June 22, 2015

Sentuhan Budaya Program ala Pun

Oleh Yulianto dan Selvi Diana Meilinda

MENARIK sekali mengikuti pemberitaan mengenai Kapolda Lampung di Lampung Post, terlebih setelah kunjungan Kapolda Lampung Brigjen Edward Syah Pernong ke Lampung Post pada Jumat (19/6). Dalam kunjungan tersebut, Kapolda sekaligus Raja Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak akan menerapkan program anjau silau.

Bagi masyarakat Lampung, anjau atau manjau adalah salah satu kegiatan bertamu, silaturahmi, dan berkunjung atas dasar emosi kekeluargaan nan kuat dengan tujuan tertentu. Ada tiga istilah manjau dalam Lampung, manjau pedom, manjau maju, dan manjau mulli.

Istilah manjau pedom adalah sebutan untuk kedatangan keluarga besan menginap setelah akad nikah, manjau maju merupakan kegiatan mengunjungi pengantin, dan manjau mulli adalah kegiatan bujang berkunjung ke rumah gadis pujaannya, mirip dengan ngapel istilah dalam konteks kekinian.

Sementara silau merupakan suatu kegiatan menengok dan memantau keadaan tertentu yang biasanya dilakukan berulang, sehingga dapat diartikan anjau silau merupakan kegiatan silaturahmi, berkunjung, sekaligus memantau keadaan.

Anjau silau ala Pun tampaknya mirip dengan blusukan ala Jokowi. Namun, menurut penulis, ada beberapa perbedaan tegas. Jika blusukan terdengar seperti spontanitas, berjalan sesuai arah angin tanpa ada sistem evaluasi yang jelas dan hanya sesekali di satu tempat tertentu, sementara anjau silau ada makna pemantauan, monitoring, dan berpola di satu tempat tertentu.

Konsep program yang diadopsi dari dua istilah lokal ini menjadikan program ini seperti memiliki ruh persuasif di masyarakat. Dari istilahnya, program ini terasa mengahadirkan peran negara dalam masyarakat; selama ini serentetan kejadian dan konflik yang terjadi di Lampung hampir bersumber dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara. Masyarakat langsung bertindak karena pesimistis masalah akan selesai dengan cepat.

Sentuhan budaya dalam sebuah program bukanlah hal baru. Di daerah lain misalnya DI Yogyakarta dalam hal recovery pascagempa tahun 2010 telah lebih dahulu memberikan sentuhan kearifan lokal dalam kebijakannya. Selain itu, lebih spesifik tentang kebijakan pemimpin, di Papua khususnya suku Sentani, untuk menyelesaikan konflik dan membantu proses pembangunan daerah, pemimpin formal menggandeng pemimpin nonformal (pemimpin adat) ondoafi/ondofolo.

Pemerintah formal tidak dapat lepas dari pemerintahan nonformal dalam hal ini ondoafi/ondofolo, setiap pengambilan kebijakan yang dikeluarkan harus melibatkan ondoafi/ondofolo. Pelibatan pemimpin nonformal ini membantu sekali dalam penyelesaian konflik. Hal ini menjadi pelajaran yang menarik terutama di Polda Lampung; posisi pemimpin formal dan nonformal bukan dua bagian yang terpisahkan, melainkan satu pribadi dengan dua peran strategis.

Dua peran yang strategis ini menjadi kabar baik yang harus diimbangi dengan konsep yang ciamik. Tidak hanya dalam tataran konsep dan terdengar for its own sake, tentunya implementasi dari anjau silau ini harus terancang secara matang. Tidak perlu berstrategi layaknya perang, namun identifikasi hal-hal yang perlu dilakukan saat melaksanakan program ini harus jelas dan bertarget. Jangan sampai hanya blusukan yang hanya indah diujung pena media.

Ada beberapa hal yang menjadi masukan untuk implementasi program ini. Pertama, tentukan siapa yang akan melakukan anjau silau. Subjek yang melaksanakan program ini dimaksudkan supaya ada tim inti yang mem-back-up. Misalnya, dari 15 kabupaten/kota yang ada di Lampung, Pun dapat mengelompokkan menjadi lima zona yang dikoordinatori lima jajarannya yang memiliki kapasitas dan dipercaya Pun untuk bertanggung jawab mengenai targetan masing-masing zona.

Pembagian lima zona ini seperti contohnya Zona 1 (kota/satelit) yakni Bandar Lampung, Metro, dan Pringsewu. Zona 2 (konflik) yakni Mesuji, Tanggamus, dan Lamsel. Zona 3 (perbatasan) yaitu Tulangbawang, Tulangbawang Barat, dan Way Kanan. Zona 4 (pesisir pantai) ialah Lambar, Pesisir, dan Pesawaran. Terakhir Zona 5 (kriminal) yakni Lamtim, Lamteng, dan Lampura.

Secara teknis, lima koordinator zona ini berkoordinasi dengan polres dan polsek setempat, bisa jadi di polres dan polsek setempat juga telah membagi zona-zona terkecil dan menentukan penanggungjawabnya masing-masing. Pembagian zona-zona ini hanya permisalan. Jika dianggap kurang pas, harap dimaklumi.

Kedua, perlunya materi dari substansi anjau silau. Materi ini bukanlah amunisi logistik atau buah tangan, melainkan hal-hal apa saja yang perlu komunikasikan. Dalam hal ini misalnya Pun merancang kartu kendali ceklis dan identifikasi hal-hal yang dianggap membahayakan dan patut diwaspadai berdasarkan hasil komunikasi saat anjau silau.

Tanpa mengesampingkan tugas intelejen, informasi dari intel justru bisa melengkapi kebenarannya. Untuk validitas informasi tersebut, dapat ditentukan kader-kader keamanan dari masing-masing zona terkecil di level polsek.

Ketika subjek dan objek program anjau silau telah ditentukan, Kapolda sekaligus Raja dapat langsung melalukan evaluasi berjenjang per triwulan atau bisa ditentukan sesuai kebutuhan. Sistem evaluasi ini dilakukan dengan cara Pun turun langsung atau laporan dari masing-masing koordinator.

Dengan demikian, akan menjadi menarik menunggu keberhasilan dari program anjau silau. Semua faktor yang selama ini menjadi penyebab kegagalan dalam sebuah program hadir dalam program anjau silau.

Peranan Brigjen Edward Syah Pernong sebagai Polda Lampung serta Pun Edward Syah Pernong sebagai Raja Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak menasbihkan sinergisitas kepemimpinan formal sekaligus nonformal dalam menjaga stabilitas keamanan di Lampung. Hal ini juga akan menjadi prototype terbaik kepemimpinan di Indonesia. Tabik Pun.

Yulianto dan Selvi Diana Meilinda, Dosen dan Pegiat Lab Administrasi Kebijakan Publik FISIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Juni 2015

No comments:

Post a Comment