April 13, 2009

Opini: 'Enclave' dalam Peta Bahasa Lampung

Oleh Febrie Hastiyanto*

KATEGORI masyarakat adat secara etnologi sering ditandai dengan penggunaan bahasa daerah yang sama. Dengan demikian, suku bangsa Lampung dapat dimaknai sebagai kelompok suku bangsa yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa ibu.

Mereka disebut "orang Lampung", meskipun ada usaha-usaha dari sejumlah warga Lampung memopulerkan sebutan "ulun Lampung" maupun "tian Lampung" untuk menyebut orang Lampung.

Secara adat, penduduk yang termasuk masyarakat kebudayaan Lampung tidak terbatas pada penduduk yang tinggal di wilayah administratif Provinsi Lampung kini, tapi juga termasuk masyarakat yang bermukim di daerah Danau Ranau, Muaradua, Komering, hingga Kayuagung di Sumatera Selatan.

Dilihat secara genealogi, bahasa Lampung termasuk cabang bahasa Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat. Dengan demikian, bahasa Lampung masih berkerabat dengan bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Bali, maupun bahasa Melayu.

Seperti halnya bahasa Jawa yang terdiri dari sejumlah strata, bahasa Lampung juga terdiri dari tingkatan-tingkatan yang dibedakan menjadi dua. Pertama, bahasa Perwatin: ragam bahasa yang baku, dan umumnya dituturkan di lingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Kedua, bahasa Merwatin adalah ragam bahasa sehari-hari, tak baku atau pasaran yang biasa digunakan sehari-hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi bahasa lain (Natakembahang, 2009).

Masyarakat adat Lampung dibedakan dalam dua kekerabatan adat besar, Saibatin dan Pepadun. Bahasa yang digunakan masyarakat pun memiliki dialek berbeda pada adat masing-masing.

Dr. Van Royen mengklasifikasikan bahasa Lampung dalam dua dialek, yaitu dialek api dalam logat Belalau, Krui, Melinting-Maringgai, Way Kanan, Pubian, Sungkai, Kayu Agung dan Jelma Daya, serta dialek nyow dalam logat Abung dan Menggala.

Berdasar pada peta adat, bahasa Lampung memiliki dua dialek dan dipergunakan masyarakat adat yang berbeda. Pertama, dialek A (api) yang dituturkan masyarakat adat Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, serta Kayuagung. Mereka beradat Saibatin.

Dialek api juga dituturkan masyarakat adat Waykanan, Sungkai, dan Pubian yang beradat Pepadun. Kedua, dialek O (nyow) yang dituturkan masyarakat adat Abung dan Menggala/Tulangbawang yang beradat Pepadun.

Selain penutur Bahasa Lampung, di Lampung juga terdapat masyarakat penutur bahasa ibu selain bahasa Lampung. Sebelum terjadi migrasi melalui transmigrasi yang mendatangkan masyarakat beradat dan berbahasa Jawa, Sunda, dan Bali, di Lampung juga terdapat sejumlah marga yang beradat dan berbahasa Semendo dan Ogan, di antaranya marga Rebang Pugung di Talang Padang, marga Rebang Kasui di Kasui, marga Rebang Seputih di Tanjungraya, marga Way Tenong di Way Tenong (beradat dan berbahasa Semendo), serta marga Way Tuba di Bahuga yang beradat dan berbahasa Ogan (dalam Marga Regering Voor de Lampungche Districthen, 1928).

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dari peta bahasa Lampung. Pertama, peta bahasa tidak selalu mencerminkan wilayah adat. Jadi, jika selama ini suku bangsa Lampung dibedakan dalam adat Saibatin dan disebut berbahasa Lampung dialek api dan masyarakat adat Pepadun berdialek O, kategorisasi ini masih belum sepenuhnya tepat.

Sebab, sebagian masyarakat beradat Pepadun juga berdialek api: Masyarakat Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Hal ini terhitung menarik dikaji, karena menurut teori etnografi, masyarakat adat sering ditengarai dari penggunaan bahasa ibu yang sama. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat adat Pepadun karena dalam masyarakat adat ini mempergunakan dua dialek berbeda.

Kedua, peta bahasa Lampung tidak dapat disederhanakan berdasar pada peta geografi Provinsi Lampung kini secara ketat. Masyarakat adat Lampung bermukim secara menyebar, berselang-seling, dan membentuk kantong-kantong (enclave) adat dan bahasa. Kita tidak dapat mengategorikan masyarakat adat Kota Bandar Lampung beradat apa, maupun menggunakan dialek apa sebagai kesatuan adat yang tunggal.

Masyarakat adat di Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, Telukbetung Utara, Panjang, Kemiling, dan Rajabasa, misalnya, beradat Saibatin dan menggunakan bahasa dialek api (logat Belalau), masyarakat adat di Kecamatan Kedaton, Sukarame, dan Tanjungkarang Barat beradat Pepadun dan berbahasa dialek api (logat Pubian), sedang masyarat adat di Gedongmeneng dan Labuhan Ratu menggunakan bahasa dialek nyow (logat Abung) dan beradat Pepadun. Bahasa Lampung dialek api logat Belalau juga digunakan di sebagian wilayah Lampung Barat, Lampung Selatan, Tanggamus, dan pesisir utara Banten.

Masyarakat penutur dialek api logat Belalau membentuk enclave di sejumlah wilayah, berdampingan dengan masyarakat adat lain yang juga membentuk enclave adat dan bahasa di seantero Lampung.

* Febrie Hastiyanto, Alumnus Sosiologi FISIP UNS. Menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung.

Sumber: Lampung Post, Senin, 13 April 2009

No comments:

Post a Comment