-- Ika Nurlianawati*
ADAKALANYA, menyampaikan pendidikan moral jauh lebih rumit dan sulit daripada menyampaikan materi pelajaran sosial sains, bahkan sains sekalipun. Bila materi dua pelajaran terakhir di atas dapat ditransfer melalui tatap muka 2-3 kali per pekan, tidak demikian halnya dengan pelajaran moral, yang idealnya include di tiap sesi pelajaran.
Tidak adanya mata pelajaran khusus dan guru khusus mata pelajaran etika dan moral, menjadi tantangan sendiri bagi guru yang notabene berfungsi sebagai pendidik. Kreativitas ide menjadi tuntutan bagi guru agar dapat mentransfer kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Tantangan untuk mengarah pada kebiasaan baik semakin berat, sebab di luar sana ada banyak ancaman. Untuk itulah guru harus mengoptimalkan segala media yang tersedia, tidak terkecuali dengan media sastra.
Sebagaimana kita tahu, sastra dapat berfungsi sebagai media transfer ilmu dan membentuk mental manusia. Mendekatkan siswa pada buku-buku sastra yang bermutu, tentu akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwanya.
Guru dapat menugaskan siswa untuk membaca buku sastra atau fiksi, tidak harus buku terjemahan yang mahal dengan penulis terkenal, cukup buku-buku lokal yang akan memberikan inspirasi bagi siswa untuk berpikir dan berkarakter positif.
Sebut saja beberapa novel, di antaranya Tetralogi Laskar Pelangi, yang mengisahkan perjuangan seorang anak dalam meraih cita-cita. Tentu novel ini akan menggugah semangat juang siswa dalam menjalani hidup.
Novel yang mengisahkan romantisme remaja tanpa mengesampingkan nilai moral dan keislaman juga dapat direkomendasikan oleh guru untuk dibaca siswa, antara lain Birunya Langit Cinta atau Nafsul Muthmainnah, bukan suatu kebetulan bila dua novel terakhir ini merupakan buah karya para pendidik.
Dengan menikmati buku sastra yang baik dan bermutu, diharapkan siswa dapat menyerap pelajaran etika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, hal ini merupakan lahan lain yang perlu penggarapan serius dan konsisten dari para pendidik untuk terus meningkatkan minat baca dan mengasah keterampilan menulis.
Pada dasarnya, seorang pendidik tidak sekedar menyampaikan materi yang berkenaan dengan mata pelajaran, tapi idealnya terus meningkatkan produktivitas diri dalam upaya memberi keteladanan bagi para peserta didik.
Sebab, bukankah profesi guru tidak dapat dilepaskan dari lingkaran buku, aktivitas membaca dan bergulat dengan tinta, yang secara keseluruhannya diharapkan dapat mencerdaskan, membentuk etika, dan kebiasaan yang baik serta menjunjung martabat profesi guru itu sendiri.
* Ika Nurlianawati, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Sumber: Bintang Pelajar, Lampung Post, Selasa, 15 Juli 2008
No comments:
Post a Comment