BANDARLAMPUNG, KAMIS - Kamis (19/6) siang, dengan riang anak-anak beradu cepat dalam acara Lomba Egrang Batok --jenis permainan anak yang terbuat dari tempurung kelapa dan bertali pada "sumbu"-nya.
Ayunan tradisional Lampung (Kompas/Agn)
Dengan ibu jari dan telunjuk kedua kaki bertumpu pada ujung tali yang menyembul dari sumbu tempurung, terumpah atau sepatu tempurung bertali itu beradu dengan aspal jalan yang terhampar di pelataran panggung Gelar Budaya Lampung (GBL) 2008 GOR Saburai Bandarlampung yang berlnagsung sejak Rabu, sehari sebelumnya.
Memasuki hari kedua GBL, yang diselenggararakan oleh Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Lampung, Kamis siang di tempat itu digelar aneka lomba permainan tradisional. Selain lomba permainan egrang batok, juga egrang bambu, bedil locok, bakiak, ula, kuda deri, kucing buta dan gasing.
Semua permainan di atas termasuk jenis permainan yang diakrabi anak-anak di Lampung dan berbagai darerah lain di Indonesia dengan nama serupa atau berbeda.
Bagi masyarakat Lampung, permainan egrang, terutama egrang bambu, diyakini berasal dari Kotaagung, kota kecil yang terletak di Kabupaten Tanggamus (d.h. Lampung Selatan), Provinsi Lampung. Egrang disebut juga terumpah pancung yang terbuat dari bambu bulat panjang yang bagian tengahnya bersiku dan dimainkan oleh anak-anak terutama laki-laki berusia 10-15 tahun.
Dalam lomba egrang bambu ini, kedua kaki --tepatnya sela-sela antara ibu jari dan telunjuk kaki-- peserta harus menginjak atau bertumpu pada siki-siki (sudut siku) egrang sementara kedua tangannya memegang bagian atas bambu untuk memacu dengan cara menaikturunkannya sambil berjalan.
Permainan lain ialah bedil locok, yang sebenarnya sama dengan permainan senapan locok yang digunakan sebagai alat perang-perangan anak-anak berusia 8-13 tahun. Bedil locok sama terbuat dari bambu atau ranting bambu berdiameter 0,6 cm dan panjang sekitar 20-25 cm berserta alat locoknya. Pelurunya terbuat dari buah semi (dari sejenis tumbuhan belukar yang buahnya bertandan dan bulat). Karena buah ini kini sulit didapat, umumnya anak-anak menggantikannya dengan kertas yang direndam air terlebih dulu.
Kemudian permainan ula adalah sejenis permainan bekel namun tidak menggunakan bola. Fungsi bola diganti dengan batu atau biji pohon karet. Perolehan angka didapat jika pemain berhasil mengambil batu secara berurutan hingga mencapai enam butir. Jika gagal maka pemain lawan akan mengambil laih permainan.
Permainan kucing buta adalah permainan yang melibatkan anak-anak berusia 7-12 tahun dalam suatu lingkaran. Di beberapa daerah permainan ini disebut kucing-kucingan. Dalam permainan ini anak-anak melakukan pengundian untuk menentukan satu di antara mereka yang harus menjadi kucing buta dengan cara ditutup matanya dan "menangkap" anak-anak lain yang berseliweran menggoda di dalam lingkaran. Si "kucing buta" harus mampu menebak teman yang berhasil ditangkapnya kalau ia tidak ingin memerankan tokoh itu terus-menerus.
Ada pun permainan kuda deri adalah permainan kuda-kudaan dengan cara berpasang-pasangan. Anak-anak menyiapkan bola tiruan yang terbuat dari kain sarung atau pakaian peserta yang digulung menyerupai bola. Mereka membagi anak-anak ke dalam dua kelompok. Tiap kelompok yang terdiri dari empat orang memiliki satu kapten. Bagi mereka yang kalah tau mendapat giliran berjaga menjadi kuda tunggangan dan yang menang menjadi penunggang. Mereka saling berhadapan dalam jarak empat meter. Bola yang dibuat dilempar oleh sesama penungang kuda. Jika bola terjatuh maka pergantian kasting pun terjadi.
Menurut Ando, pemuda Lampung yang bertugas menyelenggarakan lomba beragam permainan anak ini, di beberapa wilayah pedalaman Lampung permainan tradisional ini masih acap dimainkan.
"Terutama saat terang bulan atau sore hari, anak-anak masih suka memainkannya. Tapi untuk daerah perkotaan permainan ini sudah ditinggalkan dan diganti dengan games modern,' tuturnya.
Penanggungjawab Acara, Dra Ita Novita, menjelaskan bahwa digelarnya permainan anak-anak tradisional pada ajang GBL kali ini ditujukan untuk menggali kembali permainan tradisional yang memiliki dampak positif. "Semua anak bisa terlibat dalam permainan hingga mereka bisa belajar bekerja sama antarteman. Tidak seperti permainan modern yang cenderung mengajarkan anak-anak kebih bersifat individualistik," ungkap Ita. (JODI YUDONO)
Sumber: Kompas Intertainment, Kamis, 19 Juni 2008
No comments:
Post a Comment