April 26, 2009

'Local Wisdom' dalam Tradisi 'Bualih'

Oleh Febrie Hastiyanto*

DALAM pelaksanaan Festival Radin Jambat menandai ulang tahun Kabupaten Way Kanan tahun ini, panitia mengadakan mata acara yang disebut bualih (bupaluh). Bualih merupakan pesta rakyat menangkap ikan, di mana masyarakat tanpa membedakan status sosial secara bersama turun ke lebung (purus) untuk menangkap ikan.

Biasanya tradisi ini dilakukan saat air mulai surut ketika musim kemarau datang. Keberadaan tradisi bualih di Way Kanan sangat dimungkinkan. Sebab kabupaten paling utara Lampung ini dialiri sejumlah sungai besar. Namun, bualih kini sudah mulai jarang terdengar dilakukan masyarakat.

Sungai-sungai di Way Kanan seperti halnya sungai di daerah lain rawan terhadap tindak penangkapan ikan yang merusak ekosistem, di samping penambangan pasir yang dilakukan masyarakat. Akibatnya, populasi ikan menyusut. Memancing saja mulai sulit, apalagi melakukan bualih secara bersama-sama.

Usaha Panitia Pelaksana Festival Radin Jambat menghadirkan kembali tradisi bualih sudah selayaknya diapresiasi. Dalam momentum Festival Radin Jambat, panitia memang baru melakukan bualih secara artifisial: di kolam yang sengaja dibuat dan diisi ikan. Kegiatan itu diikuti seluruh unsur pimpinan daerah, masyarakat, dan wisatawan dalam program Festival Krakatau.

Bualih yang artifisial ini pun tetap harus diapresiasi. Saat ini tidak banyak ruang bagi pemimpin dan pejabat pemerintahan untuk berbaur menyatu dengan rakyat yang dilayaninya. Momentum bualih dalam Festival Radin Jambat akan menjadi perekat dalam ketahanan sosial masyarakat. Bahwa pemimpin dan yang dipimpin dapat berada dalam satu ruang yang sama. Apalagi ruang itu memiliki aspek entertaint: kolam ikan. Dapat kita bayangkan bagaimana cairnya momentum bualih itu.

Menjaga Tradisi

Dalam jangka panjang bualih harus dikelola lebih baik, tidak hanya digelar secara artifisial. Pada banyak masyarakat adat, tradisi semacam bualih juga mulai dihidupkan kembali. Masyarakat adat di Provinsi Riau, misalnya, difasilitasi Dinas Perikanan Kabupaten dan Kota se-Riau melalui program Culture Based Fisheries (CBF), mengaktifkan kembali tradisi mamucuak ikan.

Dalam satu waktu tertentu, masyarakat menetapkan zona-zona di sungai yang tidak boleh ditangkap ikannya. Pada waktu yang ditetapkan itu, Dinas Perikanan menambah bibit ikan dan memberi pakannya secara periodik. Satu tahun sekali, masyarakat beramai-ramai memanen ikan yang disebut mamuncuak ikan. Hasilnya dibagikan merata kepada semua masyarakat di wilayah itu.

Dalam mamuncuak ikan, pemimpin dan pejabat lokal turut berbaur dengan masyarakat memanen ikan. Tradisi sejenis juga banyak (di)hidup(kan) kembali di daerah-daerah lain, seperti tradisi lubuk larangan di Jambi, atau tradisi panen ikan di Sumatera Barat.

Peran Masyarakat Adat

Masyarakat adat Way Kanan telah memiliki lembaga adat yang diatur dalam Perda No. 35 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, dan Pengembangan Adat serta Lembaga Adat. Kedudukan lembaga ini secara kelembagaan sebenarnya cukup kuat dan dianggap merepresentasikan masyarakat adat.

Dalam upaya melestarikan tradisi bualih, lembaga adat Way Kanan dapat membuat peraturan adat menetapkan sungai dan zona larangan menangkap ikan. Pemerintah Kabupaten c.q. Dinas Perikanan merespons dengan menyediakan bibit dan pakan ikan. Masyarakat adat bertanggung jawab menjaga zona-zona larangan. Untuk menguatkan, lembaga adat dapat membuat kodifikasi sanksi adat. Sanksi hendaknya bukan berupa hukuman kurungan badan, dikucilkan, atau denda berupa uang. Sanksi yang diberikan dapat disesuaikan dengan tema aturan adat: Pelestarian lingkungan.

Masyarakat yang melanggar aturan zona larangan dapat dikenai denda menanam sejumlah pohon di lahan kritis, atau menambah sejumlah bibit ikan untuk ditebar di zona yang dilanggarnya, atau modifikasi dari keduanya. Bila pelestarian tradisi ini telah melembaga, tahun depan bualih dalam Festival Radin Jambat tidak lagi diadakan di kolam, tetapi langsung di sungai.

* Febrie Hastiyanto, putra Way Kanan. Bergiat dalam diskusi pada milis etnografi_lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 April 2009

No comments:

Post a Comment