July 6, 2008

Wacana: Tiga Budaya dalam Masalah Berbeda

KEGELISAHAN tentang masa depan budaya Lampung--kalau tidak ingin dikatakan "gugatan"--kembali muncul, di tengah dua peristiwa besar kebudayaan di Tanah Air: Pesta Kesenian Bali (PKB) dan Festival Kesenian Yogyakarta.

Di GSG IAIN Lampung, Minggu, 29 Juni lalu, Pangeran Edward Syah Pernong--pemegang kekuasaan adat di Paksi Pak Sekala Beghak Kepaksian Pernong--dan Rifdi Arief--gelar Pengeran Bangsawan dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL)--mengajak tokoh-tokoh adat Lampung memperjuangkan eksistensi budaya Lampung.

Dua tokoh ini sadar, budaya Lampung sampai kini belum berperan optimal di provinsi ini. Pada tataran minimal, tokoh-tokoh adat sebagai pemilik kebudayaan dan masyarakat yang hidup dalam satuan-satuan adat Lampung harus bergerak.

Jika si pemilik kebudayaan tidak kukuh memperjuangkan diri, lantas siapa yang mau serius menumbuhkembangkan budaya Lampung di provinsi ini, yang notabene wadah kebudayaan Lampung itu sendiri? Kira-kira seperti itu semangat yang menyeruak pada seminar bertema Marginalisasi Masyarakat Adat Lampung di Tengah Arus Globalisasi yang digelar Lembaga Peduli Budaya Lampung (LPBL) hari Minggu itu.

Selain dua tokoh adat itu, ikut berbicara pada seminar tersebut akademisi Unila yang juga budayawan Lampung Anshori Djausal, antropolog Dr. Sudirman A.M., dan sastrawan Isbedy Stiawan Z.S.

Adalah Sutan Oelangan, seorang peserta seminar, yang pesimistis seminar atau acara-acara sejenis mampu mengangkat budaya Lampung sebagai pembentuk karakter di provinsi ini. Seringkali seminar budaya Lampung, ujar Sutan Oelangan, berakhir di forum seminar. Selesai seminar, tutup pula pembicaraan tentang budaya Lampung. Setelah itu, orang kembali sibuk dengan urusan sehari-hari. Lalu, semangat menghidupkan budaya Lampung yang menggebu-gebu disuarakan di forum terbang entah ke mana.

Pesimistis ini ditanggapi Pangeran Edward Syah Pernong dengan optimistis dan ajakan pada seluruh tokoh adat di Lampung. Bagi Edward, forum-forum seperti seminar LPBL harus dilihat sebagai momentum pemantik kesadaran. Kesadaran ini yang selanjutnya menggerakkan tokoh-tokoh adat Lampung memunculkan budaya Lampung hingga menjadi kekuatan yang melegitimasi daerah ini.

***

Di Denpasar, Bali, 2 Juli lalu, berlangsung sarasehan budaya yang menghadirkan pembicara antropolog UGM, Prof. Dr. Irwan Abdullah dan sejarawan dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, I Nyoman Wijaya.

Forumnya sama-sama membicarakan budaya, yang satu Lampung, satunya lagi Bali.

Hanya saja, permasalahan yang muncul berbeda. Jika wacana diskusi LPBL masih berkutat pada isu lama, seputar keberadaan budaya dan masyarakat adat Lampung yang sulit berkembang, permasalahan sarasehan budaya PKB membicarakan perkembangan masyarakat-budaya Bali di tengah kosmopolitanisme budaya.

Pulau Dewata sebagai bagian dari komunitas internasional, ujar Irwan Abdullah, melahirkan paradoks Bali. Bali yang dihuni puluhan puri--sebagai lembaga adat yang kukuh menjalankan tradisi kerajaan masa lalu--kini mengalami proses adopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan).

"Proses adopsi tersebut pada sisi lain membuat kebudayaan Bali mengalami proses orientasi yang terfokus pada lokalitas, khususnya di desa adat," kata Irwan Abdullah.

Sebagai konsekuensi dibukanya Bali sebagai daerah wisata internasional, Irwan melihat penetrasi nilai dan kepentingan internasional sangat kuat di negeri itu, baik yang bersifat investasi ekonomi maupun politik. Kecenderungan dan perkembangan tersebut harus mampu dikendalikan dengan kekuatan budaya yang lebih otoritatif untuk mampu membangun kemandirian. Ini sebagai upaya membentuk masyarakat Bali yang bermartabat dan berdaulat.

Paradoks Bali bisa tercermin dari masyarakat baru yang meninggalkan Bali yang asli. Masyarakat seperti ini memiliki sistem nilai jangka panjang yang terintegrasi dalam sistem dunia, dengan seluruh orientasi ruang dan simbul mancanegara. Kepatuhan tradisional sulit dibangun sehingga legitimasi tokoh adat dan tradisi akan mengalami gugatan.

Dalam pandangan Irwan, masyarakat baru akan tumbuh dengan pola penataan baru yang terlepas dari pengelompokan primodial menuju suatu pengelompokan berbasis gaya hidup yang menjauhkan interaksi sosial dari titik orientasi adat. "Ketika pergeseran semacam itu terjadi, maka upacara menjadi pengalaman jauh dan pura menjadi sejarah masa lalu yang dihadirkan sebagai bagian dari nostalgia," ujar Irwan seperti diberitakan Antara.

***

Sebagai budaya lokal yang hidup dalam wilayah geografis tertentu, Lampung juga memiliki kesamaan konteks dengan Bali atau Yogyakarta. Artinya, baik Lampung, Bali atau Yogyakarta bisa diartikan sebagai wilayah geografis yang menjadi tempat asal budaya dan masyarakat adat tertentu. Hanya pertanyaannya, mengapa budaya Bali atau budaya Jawa bisa "menjadi kekuatan utama" di daerah sendiri sedangkan Lampung tidak sekuat dua budaya itu? Lagi-lagi, ini masalahnya.

Paparan di atas dengan kontras memperlihatkan perbedaan masalah di Lampung dan Bali. Di Lampung, seperti diakui para pembicara seminar LPBL, masih berkutat pada pencarian identitas dan peran masyarakat adat yang de facto sampai sekarang sulit menempatkan diri. Sedangkan di Bali, pembicaraannya tentang arah perkembangan budaya setempat di tengah kosmopolitanisme budaya.

Tentu tidak tepat jika dikatakan Lampung tidak memiliki event budaya. Bisa disebutkan di sini sejumlah gelaran besar yang membawa seni budaya Lampung, seperti Festival Krakatau, Festival Way Kambas, Festival Teluk Stabas, dan acara seperti Pesta Begawi yang diselenggarakan Pemkot Bandar Lampung baru-baru ini.

Dari sisi peraturan, Lampung juga memiliki perangkat yang kuat, seperti tertuang dalam Perda No. 2/2008. Begitu juga dengan kepedulian pemerintah daerah, misalnya terlihat dari pembangunan Menara Siger, Tugu Saibatin, penamaan kantor dengan bahasa Lampung, dan berbagai program daerah yang menguatkan keberadaan adat budaya Lampung.

Dari sini, bisa dikatakan Lampung juga memiliki dukungan riil dari Pemprov, bukan sebatas wacana pengembangan adat. Hanya saja, mengapa perkembangan budaya Lampung tidak sekuat Bali dan Jawa di Yogyakarta, misalnya?

Pesta Kesenian Bali, misalnya, tradisi tahunan yang dikonsep budayawan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra 30 tahun silam, kini menjadi salah satu ikon kebudayaan Bali. Yang perlu dicermati bukan Bali sebagai kawasan wisata dunia dan mendapat dukungan kuat pemerintah pusat, misalnya dari kehadiran Presiden SBY pada pembukaan PKB 16 Juni lalu.

Dalam konteks pengembangan budaya dan adat setempat, PKB menjadi peristiwa masif yang sepenuhnya terkonsentrasi pada seni budaya lokal. Acara ini khusus diadakan untuk menampilkan khazanah budaya Bali.

Tahun ini, misalnya, tema PKB yang berlangsung 14 Juni-12 Juli: Citta Wretti Nirodha, yakni pengendalian diri menuju keseimbangan dan keharmonisan menekankan penataan dan kemasan unik dan menarik. Para tokoh adat, budayawan, akademisi, dan seniman terlibat langsung dalam acara ini. Alhasil, PKB pun menjadi "pesta" budaya dalam arti sesungguhnya.

Ini berbeda dengan gelaran yang ada di Lampung. Festival Krakatau, misalnya, tidak khusus dikemas sebagai event seni budaya. Dari namanya saja, peristiwa ini tidak total menebarkan aura Lampung sebagai budaya yang berasal dari daerah ini. Gelaran tersebut seperti terus mencari formula untuk menempatkan Lampung di tengah konstelasi nasional dan kekuatan-kekuatan lain di provinsi ini semisal keindahan alam. Budaya bukan menjadi inti perhelatan tersebut--begitu juga perhelatan lain semacam Festival Way Kambas dan Teluk Stabas.

Penempatan budaya sebagai inti perhelatan juga muncul di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Tahun ini, misalnya, FKY mengusung tema The Past is New: Masa Lalu Selalu Baru. Tema ini dijabarkan dalam bentuk seni pertunjukan dan seni kolaboratif atau seni yang menggabungkan beberapa media untuk menghasilkan media baru.

Pemilihan tema ini dilandasi kegamangan yang terjadi ketika masa lalu dibicarakan. Kemasalaluan selalu dihubungkan dengan segala sesuatu yang berbau kuno sehingga tidak mampu bersinergi dengan masa kini. Masa lalu adalah sesuatu yang telah mati padahal tidak demikian. n MAT/ANT/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Juli 2008

No comments:

Post a Comment