July 6, 2008

Apresiasi: Membaca Goresan Kreatif dan Akademis

JARANG pameran seni rupa di bumi Ruwa Jurai menghadirkan goresan tangan seniman-seniman yang lahir dari bangku akademis. Hampir sepekan ini, dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang memboyong 38 karya lukisnya ke Lampung untuk dipajang di Taman Budaya Lampung.

Pameran lukisan yang diadakan lima hari, mulai Selasa lalu, menampilkan karya 24 seniman keluarga besar Jurusan Seni Murni STSI Padang Panjang, Sumbar. Sebagian besar berupa lukisan. Lainnya karya digital printing dan grafis.

Ada juga karya lukis kreatif yang dihasilkan seniman dari proses bakat dan autodidaknya, yaitu dari Jambi dan tuan rumah Lampung. Sembilan karya dari lima seniman yang tergabung Himpunan Seni Rupawan Jambi (HSRJ). Sebelumnya tim tersebut berpameran di kota sendiri dan mampir ke Jambi sehingga pameran ini bertajuk Pameran Seni Rupa Tiga Kota.

Lampung menampilkan karya enam perupa dari Bandar Lampung dan Metro, yakni David, Icon, Damsi, dan Yulius Bernardi dari Bandar Lampung. Dari Metro, Joni Putra dan Muchsin.

Seni rupa yang ditampilkan bernaung pada berbagai tema karena tidak ada tema khusus yang mengusung pameran ini. Sebagian besar lukisan para seniman muda ini beraliran kontemporer. Sekilas tidak tampak perbedaan karya kreatif dari para seniman autodidak dan karya seniman dari kalangan akademis.

"Proses yang lebih membedakan karya-karya tersebut. Seniman akademis berpedoman pada aturan baku dalam berkarya, komposisi warna, bias, bidang, irama, balances, aksentuasi, perspektif, pencahayaan, tekstur dan sebagainya. Karya kreatif lebih pada kreativitas seniman itu sendiri," papar Indra Irawan, pengajar STSI Padang Panjang, Rabu (6-7).

Contoh karya akademis dari pameran ini, di antaranya Al Kautsar karya Fauzan dan karya Edmon Fazar tanpa judul.

Subarjo, perupa Lampung, menilai pameran ini bisa menjadi alternatif wacana karya rupa antara kalangan akademis dan seniman yang berproses autodidak. Ia sepakat perbedaan keduanya lebih pada proses.

Namun, hal yang penting dalam seni rupa adalah jam terbang dan produktivitas berkarya. "Makin banyak seniman menampilkan karya makin kaya wawasannya tentang karya terbaik dan makin produktif, maka akan menghasilkan karya terbaik," ujar dia.

Karya seniman tiga daerah ini tidak ada perbedaan mencolok, yang bisa diambil kesimpulan kekhasan yang dimiliki atas dasar asal daerah. Indra Irawan kembali mengatakan kekhasan itu lebih dimiliki masing-masing seniman. Perbedaannya justru bersumber dari imajinasi yang menaungi karya seni rupa tersebut. Kehidupan masyarakat lokal sangat memengaruhi tema dan nilai yang hendak disampaikan lewat simbol-simbol dalam seni rupa.

Pada lukisan Hanafi berjudul Pagaruyung terinspirasi pada kisah hilangnya bagian sejarah daerah setempat. Indra yang juga kurator pameran ini menjelaskan Pagaruyung adalah nama sebuah kabupaten.

Dahulunya menjadi tempat berdiri Kerajaan Minangkabau dengan penanda rumah adat Minangkabau sebagai wujud kekokohan kerajaan itu. Namun, rumah adat itu terbakar. Peristiwa terbakarnya rumah adat menjadi inspirasi bagi Hanafi.

Dilukiskan berupa puing-puing kayu dengan sematan selempang kain tiga warna, merah, kuning dan hitam. Tiga warna itu adalah simbol bahwa kerajaan ini memangku beberapa wilayah adat.

Itu menyampaikan kejayaan Minang di masa lalu telah pupus ditelan zaman, terlebih dengan terbakarnya penanda kejayaan tersebut. Sedangkan mouse komputer di hadapan seorang bocah, hendak menyampaikan terputusnya hubungan generasi kini yang hidup di alam informasi modern dengan masa lalunya. Meskipun demikian, ia tetap mengatakan karya seni rupa Padang memiliki kekhasan pada kekuatan bentuk.

Lukisan Rajudin berjudul Penindasan menyampaikan tidak ada keadilan hukum di negeri ini. Rajupi meletakkan simbol-simbol hukum pada lukisannya yaitu timbangan sebagai simbol keadilan dan palu hakim sebagai pemutus kebijakan. Sisi lain ada tiga tumpukan batu. Paling atas adalah batu terbesar, makin ke bawah batu makin kecil dan digambarkan makin terimpit hingga terurai menjadi kerikil. Itu untuk mendeskripsikan makin tidak kentara status seseorang makin tidak ternilai hak-haknya meraih keadilan.

Wahana Berapresiasi

Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang, yang berdiri tahun 1964 ini sudah menggelar beberapa kali pameran, untuk di luar Provinsi Sumatera Barat sudah empat kali.

Dari pameran ini di balik keinginan STSI Padang Panjang untuk menguatkan akar keberadaan sebagai satu-satunya sekolah seni di Sumatera, juga ada harapan lain. Tentunya tim ini membawa visi untuk mengenalkan institusinya, yang bisa menjadi alternatif para geenerasi berbakat khususnya di Sumatera untuk menimba ilmu tentang seni.

Ini bukan sekadar silaturahim antarseniman berbeda daerah, melainkan menjadi wahana untuk menengok kekhasan karya seniman lain. Artinya seniman tidak melulu terkungkung dengan dunia sekelilingnya saja. Tetapi, seorang seniman bisa saling belajar.

Para seniman yang terlibat dalam pameran ini juga memiliki maksud lewat karya-karya yang dipamerkan agar apresiasi masyarakat terhadap seni makin baik. "Apabila kegiatan ini intens dilakukan, harapannya dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat sehingga wawasan seni mereka meningkat," ujar Indra, yang juga menampilkan karya fotografi Simplisity.

Apresiasi masyarakat secara umum pada pameran-pameran yang digelar di Sumatera kurang lebih setaraf. Indra dari beberapa pengalamannya, menyatakan apresiasi masyarakat di Sumatera masih minim dibanding dengan Jawa.

Hal itu disebabkan pengetahuan masyarakat terhadap seni lukis lebih tinggi. Penghargaan masyarakat terhadap seni pun sangat baik, ditunjang dengan daya beli yang lebih baik. Inilah yang juga menjadi sinergis semangat para seniman setempat untuk intens dan produktif dalam berkarya. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Juli 2008

No comments:

Post a Comment