Bandar Lampung, Kompas - Para peserta Parade Monolog Komite Teater Dewan Kesenian Lampung dinilai belum bisa menampilkan pertunjukan monolog yang menarik. Mereka dianggap tidak mampu menampilkan perubahan karakter, tempo, irama, bentuk, dan dinamika yang pas sehingga parade terkesan monoton.
Itu terungkap dari penampilan pertama hingga penampilan peserta ke-11. Rata-rata setiap pemain cenderung asyik dengan naskah dan alur cerita sehingga lupa menyampaikan pesan cerita. Penampil sibuk mengingat-ingat naskah sehingga terlihat hanya berakting tanpa mampu menumbuhkan emosi penonton atas cerita yang ditampilkan.
Iswadi Pratama, salah satu juri Parade Monolog yang digagas Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, Sabtu (12/7), saat jeda acara Parade Monolog di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, mengatakan, kesan itu terungkap saat peserta menampilkan kebolehan masing-masing. Para peserta sama sekali tidak menunjukkan kesiapan dalam menampilkan penokohan, alur cerita, penghayatan lakon, hingga penyampaian pesan.
Yang memprihatinkan, lanjut Iswadi, panitia sebetulnya sudah memberikan waktu persiapan cukup kepada setiap peserta, sekitar 2,5 bulan. Dengan asumsi latihan sebanyak tiga kali seminggu, dalam waktu 2,5 bulan setiap peserta sebetulnya sudah memiliki kesempatan 30 kali latihan.
Pada latihan pertama hingga keenam, peserta memiliki waktu untuk memahami naskah. Pada latihan keenam dan selanjutnya, peserta sudah bisa menentukan musik ataupun kostum yang dibutuhkan bagi penampilan monolog tersebut. ”Selanjutnya, peserta bisa mematangkan kemampuan dengan pemahaman terhadap naskah,” ujar Iswadi.
Hanya saja, para peserta yang tampil pada parade monolog tersebut justru menampilkan penampilan apa adanya. Penampilan mereka menimbulkan kesan tidak pernah menggunakan kesempatan untuk berlatih. ”Penampilan mereka menunjukkan, mereka tidak memiliki tradisi latihan yang baik dan kurang mencermati naskah,” ujar Iswadi.
Pada parade monolog yang merupakan agenda tahunan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung tersebut, panitia menyiapkan tujuh naskah monolog yang sudah dielaborasi secara matang. Ketujuh karya tersebut adalah Koruptor karya Seno Gumira Ajidarma, Merdeka karya Putu Wijaya, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi, Pagi yang Brengsek karya Simon Carmiggelt, Bara di Hamparan Salju karya Osman Saadi, Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu karya WS Rendra, dan Sang Pengeluh karya Yusrizal KW.
Sebagai parade tahunan yang mewadahi kreativitas seniman muda Lampung, penampilan peserta pada tahun depan akan dimaksimalkan lewat latihan ketat dan pemahaman naskah. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Juli 2008
No comments:
Post a Comment