June 22, 2015

Mak Ganta Kapan Lagi

Oleh Ali Rukman


TULISAN ini tidak bermaksud menggurui dan atau memojok etnis tertentu dengan mengangkat ulun Lampung, tetapi  lebih kepada refleksi atas kejadian dan peristiwa yang telah ramai diperbincangkan banyak orang mengenai Lampung dan orang Lampung dari sudut pandang penulis sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat.

Dalam beberapa teori dan ungkapan tentang pembangunan manusia salah satu benang merah yang dapat diambil adalah bagaimana melaksanakan pembangunan dimaksud berangkat dari dalam.   Untuk lebih memberi gambaran akan kondisi membangun SDM dari dalam penulis mengilustrasikan proses tersebut denganmenyimak proses menetasnya telor yang telah di buahi pejantan menjadi anak unggas; dimana proses sepenuhnya terjadi atas prakarsa dan atau nilai-nilai dari dalam sedangkan pihak luar hanya memfasilitasi saja dengan taat azas. Bila tidak, telor tidak akan menetas atau kehidupan yang diharapkan dari telor akan mati.

Inilah yang penulis simak dan rasakan;  nilai-nilai yang idealnya lahir, hidup, dan berkembang di Lampung  kini terkesanjalan ditempat kalau tidak mau disebut mati - layaknya telor menjadi anak unggas dan anak unggas menjadi ayam-ayam bertelor lagi dan seterusnya ayam menjadi banyak dan membuat satu peradaban berkembang dan maju.   Hal ini dapat dilihat dengan beberapa indikator. Pertama, bahasa  dan aksara. Maaf, tidak bermaksud meniadakan usaha yang telah dilakukan oleh praktisi penggiat budaya ulun Lampung. Namun, bila dibandingkan dengan daerah yang bahasa daerahnya menjadi bahasa sehari-hari di wilayah tersebut bahkan bisa hidup dan berkembang juga di wilayah lain semisal bahasa Jawa atau bahasa Minang yang bisa hidup dan berkembang juga di luar Jawa dan Sumatra Barat.  Jika melihat kondisi ini rasanya predikat Lampung sebagai “provinsi hitam” tentu masih layak untuk dilekatkan hingga kini.   Provinsi yang memiliki aksara dan bahasa tetapi dalam kesehariannya yang berkembang jusrtu bahasa luar Lampung salah satunya Bahasa Jawa.  Masyarakat yang tinggal dan mendiami Lampung belum seperti masyarakat Provinsi  lainnya di Indonesia yang menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa kedua setelah bahasa indonesia atau bahasa utama dalam pergulatan sehari-hari mareka. 

Kedua, implementasi falsafah ulun Lampung  piil pesanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memilki harga diri). Hari-hari ini kita semua merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang Lampung karena begitu gencarnya pemberitaan media tentang begal dari Lampung yang seolah telah menasional mengingat juga bahwa beberapa daerah yang mayoritas penduduknya didiami etnis Lampung selama ini menjadi sarang begal. Ntahlah.. ada korelasinya atau tidak. Ternyata penggunaan istilah begal kini kerap juga dipakai di dunia politik dan penegakan hukum kita.  Pertanyaan sederhananya mungkinkah begal ada jika Falsafah Piil-Pesanggiri berkembang dan menjadi peradaban di masyarakat Lampung?. 

Ketiga, implementasi falsafah juluk-adok (mempunyai keperibadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya). Hal ini tentu dapat ditandai salah satunya dengan “mentasnya” pribadi/individu dari kalangan penyimbang adat kedalam pemerintahan di Lampung ataupun sekala nasional.  Yang menjadi pertanyaannya sudahkah penyimbang adat dalam menjalankan fungsinya berkeperibadian Lampung atau sesuai dengan gelar adat yang disandangnya??Jawabnya bisa ya bisa tidak...  Atau hal yang paling sederhana menjadi tanya adalah apakah mareka yang telah “mentas” gemar memelihara dan mengembangkan bahasa Lampung.  Mengingat faktanya tak jarang ketika bertemu saat mareka menjalankan rutinitas sebagai abdi negara di pemerintahanlebih sering menggunakan bahasa jawa  ketimbang bahasa Lampung yang menjadi bahasa daerahnya sendiri.Begitu seterusnya tak jarang pula kita temui ada pejabat di Lampung ini lebih pandai menceritakan adat istiadat dan potensi wisata yang ada di Jawa ketimbang adat istiadat dan potensi wisata yang ada di Lampung Lampung?

Keempat, implementasi falasafah  Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tahu) dan Nengah-Nyampokh (aktif dalam pergaulan masyarakat dan tidak individualistis).  Beberapa waktu lalu kita sangat tidak tidak nyaman dengan berita tawuran antar etnis Lampung dengan etnis di Luar Lampung. Bila disimak secara mendalam dari  kondisi ini, maka dapat disimpulkan bahwa ini adalah salah satu bentuk tidak berkembangnya nemui-nyimah dan nengah nyappur. Berita-berita tawuran tersebut seolah-olah  memberikan gambaran bahwa ulun Lampung sangar dan tidak ramah kepada etnis pendatang.  Mirisnya berita tersebut begitu dahsyatnya di daerah yang berkonflik  dan jarang sekali mengangkat akar masalah yang sebenarnya semisal masalah politik dan ekonomi.  Tapi apapun alasannya tentu kita harus kembali pada tofik bahwa falsafah nemui nyimah dan nengah nyampokh tidak berkembang bukan saja di sanubari mareka yang datang lalu menetap dan mengatakan bahwa kini mareka juga masyarakat Lampung tetapi ulun lampung.

Kelima, implementasif falsafah Sakai-Sambayan (gotong royong dan saling membantu dengan masyarakat Lain). Beberapa pemandangan dan fakta dimana daerah yang bersangkutan didiami oleh mayoritas etnis Lampung Fasilitas umumnya kurang terawat.  Tentu akan banyak jawab atas pertanyaan mengapa kondisi ini bisa timbul,dan apapun jawabannya satu faktanya bahwa saat ini falsafah sakai-sambayan kini tidakmelembaga dalam kehidupan bermasyarakat di Lampung.

Kembali kepada pembahasan di awal bahwa pembangunan harus dimulai dari dalam dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat tersebut.  Beberapa fakta yang menyeruak bahwa ada kontradiksi yang cukup signifikan antara nilai-nilai dengan beberapa kejadian yang mengemuka akhir-akhir ini.   Dan kondisi Ini memberi bukti bahwa nilai-nilai yang yang hadir dari dalam kini belum hidup seperti yang di cita-citakan.  Dan atas penomena dimaksud kita dapat mengatakan bahwa;inilah waktunya kita memulai menghidupkannya untuk kesejahteraan dan kemajuan Lampung dengan polapemberdayaan masyarakat.


Sudah saatnya juga selain membumikan 5 falsafah ulun Lampung juga membumikan pedoman hidup ulun Lampung lainnya yang kita sering kita baca dan kita dengar dari para penyimbang adat, yaitu:  Berani menghadapi tantangan (mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador), Teguh pendirian (Ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak), Tekun dalam meraih cita-cita (Asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai), memahami anggota masyarakat yang kehendahnya tidak sama (pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-milih), hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan (wat andah wat padah, rapa ulah raya ulih), Mengutamakan persatuan dan kekompakan (dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pugah dang lucahmari pekon mak belah), Arif bijaksana dalam memecahkan masalah (way ni dang rubok, iwa ni dacok).


Mahap ngalampura jama penyimbang tuha raja sekendua anak ngura (maaf sebesar-besarnya kepada pemuka adat saya anak muda) yang tidak mengerti banyak tentang nilai-nilai ulun Lampung. Rasa memiliki dan perhatian kepada Lampung mengantarkan tulisan singkat ini betapa pentingnya menerapkan pola pembangunan pemberdayaan dengan berpijak pada nilai luhur/kearifan di bumi Lampung:   Mak ganta kapan lagi…

Ali Rukman,  Pelaku Pemberdayaan Masyarakat


Sumber: Fajar Sumatera, Senin, 22 Juni 2015





1 comment:

  1. kham junjung tinggi adat khik budaya,, temon cawa ni puakhi disan mak kham sapa lagi mak ganta kapan lagi

    ReplyDelete