menarik dari puisi-puisi Dahta Gautama dalam antologinya yang banyak didominasi kata lelaki, kurang lebih sembilan judul yang bertuliskan lelaki; seperti Tubuh Ranum yang Disenangi Lelaki, Lelaki yang Tengkurap di Curup Perempuan, Lelaki Sunyi, Lelaki yang Kalah, Lelaki yang Kalah (2), Sebab Aku Cuma Lelaki, Lelaki di Dalam Rumah, Lelaki yang Kehilangan Keluarga, dan Lelaki Menyeret Cinta.
Selain itu, judul-judul yang lain meskipun tidak menggunakan kata "lelaki" pada judulnya, selalu menggunakan diksi “lelaki” di dalamnya. Maka, sangat wajar mengingat Dahta Gautama adalah lelaki sejati dan barangkali Dahta Gautama dalam mengekspresikan logika bahasa dalam puisinya, berawal dari obsesi memotret dirinya dan realita yang dialaminya dalam menyuarakan ketidakberdayaan dalam mengatasi segudang problematika hidup.
Realitas-realitas itu disusun menjadi bait-bait puisi untuk menggambarkan keterwakilan bagi orang-orang pinggiran (dengan meminjam istilah Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul Orang Pinggiran), Dahta Gautama sadar betul bahwa ekspresi kebebasan yang dimilikinya bukanlah bahasa samar. Apa yang dilihat, dirasakan, dan dialaminya adalah ekspresi bahasa itu sendiri, bukan bahasa rekayasa.
Salah satu obsesi Dahta Gautama yang perlu dicatat dalam kumpulan puisi ini adalah keingintahuannya tentang ular kuning yang merupakan binatang melata dan mengandung bisa, tapi dapat dipersonifikasikan sebagai wahana "meliukkan diri" dalam keingintahuan, tantangan, dan kegairahan dalam mengarungi kehidupan.
Seperti dalam penggalan bait dalam puisi yang berjudul Ular Kuning yang berbunyi "... untuk apa hidup tanpa tubuh? Sungguh tubuh harus diberi warna merah jika ingin ada cahaya...." Ya, manusia hidup selalu membawa tubuh, tanpa tubuh manusia tak mungkin mengalami hidup, sehingga tubuh harus selalu diberdayakan dengan nilai-nilai kemanusiaannya sesuai dengan warna yang dimiliki dari masing-masing manusia, jika itu sudah dilaksanakan tentu manusia itu akan mendapatkan sesuatu sebagai cahaya dari pantulan warna tersebut.
Membaca kumpulan puisi-puisi Ular Kuning, kita disuguhkan dengan filsafat-filsafat hidup yang gamblang, bahwa hidup selain mengatasi setiap problematikanya, baik dengan kemenangan dan kekalahannya, segi baik dan buruknya, hidup juga harus diabadikan menjadi catatan sejarah kehidupan dalam bait-bait puisi seperti dilakukan Dahta Gautama. Selagi kita masih diberi hidup bacalah Ular Kuning, sungguh suguhan yang sangat bergizi untuk kita renungkan.
Darojat Gustian Syafaat, Alumnus Pondok Pesantren Al'amin, Madura, kini tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, 14 Agustus 2011
Penulis : Dahta Gautama
Penerbit : Pijar Media, Bandar Lampung
Cetekan : I, Juli 2011
Tebal : xii + 91 halaman
ADA yang mesti diabadikan dalam hidup ini karena setiap denyut nadi kehidupan kita telah mencipta beribu-ribu fragmen sejarah yang membuat kita terkenang atau terlupakan sama sekali. Mengenang hidup tak ubahnya membuka dan membaca lembar demi lembar buku, rangkaian kata per kata ibarat menyusuri peristiwa demi peristiwa dalam kehidupan, pun halaman demi halaman laksana hitungan hari, minggu, bulan hingga tahun.
Itulah hidup. Hidup bisa didokumentasikan dengan berbagai cara, salah satunya dengan puisi. Inilah yang dilakukan penyair yang telah malang melintang di dunia sastra, Dahta Gautama.
Dahta menulis puisi sejak 1993, tulisannya tersebar di berbagai media dan mengantologikan puisinya dengan titel Ular Kuning. Membaca kumpulan puisi Ular Kuningseakan mengajak kita memahami hidup dari dimensi yang berbeda dalam memaknai problematika kehidupan.
Sudut pandang saya tatkala membaca lembar demi lembar puisi-puisi yang ada dikumpulan puisi Ular Kuningmengingatkan kepada ular dari penjelmaan tongkat Nabi Musa as., yang mampu “menyihir” para penyihir di zamannya. Ketersihiran saya dalam membaca kumpulan puisi ini dengan gaya bahasanya yang lugas sedikit vulgar bak ular meliuk hingga membentuk suluk sebagai "nyanyian" kehidupan sang penulis.
Ular Kuningbagi Dahta Gautama merupakan replika hidup yang diejawantahkan ke dalam bentuk puisi. Di sini dia bebas mengekspresikan lakon kehidupan yang dialami, dirasakan, dan dicecapi dari segala kondisi. Itu sebabnya dari keseluruhan puisi yang berjumlah 80 judul ini, dia mengisahkan pengembaraan rasa yang terdedah dari nalar, sakit hati, cinta, benci, dendam dan air mata, semuanya terkemas dalam bait-bait puisi.
Membaca Ular Kuningsebenarnya dapat menguak perjalanan kepenyairan Dahta Gautama. Dia menghimpunnya selama satu dekade (2000—2010), tetapi sayang puisi-puisinya yang tercipta di tahun 1993—1999 tidak diikutsertakan dalam antologi ini. Menurut hemat saya, sebaiknya diikutsertakan meskipun hanya diwakili satu atau dua puisi saja, untuk mengetahui proses kreatif dan pengalaman pribadi yang dituangkan dalam puisi.
***
Ada yang menarik dari puisi-puisi Dahta Gautama dalam antologinya yang banyak didominasi kata lelaki, kurang lebih sembilan judul yang bertuliskan lelaki; seperti Tubuh Ranum yang Disenangi Lelaki, Lelaki yang Tengkurap di Curup Perempuan, Lelaki Sunyi, Lelaki yang Kalah, Lelaki yang Kalah (2), Sebab Aku Cuma Lelaki, Lelaki di Dalam Rumah, Lelaki yang Kehilangan Keluarga, dan Lelaki Menyeret Cinta.
Selain itu, judul-judul yang lain meskipun tidak menggunakan kata "lelaki" pada judulnya, selalu menggunakan diksi “lelaki” di dalamnya. Maka, sangat wajar mengingat Dahta Gautama adalah lelaki sejati dan barangkali Dahta Gautama dalam mengekspresikan logika bahasa dalam puisinya, berawal dari obsesi memotret dirinya dan realita yang dialaminya dalam menyuarakan ketidakberdayaan dalam mengatasi segudang problematika hidup.
Realitas-realitas itu disusun menjadi bait-bait puisi untuk menggambarkan keterwakilan bagi orang-orang pinggiran (dengan meminjam istilah Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul Orang Pinggiran), Dahta Gautama sadar betul bahwa ekspresi kebebasan yang dimilikinya bukanlah bahasa samar. Apa yang dilihat, dirasakan, dan dialaminya adalah ekspresi bahasa itu sendiri, bukan bahasa rekayasa.
Salah satu obsesi Dahta Gautama yang perlu dicatat dalam kumpulan puisi ini adalah keingintahuannya tentang ular kuning yang merupakan binatang melata dan mengandung bisa, tapi dapat dipersonifikasikan sebagai wahana "meliukkan diri" dalam keingintahuan, tantangan, dan kegairahan dalam mengarungi kehidupan.
Seperti dalam penggalan bait dalam puisi yang berjudul Ular Kuning yang berbunyi "... untuk apa hidup tanpa tubuh? Sungguh tubuh harus diberi warna merah jika ingin ada cahaya...." Ya, manusia hidup selalu membawa tubuh, tanpa tubuh manusia tak mungkin mengalami hidup, sehingga tubuh harus selalu diberdayakan dengan nilai-nilai kemanusiaannya sesuai dengan warna yang dimiliki dari masing-masing manusia, jika itu sudah dilaksanakan tentu manusia itu akan mendapatkan sesuatu sebagai cahaya dari pantulan warna tersebut.
Membaca kumpulan puisi-puisi Ular Kuning, kita disuguhkan dengan filsafat-filsafat hidup yang gamblang, bahwa hidup selain mengatasi setiap problematikanya, baik dengan kemenangan dan kekalahannya, segi baik dan buruknya, hidup juga harus diabadikan menjadi catatan sejarah kehidupan dalam bait-bait puisi seperti dilakukan Dahta Gautama. Selagi kita masih diberi hidup bacalah Ular Kuning, sungguh suguhan yang sangat bergizi untuk kita renungkan.
Darojat Gustian Syafaat, Alumnus Pondok Pesantren Al'amin, Madura, kini tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, 14 Agustus 2011
Sekala, Siger, Borobudur
>> Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Oleh Henry Susanto
Alkisah, Samaratungga sebagai raja ke-7 dari Kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya) mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang putri bernama Pramodya Wardani, sedangkan yang kedua seorang putra yang bernama Rakai Pikatan. Ketika beranjak dewasa, dikabarkan bahwa Rakai Pikatan mempunyai banyak guru Hindu dan akhirnya menjadi pemeluk Hindu. Sedangkan kakak Rakai Pikatan, yaitu Pramodya Wardani adalah pemeluk Buddhis sebagaimana ayahnya.
Pramodya Wardani dipersunting seorang putra pembesar enclaveBuddhis dari daerah Sekala di Lampung, yaitu Balaputera Dewa. Sebagai hadiah perkawinan kepada anaknya (Pramodya Wardani) dan menantunya (Balaputera Dewa) sekaligus untuk menunjukkan kejayaan Buddha di Tanah Jawa, Samaratungga membangunkan Candi Borobudur.
Pada Masa Samaratungga lengser keprabonyang seharusnya menjadi raja pengganti adalah putra laki-laki dari Samaratungga, yaitu Rakai Pikatan. Namun, mengingat Rakai Pikatan sudah menjadi penganut Hindu, tidaklah mungkin untuk diangkat menjadi raja pada kerajaan yang bercorak Buddhis. Oleh sebab itu, diberikanlah takhta kerajaan kepada Pramodya Wardani untuk memerintah sebagai ratu di Mataram Kuno.
Belum lama pemerintahan Ratu Pramodya Wardani berjalan, meletuslah pemberontakan Rakai Pikatan yang didukung oleh para pendeta-pendeta Hindu dari dalam maupun luar kerajaan. Pasukan kerajaan Pramodya Wardani dengan dibantu pasukan yang dibawa suaminya (Balaputera Dewa) dari daerah asalnya mencoba membantu memadamkan pemberontakan Rakai Pikatan.
Keikutsertaan pasukan dari Balaputera Dewa dalam membela takhta Pramodya Wardani justru menyulut kecurigaan Rakai Pikatan dan sebagian besar pembesar istana akan adanya usaha perebutan takhta Kerajaan Mataram Kuno oleh tangan bukan keturunan Dinasti Sanjaya. Para pembesar istana (Buddhis) yang awalnya menopang kekuatan Pramodya Wardani menjadi berbalik bergabung dengan Rakai Pikatan (Hindu) memerangi Pramodya Wardani. Tak pelak, gabungan pasukan Pramodya Wardani dan pasukan Balaputera Dewa menjadi kewalahan, dan akhirnya terpaksa harus menelan kekalahan serta harus menyingkir keluar dari istana.
Kekalahan Pramodya Wardani dan Balaputera Dewa menempatkan Rakai Pikatan bartakhta sebagai raja di Mataram kuno. Kerajaan Jawa yang dulunya bercorak Buddhis berubah menjadi bercorak Hindu. Rakai Panangkaran kemudian juga membangun Candi Prambanan (Hindu) sebagai tandingan Candi Borobudur (Buddha) yang pernah dibangunkan oleh ayahnya (Samaratungga) sebagai hadiah perkawinan untuk Pramudya Wardani dan Balaputera Dewa.
Pada masyarakat Jawa, terdapat cerita rakyat tentang asal mula Candi Prambanan, yaitu dikisahkan bahwa seorang ksatria sakti dari luar istana yang bernama Bandung Bondowoso berminat meminang Putri Roro Jonggrang yang merupakan putri seorang raja Jawa. Pinangan itu diterima Roro Jongrang, tapi sang raja minta syarat bahwa Bandung Bondowoso harus dapat membangun 1.000 candi dalam waktu satu malam sebagai maskawinnya.
Berbekal kesaktiannya, Bandung Bondowoso mencoba menyelesaikan pembuatan 1.000 candi dalam waktu satu malam. Namun, manakala baru selesai membangun 999 candi, dan tinggal satu candi lagi yang harus dibangun, sang raja menyuruh pembantu-pembantunya untuk menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Maka gagallah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kisah Bandung Bondowoso tersebut merupakan kiasan kegagalan Balaputera Dewa dalam membela mempertahankan takhta kerajaan istrinya (Pramodya Wardani) di Mataram Kuno melawan pemberontakan Rakai Pikatan.
Kerajaan Sekala
Kegagalan memadamkan pemberontakan Rakai Pikatan telah membawa Balaputera Dewa dan istrinya (Pramodya Wardani) berikut pasukan yang tersisa pulang kembali ke Sekala di Lampung. Atas dukungan keluarga besar Balaputera Dewa yang berada di Sekala, Balaputera Dewa mendirikan kursi singasana (pepadun) kerajaannya sendiri yang bercorak Buddhis di pesisir barat Lampung dengan lambang-lambang kebesarannya berupa songsong(payung) kuning, burung srigunting, kijang kencana, dan teratai. Balaputera Dewa kemudian bergelar syailendra (satria gunung), maka dianggap sebagai pendiri Wangsa (Dinasti) Syailendra. Istana pusat kerajaannya berada di daerah Sekala.
Pepadun adalah kursi singgasana raja yang dibuat dari kayu pohon khusus yang bernama pohon belasa kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan yang satunya lagi adalah sebukau, yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan belasa kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya. Tapi jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Pepadun adalah singgasana yang hanya berhak diduduki oleh raja serta keturunannya. Ada dua makna di dalam mengartikan kata pepadun, yaitu:
Pertama, dimaknakan sebagai pepadunyang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk di atasnya adalah raja.
Kedua, dimaknakan sebagai pepadunyang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk di atasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.
Kerajaan Sekala kemudian berkembang dengan pesat sebagai kerajaan bercorak Buddhis yang mampu meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke luar Lampung. Kerajaan Sekala inilah yang kemudian dikenal dalam sumber berita China (catatan musafir China yang bernama Ma Huan) sebagai chi-li-fo-che, yang maksudnya adalah Se-ka-la, yang dilafalkan dalam pengucapan logat China. Orang sekarang mengenalnya sebagai Sriwijaya (awal sebenarnya adalah Sekala). Masih berdasar sumber berita China yang sama, dikatakan bahwa chi-li-fo-che merupakan kerajaan po-lim-pang, maksudnya adalah kerajaan yang ada pada orang Lampung. Kata po dalam bahasa China artinya adalah orang, dan kata lim-pangadalah logat pengucapan orang-orang China dalam penyebutan kata Lampung.
Berdasarkan informasi dalam Prasasti Talang Tuo yang di dalamnya termuat simbol Kerajaan Sekala (Sriwijaya) berasal dari tahun 684 Masehi, diketahui bahwa Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membangun Taman Sriksetra untuk kebahagiaan makhluk agar: terbangunnya Buddhis, Tri Ratna, terhentinya kelahiran kembali, dan tercapainya nirwana". Isi prasasti ini menunjukkan bahwa Kerajaan Sekala adalah bercorak Buddha. Taman Sriksetra yang dimaksud kemungkinan besar adalah dibangun secara besar-besaran di Bukit Siguntang (masuk wilayah Palembang sekarang) sebagai wahana peribadatan Buddhis pengganti Borobudur dan sekaligus menunjukkan kejayaan Sekala (Sriwijaya).
Sebagai tanda penghormatan kepada Pramodya Wardani, maka oleh Balaputera Dewa didudukkanlah sang istri (Pramodya Wardani) menjadi Ratu di Puncak (permaisuri Kerajaan Sekala), serta dibuatkan dan dipakaikan siger (mahkota) untuknya yang berbentuk mirip miniatur Candi Borobudur sebagaimana yang bernah dibuatkan oleh Samaratungga sebagai hadiah perkawinan untuk mereka semasa masih di Mataram Kuno. Perpaduan antara pepadun dan siger memunculkan sistem kekerabatan di Kerajaan Sekala yang bersifat patrilineal primogenitur, yaitu bahwa pewarisan takhta berlaku sangat ketat pada jalur keturunan laki-laki pertama dari Balaputera Dewa (selaku penguasa pepadunatau singasana Kerajaan Sekala) dan Pramodya Wardani (selaku pemakai sah siger atau mahkota Kerajaan Sekala).
Henry Susanto, dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, 14 Agustus 2011
Oleh Henry Susanto
Alkisah, Samaratungga sebagai raja ke-7 dari Kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya) mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang putri bernama Pramodya Wardani, sedangkan yang kedua seorang putra yang bernama Rakai Pikatan. Ketika beranjak dewasa, dikabarkan bahwa Rakai Pikatan mempunyai banyak guru Hindu dan akhirnya menjadi pemeluk Hindu. Sedangkan kakak Rakai Pikatan, yaitu Pramodya Wardani adalah pemeluk Buddhis sebagaimana ayahnya.
Pramodya Wardani dipersunting seorang putra pembesar enclaveBuddhis dari daerah Sekala di Lampung, yaitu Balaputera Dewa. Sebagai hadiah perkawinan kepada anaknya (Pramodya Wardani) dan menantunya (Balaputera Dewa) sekaligus untuk menunjukkan kejayaan Buddha di Tanah Jawa, Samaratungga membangunkan Candi Borobudur.
Pada Masa Samaratungga lengser keprabonyang seharusnya menjadi raja pengganti adalah putra laki-laki dari Samaratungga, yaitu Rakai Pikatan. Namun, mengingat Rakai Pikatan sudah menjadi penganut Hindu, tidaklah mungkin untuk diangkat menjadi raja pada kerajaan yang bercorak Buddhis. Oleh sebab itu, diberikanlah takhta kerajaan kepada Pramodya Wardani untuk memerintah sebagai ratu di Mataram Kuno.
Belum lama pemerintahan Ratu Pramodya Wardani berjalan, meletuslah pemberontakan Rakai Pikatan yang didukung oleh para pendeta-pendeta Hindu dari dalam maupun luar kerajaan. Pasukan kerajaan Pramodya Wardani dengan dibantu pasukan yang dibawa suaminya (Balaputera Dewa) dari daerah asalnya mencoba membantu memadamkan pemberontakan Rakai Pikatan.
Keikutsertaan pasukan dari Balaputera Dewa dalam membela takhta Pramodya Wardani justru menyulut kecurigaan Rakai Pikatan dan sebagian besar pembesar istana akan adanya usaha perebutan takhta Kerajaan Mataram Kuno oleh tangan bukan keturunan Dinasti Sanjaya. Para pembesar istana (Buddhis) yang awalnya menopang kekuatan Pramodya Wardani menjadi berbalik bergabung dengan Rakai Pikatan (Hindu) memerangi Pramodya Wardani. Tak pelak, gabungan pasukan Pramodya Wardani dan pasukan Balaputera Dewa menjadi kewalahan, dan akhirnya terpaksa harus menelan kekalahan serta harus menyingkir keluar dari istana.
Kekalahan Pramodya Wardani dan Balaputera Dewa menempatkan Rakai Pikatan bartakhta sebagai raja di Mataram kuno. Kerajaan Jawa yang dulunya bercorak Buddhis berubah menjadi bercorak Hindu. Rakai Panangkaran kemudian juga membangun Candi Prambanan (Hindu) sebagai tandingan Candi Borobudur (Buddha) yang pernah dibangunkan oleh ayahnya (Samaratungga) sebagai hadiah perkawinan untuk Pramudya Wardani dan Balaputera Dewa.
Pada masyarakat Jawa, terdapat cerita rakyat tentang asal mula Candi Prambanan, yaitu dikisahkan bahwa seorang ksatria sakti dari luar istana yang bernama Bandung Bondowoso berminat meminang Putri Roro Jonggrang yang merupakan putri seorang raja Jawa. Pinangan itu diterima Roro Jongrang, tapi sang raja minta syarat bahwa Bandung Bondowoso harus dapat membangun 1.000 candi dalam waktu satu malam sebagai maskawinnya.
Berbekal kesaktiannya, Bandung Bondowoso mencoba menyelesaikan pembuatan 1.000 candi dalam waktu satu malam. Namun, manakala baru selesai membangun 999 candi, dan tinggal satu candi lagi yang harus dibangun, sang raja menyuruh pembantu-pembantunya untuk menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Maka gagallah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kisah Bandung Bondowoso tersebut merupakan kiasan kegagalan Balaputera Dewa dalam membela mempertahankan takhta kerajaan istrinya (Pramodya Wardani) di Mataram Kuno melawan pemberontakan Rakai Pikatan.
Kerajaan Sekala
Kegagalan memadamkan pemberontakan Rakai Pikatan telah membawa Balaputera Dewa dan istrinya (Pramodya Wardani) berikut pasukan yang tersisa pulang kembali ke Sekala di Lampung. Atas dukungan keluarga besar Balaputera Dewa yang berada di Sekala, Balaputera Dewa mendirikan kursi singasana (pepadun) kerajaannya sendiri yang bercorak Buddhis di pesisir barat Lampung dengan lambang-lambang kebesarannya berupa songsong(payung) kuning, burung srigunting, kijang kencana, dan teratai. Balaputera Dewa kemudian bergelar syailendra (satria gunung), maka dianggap sebagai pendiri Wangsa (Dinasti) Syailendra. Istana pusat kerajaannya berada di daerah Sekala.
Pepadun adalah kursi singgasana raja yang dibuat dari kayu pohon khusus yang bernama pohon belasa kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan yang satunya lagi adalah sebukau, yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan belasa kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya. Tapi jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Pepadun adalah singgasana yang hanya berhak diduduki oleh raja serta keturunannya. Ada dua makna di dalam mengartikan kata pepadun, yaitu:
Pertama, dimaknakan sebagai pepadunyang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk di atasnya adalah raja.
Kedua, dimaknakan sebagai pepadunyang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk di atasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.
Kerajaan Sekala kemudian berkembang dengan pesat sebagai kerajaan bercorak Buddhis yang mampu meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke luar Lampung. Kerajaan Sekala inilah yang kemudian dikenal dalam sumber berita China (catatan musafir China yang bernama Ma Huan) sebagai chi-li-fo-che, yang maksudnya adalah Se-ka-la, yang dilafalkan dalam pengucapan logat China. Orang sekarang mengenalnya sebagai Sriwijaya (awal sebenarnya adalah Sekala). Masih berdasar sumber berita China yang sama, dikatakan bahwa chi-li-fo-che merupakan kerajaan po-lim-pang, maksudnya adalah kerajaan yang ada pada orang Lampung. Kata po dalam bahasa China artinya adalah orang, dan kata lim-pangadalah logat pengucapan orang-orang China dalam penyebutan kata Lampung.
Berdasarkan informasi dalam Prasasti Talang Tuo yang di dalamnya termuat simbol Kerajaan Sekala (Sriwijaya) berasal dari tahun 684 Masehi, diketahui bahwa Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membangun Taman Sriksetra untuk kebahagiaan makhluk agar: terbangunnya Buddhis, Tri Ratna, terhentinya kelahiran kembali, dan tercapainya nirwana". Isi prasasti ini menunjukkan bahwa Kerajaan Sekala adalah bercorak Buddha. Taman Sriksetra yang dimaksud kemungkinan besar adalah dibangun secara besar-besaran di Bukit Siguntang (masuk wilayah Palembang sekarang) sebagai wahana peribadatan Buddhis pengganti Borobudur dan sekaligus menunjukkan kejayaan Sekala (Sriwijaya).
Sebagai tanda penghormatan kepada Pramodya Wardani, maka oleh Balaputera Dewa didudukkanlah sang istri (Pramodya Wardani) menjadi Ratu di Puncak (permaisuri Kerajaan Sekala), serta dibuatkan dan dipakaikan siger (mahkota) untuknya yang berbentuk mirip miniatur Candi Borobudur sebagaimana yang bernah dibuatkan oleh Samaratungga sebagai hadiah perkawinan untuk mereka semasa masih di Mataram Kuno. Perpaduan antara pepadun dan siger memunculkan sistem kekerabatan di Kerajaan Sekala yang bersifat patrilineal primogenitur, yaitu bahwa pewarisan takhta berlaku sangat ketat pada jalur keturunan laki-laki pertama dari Balaputera Dewa (selaku penguasa pepadunatau singasana Kerajaan Sekala) dan Pramodya Wardani (selaku pemakai sah siger atau mahkota Kerajaan Sekala).
Henry Susanto, dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, 14 Agustus 2011
August 7, 2011
Sekala, Siger, Borobudur
>> Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Oleh Henry Susanto
Mungkinlah Sekala adalah Sriwijaya? Mungkinkah Siger replika Borobudur? Mungkinkah Siger mahkota Pramodya Wardani? Bagaimanakah kemungkinan sejarahnya?
KISAH ini dimulai dari sejarah migrasi orang-orang dari negeri Hindustan (India) menyebar ke Nusantara yang terjadi ketika meletus perang besar Hindu-Buddha di daerah tersebut pada sekitar 100 tahun SM. Perang itu diabadikan dalam cerita sastra India yang sangat terkenal, yaitu Maha Bharata. Kekuatan Hindu yang berhasil menguasai kekuatan politik dan militer di India saat itu berhasil mendesak kekuatan Buddha hingga menyingkir ke ujung selatan India. Perburuan orang-orang Buddha ke India Selatan terus berlanjut dilakukan pasukan Hindu, maka terjadilah eksodus besar-besaran orang-orang Buddha ke luar India mengarungi samudera yang sekarang ini dikenal dengan sebagai Samudera Hindia.
Tempat pendaratan pelarian orang-orang Buddha dari India tersebut, terutama adalah pesisir selatan Pulau Jawa Dwipa (Jawa) dan pesisir barat Pulau Swarna Dwipa (Sumatera), yaitu pada tempat-tempat yang mempunyai garis pantai landai. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa Hindu sebagai religi memang lebih dulu ada daripada Buddha, tetapi pengaruh kebudayaan India yang pertama kali masuk ke Nusantara adalah Buddha.
Daerah di Pulau Jawa yang dipergunakan sebagai tempat pendaratan pelarian orang-orang Buddha dari India adalah daerah Jawa Barat dan Yogyakarta. Enclave (daerah kantong) Buddha mulai bermunculan di Jawa. Pada masa itu Pulau Jawa terkenal sebagai Pulau Api yang berbahaya karena banyak terdapat gunung berapi di dalamnya, sehingga banyak dihindari orang dari daerah luar untuk tidak menyinggahi maupun mendatanginya ketika berlayar. Dampaknya, keberadaan orang-orang Buddha di tanah Jawa nyaris tanpa gangguan apa pun dari luar Jawa.
Daerah-daerah pendaratan di Pulau Sumatera, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. Para pelarian di Pulau Sumatera ini setelah mampu menciptakan keamanan bagi mereka dengan terlebih dahulu meniadakan (menaklukkan) gangguan-gangguan keamanan dari orang-orang asli Sumatera (orang Tumi), membentuk enclave-enclave bercorak Buddhis di pesisir barat Pulau Sumatera.
‘Enclave’ Lampung
Kemungkinan besar enclave Buddhis pertama di Lampung adalah berada di daerah Sekala (banyak terdapat pohon sekala, yaitu seperti lengkuas tetapi besar-besar). Para migran dari India yang mendarat di pesisir barat Lampung kemudian bergerak ke pedalaman pegunungan Lampung bagian barat hingga sampailah mereka di daerah Sekala dalam rangka mencari daerah tempat tinggal yang datar, subur, dan aman terhindar dari kemungkinan kejaran orang-orang Hindu dari India.
Berawal dari daerah Sekala inilah selanjutnya para migran Buddhis dari India tersebut kemudian menjelajah dan menyebar ke daerah-daerah yang ada di Lampung. Tidaklah mengherankan di masa sekarang, apabila orang membicarakan tentang asal-usul orang Lampung selalu mengacu ke arah daerah Sekala, dan di Sekala inilah ditemukan situs Batu Brak (batu-batuan yang lebar dan besar bekas permukiman).
Sebutan kata Lampung itu sendiri berasal dari kata selopun yang maksudnya adalah selo atau duduk bersila, dan puun yang artinya dimuliakan. Daerah Sekala dan sekitarnya yang kemudian menjadi tempat mukim menetap bagi orang-orang Buddhis migran dari India dipimpin oleh pendeta-pendeta Buddhis yang dimuliakan yang mempunyai kebiasaan duduk meditasi bersila (ciri khas posisi duduk atau mudra Buddha). Oleh sebab itu, daerah bagian selatan dari Pulau Swarna Dwipa (Sumatera) kemudian dikenal dengan nama Selopun atau tempat orang mulia yang duduk bersila. Kata Selopun lama-kelamaan sering diucapkan orang pada masa itu secara cepat dengan ucapan "Lo-pun" untuk menunjuk nama daerah kekuasaan Kerajaan Sekala di bagian selatan dari Pulau Swarna Dwipa (Sumatera). Pada masa sekarang ini, daerah bagian selatan dari Pulau Swarna Dwipa (Sumatera) dikenal dengan nama Lampung.
Pada abad ke-6 seorang musafir Tionghoa I-Tsing pernah singgah di Selopun (Lampung). Musafir I-Tsing ini menyebut Selopun dengan nama Tola P'ohwang. Sebutan Tola P'ohwang diambilnya dari kata Selopun yang diucapkan secara per-ejaan suku kata hingga menjadi So-la-po-un. Berhubung I-Tsing adalah orang China yang ucapan di lidahnya tidak dapat menyebutkan kata "Se" maka diejanya dengan bunyi "To". Kata Selapon diejanya menjadi To-la- P'o-hwang (maksudnya Se-Lo-Po-Un).
Musafir I-Tsing masuk dan singgah ke Selopun berlayar dari China melalui Laut Jawa, dan mendarat berlabuh pada sebuah kota pemukiman berupa kota bandar perdagangan yang berada di muara sungai besar di pantai sebelah timur dari Selopun. I-Tsing menyebut daerah tempat itu sebagai To-la- P'o-hwang (tentu maksudnya adalah Selopun atau Lampung sekarang). Daerah tempat mendarat dan sungai besar tempat berlabuh kapal yang membawanya dari negeri China hingga sekarang dikenal dengan nama To-la- P'o-hwang (Tulangbawang).
Aksara Lampung yaitu aksara Ka-ga-nga mempunyai huruf induk berjumlah 20 yang berasal dari huruf Pallawa dari daerah di India Selatan. Aksara Ka-ga-nga ini, di kemudian hari setelah Lampung mendapat pengaruh agama dan budaya Islam, dikenal dengan sebutan Had Lampung. Penulisan fonetik-nya menjadi berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup sebagaimana penulisan fonetik dalam Huruf Arab, dengan mempergunakan tanda vokal menyerupai fathah di baris atas dan tanda menyerupai kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dommah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, yang masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Dapatlah dikatakan bahwa masyarakat Lampung sebelum adanya pengaruh agama dan budaya Islam adalah mempergunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Masyarakat Lampung setelah masuknya pengaruh agama dan budaya Islam mulai mempergunakan aksara Kaganga (dikenal dengan Had Lampung) yang berupakan perpaduan huruf Pallawa dan huruf Arab, dan berbahasa Lampung yang merupakan perpaduan dari bahasa Sanskerta, Arab, dan Melayu.
Prahara Pikatan
Kondisi Pulau Jawa yang subur karena terdapat banyak gunung berapi dan cenderung dihindari orang dari luar, merupakan tempat yang strategis untuk pelarian dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, maupun politik bagi orang-orang Buddha pelarian dari India. Migrasi pelarian orang-orang Buddha dari India ke Pulau Jawa makin intensif pada 100 tahun SM, ketika India dipimpin Raja Harsya (Hindu) dengan ketenarannya dalam sejarah India sebagai Beludru Berlumur Darah karena menerapkan hukum bakar hidup-hidup pada para pengikut maupun pendeta Buddha yang tertangkap.
Sejalan dengan semakin berkembangnya kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik di Pulau Jawa, pada abad ke 3 Masehi munculah kerajaan bercorak Buddhis pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Mataram Kuno yang didirikan oleh Sanaha sebagai pendiri Dinasti Sanjaya di tanah Jawa. Pada masa tersebut, bertepatan dengan berakhirnya peperangan antara Hindu dan Buddha di India. Masyarakat Hindu dan Buddha mulai dapat hidup tenang berdampingan di India. Hubungan persahabatan dan perdagangan antara India dan Mataram Kuno mulai terjalin. Hal tersebut juga berdampak pada masuk dan berkembangnya juga masyarakat dan kebudayaan Hindu dari India di Mataram kuno (Jawa), yang hidup damai berdampingan dengan masyarakat maupun budaya Buddha di bawah pemerintahan Dinasti Sanjaya.
Henry Susanto, Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Agustus 2011
Oleh Henry Susanto
Mungkinlah Sekala adalah Sriwijaya? Mungkinkah Siger replika Borobudur? Mungkinkah Siger mahkota Pramodya Wardani? Bagaimanakah kemungkinan sejarahnya?
KISAH ini dimulai dari sejarah migrasi orang-orang dari negeri Hindustan (India) menyebar ke Nusantara yang terjadi ketika meletus perang besar Hindu-Buddha di daerah tersebut pada sekitar 100 tahun SM. Perang itu diabadikan dalam cerita sastra India yang sangat terkenal, yaitu Maha Bharata. Kekuatan Hindu yang berhasil menguasai kekuatan politik dan militer di India saat itu berhasil mendesak kekuatan Buddha hingga menyingkir ke ujung selatan India. Perburuan orang-orang Buddha ke India Selatan terus berlanjut dilakukan pasukan Hindu, maka terjadilah eksodus besar-besaran orang-orang Buddha ke luar India mengarungi samudera yang sekarang ini dikenal dengan sebagai Samudera Hindia.
Tempat pendaratan pelarian orang-orang Buddha dari India tersebut, terutama adalah pesisir selatan Pulau Jawa Dwipa (Jawa) dan pesisir barat Pulau Swarna Dwipa (Sumatera), yaitu pada tempat-tempat yang mempunyai garis pantai landai. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa Hindu sebagai religi memang lebih dulu ada daripada Buddha, tetapi pengaruh kebudayaan India yang pertama kali masuk ke Nusantara adalah Buddha.
Daerah di Pulau Jawa yang dipergunakan sebagai tempat pendaratan pelarian orang-orang Buddha dari India adalah daerah Jawa Barat dan Yogyakarta. Enclave (daerah kantong) Buddha mulai bermunculan di Jawa. Pada masa itu Pulau Jawa terkenal sebagai Pulau Api yang berbahaya karena banyak terdapat gunung berapi di dalamnya, sehingga banyak dihindari orang dari daerah luar untuk tidak menyinggahi maupun mendatanginya ketika berlayar. Dampaknya, keberadaan orang-orang Buddha di tanah Jawa nyaris tanpa gangguan apa pun dari luar Jawa.
Daerah-daerah pendaratan di Pulau Sumatera, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. Para pelarian di Pulau Sumatera ini setelah mampu menciptakan keamanan bagi mereka dengan terlebih dahulu meniadakan (menaklukkan) gangguan-gangguan keamanan dari orang-orang asli Sumatera (orang Tumi), membentuk enclave-enclave bercorak Buddhis di pesisir barat Pulau Sumatera.
‘Enclave’ Lampung
Kemungkinan besar enclave Buddhis pertama di Lampung adalah berada di daerah Sekala (banyak terdapat pohon sekala, yaitu seperti lengkuas tetapi besar-besar). Para migran dari India yang mendarat di pesisir barat Lampung kemudian bergerak ke pedalaman pegunungan Lampung bagian barat hingga sampailah mereka di daerah Sekala dalam rangka mencari daerah tempat tinggal yang datar, subur, dan aman terhindar dari kemungkinan kejaran orang-orang Hindu dari India.
Berawal dari daerah Sekala inilah selanjutnya para migran Buddhis dari India tersebut kemudian menjelajah dan menyebar ke daerah-daerah yang ada di Lampung. Tidaklah mengherankan di masa sekarang, apabila orang membicarakan tentang asal-usul orang Lampung selalu mengacu ke arah daerah Sekala, dan di Sekala inilah ditemukan situs Batu Brak (batu-batuan yang lebar dan besar bekas permukiman).
Sebutan kata Lampung itu sendiri berasal dari kata selopun yang maksudnya adalah selo atau duduk bersila, dan puun yang artinya dimuliakan. Daerah Sekala dan sekitarnya yang kemudian menjadi tempat mukim menetap bagi orang-orang Buddhis migran dari India dipimpin oleh pendeta-pendeta Buddhis yang dimuliakan yang mempunyai kebiasaan duduk meditasi bersila (ciri khas posisi duduk atau mudra Buddha). Oleh sebab itu, daerah bagian selatan dari Pulau Swarna Dwipa (Sumatera) kemudian dikenal dengan nama Selopun atau tempat orang mulia yang duduk bersila. Kata Selopun lama-kelamaan sering diucapkan orang pada masa itu secara cepat dengan ucapan "Lo-pun" untuk menunjuk nama daerah kekuasaan Kerajaan Sekala di bagian selatan dari Pulau Swarna Dwipa (Sumatera). Pada masa sekarang ini, daerah bagian selatan dari Pulau Swarna Dwipa (Sumatera) dikenal dengan nama Lampung.
Pada abad ke-6 seorang musafir Tionghoa I-Tsing pernah singgah di Selopun (Lampung). Musafir I-Tsing ini menyebut Selopun dengan nama Tola P'ohwang. Sebutan Tola P'ohwang diambilnya dari kata Selopun yang diucapkan secara per-ejaan suku kata hingga menjadi So-la-po-un. Berhubung I-Tsing adalah orang China yang ucapan di lidahnya tidak dapat menyebutkan kata "Se" maka diejanya dengan bunyi "To". Kata Selapon diejanya menjadi To-la- P'o-hwang (maksudnya Se-Lo-Po-Un).
Musafir I-Tsing masuk dan singgah ke Selopun berlayar dari China melalui Laut Jawa, dan mendarat berlabuh pada sebuah kota pemukiman berupa kota bandar perdagangan yang berada di muara sungai besar di pantai sebelah timur dari Selopun. I-Tsing menyebut daerah tempat itu sebagai To-la- P'o-hwang (tentu maksudnya adalah Selopun atau Lampung sekarang). Daerah tempat mendarat dan sungai besar tempat berlabuh kapal yang membawanya dari negeri China hingga sekarang dikenal dengan nama To-la- P'o-hwang (Tulangbawang).
Aksara Lampung yaitu aksara Ka-ga-nga mempunyai huruf induk berjumlah 20 yang berasal dari huruf Pallawa dari daerah di India Selatan. Aksara Ka-ga-nga ini, di kemudian hari setelah Lampung mendapat pengaruh agama dan budaya Islam, dikenal dengan sebutan Had Lampung. Penulisan fonetik-nya menjadi berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup sebagaimana penulisan fonetik dalam Huruf Arab, dengan mempergunakan tanda vokal menyerupai fathah di baris atas dan tanda menyerupai kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dommah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, yang masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Dapatlah dikatakan bahwa masyarakat Lampung sebelum adanya pengaruh agama dan budaya Islam adalah mempergunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Masyarakat Lampung setelah masuknya pengaruh agama dan budaya Islam mulai mempergunakan aksara Kaganga (dikenal dengan Had Lampung) yang berupakan perpaduan huruf Pallawa dan huruf Arab, dan berbahasa Lampung yang merupakan perpaduan dari bahasa Sanskerta, Arab, dan Melayu.
Prahara Pikatan
Kondisi Pulau Jawa yang subur karena terdapat banyak gunung berapi dan cenderung dihindari orang dari luar, merupakan tempat yang strategis untuk pelarian dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, maupun politik bagi orang-orang Buddha pelarian dari India. Migrasi pelarian orang-orang Buddha dari India ke Pulau Jawa makin intensif pada 100 tahun SM, ketika India dipimpin Raja Harsya (Hindu) dengan ketenarannya dalam sejarah India sebagai Beludru Berlumur Darah karena menerapkan hukum bakar hidup-hidup pada para pengikut maupun pendeta Buddha yang tertangkap.
Sejalan dengan semakin berkembangnya kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik di Pulau Jawa, pada abad ke 3 Masehi munculah kerajaan bercorak Buddhis pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Mataram Kuno yang didirikan oleh Sanaha sebagai pendiri Dinasti Sanjaya di tanah Jawa. Pada masa tersebut, bertepatan dengan berakhirnya peperangan antara Hindu dan Buddha di India. Masyarakat Hindu dan Buddha mulai dapat hidup tenang berdampingan di India. Hubungan persahabatan dan perdagangan antara India dan Mataram Kuno mulai terjalin. Hal tersebut juga berdampak pada masuk dan berkembangnya juga masyarakat dan kebudayaan Hindu dari India di Mataram kuno (Jawa), yang hidup damai berdampingan dengan masyarakat maupun budaya Buddha di bawah pemerintahan Dinasti Sanjaya.
Henry Susanto, Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Agustus 2011
August 6, 2011
Sejarah Pembentukan Provinsi Lampung Tahun 1945-1962
Oleh Arizka Warganegara
Note:
Tulisan ini dikompilasi dari berbagai catatan panjang perjalanan Provinsi Lampung, termasuk interview dengan beberapa tokoh-tokoh pejuang yang tersisa, sengaja saya share di forum fb semoga bermanfaat bagi generasi muda khususnya Lampung untuk tidak melupakan sejarah Lampung yang selama ini seolah-olah hanya dimulai tahun pada tahun 1964 pasca Lampung berpisah dari Provinsi Sumsel, padahal banyak fakta yang menarik menilik Lampung di era 1945 s.d. 1964. tabik. Arizka Warganegara: arizka@unila.ac.id
1. Pendudukan Jepang
Pada masa pecahnya perang Pasifik, yaitu mulai tanggal 8 Desember 1941, Jepang berusaha untuk memenangkan peperangan di kawasan Asia Tenggara. Di Birma, Malaya, dan Singapura, Jepang berhasil menghancurkan pasukan Inggris. Di Pilipina, Jepang berhasil menghancurkan kekuatan pertahanan Amerika Serikat. Di Indonesia, Jepang berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Malaya dan Singapura jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 15 Pebruari 1942. Dari Singapura, Jepang menyerang Sumatera, yang khususnya ditujukan ke Palembang dan sekitarnya yang kaya akan minyak bumi. Akhirnya, Palembang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 16 Pebruari 1942. Dari Palembang, Jepang berhasil menguasai seluruh pulau Sumatera.
Dari Palembang, Jepang berhasil menduduki Lampung, setelah menghancurkan tentara Belanda di Tulung Buyut. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yaitu pada tanggal 7 Maret 1942 di Kalijati. Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Letnan Jenderal H. Ter Poorten, menyerahkan kekuasaan kepada pimpinan angkatan perang Jepang, Letnan Jenderal H. Imamura.
Berbeda dengan zaman Hindia Belanda yang hanya memiliki satu pemerintahan sipil, maka pada zaman Jepang, terdapat tiga pemerintah militer pendudukan, yaitu:
a. Tentara keenam belas di Pulau Jawa dan Madura, berpusat di Jakarta.
b. Tentara kedua puluh lima di Pulau Sumatera, berpusat di Bukittinggi.
c. Armada Selatan kedua di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya, dengan pusatnya di Ujung Pandang (Makassar).
Di Sumatera, pemerintahan Militer membentuk 10 Syu (Karesidenan) yaitu Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jambi, Palembang, dan Bangka-Belitung.
Lampung segera dijadikan karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer (Syukocan). Kolonel Kurita yang yang dibantu oleh seotang Kepala Kepolisian bernama Subakihara.
Di bawah Karesidenan diadakan Kabupaten, dan di bawah Kabupaten ada Kawedanan yang dikepalai oleh seorang Guncho (dijabat oleh orang Indonesia asli). Di bawah kawedanan terdapat keasistenan yang nanti menjadi kecamatan yang diketuai oleh Asisten Demang (Fuku Guncho). Di bawah kecamatan adalah desa/ kampung yang oleh Jepang disebut Ku. Di Lampung disebut Son. Kepala kampung disebut Soncho.
Setiap orang yang ingin menjadi tentara harus menjalani latihan terlebih dahulu di Tanjung Karang selama tiga bulan. Setelah itu mereka kembali ke tempat asal, kemudian praktek latihan perang secara teritorial sebagai persiapan untuk digodok di Pagar Alam. Selesai di Pagar Alam, dilantik di Jepang di Lahat dan mendapatkan pangkat Letda yang disebut Gyu Soi.
Pemilihan pimpinan kompi di Lampung, ternyata tidak jadi dilaksanakan, disebabkan meletusnya perlawanan Peta di Blitar. Pada masa itu, kebanyakan tokoh politik dan perwira di Lampung, dijadikan sebagai alat propaganda agar segenap rakyat mau membantu Jepang. Tokoh yang dicurigai mereka dipindahkan ke luar Lampung.
Sejak pertengahan April 1942, Jepang melalui polisi rahasianya yang disebut “Kempetai”, melakukan tindakan tegas terhadap unsur-unsur yang dicurigai. Tindakan ini ditujukan kepada tokoh masyarakat, pegawai pamong praja, dan polisi yang berkebangsaan Indonesia. Semakin lama, rakyat berkurang kepercayaannya kepada Jepang.
2. Karesidenan Lampung sebagai bagian Propinsi Sumatera
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia, setelah sebelumnya mendengar berita tentang menyerahnya Jepang dari sekutu.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. A. Abbas sebagai anggota Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Lampung, bersama 2 orang anggota PPKI dari Sumatera Utara, yaitu Mr. Teuku Mohammad Hasan dan Dr. M. Amir, pada tanggal 23 Agustus 1945 bersama-sama berangkat dari Jakarta dengan kapal terbang ke Palembang. Mereka inilah yang membawa berita resmi mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Setelah ketiga anggota PPKI ini bertemu dan berunding dengan Dr. A. K. Gani, seorang tokoh Nasional Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, maka malamnya tanggal 23 Agustus 1945 itu juga Mr. A. Abbas melanjutkan perjalanannya dengan kereta api ke Tanjungkarang (Lampung).
Selanjutnya, Mr. A. Abbas segera mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka masyarakat di Tanjungkarang dan sekitarnya untuk mengambil langkah berikutnya sesuai degan petunjuk dari pemerintah pusat di Jakarta.
Mr. A. Abbas yang ditunjuk sebagai Residen pertama untuk Lampung setelah proklamasi, membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Lampungm yang selanjutnya disusul dengan dibentuknya komite-komite Nasional di tingkat Kawedanan dan Kecamatan. Sebagian besar anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Lampung, sebagian besar merupakan mantan anggota Susyangikai (semacam DRPD buatan Pemerintah Tentara Pendudukan Jepang) Karesidenan Lampung, yaitu sebagai berikut.
Dewan Pimpinan:
Ketua : R. A. Basyid
Wakil Ketua : Dr. Badril Munir
Sekretaris Umum : R. Suharjo Harjowardoyo
Anggota Dewan:
1. W. A, Rakhman 8. Abdullah Suhaili
2. Mr. Gele Harun 9. A. Yasin
3. A. Aziz Gustam 10. Sumarno
4. A. Aziz Cindarbumi 11. Suward
5. K. H. Harun 12. R. P. Alam
6. K. H. Ali Tashim 13. K. H. Nawawi
7. Syamsuddin 14. Dr. Kajat
Badan Pekerja:
Ketua : W. A. Rakhman
Wakil Ketua : Mr. Gele Harun
Sekretaris Umum : A. Aziz Cindarbumi
Sekretaris I : Aziz Rauf
Sekretaris II : A. Khalik Shahib
Bendahara : Kgs. A. Solikhin
Perlengkapan : H. Zainal Nuh
Pada tanggal 5 September 1945, keluarlah sebuah instruksi dari Pemerintah Pusat untuk dilakukan pengambilalihan kekuasaan di kawedanan-kawedanan, serta pengibaran bendera Merah Putih secara menyeluruh, dengan penjagaan seperlunya.
Setelah Mr. A. Abbas berunding dengan beberapa pejabat kantor Karesidenan Lampung, antara lain Sultan Rahim Pasaman dengan pihak Residen Lampung, maka pihak pemerintah Jepang (Syukocan) bernama Kobayashi, bersama dengan beberapa pejabat Jepang, menyerahkan kekuasaan kepada Mr. A. Abbas selaku Residen Lampung dari Pemerintah Republik Indonesia.
Adapun susunan Pemerintah Republik Indonesia yang pertama dari Karesidenan Lampung adalah sebaga berikut.
Residen : Mr. A. Abbas
Pembantu : Sutan Rahim Pasaman
Sekretaris : A. Lumban Tobing
Kepala Kepolisian : R. Suharjo Harjowardoyo
Kepala Kehakiman : Mr. Gele Harun
Kepala Kantor Kemakmuran/ Ekonomi : Kgs. A. Somad Solikhin
Kepala Kantor Penernagan : Amir Hasan
Kepala Kantor Kehewanan : Dr. Samil
Kepala Kantor PU : Mas Sahid
Kepala Kantor Kesehatan: : Dr. Kajat
Kepala Kantor Pos Besar : Lim Ceng Kieng
Kepala Kantor Telepon/ Paragraf : M. Nur
Kepala Jawatan Kereta Api : Ibrahim
Kepala Kantor Agama : K. H. Muhammad Thoha
Pada bulan Agustus hingga September 1945, para bekas perwira Gyuugun dan Heiho mendririkan berbagai organisasi perjuagan, seperti Badan Penolong Korban Perang (BPKP), Penjaga Keamanan Rakyat (PKR), Angkatan Pemuda Indonesia (API), organisasi Barisan Pelopor, Gerakan Pegawai Angkatan Muda (GPAM), Lasykar Hisbullah, Sabilillah, serta lain sebagainya.
Selanjutnya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat pada tanggal 5 Otober 1945. TKR bertugas menjaga keamanan masyarakat dan menjaga kedaulatan Republik Indonesia.
Adapun Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) yang telah dibentuk oleh Pangeran Emir M. Nur harus dibubarkan, atas perintah Dr. A. K. Gani selaku Koordinator TKR Sumatra. Pada bulan Desember 1945, Suharjo Harjowardoyo, Kepala Kepolisian Daerah Lampung atas panggilanDr. A. K. Gani, berangkat ke Palembang, untuk diangkat menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat Komandemen Sumatera dengan pangkat Jenderal Mayor.
Di Lampung, pada pertengahan bulan Desember 1945, para bekas perwira Gyugun Lampung yang memimpin PKR, Pelopor, dan Organisasi Kelasykaran bermusyawarah untuk membentuk Resimen TKR di Lampung. Dalam musyawarah tersebut, terpilihlah Iwan Supardi sebagai Komandan Resimen dan Mayor Sukardi Hamdani sebagai Kepala Markas Uum Resimen III Divisi Lampung,
Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan Pebruari tahun 1946, tentara Jepang yang menduduki daerah Lampung telah selesai seluruhnya meninggalkan Lampung menuju Palembang. Namun demikian, sejak negara Republik Indonesia diproklamirkan, sisitem pemerintahan Jepang masih diteruskan. Pada Surat Keputusan Gubernur Sumatera (Medan) tanggal 17 Mei 1946 No. 113, Karesidenan Lampung dibagi menjadi 3 Kabupaten, 11 Kawedanan. Setiap Kawedanan dibagi atas beberapa Kecamatan dan setiap Kecamatan dibagi lagi menjadi beberapa Marga.
Kabupaten-kabupaten dan Kawedanan-kawedanan di daerah Karesidenan Lampung itu adalah:
Kabupaten Lampung Utara dengan Kawedanan:
Kawedanan Menggala Bupati: Burhanuddin
Kawedanan Kotabumi
Kawedanan Way Kanan
Kawedanan Krui
Kabupaten Lampung Tengah, dengan Kawedanan
Kawedanan Sukadana Bupati: Zainabun
Kawedanan Metro
Kawedanan Way Seputih
Kabupaten Lampung Selatan, dengan Kawedanan
Kawedanan Kalianda Bupati: R. A. Basyid
Kawedanan Telukbetung
Kawedanan Kedondong
Pada tanggal 10 September 1946, terjadilah suatu rapat raksasa di Lapangan Enggal Tanjung Karang yang diadakan oleh Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM), yang tokoh-tokoh penggeraknya antara lain: Abdullah Sani, Abdul Kohar, dan sebagai pembicaranya adalah Zainal Abidin. Mereka mendesak agar Mr. A. Abbas segera turun dari jabatannya dan digantikan oleh Dr. Badril Munir sebagai Residen Lampung, dan wakilnya adalah Ismail. Selanjutnya, Pemerintahan Karesidenan Lampung diambil alih oleh Komandan Resimen III Letkol M. Arief, dan diberikan kepada Dr. Badril Munir dan Ismail sebagai wakilnya, sambil menunggu keputusan dari Pemerintah Pusat.
Kemudian, pada tanggal 29 Oktober 1946, Mr. Hermani dari Pemerintah Pusat melalui Palembang datang ke Tanjung Karang untuk menyelesaikan kekalutan masalah ini. Oleh Pemerintah Pusat, disetujui bahwa Dr. Badril Munir menjadi Residen Lampung, tetapi Ismail tidak dapat diterima menjadi Wakil Residennya. Selanjutnya, ditugaskanlah R. M. Rukadi Wiryoharjo dari Jakarta sebagai Wakil Residen Lampung. Mereka menjabat hingga pada tanggal 29 November 1947 Dr. Badril Munir meletakkan jabatannya, dan diganti oleh R. M. Rukadi Wiryoharjo sebagai Residen Lampung yang baru. Adapun yang menjabat sebagai Wakil Residen adalah R. A. Basyid.
Pada bulan Agustus 1945 sampai dengan pertengahan tahun 1947, Sumatera merupakan satu propinsi, uang dipimpin oleh gubernur M. Teuku Muhammad, yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara. Pada pertengahan tahun 1947, Propinsi Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) sub Propinsi, yaitu:
Subpropinsi Sumatera Utara di Medan
Sumatera Tengah di Bukittinggi
Sumatera Selatan di Palembang
Karesidenan yang masuk Sub Propinsi Sumatera Selatan, ialah Karesidenan Palembang, Karesidenan Lampung, karesidenan Jambi, Karesidenan Bengkulu, dan Karesidenan Bangka Belitung. Pada tanggal 5 Mei 1947, Pemerintah mengeluarkan sebuah dekrit yang berisi perintah untuk mempersatukan semua kekuatan bersenjata, yaitu TRI dan laskar-laskar atau badan pejuang.
4. Karesidenan Lampung Pada Masa Pemerintahan Darurat
Suatu ketika, dalam sebuah perundingan dengan Belanda, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menolak beberapa tuntutan yang diajukan oleh Belanda terhadap Indonesia pada jawaban Perdana Menteri Amir Syarifuddin tertanggal 17 Juli 1947. Sebagai konsekuensinya, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak kepada daerah-daerah di Indonesia, yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I atau Clash I.
Di sub propinsi Sumatera Selatan, Belanda mulai menyerang Lampung melalui jalur darat dari Palembang. Kemudian, setelah bertempur selama 3 hari dan mendapatkan perlawanan gigih dari kesatuan-kesatuan TNI, pada tanggal 25 Juli, Belanda berhasil menduduki Baturaja. Namun, pada peristiwa-peristiwa selanjutnya, Belanda tidak berhasil menduduki Lampung.
Pada bulan Agustus 1947, dalam rangka melaksanakan mobilisasi umum, maka Seksi Mobilisasu Umum dari Staf Resimen 41 bersama dengan para pimpinan partai dan organisasi-organisasi kemasyarakatan membtnuk Dewan Pertahanan Daerah Lampung dan Palembang Selatan. Pada kegiatan itu, Ketua DPR Wan Adurrakhman terpilih menjadi Wakil Ketua, Marsyid Alamsyah Carepoboka dari Kantor Keresidenan sebagai Panitera, sedangkan Ketua Dewan adalah Komandan Resimen.
Kemudian, dibentuklah Mahkamah Tentara di Lampung di bawah pimpinan Mr. Gele Harun dengan pangkat Letkol tituler. Setelah itu, sebagai akibat ditandatanganinya Perjanjian Renville oleh Pemerintah Republik Indonesia dan tentara Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pelaksanaan instruksi penghentian tembak-menembak diadakan perundingan antara pihak tentara Belanda dengan TNI di daerah Palembang Selatan, yaitu di kota Martapura. Mereka yang berunding adalah Kolonel Ssyamaun Gaharu, Komandan Brigade Garuda Hitam, sebagai Ketua Delegasi, dan juga R. M. Rukadi Wiryoharjo (Residen Lampung) sebagai anggota.
Salah satu hasil perundingan tersebut adalah bahwa garis pertahanan yang memisahkan antara daerah yang diserhkan kepada tentara Belanda dan yang dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia di Palembang Selatan ini, adalah garis sepanjang Way Pisang dan Way Tuba. Sebagian besar dari pasukan-pasukan Garuda Hitam bersama dengan pejabat sipil yang tetap setia pada pemerintah Republik Indonesia beserta keluarga-keluarga mereka lebih kurang 4.000 orang pindah dan hijrah ke daerah Lampung, dengan melintasi “garis pemisah” ini.
Dalam rapatnya pada tahun 1948, Dewan Pertahanan Daerah Lampung memutuskan bahwa jika Belanda menyerang Lampung, maka Residen dan Komandan Brigade Garuda Hitam pergi ke luar kota, sedangkan wakil residen tetap berada di dalam kota untuk melindungi rakyat Lampung.
Selanjutnya, pemerintah Belanda melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II (Clash II), yaitu pada tanggal 19 Deseember 1949, dimana pasukan Belanda pertama-tama menyerang ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, melalui pasukan lintas Udara. Dalam serangan tersebut, Belanda dapat menguasai Lapangan Terbang Maguwo, yang kemudian menguasai seluruh kota Yogyakarta.
Di Lampung sendiri, serangan baru dimulai tanggal 1 Januari 1949, ketika Belanda memasuki Teluk Lampung melalui Kalianda menuju Pelabuhan Panjang. Kira-kira pukul 05.00 pagi, kapal perang Belanda mulai menembaki pelabuhan Panjang. Tetapi, karena perlawanan dari pihak tentara kita di Panjang, baru setelah kira-kira jam 06.00 pagi, mereka dapat mendarat di pantai luar Pelabuhan Panjang dan di pantai sekitar Gunung Kunyit Teluk Betung. Ibukota Karesidenan Lampung akhirnya dapat diduduki oleh pasukan Belanda pada hari itu juga. Karena peristiwa inilah, maka Pemerintah Karesidenan beserta stafnya menyingkir ke luar kota.
Komandan Sub-Territorial Lampung, Letkol Syamaun Gaharu, dengan anggota-anggota stafnya beserta beberapa pejabat Pemerintah Sipil Karesidenan Lampung tanggal 1 Januari sudah berada di Gedong Tataan, sedangkan rombongan keluarga militer dan sipil yang mengungsi sudah berada di Pringsewu.
Saat itu, Komandan Front Utara, dengan Batalyon Mobilnya, yang dipimpin oleh Mayor Nurdin pada tanggal 1 Januari 1949 sore hari sudah berada di Kotabumi. Pada malam harinya, Mayor Nurdin mengadakan rapat dengan Bupati Lampung Utara beserta beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan Partai, untuk membentuk Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung.
Karena diketahui bahwa Residen Rukadi dan wakil Residen R. A. Basyid tidak keluar dari Tanjung Karang, maka rapat di Kotabumi memutuskan untuk menunjuk Bupati Akhmad Akuan menjadi Residen Darurat Lampung sambil menunggu kabar dan Keputusan Komanda Sub-Territorial Lampung (STL). Hasil rapat yang lainnya, adalah keputusan untuk mencetak uang uang darurat, yang ditandatangani oleh Bupati Lampung Utara, Akhmad Akuan, untuk menanggulangi kebutuhan belanja dan logisitik bagi Batalyon Mobil dan pemerintahan sipil di Lampung Utara.
Pada tanggal 5 Januari 1949, Wakil Presiden R. A. Basyid telah meninggalkan kota Tanjung Karang dan berangkat menuju ke Pringsewu. Berdasarkan hasil musyawarah antara Komando Staf Sb-Territorial Lampung (Letkol Syamaun Gaharu da Mayor N. S. Effendi), para pimpinan partai, K. H. Gholin dari pesantren Pringsewu, serta para pejabat Karesidenan Lampung, maka diangkatlah Mr. Gele Harun sebagai Residen Pemerintahan Darurat Lampung menggantikan Residen Rukadi yang masih berada di daerah pendudukan Belanda di Tanjung Karang dan kemudian ke Bekasi, dan R. A. Basyid pun ditetapkan menjadi Wakil Residen.
Setelah dibentuknya Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung di Pringsewu, maka Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung yang dipimpin oleh Akhmad Akuan, dikembalikan jabatannya ke posisi sebelumnya, yaitu sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara.
Dr. A. K. Gani selaku Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan selanjutnya mengeluarkan Surat Ketetapan No. 40/49 tanggal 23 April 1949 yang isinya adalah sebagai berikut.
Territorial Palembang Selatan dan Krui dari Daerah Pertahanan Sub-Territorial Lampung dimasukkan ke dalam Sub Territorial Palembang.
Kawedanan Krui dan Karesidenan Lampung dalam sipil dan keuangan dimasukkan dalam Kabupaten Palembang Selatan Karesidenan Palembang.
Kabupberaten Palembang Selatan dalam hal jabatan sipil dan keuangan yang semula dikoordinir oleh Residen Lampung, dikembalikan kepada Residen Palembang, Gubernur Sumatera Selatan.
Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Darurat dan Staf Sub Territorial Lampung kemudian pindah ke Talapngpadang, terus ke Gunung Meraksa hingga ke Way Tenong. Baru menjelang penyerahan Kotabumi dari Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Darurat pindah ke Bukit Kemuning.
Pembentukan pemerintah darurat tidak saja terjadi di tingkat Karesidenan, namun juga terjadi di tingkat Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan, dan Desa. Pemerintah Darurat itu antara lain:
1. a. Di Sukoharjo, Wedana Pringsewu Ramelan diangkat menjadi Bupati Lampung Selatan.
b. Pujoatmiko diangkat menjadi Camat Sukoharjo Utara
c. Hi. Abdul Halim, Camat Ambarawa diangkat menjadi Wedana Perang.
d. Lurah Minganudin diangkat sebagai Lurah Sukoharjo
e. R. M. Waluyo, Camat Gadingrejo, juga berada di Sukoharjo.
2. Imam Muhajir, seorang pegawai Kantor Penerangan Pusat, diangkat menjadi Camat Perang di pinggiran kota Tanjung Karang, yaitu dengan nama Camat Perang Hutan Gedongwani.
3. Abdullah diangkat sebagai Camat di Kedondong.
4. Abdurrahman, Camat Sukadana, oleh Wedana diunjuk sebagai Pejabat Wedana, karena Wedana sedang tidak berada di tempat. Tetapi laporan mengenai kepergian Wedana itu dibuat oleh camat Labuhan Meringgai, Pangku Ratu, camat ini yang ditunjuk Komandan Batalyon Mobil di Lampung Utara sebagai pejabat Wedana.
5.Letnan Muda Robain menjadi Komandan desa militer di Labuhan Meringgai.
6.Letnan Muda R. Makmun Haji Somad menjabat sebagai Komandan Desa Militer di Jabung.
Pada pemerintahan darurat yang terkahir, yaitu di Bukit Kemuning, Pemerintahan Darurat mulai tinggal di sana sejak akhir bulan Juli 1949. Begitu pula dengan Komando STL yang telah lebih dahulu berada di Ulakrengas-Bukit Kemuning dengan akomodasi rumah H. Abdurrahman (mantan Pasirah Marga Rebang Seputih). Selama lebih kurang 4 (empat) bulan, yaitu pada akhir Juli hingga permulaan Desember 1949, Pemerintahan Darurat Karesidenan Lampung pimpinan Mr. Gele Harun, stafnya berkantor di suatu rumah mi.ik kepala Kampung Bukit Kemuning bernama Kontar, yang cukup besar dan terletak menghadap pasar Bukit Kemuning. Kontar adalah ayaah dari Azis Kontar dan mertua Letnan II Laut Abubakar Sidik, tokoh yang sangat disegani masyarakat marga Rebang Putih khususnya dan masyarakat Kawedanan pada umumnya pada masa itu.
Instansi pemerintahan sipil tingkat karesidenan darurat yang pernah berkantor selama 4 bulan di Bukit Kemuning, antara lain: Acting Residen Lampung Republik Indonesia Mr. Gele Harun dan keluarnya, serta Ketua DPR Karesidenan Lampung, A. Yasin dan Wedana diperbantukan Umar Umaya ditempatkan akomodasinya di Kampung Sekipi (kurang lebih 4 km dari Bukit Kemuning), sedangkan rombongan Wakil Residen Lampung, R. A. Basyid dan 19 orang yang bersamanya ditempatkan di pinggiran Bukit Kemuning (kompleks kinciran padi), yaitu di Menjukut jalan ke Neki.
Pemerintahan Darurat RI tetap dilaksanakan demi menjaga harga diri dan kewibawaan bangsa Indonesia di hadapan Belanda. Kegiatan pengadilan dan memenjarakan masyarakat juga tetap dilaksanakan, bagi orang-orang yang melakukan suatu perkara. Begitu pula dengan Hari Ulang Tahun ke-IV Republik Indonesia, tetap dirayakan secara meriah oleh masyarakat Bukit Kemuning dan sekitarnya.
Selama 3 bulan, bahan makanan berupa beras disuplai dari zakat padi Umat Islam Kecamatan Bukit Kemuning, yang dikelola oleh panitia khusus, yang diketuai oleh Camat Buki tsetiap hari Kemuning, Sutan Batin, dengan Sekretaris M. A. Arief Makhya dan Bendahara K. H. Syafi'i (Kepala KUA Kecamatan Bukit Kemuning). Acting Residen Mr. Gele Harun dan Ketua DPR, A. Yasin, setiap hari diangkut dengan gerobak kerbau dari Sekipi ke Bukit Kemuningm dan mereka melaksanakan tugas dengan hanya berpakaian hitam-hitam dari kain belacu.
Pada tanggal 7 Desember 1949, instansi-instansi, para pejabat, dan pegawai sipil RI tingkat Karesidenan Lampung tersebut semuanya meninggalkan Bukit Kemuning, kemudian masuk dan berkantor di Kotabumi, dengan dipimpin oleh Wakil Residen R. A. Basyid, karena Mr. Gele Harun sakit. Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, barulah mereka semua berkantor di Tanjung Karang-Teluk Betung.
Pada tahun 1951 sampai dengan 1956, 3 (tiga) daerah kabupaten, yaitu Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara didampingi oleh DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara), yang setiap kabupaten terdiri dari 20 orang unsur partai dan organisasi masyarakat setempat yang masih hidup pada masa itu. Lima orang dari masing—masing DPRDS Kabupaten itu juga merangkap sebagai Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Kabupaten (DPDS), mendampingi bupati/ kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari.
Struktur pemerintahan Lampung di tingkat terbawah mengalami perubahan, sesuai dengan Surat Ketetapan Residen Lampung tertanggal 3 September 1952 No. 153/D/1952 dan diperbaiki kembali pada tanggal 20 Juli 1956. Perubahan itu adalah untuk struktur pemerintahan pengganti marga, ditetapkan kesatuan daerah yang disebut dengan Negeri, yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan IGOB Stb. N. 490. Dengan demikian, maka sejak itu hirarki pemerintahan di Lampung adalah Karesidenan, Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan, dan Negeri.
Pada tahun 1963, timbulllah perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Lampung, yaitu dengan adanya Peraturan Presiden No. 22/ 1963, maka pemerintahan Kawedanan dihapuskan. Dengan demikian, maka hirarki pemerintahan di karesidenan Lampung sejak tahun 1963 adalah karesidenan, kabupaten, kecamatan, dan negeri.
Sejak saat itu, mulai bulan Pebruari 1963, dimulailah sebuah perjuangan baru, yaitu perjuangan yang terorganisir oleh pemerintah dan rakyat Lampung untuk merubah karesidenan Lampung menjadi Propinsi Lampung.
Sumber: Ariska Warganegara's Facebook,06 Agustus 2011 jam 13:09
Note:
Tulisan ini dikompilasi dari berbagai catatan panjang perjalanan Provinsi Lampung, termasuk interview dengan beberapa tokoh-tokoh pejuang yang tersisa, sengaja saya share di forum fb semoga bermanfaat bagi generasi muda khususnya Lampung untuk tidak melupakan sejarah Lampung yang selama ini seolah-olah hanya dimulai tahun pada tahun 1964 pasca Lampung berpisah dari Provinsi Sumsel, padahal banyak fakta yang menarik menilik Lampung di era 1945 s.d. 1964. tabik. Arizka Warganegara: arizka@unila.ac.id
1. Pendudukan Jepang
Pada masa pecahnya perang Pasifik, yaitu mulai tanggal 8 Desember 1941, Jepang berusaha untuk memenangkan peperangan di kawasan Asia Tenggara. Di Birma, Malaya, dan Singapura, Jepang berhasil menghancurkan pasukan Inggris. Di Pilipina, Jepang berhasil menghancurkan kekuatan pertahanan Amerika Serikat. Di Indonesia, Jepang berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Malaya dan Singapura jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 15 Pebruari 1942. Dari Singapura, Jepang menyerang Sumatera, yang khususnya ditujukan ke Palembang dan sekitarnya yang kaya akan minyak bumi. Akhirnya, Palembang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 16 Pebruari 1942. Dari Palembang, Jepang berhasil menguasai seluruh pulau Sumatera.
Dari Palembang, Jepang berhasil menduduki Lampung, setelah menghancurkan tentara Belanda di Tulung Buyut. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yaitu pada tanggal 7 Maret 1942 di Kalijati. Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Letnan Jenderal H. Ter Poorten, menyerahkan kekuasaan kepada pimpinan angkatan perang Jepang, Letnan Jenderal H. Imamura.
Berbeda dengan zaman Hindia Belanda yang hanya memiliki satu pemerintahan sipil, maka pada zaman Jepang, terdapat tiga pemerintah militer pendudukan, yaitu:
a. Tentara keenam belas di Pulau Jawa dan Madura, berpusat di Jakarta.
b. Tentara kedua puluh lima di Pulau Sumatera, berpusat di Bukittinggi.
c. Armada Selatan kedua di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya, dengan pusatnya di Ujung Pandang (Makassar).
Di Sumatera, pemerintahan Militer membentuk 10 Syu (Karesidenan) yaitu Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jambi, Palembang, dan Bangka-Belitung.
Lampung segera dijadikan karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer (Syukocan). Kolonel Kurita yang yang dibantu oleh seotang Kepala Kepolisian bernama Subakihara.
Di bawah Karesidenan diadakan Kabupaten, dan di bawah Kabupaten ada Kawedanan yang dikepalai oleh seorang Guncho (dijabat oleh orang Indonesia asli). Di bawah kawedanan terdapat keasistenan yang nanti menjadi kecamatan yang diketuai oleh Asisten Demang (Fuku Guncho). Di bawah kecamatan adalah desa/ kampung yang oleh Jepang disebut Ku. Di Lampung disebut Son. Kepala kampung disebut Soncho.
Setiap orang yang ingin menjadi tentara harus menjalani latihan terlebih dahulu di Tanjung Karang selama tiga bulan. Setelah itu mereka kembali ke tempat asal, kemudian praktek latihan perang secara teritorial sebagai persiapan untuk digodok di Pagar Alam. Selesai di Pagar Alam, dilantik di Jepang di Lahat dan mendapatkan pangkat Letda yang disebut Gyu Soi.
Pemilihan pimpinan kompi di Lampung, ternyata tidak jadi dilaksanakan, disebabkan meletusnya perlawanan Peta di Blitar. Pada masa itu, kebanyakan tokoh politik dan perwira di Lampung, dijadikan sebagai alat propaganda agar segenap rakyat mau membantu Jepang. Tokoh yang dicurigai mereka dipindahkan ke luar Lampung.
Sejak pertengahan April 1942, Jepang melalui polisi rahasianya yang disebut “Kempetai”, melakukan tindakan tegas terhadap unsur-unsur yang dicurigai. Tindakan ini ditujukan kepada tokoh masyarakat, pegawai pamong praja, dan polisi yang berkebangsaan Indonesia. Semakin lama, rakyat berkurang kepercayaannya kepada Jepang.
2. Karesidenan Lampung sebagai bagian Propinsi Sumatera
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia, setelah sebelumnya mendengar berita tentang menyerahnya Jepang dari sekutu.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. A. Abbas sebagai anggota Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Lampung, bersama 2 orang anggota PPKI dari Sumatera Utara, yaitu Mr. Teuku Mohammad Hasan dan Dr. M. Amir, pada tanggal 23 Agustus 1945 bersama-sama berangkat dari Jakarta dengan kapal terbang ke Palembang. Mereka inilah yang membawa berita resmi mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Setelah ketiga anggota PPKI ini bertemu dan berunding dengan Dr. A. K. Gani, seorang tokoh Nasional Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, maka malamnya tanggal 23 Agustus 1945 itu juga Mr. A. Abbas melanjutkan perjalanannya dengan kereta api ke Tanjungkarang (Lampung).
Selanjutnya, Mr. A. Abbas segera mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka masyarakat di Tanjungkarang dan sekitarnya untuk mengambil langkah berikutnya sesuai degan petunjuk dari pemerintah pusat di Jakarta.
Mr. A. Abbas yang ditunjuk sebagai Residen pertama untuk Lampung setelah proklamasi, membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Lampungm yang selanjutnya disusul dengan dibentuknya komite-komite Nasional di tingkat Kawedanan dan Kecamatan. Sebagian besar anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Lampung, sebagian besar merupakan mantan anggota Susyangikai (semacam DRPD buatan Pemerintah Tentara Pendudukan Jepang) Karesidenan Lampung, yaitu sebagai berikut.
Dewan Pimpinan:
Ketua : R. A. Basyid
Wakil Ketua : Dr. Badril Munir
Sekretaris Umum : R. Suharjo Harjowardoyo
Anggota Dewan:
1. W. A, Rakhman 8. Abdullah Suhaili
2. Mr. Gele Harun 9. A. Yasin
3. A. Aziz Gustam 10. Sumarno
4. A. Aziz Cindarbumi 11. Suward
5. K. H. Harun 12. R. P. Alam
6. K. H. Ali Tashim 13. K. H. Nawawi
7. Syamsuddin 14. Dr. Kajat
Badan Pekerja:
Ketua : W. A. Rakhman
Wakil Ketua : Mr. Gele Harun
Sekretaris Umum : A. Aziz Cindarbumi
Sekretaris I : Aziz Rauf
Sekretaris II : A. Khalik Shahib
Bendahara : Kgs. A. Solikhin
Perlengkapan : H. Zainal Nuh
Pada tanggal 5 September 1945, keluarlah sebuah instruksi dari Pemerintah Pusat untuk dilakukan pengambilalihan kekuasaan di kawedanan-kawedanan, serta pengibaran bendera Merah Putih secara menyeluruh, dengan penjagaan seperlunya.
Setelah Mr. A. Abbas berunding dengan beberapa pejabat kantor Karesidenan Lampung, antara lain Sultan Rahim Pasaman dengan pihak Residen Lampung, maka pihak pemerintah Jepang (Syukocan) bernama Kobayashi, bersama dengan beberapa pejabat Jepang, menyerahkan kekuasaan kepada Mr. A. Abbas selaku Residen Lampung dari Pemerintah Republik Indonesia.
Adapun susunan Pemerintah Republik Indonesia yang pertama dari Karesidenan Lampung adalah sebaga berikut.
Residen : Mr. A. Abbas
Pembantu : Sutan Rahim Pasaman
Sekretaris : A. Lumban Tobing
Kepala Kepolisian : R. Suharjo Harjowardoyo
Kepala Kehakiman : Mr. Gele Harun
Kepala Kantor Kemakmuran/ Ekonomi : Kgs. A. Somad Solikhin
Kepala Kantor Penernagan : Amir Hasan
Kepala Kantor Kehewanan : Dr. Samil
Kepala Kantor PU : Mas Sahid
Kepala Kantor Kesehatan: : Dr. Kajat
Kepala Kantor Pos Besar : Lim Ceng Kieng
Kepala Kantor Telepon/ Paragraf : M. Nur
Kepala Jawatan Kereta Api : Ibrahim
Kepala Kantor Agama : K. H. Muhammad Thoha
Pada bulan Agustus hingga September 1945, para bekas perwira Gyuugun dan Heiho mendririkan berbagai organisasi perjuagan, seperti Badan Penolong Korban Perang (BPKP), Penjaga Keamanan Rakyat (PKR), Angkatan Pemuda Indonesia (API), organisasi Barisan Pelopor, Gerakan Pegawai Angkatan Muda (GPAM), Lasykar Hisbullah, Sabilillah, serta lain sebagainya.
Selanjutnya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat pada tanggal 5 Otober 1945. TKR bertugas menjaga keamanan masyarakat dan menjaga kedaulatan Republik Indonesia.
Adapun Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) yang telah dibentuk oleh Pangeran Emir M. Nur harus dibubarkan, atas perintah Dr. A. K. Gani selaku Koordinator TKR Sumatra. Pada bulan Desember 1945, Suharjo Harjowardoyo, Kepala Kepolisian Daerah Lampung atas panggilanDr. A. K. Gani, berangkat ke Palembang, untuk diangkat menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat Komandemen Sumatera dengan pangkat Jenderal Mayor.
Di Lampung, pada pertengahan bulan Desember 1945, para bekas perwira Gyugun Lampung yang memimpin PKR, Pelopor, dan Organisasi Kelasykaran bermusyawarah untuk membentuk Resimen TKR di Lampung. Dalam musyawarah tersebut, terpilihlah Iwan Supardi sebagai Komandan Resimen dan Mayor Sukardi Hamdani sebagai Kepala Markas Uum Resimen III Divisi Lampung,
Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan Pebruari tahun 1946, tentara Jepang yang menduduki daerah Lampung telah selesai seluruhnya meninggalkan Lampung menuju Palembang. Namun demikian, sejak negara Republik Indonesia diproklamirkan, sisitem pemerintahan Jepang masih diteruskan. Pada Surat Keputusan Gubernur Sumatera (Medan) tanggal 17 Mei 1946 No. 113, Karesidenan Lampung dibagi menjadi 3 Kabupaten, 11 Kawedanan. Setiap Kawedanan dibagi atas beberapa Kecamatan dan setiap Kecamatan dibagi lagi menjadi beberapa Marga.
Kabupaten-kabupaten dan Kawedanan-kawedanan di daerah Karesidenan Lampung itu adalah:
Kabupaten Lampung Utara dengan Kawedanan:
Kawedanan Menggala Bupati: Burhanuddin
Kawedanan Kotabumi
Kawedanan Way Kanan
Kawedanan Krui
Kabupaten Lampung Tengah, dengan Kawedanan
Kawedanan Sukadana Bupati: Zainabun
Kawedanan Metro
Kawedanan Way Seputih
Kabupaten Lampung Selatan, dengan Kawedanan
Kawedanan Kalianda Bupati: R. A. Basyid
Kawedanan Telukbetung
Kawedanan Kedondong
Pada tanggal 10 September 1946, terjadilah suatu rapat raksasa di Lapangan Enggal Tanjung Karang yang diadakan oleh Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM), yang tokoh-tokoh penggeraknya antara lain: Abdullah Sani, Abdul Kohar, dan sebagai pembicaranya adalah Zainal Abidin. Mereka mendesak agar Mr. A. Abbas segera turun dari jabatannya dan digantikan oleh Dr. Badril Munir sebagai Residen Lampung, dan wakilnya adalah Ismail. Selanjutnya, Pemerintahan Karesidenan Lampung diambil alih oleh Komandan Resimen III Letkol M. Arief, dan diberikan kepada Dr. Badril Munir dan Ismail sebagai wakilnya, sambil menunggu keputusan dari Pemerintah Pusat.
Kemudian, pada tanggal 29 Oktober 1946, Mr. Hermani dari Pemerintah Pusat melalui Palembang datang ke Tanjung Karang untuk menyelesaikan kekalutan masalah ini. Oleh Pemerintah Pusat, disetujui bahwa Dr. Badril Munir menjadi Residen Lampung, tetapi Ismail tidak dapat diterima menjadi Wakil Residennya. Selanjutnya, ditugaskanlah R. M. Rukadi Wiryoharjo dari Jakarta sebagai Wakil Residen Lampung. Mereka menjabat hingga pada tanggal 29 November 1947 Dr. Badril Munir meletakkan jabatannya, dan diganti oleh R. M. Rukadi Wiryoharjo sebagai Residen Lampung yang baru. Adapun yang menjabat sebagai Wakil Residen adalah R. A. Basyid.
Pada bulan Agustus 1945 sampai dengan pertengahan tahun 1947, Sumatera merupakan satu propinsi, uang dipimpin oleh gubernur M. Teuku Muhammad, yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara. Pada pertengahan tahun 1947, Propinsi Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) sub Propinsi, yaitu:
Subpropinsi Sumatera Utara di Medan
Sumatera Tengah di Bukittinggi
Sumatera Selatan di Palembang
Karesidenan yang masuk Sub Propinsi Sumatera Selatan, ialah Karesidenan Palembang, Karesidenan Lampung, karesidenan Jambi, Karesidenan Bengkulu, dan Karesidenan Bangka Belitung. Pada tanggal 5 Mei 1947, Pemerintah mengeluarkan sebuah dekrit yang berisi perintah untuk mempersatukan semua kekuatan bersenjata, yaitu TRI dan laskar-laskar atau badan pejuang.
4. Karesidenan Lampung Pada Masa Pemerintahan Darurat
Suatu ketika, dalam sebuah perundingan dengan Belanda, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menolak beberapa tuntutan yang diajukan oleh Belanda terhadap Indonesia pada jawaban Perdana Menteri Amir Syarifuddin tertanggal 17 Juli 1947. Sebagai konsekuensinya, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak kepada daerah-daerah di Indonesia, yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I atau Clash I.
Di sub propinsi Sumatera Selatan, Belanda mulai menyerang Lampung melalui jalur darat dari Palembang. Kemudian, setelah bertempur selama 3 hari dan mendapatkan perlawanan gigih dari kesatuan-kesatuan TNI, pada tanggal 25 Juli, Belanda berhasil menduduki Baturaja. Namun, pada peristiwa-peristiwa selanjutnya, Belanda tidak berhasil menduduki Lampung.
Pada bulan Agustus 1947, dalam rangka melaksanakan mobilisasi umum, maka Seksi Mobilisasu Umum dari Staf Resimen 41 bersama dengan para pimpinan partai dan organisasi-organisasi kemasyarakatan membtnuk Dewan Pertahanan Daerah Lampung dan Palembang Selatan. Pada kegiatan itu, Ketua DPR Wan Adurrakhman terpilih menjadi Wakil Ketua, Marsyid Alamsyah Carepoboka dari Kantor Keresidenan sebagai Panitera, sedangkan Ketua Dewan adalah Komandan Resimen.
Kemudian, dibentuklah Mahkamah Tentara di Lampung di bawah pimpinan Mr. Gele Harun dengan pangkat Letkol tituler. Setelah itu, sebagai akibat ditandatanganinya Perjanjian Renville oleh Pemerintah Republik Indonesia dan tentara Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pelaksanaan instruksi penghentian tembak-menembak diadakan perundingan antara pihak tentara Belanda dengan TNI di daerah Palembang Selatan, yaitu di kota Martapura. Mereka yang berunding adalah Kolonel Ssyamaun Gaharu, Komandan Brigade Garuda Hitam, sebagai Ketua Delegasi, dan juga R. M. Rukadi Wiryoharjo (Residen Lampung) sebagai anggota.
Salah satu hasil perundingan tersebut adalah bahwa garis pertahanan yang memisahkan antara daerah yang diserhkan kepada tentara Belanda dan yang dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia di Palembang Selatan ini, adalah garis sepanjang Way Pisang dan Way Tuba. Sebagian besar dari pasukan-pasukan Garuda Hitam bersama dengan pejabat sipil yang tetap setia pada pemerintah Republik Indonesia beserta keluarga-keluarga mereka lebih kurang 4.000 orang pindah dan hijrah ke daerah Lampung, dengan melintasi “garis pemisah” ini.
Dalam rapatnya pada tahun 1948, Dewan Pertahanan Daerah Lampung memutuskan bahwa jika Belanda menyerang Lampung, maka Residen dan Komandan Brigade Garuda Hitam pergi ke luar kota, sedangkan wakil residen tetap berada di dalam kota untuk melindungi rakyat Lampung.
Selanjutnya, pemerintah Belanda melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II (Clash II), yaitu pada tanggal 19 Deseember 1949, dimana pasukan Belanda pertama-tama menyerang ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, melalui pasukan lintas Udara. Dalam serangan tersebut, Belanda dapat menguasai Lapangan Terbang Maguwo, yang kemudian menguasai seluruh kota Yogyakarta.
Di Lampung sendiri, serangan baru dimulai tanggal 1 Januari 1949, ketika Belanda memasuki Teluk Lampung melalui Kalianda menuju Pelabuhan Panjang. Kira-kira pukul 05.00 pagi, kapal perang Belanda mulai menembaki pelabuhan Panjang. Tetapi, karena perlawanan dari pihak tentara kita di Panjang, baru setelah kira-kira jam 06.00 pagi, mereka dapat mendarat di pantai luar Pelabuhan Panjang dan di pantai sekitar Gunung Kunyit Teluk Betung. Ibukota Karesidenan Lampung akhirnya dapat diduduki oleh pasukan Belanda pada hari itu juga. Karena peristiwa inilah, maka Pemerintah Karesidenan beserta stafnya menyingkir ke luar kota.
Komandan Sub-Territorial Lampung, Letkol Syamaun Gaharu, dengan anggota-anggota stafnya beserta beberapa pejabat Pemerintah Sipil Karesidenan Lampung tanggal 1 Januari sudah berada di Gedong Tataan, sedangkan rombongan keluarga militer dan sipil yang mengungsi sudah berada di Pringsewu.
Saat itu, Komandan Front Utara, dengan Batalyon Mobilnya, yang dipimpin oleh Mayor Nurdin pada tanggal 1 Januari 1949 sore hari sudah berada di Kotabumi. Pada malam harinya, Mayor Nurdin mengadakan rapat dengan Bupati Lampung Utara beserta beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan Partai, untuk membentuk Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung.
Karena diketahui bahwa Residen Rukadi dan wakil Residen R. A. Basyid tidak keluar dari Tanjung Karang, maka rapat di Kotabumi memutuskan untuk menunjuk Bupati Akhmad Akuan menjadi Residen Darurat Lampung sambil menunggu kabar dan Keputusan Komanda Sub-Territorial Lampung (STL). Hasil rapat yang lainnya, adalah keputusan untuk mencetak uang uang darurat, yang ditandatangani oleh Bupati Lampung Utara, Akhmad Akuan, untuk menanggulangi kebutuhan belanja dan logisitik bagi Batalyon Mobil dan pemerintahan sipil di Lampung Utara.
Pada tanggal 5 Januari 1949, Wakil Presiden R. A. Basyid telah meninggalkan kota Tanjung Karang dan berangkat menuju ke Pringsewu. Berdasarkan hasil musyawarah antara Komando Staf Sb-Territorial Lampung (Letkol Syamaun Gaharu da Mayor N. S. Effendi), para pimpinan partai, K. H. Gholin dari pesantren Pringsewu, serta para pejabat Karesidenan Lampung, maka diangkatlah Mr. Gele Harun sebagai Residen Pemerintahan Darurat Lampung menggantikan Residen Rukadi yang masih berada di daerah pendudukan Belanda di Tanjung Karang dan kemudian ke Bekasi, dan R. A. Basyid pun ditetapkan menjadi Wakil Residen.
Setelah dibentuknya Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung di Pringsewu, maka Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung yang dipimpin oleh Akhmad Akuan, dikembalikan jabatannya ke posisi sebelumnya, yaitu sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara.
Dr. A. K. Gani selaku Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan selanjutnya mengeluarkan Surat Ketetapan No. 40/49 tanggal 23 April 1949 yang isinya adalah sebagai berikut.
Territorial Palembang Selatan dan Krui dari Daerah Pertahanan Sub-Territorial Lampung dimasukkan ke dalam Sub Territorial Palembang.
Kawedanan Krui dan Karesidenan Lampung dalam sipil dan keuangan dimasukkan dalam Kabupaten Palembang Selatan Karesidenan Palembang.
Kabupberaten Palembang Selatan dalam hal jabatan sipil dan keuangan yang semula dikoordinir oleh Residen Lampung, dikembalikan kepada Residen Palembang, Gubernur Sumatera Selatan.
Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Darurat dan Staf Sub Territorial Lampung kemudian pindah ke Talapngpadang, terus ke Gunung Meraksa hingga ke Way Tenong. Baru menjelang penyerahan Kotabumi dari Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Darurat pindah ke Bukit Kemuning.
Pembentukan pemerintah darurat tidak saja terjadi di tingkat Karesidenan, namun juga terjadi di tingkat Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan, dan Desa. Pemerintah Darurat itu antara lain:
1. a. Di Sukoharjo, Wedana Pringsewu Ramelan diangkat menjadi Bupati Lampung Selatan.
b. Pujoatmiko diangkat menjadi Camat Sukoharjo Utara
c. Hi. Abdul Halim, Camat Ambarawa diangkat menjadi Wedana Perang.
d. Lurah Minganudin diangkat sebagai Lurah Sukoharjo
e. R. M. Waluyo, Camat Gadingrejo, juga berada di Sukoharjo.
2. Imam Muhajir, seorang pegawai Kantor Penerangan Pusat, diangkat menjadi Camat Perang di pinggiran kota Tanjung Karang, yaitu dengan nama Camat Perang Hutan Gedongwani.
3. Abdullah diangkat sebagai Camat di Kedondong.
4. Abdurrahman, Camat Sukadana, oleh Wedana diunjuk sebagai Pejabat Wedana, karena Wedana sedang tidak berada di tempat. Tetapi laporan mengenai kepergian Wedana itu dibuat oleh camat Labuhan Meringgai, Pangku Ratu, camat ini yang ditunjuk Komandan Batalyon Mobil di Lampung Utara sebagai pejabat Wedana.
5.Letnan Muda Robain menjadi Komandan desa militer di Labuhan Meringgai.
6.Letnan Muda R. Makmun Haji Somad menjabat sebagai Komandan Desa Militer di Jabung.
Pada pemerintahan darurat yang terkahir, yaitu di Bukit Kemuning, Pemerintahan Darurat mulai tinggal di sana sejak akhir bulan Juli 1949. Begitu pula dengan Komando STL yang telah lebih dahulu berada di Ulakrengas-Bukit Kemuning dengan akomodasi rumah H. Abdurrahman (mantan Pasirah Marga Rebang Seputih). Selama lebih kurang 4 (empat) bulan, yaitu pada akhir Juli hingga permulaan Desember 1949, Pemerintahan Darurat Karesidenan Lampung pimpinan Mr. Gele Harun, stafnya berkantor di suatu rumah mi.ik kepala Kampung Bukit Kemuning bernama Kontar, yang cukup besar dan terletak menghadap pasar Bukit Kemuning. Kontar adalah ayaah dari Azis Kontar dan mertua Letnan II Laut Abubakar Sidik, tokoh yang sangat disegani masyarakat marga Rebang Putih khususnya dan masyarakat Kawedanan pada umumnya pada masa itu.
Instansi pemerintahan sipil tingkat karesidenan darurat yang pernah berkantor selama 4 bulan di Bukit Kemuning, antara lain: Acting Residen Lampung Republik Indonesia Mr. Gele Harun dan keluarnya, serta Ketua DPR Karesidenan Lampung, A. Yasin dan Wedana diperbantukan Umar Umaya ditempatkan akomodasinya di Kampung Sekipi (kurang lebih 4 km dari Bukit Kemuning), sedangkan rombongan Wakil Residen Lampung, R. A. Basyid dan 19 orang yang bersamanya ditempatkan di pinggiran Bukit Kemuning (kompleks kinciran padi), yaitu di Menjukut jalan ke Neki.
Pemerintahan Darurat RI tetap dilaksanakan demi menjaga harga diri dan kewibawaan bangsa Indonesia di hadapan Belanda. Kegiatan pengadilan dan memenjarakan masyarakat juga tetap dilaksanakan, bagi orang-orang yang melakukan suatu perkara. Begitu pula dengan Hari Ulang Tahun ke-IV Republik Indonesia, tetap dirayakan secara meriah oleh masyarakat Bukit Kemuning dan sekitarnya.
Selama 3 bulan, bahan makanan berupa beras disuplai dari zakat padi Umat Islam Kecamatan Bukit Kemuning, yang dikelola oleh panitia khusus, yang diketuai oleh Camat Buki tsetiap hari Kemuning, Sutan Batin, dengan Sekretaris M. A. Arief Makhya dan Bendahara K. H. Syafi'i (Kepala KUA Kecamatan Bukit Kemuning). Acting Residen Mr. Gele Harun dan Ketua DPR, A. Yasin, setiap hari diangkut dengan gerobak kerbau dari Sekipi ke Bukit Kemuningm dan mereka melaksanakan tugas dengan hanya berpakaian hitam-hitam dari kain belacu.
Pada tanggal 7 Desember 1949, instansi-instansi, para pejabat, dan pegawai sipil RI tingkat Karesidenan Lampung tersebut semuanya meninggalkan Bukit Kemuning, kemudian masuk dan berkantor di Kotabumi, dengan dipimpin oleh Wakil Residen R. A. Basyid, karena Mr. Gele Harun sakit. Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, barulah mereka semua berkantor di Tanjung Karang-Teluk Betung.
Pada tahun 1951 sampai dengan 1956, 3 (tiga) daerah kabupaten, yaitu Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara didampingi oleh DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara), yang setiap kabupaten terdiri dari 20 orang unsur partai dan organisasi masyarakat setempat yang masih hidup pada masa itu. Lima orang dari masing—masing DPRDS Kabupaten itu juga merangkap sebagai Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Kabupaten (DPDS), mendampingi bupati/ kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari.
Struktur pemerintahan Lampung di tingkat terbawah mengalami perubahan, sesuai dengan Surat Ketetapan Residen Lampung tertanggal 3 September 1952 No. 153/D/1952 dan diperbaiki kembali pada tanggal 20 Juli 1956. Perubahan itu adalah untuk struktur pemerintahan pengganti marga, ditetapkan kesatuan daerah yang disebut dengan Negeri, yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan IGOB Stb. N. 490. Dengan demikian, maka sejak itu hirarki pemerintahan di Lampung adalah Karesidenan, Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan, dan Negeri.
Pada tahun 1963, timbulllah perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Lampung, yaitu dengan adanya Peraturan Presiden No. 22/ 1963, maka pemerintahan Kawedanan dihapuskan. Dengan demikian, maka hirarki pemerintahan di karesidenan Lampung sejak tahun 1963 adalah karesidenan, kabupaten, kecamatan, dan negeri.
Sejak saat itu, mulai bulan Pebruari 1963, dimulailah sebuah perjuangan baru, yaitu perjuangan yang terorganisir oleh pemerintah dan rakyat Lampung untuk merubah karesidenan Lampung menjadi Propinsi Lampung.
Sumber: Ariska Warganegara's Facebook,06 Agustus 2011 jam 13:09
August 3, 2011
Dicari: Rektor Bervisi Budaya
Oleh Udo Z. Karzi
UTOPIA! Ya, begitulah saya memberanikan diri menulis tentang kemustahilan. Tapi, betapa pun sia-sianya melontarkan ide ini—sebagaimana ketika saya coba uji tanya gagasan ini kepada rekan-rekan—artikel ini tetap harus ditulis. Walaupun hasilnya cuma munggak-medoh alias ngalor-ngidul. Hahaa. Setidaknya untuk memberitahu pihak Universitas Lampung (Unila) bahwa ada yang terasa janggal ketika Unila menggagas universitas kelas dunia.
Apa boleh buat, Senat Unila telah menetapkan tiga nama calon rektor Unila periode 2011—2015 pada rapat tertutup di Gedung Rektorat, 27 Juli 2011. Tiga calon tersebut adalah Sugeng P. Harianto, Wan Abas Zakaria, dan Paul Benyamin Timotiwu. Ketiganya, apa boleh buat, berasal dari Fakultas Pertinian. Sugeng, rektor Unila saat ini, meskipun sempat menjadi dekan FMIPA, sejatinya ada staf pengajar di Fakultas Pertanian. Wan Abas, dekan Fakultas Pertanian. Lalu, Paul adalah staf pengajar Fakultas Pertanian.
Agaknya, harapan Syarief Makhya (Lampung Post, 26 Juli 2011) akan adanya pertarungan gagasan dalam persaingan di antara calon rektor Unila seperti membentur dinding kosong belaka. Rapat Senat Universitas yang tertutup, calon yang relatif homogen (dari Fakultas Pertanian), dan sulitnya akses sivitas akademika Unila untuk memengaruhi atau minimal mengawasi jalannya pemilihan rektor; membuat "pertarungan gagasan" yang dimaksud sulit berkembang. Kalaupun terjadi, hanya di lingkup kecil Senat Unila. Tidak sampai mewacana di kampus, apalagi ke luar kampus.
Saya melihat (semoga saya salah) tengah terjadi apatisme yang luar biasa dalam diri Unila. Setidaknya, hingga saat ini opini Syarief Makhya tidak mendapat tanggapan berarti dari warga Unila, baik dosen maupun mahasiswa. Boleh dibilang, pemilihan rektor sebagai sebuah rutinitas belaka seperti disinggung Syarief menemui realitasnya. Pemilihan rektor ya lumrah saja, biasa saja, tidak ada istimewanya, dst.
Kembali ke judul artikel ini, sebenarnya tulisan ini kelanjutan dari esai saya sebelumnya, Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung? (Lampung Post, 8 April 2006) yang menggagas perlunya Unila mendirikan Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra, yang di dalamnya termasuk Jurusan Sastra Lampung. Jadi, inilah artikel daur ulang saja mengenai apa yang seharusnya dimiliki, dilakukan, dan dikembangkan di Unila.
Dengar-dengar Unila telah menetapkan visi menjadi 10 perguruan terbaik di Indonesia dan juga hendak go international dalam skema World Class Research University (WCRU). Saya tidak hendak mempermasalahkan mengapa 10 terbaik dan mengapa harus go internasional. Payulah sangon zamanni. Tapi, saya hanya mengherankan bagaimana mungkin Unila menjadi terbaik dan mengglobal, tetapi melupakan diri sendiri (kehilangan identitas)? Kebudayaan Lampung! Bukankah sebagai pusat kebudayaan, Unila (kependekan dari Universitas Lampung) mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keilmuan tentang Lampung dan kelampungan?
Artikel ini juga terilhami oleh sebuah pertemuan. Suatu kali, tepatnya Jumat malam, 8 Juli 2011, saya dan budayawan yang juga staf pengajar Fakultas Teknik Unila Anshori Djausal diajak dosen FISIP Arizka Warganegara bertemu dengan rombongan Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) di sebuah hotel di Bandar Lampung. Yang saya dengar, rombongan PSM ini melakukan napak tilas sejarah Melayu di Sumatera yang terbentang mulai dari Lampung hingga D.I. Aceh setelah mengikuti Kongres Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Konferensi Nasional Sejarah IX di Jakarta, 5—8 Juli 2011.
Napak tilas, tentu hal yang serius. Akan halnya Lampung, agaknya hanya negeri numpang liyu (numpang lewat) belaka dalam lintasan sejarah Melayu tersebut. Rombongan toh tiba malam dan istirah sejenak untuk paginya melanjutkan perjalanan ke Palembang, Sumatera Selatan. Untuk sekadar tahu tentang kemungkinan ada jejak Melayu di Lampung, mereka minta bertemu beberapa orang yang "dianggap" tahu, kebetulan yang bisa ketemu malam itu saya, Anshori Djausal, dan Arizka Warganegara.
Maka, berceritalah kami tentang bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Tentang hubungan Melayu dengan Lampung. Tentang kekhasan budaya Lampung. Tentang betapa banyaknya seniman, terutama penyair yang telah mengharumkan Lampung. Tentang betapa tingginya peradaban Lampung karena memiliki bahasa dan aksara sendiri. Bagaimanakah bahasa Lampung, saya sodorkan buku puisi Lampung saya, Mak Dawah Mak Dibingi. Seperti apakah aksara Lampung, saya coba tuliskan beberapa huruf Kaganga yang saya ingat.
Sedikit dialog.
"Lampung punya universitas?"
"Ada, nama Universitas Lampung (Unila)."
"Punya Jurusan Sejarah?"
"Oh, tidak ada. Unila tidak punya Jurusan Sejarah. Tidak punya Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra yang mempunyai Jurusan Sejarah, Jurusan Antropologi, Jurusan Sastra Lampung, dan lain-lain. Adanya Pendidikan Sejarah dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Lampung di FKIP."
"Di Fakultas Pendidikan?"
"Ya, Pak."
"Bagaimana Unila bisa mengembangkan kajian sejarah dan kebudayaan?"
"Oh, Unila punya Pusat Studi Budaya Lampung, kok."
“...???”
“Kajian tentang budaya Lampung, sejarah, manusia Lampung, sangat minim.”
Saya ingat komentar simpatik Abdullah Zakaria Ghazali yang kebetulan duduk di samping kiri saya. "Berat. Perlu kerja keras...," kata guru besar sejarah Universitas Malaya itu.
Sepulangnya dari pertemuan, di benak saya yang terpikir hanya satu: Kapan ya Unila mulai mengembangkan kebudayaan (Lampung) secara lebih terlembaga dalam wadah yang bernama fakultas. Jawabnya sampai sekarang masih, "Mimpi kali, ye!"
Menjelang pemilihan rektor Unila, saya merasa perlu mengapungkan kembali gagasan ini. Maka, saya tulis "Dicari: Rektor Bervisi Budaya!" Suatu kali Rektor Unila Sugeng P. Harianto diwawancarai Lampung Post (28 Juni 2009) tentang kemungkinan mendirikan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya, bahkan Fakultas Filsafat untuk membangun dinamika pemikiran di (Universitas) Lampung, dia menjawab singkat, "Belum. Kita tengah melakukan penguatan kelembagaan Unila."
Bagaimana kalau hal yang sama ditanyakan kembali kepada calon rektor Unila? Entahlah....
Udo Z. Karzi, Tukang tulis, alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Rabu, 3 Agustus 2011
UTOPIA! Ya, begitulah saya memberanikan diri menulis tentang kemustahilan. Tapi, betapa pun sia-sianya melontarkan ide ini—sebagaimana ketika saya coba uji tanya gagasan ini kepada rekan-rekan—artikel ini tetap harus ditulis. Walaupun hasilnya cuma munggak-medoh alias ngalor-ngidul. Hahaa. Setidaknya untuk memberitahu pihak Universitas Lampung (Unila) bahwa ada yang terasa janggal ketika Unila menggagas universitas kelas dunia.
***
Apa boleh buat, Senat Unila telah menetapkan tiga nama calon rektor Unila periode 2011—2015 pada rapat tertutup di Gedung Rektorat, 27 Juli 2011. Tiga calon tersebut adalah Sugeng P. Harianto, Wan Abas Zakaria, dan Paul Benyamin Timotiwu. Ketiganya, apa boleh buat, berasal dari Fakultas Pertinian. Sugeng, rektor Unila saat ini, meskipun sempat menjadi dekan FMIPA, sejatinya ada staf pengajar di Fakultas Pertanian. Wan Abas, dekan Fakultas Pertanian. Lalu, Paul adalah staf pengajar Fakultas Pertanian.
Agaknya, harapan Syarief Makhya (Lampung Post, 26 Juli 2011) akan adanya pertarungan gagasan dalam persaingan di antara calon rektor Unila seperti membentur dinding kosong belaka. Rapat Senat Universitas yang tertutup, calon yang relatif homogen (dari Fakultas Pertanian), dan sulitnya akses sivitas akademika Unila untuk memengaruhi atau minimal mengawasi jalannya pemilihan rektor; membuat "pertarungan gagasan" yang dimaksud sulit berkembang. Kalaupun terjadi, hanya di lingkup kecil Senat Unila. Tidak sampai mewacana di kampus, apalagi ke luar kampus.
Saya melihat (semoga saya salah) tengah terjadi apatisme yang luar biasa dalam diri Unila. Setidaknya, hingga saat ini opini Syarief Makhya tidak mendapat tanggapan berarti dari warga Unila, baik dosen maupun mahasiswa. Boleh dibilang, pemilihan rektor sebagai sebuah rutinitas belaka seperti disinggung Syarief menemui realitasnya. Pemilihan rektor ya lumrah saja, biasa saja, tidak ada istimewanya, dst.
***
Kembali ke judul artikel ini, sebenarnya tulisan ini kelanjutan dari esai saya sebelumnya, Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung? (Lampung Post, 8 April 2006) yang menggagas perlunya Unila mendirikan Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra, yang di dalamnya termasuk Jurusan Sastra Lampung. Jadi, inilah artikel daur ulang saja mengenai apa yang seharusnya dimiliki, dilakukan, dan dikembangkan di Unila.
Dengar-dengar Unila telah menetapkan visi menjadi 10 perguruan terbaik di Indonesia dan juga hendak go international dalam skema World Class Research University (WCRU). Saya tidak hendak mempermasalahkan mengapa 10 terbaik dan mengapa harus go internasional. Payulah sangon zamanni. Tapi, saya hanya mengherankan bagaimana mungkin Unila menjadi terbaik dan mengglobal, tetapi melupakan diri sendiri (kehilangan identitas)? Kebudayaan Lampung! Bukankah sebagai pusat kebudayaan, Unila (kependekan dari Universitas Lampung) mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keilmuan tentang Lampung dan kelampungan?
***
Artikel ini juga terilhami oleh sebuah pertemuan. Suatu kali, tepatnya Jumat malam, 8 Juli 2011, saya dan budayawan yang juga staf pengajar Fakultas Teknik Unila Anshori Djausal diajak dosen FISIP Arizka Warganegara bertemu dengan rombongan Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) di sebuah hotel di Bandar Lampung. Yang saya dengar, rombongan PSM ini melakukan napak tilas sejarah Melayu di Sumatera yang terbentang mulai dari Lampung hingga D.I. Aceh setelah mengikuti Kongres Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Konferensi Nasional Sejarah IX di Jakarta, 5—8 Juli 2011.
Napak tilas, tentu hal yang serius. Akan halnya Lampung, agaknya hanya negeri numpang liyu (numpang lewat) belaka dalam lintasan sejarah Melayu tersebut. Rombongan toh tiba malam dan istirah sejenak untuk paginya melanjutkan perjalanan ke Palembang, Sumatera Selatan. Untuk sekadar tahu tentang kemungkinan ada jejak Melayu di Lampung, mereka minta bertemu beberapa orang yang "dianggap" tahu, kebetulan yang bisa ketemu malam itu saya, Anshori Djausal, dan Arizka Warganegara.
Maka, berceritalah kami tentang bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Tentang hubungan Melayu dengan Lampung. Tentang kekhasan budaya Lampung. Tentang betapa banyaknya seniman, terutama penyair yang telah mengharumkan Lampung. Tentang betapa tingginya peradaban Lampung karena memiliki bahasa dan aksara sendiri. Bagaimanakah bahasa Lampung, saya sodorkan buku puisi Lampung saya, Mak Dawah Mak Dibingi. Seperti apakah aksara Lampung, saya coba tuliskan beberapa huruf Kaganga yang saya ingat.
Sedikit dialog.
"Lampung punya universitas?"
"Ada, nama Universitas Lampung (Unila)."
"Punya Jurusan Sejarah?"
"Oh, tidak ada. Unila tidak punya Jurusan Sejarah. Tidak punya Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra yang mempunyai Jurusan Sejarah, Jurusan Antropologi, Jurusan Sastra Lampung, dan lain-lain. Adanya Pendidikan Sejarah dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Lampung di FKIP."
"Di Fakultas Pendidikan?"
"Ya, Pak."
"Bagaimana Unila bisa mengembangkan kajian sejarah dan kebudayaan?"
"Oh, Unila punya Pusat Studi Budaya Lampung, kok."
“...???”
“Kajian tentang budaya Lampung, sejarah, manusia Lampung, sangat minim.”
Saya ingat komentar simpatik Abdullah Zakaria Ghazali yang kebetulan duduk di samping kiri saya. "Berat. Perlu kerja keras...," kata guru besar sejarah Universitas Malaya itu.
Sepulangnya dari pertemuan, di benak saya yang terpikir hanya satu: Kapan ya Unila mulai mengembangkan kebudayaan (Lampung) secara lebih terlembaga dalam wadah yang bernama fakultas. Jawabnya sampai sekarang masih, "Mimpi kali, ye!"
***
Menjelang pemilihan rektor Unila, saya merasa perlu mengapungkan kembali gagasan ini. Maka, saya tulis "Dicari: Rektor Bervisi Budaya!" Suatu kali Rektor Unila Sugeng P. Harianto diwawancarai Lampung Post (28 Juni 2009) tentang kemungkinan mendirikan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya, bahkan Fakultas Filsafat untuk membangun dinamika pemikiran di (Universitas) Lampung, dia menjawab singkat, "Belum. Kita tengah melakukan penguatan kelembagaan Unila."
Bagaimana kalau hal yang sama ditanyakan kembali kepada calon rektor Unila? Entahlah....
Udo Z. Karzi, Tukang tulis, alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Rabu, 3 Agustus 2011
Ke Mana Bahasa Lampung?
Oleh Imron Nasri
BELUM lama ini teman saya menyampaikan bahwa dia baru saja pulang dari Lampung. Setelah mengikuti acara yang dilaksanakan oleh sebuah ormas Islam tingkat wilayah (provinsi). Teman saya ini memang salah seorang pengurus tingkat pusat dari ormas Islam itu. Dia diundang untuk menyampaikan materi. Teman saya itu menyampaikan pengalamannya selama berada di Lampung kepada saya. Dia tahu bahwa saya berasal dari Lampung. Apa yang beliau sampaikan itu membuat saya terkejut. Karena seseorang yang baru datang dari sebuah daerah yang dikunjungi, biasanya yang disampaikan dan diceritakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan keramaian, makanan atau tempat-tempat bersejarah, yang sempat dikunjungi.
Tetapi apa yang disampaikan dan diceritakan teman saya, jauh dari perkiraan saya. Dia menyampaikan bahwa, selama dia berada di Lampung tidak sepatah kata pun dia mendengar orang berbicara menggunakan bahasa Lampung. “Saya kaget, Bang. Selama saya di Lampung. Saya tidak mendengar sepatah kata pun orang berbicara menggunakan bahasa Lampung. Kalau tidak bahasa Indonesia, ya bahasa Indonesia dengan logat Jakarta atau bahasa Jawa. Saya sempat berpikir, saya ini sedang berada di Lampung apa di Jakarta atau Yogya,” kata dia.
Mendengar ceritanya, saya sempat terkesima. Karena dari sekian banyak teman-teman yang pernah ke Lampung, hanya dia yang sempat memperhatikan masalah bahasa itu. Biasanya yang disampaikan atau diceritakan tentang bagaimana lezatnya minum kopi Lampung, bagaimana enaknya menikmati durian atau keripik pisang yang dijual dikios-kios pinggir jalan. Atau bagaimana susahnya mencari rumah makan atau warung yang menyajikan makanan khas Lampung dan kondisi Kota Bandar Lampung, yang menurut mereka semrawut. Itulah biasanya yang diceritakan dan disampaikan teman-teman kepada saya.
Tapi teman yang satu ini, sekali lagi membuat saya terkesima. “La, bagaimana Bang,” lanjutnya, “ketika saya sampai dan turun dari bis di Terminal Rajabasa, para kenek angkutan kota, tukang ojek, dan taksi, semuanya menawarkan jasa dengan berbahasa Indonesia. Bahkan ada di antara mereka yang mengajak ngomong dengan bahasa Jawa. Karena melihat saya turun dari bis yang datang dari Yogya. Selama dua hari saya di Lampung sampai saya kembali ke Yogya, tak satu pun kata yang saya dengar menggunakan bahasa Lampung. Atau ada yang mengucapkan tapi saya tidak tahu, apakah yang diucapkan itu bahasa Lampung atau bukan. Karena terus terang, selama ini saya belum pernah mendengar satu kata pun bahasa Lampung itu seperti apa. Orang-orang Lampung yang ada di Yogya pun dalam berbicara tidak pernah menggunakan bahasa Lampung. Nah, sebetulnya ketika saya diutus untuk menghadiri acara yang dilaksanakan di Lampung ini, saya merasa senang. Karena saya berharap selama di Lampung saya akan mendengar dan diajak berbicara bahasa Lampung. Seperti ketika Abang diajak berbicara bahasa Jawa di Yogya. Tapi, ternyata harapan saya itu tidak kesampaian.” Jelasnya, sambil menunjukkan rasa penasarannya.
Setelah mendengarkan ceritanya, saya hanya senyum. Namun dalam hati saya mengatakan, “Jangankan kamu. Saya sendiri saja yang orang Lampung, sudah agak jarang mendengar orang Lampung berbahasa Lampung. Kecuali dengan keluarga dan saudara-saudara saya. Itu pun ada di antara mereka yang ketika berbicara, campur aduk antara bahasa Lampung dan bahasa Indonesia.”
Dari cerita teman saya itu, saya teringat dengan pernyataan Asim Gunarwan, pakar linguistik dari Universitas Indonesia, beberapa tahun yang lalu yang menyatakan berdasar hasil penelitiannya, dia menemukan bahwa pergeseran dengan kelajuan cukup tinggi terjadi pada bahasa Lampung. Hal ini dapat diinferensikan dari data kuantitatif yang menggambarkan penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia di sejumlah keluarga Lampung.
Selanjutnya Asim Gunarwan mengatakan dari hasil penelitiannya itu ternyata membentuk skala implikasional yang menunjukkan semakin kecilnya kuantitas penggunaan bahasa Lampung menurut gradasi umur yang menurun. Dan inilah yang sekarang sedang terjadi di daerah Lampung. Penggunaan bahasa Lampung di kalangan generasi muda, sudah semakin menurun. Terutama di lingkungan keluarga-keluarga muda, yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia pada saat berkomunikasi dalam keluarga.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam keluarga masih bisa dipahami dan dimaklumi jika penggunanya itu berlainan asal daerah. Misalnya suami atau istri berasal dari Jawa. Dalam berkomunikasi, memang lebih memungkinkan menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung atau bahasa Jawa. Namun yang memprihatinkan, dan ini sudah banyak terjadi di kalangan keluarga muda Lampung, adalah suami-istri berasal dari daerah yang sama, berasal dari satu pekon (kampung) yang sama, tinggal di pekon (kampung) yang sama, tetapi dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia.
Saya bersimpati dengan pernyataan seorang saudara saya, ketika saya menanyakan, mengapa anak-anaknya tidak diajak berbicara dengan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari? Dia mengatakan, “Tidak perlu. Tanpa diajari, nanti pada saatnya mereka akan tahu dengan sendirinya. Ketika mereka berada di sekolah, ketika mereka berada di tempat-tempat tertentu, dengan sendirinya mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Tapi, kalau bahasa Lampung tidak diajarkan sejak kecil, nantinya mereka tidak tahu sama sekali,” ujarnya.
Apa yang disampaikan saudara saya itu sesuai dengan apa yang dikatakan Asim Gunarwan. Dengan merujuk Fishman bahwa peluang keberhasilan tinggi adalah menjaga agar ada kesinambungan antargenerasi penggunaan bahasa yang sedang terancam kepunahan. Artinya, bahasa itu harus diwariskan kepada generasi berikutnya. Namun patut disayangkan, di kalangan penutur bahasa daerah (terutama di perkotaan) ada kecenderungan kepada anak mereka, orang tua lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dan itulah—agaknya—yang sedang terjadi di Lampung.
Imron Nasri, Peminat masalah-masalah sosil, politik, dan keagamaan
Sumber: Lampung Post, Rabu, 3 Agustus 2011
BELUM lama ini teman saya menyampaikan bahwa dia baru saja pulang dari Lampung. Setelah mengikuti acara yang dilaksanakan oleh sebuah ormas Islam tingkat wilayah (provinsi). Teman saya ini memang salah seorang pengurus tingkat pusat dari ormas Islam itu. Dia diundang untuk menyampaikan materi. Teman saya itu menyampaikan pengalamannya selama berada di Lampung kepada saya. Dia tahu bahwa saya berasal dari Lampung. Apa yang beliau sampaikan itu membuat saya terkejut. Karena seseorang yang baru datang dari sebuah daerah yang dikunjungi, biasanya yang disampaikan dan diceritakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan keramaian, makanan atau tempat-tempat bersejarah, yang sempat dikunjungi.
Tetapi apa yang disampaikan dan diceritakan teman saya, jauh dari perkiraan saya. Dia menyampaikan bahwa, selama dia berada di Lampung tidak sepatah kata pun dia mendengar orang berbicara menggunakan bahasa Lampung. “Saya kaget, Bang. Selama saya di Lampung. Saya tidak mendengar sepatah kata pun orang berbicara menggunakan bahasa Lampung. Kalau tidak bahasa Indonesia, ya bahasa Indonesia dengan logat Jakarta atau bahasa Jawa. Saya sempat berpikir, saya ini sedang berada di Lampung apa di Jakarta atau Yogya,” kata dia.
Mendengar ceritanya, saya sempat terkesima. Karena dari sekian banyak teman-teman yang pernah ke Lampung, hanya dia yang sempat memperhatikan masalah bahasa itu. Biasanya yang disampaikan atau diceritakan tentang bagaimana lezatnya minum kopi Lampung, bagaimana enaknya menikmati durian atau keripik pisang yang dijual dikios-kios pinggir jalan. Atau bagaimana susahnya mencari rumah makan atau warung yang menyajikan makanan khas Lampung dan kondisi Kota Bandar Lampung, yang menurut mereka semrawut. Itulah biasanya yang diceritakan dan disampaikan teman-teman kepada saya.
Tapi teman yang satu ini, sekali lagi membuat saya terkesima. “La, bagaimana Bang,” lanjutnya, “ketika saya sampai dan turun dari bis di Terminal Rajabasa, para kenek angkutan kota, tukang ojek, dan taksi, semuanya menawarkan jasa dengan berbahasa Indonesia. Bahkan ada di antara mereka yang mengajak ngomong dengan bahasa Jawa. Karena melihat saya turun dari bis yang datang dari Yogya. Selama dua hari saya di Lampung sampai saya kembali ke Yogya, tak satu pun kata yang saya dengar menggunakan bahasa Lampung. Atau ada yang mengucapkan tapi saya tidak tahu, apakah yang diucapkan itu bahasa Lampung atau bukan. Karena terus terang, selama ini saya belum pernah mendengar satu kata pun bahasa Lampung itu seperti apa. Orang-orang Lampung yang ada di Yogya pun dalam berbicara tidak pernah menggunakan bahasa Lampung. Nah, sebetulnya ketika saya diutus untuk menghadiri acara yang dilaksanakan di Lampung ini, saya merasa senang. Karena saya berharap selama di Lampung saya akan mendengar dan diajak berbicara bahasa Lampung. Seperti ketika Abang diajak berbicara bahasa Jawa di Yogya. Tapi, ternyata harapan saya itu tidak kesampaian.” Jelasnya, sambil menunjukkan rasa penasarannya.
Setelah mendengarkan ceritanya, saya hanya senyum. Namun dalam hati saya mengatakan, “Jangankan kamu. Saya sendiri saja yang orang Lampung, sudah agak jarang mendengar orang Lampung berbahasa Lampung. Kecuali dengan keluarga dan saudara-saudara saya. Itu pun ada di antara mereka yang ketika berbicara, campur aduk antara bahasa Lampung dan bahasa Indonesia.”
Dari cerita teman saya itu, saya teringat dengan pernyataan Asim Gunarwan, pakar linguistik dari Universitas Indonesia, beberapa tahun yang lalu yang menyatakan berdasar hasil penelitiannya, dia menemukan bahwa pergeseran dengan kelajuan cukup tinggi terjadi pada bahasa Lampung. Hal ini dapat diinferensikan dari data kuantitatif yang menggambarkan penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia di sejumlah keluarga Lampung.
Selanjutnya Asim Gunarwan mengatakan dari hasil penelitiannya itu ternyata membentuk skala implikasional yang menunjukkan semakin kecilnya kuantitas penggunaan bahasa Lampung menurut gradasi umur yang menurun. Dan inilah yang sekarang sedang terjadi di daerah Lampung. Penggunaan bahasa Lampung di kalangan generasi muda, sudah semakin menurun. Terutama di lingkungan keluarga-keluarga muda, yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia pada saat berkomunikasi dalam keluarga.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam keluarga masih bisa dipahami dan dimaklumi jika penggunanya itu berlainan asal daerah. Misalnya suami atau istri berasal dari Jawa. Dalam berkomunikasi, memang lebih memungkinkan menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung atau bahasa Jawa. Namun yang memprihatinkan, dan ini sudah banyak terjadi di kalangan keluarga muda Lampung, adalah suami-istri berasal dari daerah yang sama, berasal dari satu pekon (kampung) yang sama, tinggal di pekon (kampung) yang sama, tetapi dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia.
Saya bersimpati dengan pernyataan seorang saudara saya, ketika saya menanyakan, mengapa anak-anaknya tidak diajak berbicara dengan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari? Dia mengatakan, “Tidak perlu. Tanpa diajari, nanti pada saatnya mereka akan tahu dengan sendirinya. Ketika mereka berada di sekolah, ketika mereka berada di tempat-tempat tertentu, dengan sendirinya mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Tapi, kalau bahasa Lampung tidak diajarkan sejak kecil, nantinya mereka tidak tahu sama sekali,” ujarnya.
Apa yang disampaikan saudara saya itu sesuai dengan apa yang dikatakan Asim Gunarwan. Dengan merujuk Fishman bahwa peluang keberhasilan tinggi adalah menjaga agar ada kesinambungan antargenerasi penggunaan bahasa yang sedang terancam kepunahan. Artinya, bahasa itu harus diwariskan kepada generasi berikutnya. Namun patut disayangkan, di kalangan penutur bahasa daerah (terutama di perkotaan) ada kecenderungan kepada anak mereka, orang tua lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dan itulah—agaknya—yang sedang terjadi di Lampung.
Imron Nasri, Peminat masalah-masalah sosil, politik, dan keagamaan
Sumber: Lampung Post, Rabu, 3 Agustus 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)