June 25, 2015

FIB dan Bahasa Lampung

Olh Faris Yursanto


TULISAN Eko Sugiarto (Fajar Sumatera, 17 Juni 2015) yang kembali mempertanyakan kemungkinan berdirinya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sejatinya memperlihatkan betapa pentingnya keberadaan fakultas ini untuk Lampung. Ide ini sebenarnya sudah lama dan mencuat setelah Kedutaan Besar Belanda menyerahkan Kamus Bahasa Lampung karya H.N. Van Der Tuuk.

Pendirian FIB memang mendesak untuk dilakukan jika melihat realita yang ada bahwa budaya Lampung khususnya bahasa terancam hilang. FIB diharapkan nantinya dapat menjadi tempat pusat pembelajaran budaya Lampung.


Sebagai bahasa ibu, bahasa Lampung dewasa ini sudah jarang terdengar khususnya di wilayah perkotaan seperti kota Bandar Lampung. Masyarakat perkotaan lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari.Coba perhatikan jika kita datang berbelanja di pasar-pasar tradisional, yang terdengar bukan bahasa Lampung tapi bahasa daerah lain. Ini salah satu bukti bahwa bahasa Lampung sudah semakin sedikit penuturnya.

Orang tua yang seharusnya menanamkan nilai-nilai budaya kepada anaknya justru tidak melakukannya. Kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai budaya sangat rendah. Ini bisa dilihat dari percakapan sehari-hari. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung. Fenomena ini tidak hanya terjadi di daerah perkotaan tapi sudah terjadi di daerah perkampungan. Tidak heran jika kaum muda saat ini sudah jarang yang bisa berbahasa Lampung. Ini sangat mengkhawatirkan karena kaum mudalah yang kelak akan melanjutkan pelestarian bahasa dan budaya Lampung.

Faktor-faktor di luar kesadaran berbahasa Lampung juga punya pengaruh besar terhadap terancam punahnya bahasa Lampung. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah etnis Lampung yang lebih sedikit daripada pendatang dari provinsi lain menjadi penyebab utama bahasa Lampung semakin terpinggirkan. Hasil studi yang dilakukan Kantor Bahasa provinsi Lampung tahun 2008 menunjukkan bahwa etnis Lampung telah menjadi minoritas di provinsi Lampung. Hasil studi tersebut menyebutkan bahwa suku Jawa telah menjadi mayoritas dengan jumlah 61,88%, sunda 11,27 %, 11,38 % suku-suku lain seperti Bengkulu, Bugis, Batak, dan Minang, sedangkan  suku Lampung sendiri hanya 11, 92 %.

Upaya Pemerintah

Upaya untuk melestarikan bahasa Lampung sebenarnya sudah dilakukan pemerintah walaupun hasilnya belum dirasakan. Ini bisa dilihat dari dibuatnya Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2008 tentang pemeliharaan kebudayaan Lampung. Dalam pasal 8 disebutkan beberapa cara untuk sebagai upaya pelestarian bahasa dan  aksara Lampung. Pertama, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintahan daerah dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah.
Kedua, penggunaan bahasa dan aksara Lampung pada dan atau sebagai nama bangunan/gedung, nama jalan/penunjuk jalan, iklan, nama kompleks permukiman, perkantoran, perdagangan, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial dan sejenisnya.
Ketiga, sosialisasi. Pemberdayaan dan pemanfaatan media massa daerah, baik cetak maupun elektronik, maupun media lain untuk membuat rubrik/siaran yang berisi tentang bahasa dan aksara Lampung.
Keempat, penyediaan bahan-bahan pengajaran untuk sekolah dan luar sekolah serta bahan-bahan bacaan untuk perpustakaan dan penyediaan fasilitas bagi kelompok-kelompok studi bahasa dan aksara Lampung.
Kelima, pengenalan dan pengajaran bahasa dan aksara Lampung mulai jenjang kanak-kanak, sekolah dasar dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang diberlakukan di daerah, kondisi dan keperluan.

Upaya dari lembaga atau institusi lain yang terkait dengan pelestarian budaya juga berperan dalam kelestarian bahasa Lampung. Dewan Kesenian Lampung (DKL) sebagai organisasi yang ditunjuk pemerintah yang bertugas untuk melestarikan budaya Lampung mempunyai tugas yang tidak ringan. DKL diharapkan dapat menjadi inisiator dan mengajak institusi lainnya untuk turut serta dalam pelestarian bahasa Lampung. Insititusi-institusi pemerintah yang terkait dengan kebudayaan harusnya memiliki sebuah kesepakatan bersama dalam upaya melestarikan bahasa Lampung. Insititusi-institusi seperti DKL, Dinas kebudayaan dan Pariwisata, dan Dinas Pendidikan mestinya bekerjasama untuk membuat Rencana Pelestarian Jangka Panjang dalam kebudayaan Lampung khususnya bahasa. Dana dari APBD apabila memang diperlukan harusnya ditambah sebagai suntikan moral agar lebih leluasa dalam mengadakan sebuah program.

Program-program pelestarian bahasa daerah yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah lain layak diadopsi seperti Program Rebo Nyunda yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung. Program yang digagas oleh Ridwan Kamil ini muncul akibat adanya kekhawatiran akan lunturnya budaya dan bahasa Sunda di Jawa Barat khususnya Bandung. Program Rebo Nyundatidak hanya terkait dengan pelestarian bahasa Sunda tapi juga Pakaian. Jadi masyarakat kota Bandung dianjurkan untuk memakai pakaian dan bahasa Sunda pada hari Rabu. Program ini layak untuk diadopsi karena merupakan langkah nyata yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pelestarian budaya dan bahasa daerah.

Peran Strategis Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan menjadi  institusi strategis dalam pelestarian budaya. Karena di dalam pendidikan peserta dididik dibina dan diberi berbagai ilmu pengetahuan. Seluruh institusi pendidikan dari SD sampai Perguruan Tinggi hendaknya dapat memasukkan bahasa Lampung sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Ini menjadi penting karena insan pendidikan merupakan aset untuk pelestarian bahasa Lampung di masa yang akan datang.

Di tingkat Perguruan Tinggi wacana tahun lalu yang menghilang mengenai pendirian Fakultas Ilmu Budaya  (FIB) di Universitas Lampung patut untuk diperjuangkan lagi. Keberadaan FIB sangat penting sebagai pusat studi (center of excellent) budaya Lampung tidak hanya tentang bahasa tapi semua budaya Lampung. FIB nantinyabisa dijadikan tempat pusat pengetahuan dan keilmuan tentang kebudayaan Lampung. Kehadiran FIB juga akan menjadi daya tarik mahasiswa internasional yang ingin mempelajari budaya dan bahasa Lampung. Harapannya budaya Lampung bisa dikenal sampai mancanegara.

Perhatian terhadap pelestarian bahasa Lampung juga sudah dilakukan oleh pihak diluar pemerintah. Ada gagasan Kongres Bahasa dan Budaya Lampung. Sayangnya, wacana tersebut tidak jelas kelanjutannya hingga kini. Padahal melalui kongres tersebut ide-ide yang dihasilkan dapat ditindaklanjuti pemerintah sebagai dasar dalam mengambil kebijakan guna melestarikan bahasa Lampung.

Faris Yursanto, Pemimpin Umum UKPM Teknokra


Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 25 Juni 2015




No comments:

Post a Comment