Catatan dari Parade Monolog 2 Dewan Kesenian Lampung
-- Ari Pahala Huatabarat*
1. "Seni mensyaratkan aturan, disiplin, presisi, dan pengakhiran yang sempurna." (Constantin Stanislavski)
PERHELATAN Parade Monolog yang ditaja Dewan Kesenian Lampung, 12-13 Juli 2008 lalu menyisakan pertanyaan mendesak: Mengapa banyak aktor di provinsi ini begitu malas berpikir?
Mungkin ini sebentuk pertanyaan yang gegabah atau terlalu terburu-buru. Tapi, bila kita melihat sebelas pertunjukan di acara itu, mau tak mau mesti akan muncul pertanyaa itu. Mengapa?
Mayoritas pemeran dalam acara itu secara nyata terlihat bertindak serampangan ketika berperan. Pertunjukan teater yang semestinya puncak dari sekian banyak cabang karya seni menjadi begitu miskin dan terkesan tanpa perhitungan sama sekali.
Banyak aktor terlihat tak membaca teks atau naskah yang menjadi lakonnya dengan saksama. Fase memahami saja belum sampai--apatah lagi untuk sampai pada tahap melampaui. Melampaui dalam artian memberi semacam tafsir baru, yang tentunya lebih segar, kontekstual, dan memperdalam makna intrinsik teks.
Yang terjadi malah sebaliknya--bukannya melampaui--banyak aktor justru melakukan kesalahan menafsir naskah yang lumayan parah. Nah, kalau pembacaan dan penafsiran teks saja, yang merupakan langkah pertama dari proses penggarapan pertunjukan teater telah miskin, bisa dipastikan akan terjadi pula pemiskinan (kalau enggan menyebutnya kekeliruan) penokohan atau karakterisasi. Kalau karakter tokoh telah miskin atau keliru maka bisa dipastikan sekian banyak atribut lahiriah ataupun batiniah tokoh, seperti kemampuan wicara atau vokal dengan segala seluk beluknya serta tempo-ritme psikis dan fisik tokoh juga akan keliru.
Aktor Teater Kurusetra UKMBS Unila, Andika Ikranegara, yang tampil pada pertunjukan pertama membawakan lakon Koruptor, adaptasi dari karya Seno Gumira Adjidarma, melakukan kesalahan tafsir yang sangat parah. Sosok koruptor dengan bilangan korupsi mencapai angka miliaran rupiah plus gaya hidup yang mewah ditampilkan Andika lewat sosok pria kurus, lusuh berkain sarung, peci, dan lumpuh di atas kursi roda tanpa jelas juntrungan penyebab kelumpuhanya. Secara semena-mena Andika memerkosa rasionalitas yang ada pada naskah dan hidup sehari-hari.
Tipikal tokoh yang mampu korupsi ratusan miliaran sama sekali lenyap dari panggung. Di atas panggung yang hadir justru seperti kakek-kakek di kampung Sumatera, yang mulai pikun dan mendekati ajal karena sedikit-sedikit ia kesal dengan kepala yang agak dicondongkan ke samping atas--stereotip khas orang tua yang mulai menjadi anak-anak kembali.
Demikian pula penampilan Ahmad Pinang, aktor dari KSS FKIP Unila, yang juga membawakan lakon Koruptor. Di atas panggung, Pinang yang semula mengenakan celana panjang, tanpa motivasi yang jelas, berganti dengan kain sarung dan baju koko.
Yang jadi soal, bukanlah mungkin tidaknya koruptor menggunakan sarung dan baju koko. Yang jadi soal, kalau sarung dan baju koko itu sedemikian lusuh, sehingga ketimbang menampilkan sosok koruptor yang kaya raya, Pinang lebih mirip guru ngaji kelas langgar di kampung-kampung dan sedang kurang duit. Sebentuk penataan kostum yang serampangan. Dan ini adalah buah pembacaan teks yang tak tuntas. Efeknya, karakterisasi tokoh menjadi lemah. Pinang membuat persoalan utama yang ironik dari teks tersebut menjadi menjauh. Sindiran dan kritikan yang tajam menjadi lamur oleh bentakan dan makian tokoh terhadap anak-anaknya--dan dialog tersebut sama sekali tak terdapat di teks. Apakah ini sebentuk eksplorasi teks? Bukan. Ini pendangkalan.
Hanya aktor dari Komunitas Wong Apik, Sugeng Purwanto, yang terlihat prima memainkan lakon Koruptor. Sugeng bisa dikatakan satu-satunya aktor yang paling siap alat-alat ekspresinya; vokalnya lantang dengan artikulasi dan intonasi yang pas, gesturnya terkendali dengan sikap yang percaya diri, tak grasa-grusu, semua gerak seperti tertata perencanaannya, irama pertunjukan terjaga, cuma imajinasi ruang saja yang agak tak begitu dipikirkan dengan sabar, sehingga "ruang" yang dibangun Sugeng terlihat beberapa kebocoran distribusi pergerakan blocking yang tak logis.
Faktor utama yang membuat Sugeng akhirnya harus menempati urutan kedua setelah aktor Laras Utami dari Teater Satu, yang memainkan lakon Bara di Hamparan Salju, adalah kurangnya kompleksitas karakter tokoh Koruptor ketimbang karakter tokoh yang dimainkan Laras. Kata lainnya, naskah yang dibawakan Laras Utami lebih unggul kompleksitas masalahnya dibandingkan lakon Koruptor. Imbasnya, kemampuan Sugeng untuk lebih jauh mengksplorasi kemampuan aktingnya menjadi terbatas ketimbang kemungkinan eksplorasi akting Laras. Ya, mungkin ini adalah buah dari ketakjelian memilih naskah.
Begitulah, kalau karakter atau tokoh telah pula melenceng dari "kehendak" teks maka sekian banyak "kehendak atau gagasan pemanggungan" seperti suasana, blocking, distribusi, dan arah gerak aktor juga menjadi minim arti. Nah, beginilah yang banyak terjadi.
Kesimpulannya, banyak "aktor" di provinsi ini sesungguhnya belum paham betul dengan hakikat dan teknik pemeranan. Atau jangan-jangan ada alasan lain yang lebih lembut, bijaksana, dan lebih rasional menyikapi fenomena ini? Persoalan waktu yang terbatas untuk berlatih misalnya? Atau tak ada pelatih? Atau tak ada naskah? Atau memang keterbatasan kemauan?
Soal waktu, parade monolog tahun ini mempunyai durasi persiapan lebih lama ketimbang Parade Monolog I tahun lalu. Jika pada Parade Monolog I durasi latihan dari mula sampai lomba hanya dua minggu, parade tahun ini dua bulan setengah.
Dengan durasi yang lumayan cukup itu ternyata kualitas pertunjukan yang berlangsung di tahun ini juga jauh menurun dibandingkan tahun kemarin. Kalau tahun kemarin para juri agak kesulitan menentukan pemenang karena banyak aktor berperan bagus, tahun ini juri sulit menentukan pemenang karena banyak pertunjukan yang belum layak nilai. Sampai akhirnya juri bersepakat, dengan tolok ukur kualitas juara tahun 2007, untuk tahun ini tak seorang aktor pun layak menyandang predikat pemenang pertama.
Laras Utami menjadi pemenang ke-2, Sugeng Purwanto pemenang ke-3, Roby Akbar pemenang harapan ke-1 (lakon Pagi yang Brengsek), Aris Hadianto pemenang harapan ke-2 (lakon Merdeka), dan Basya Dewi pemenang harapan ke-3 (lakon Sang Pengeluh). Lantas, di manakah persoalan teater di lampung ini sebenarnya?
2. Salah satu soal utama dunia perteateran atau keaktoran di Lampung adalah kurangnya kesadaran para seniman mendudukan karya seni pada fondasi rasionalitas keilmuan. Dunia seni pada umumnya atau teater pada khususnya dianggap semata-mata kerja intuitif dan emosi. Kerja seni masih melulu berangkat dari perasaan, sentimental. Kerja seni masih buah dari lamunan kosong plus sedikit kenekatan bersegera "unjuk panggung" demi memuaskan naluri narsistik dan ekshibisionisme. Kerja seni secara mayor masih berlangsung di level subkesadaran, kurang diimbangi "kesadaran" apatah lagi "suprasadar" atau spiritualitas.
Akibatnya, karya seni tak dibangun di atas ilmu. Tak ada metodologi pemeranan yang jelas, terukur, dan teruji dalam praktek penciptaan. Secara gampang seseorang menjadi sutradara tanpa mengetahui apalagi mengikuti secara tepat langkah-langkah dan pendekatan penyutradaraan. Adegan tak tersusun menjadi "peristiwa". Irama laku dan irama watak terberai untuk tak menuju suatu kristalisasi karakter. Lalu, secara serampangan seseorang berperan secagai aktor di panggung dengan hanya mengandalkan naluri tanpa perencanaan pemeranan. Aktor bergerak di panggung tanpa motivasi, blocking tak ditata menurut kehendak psikologis dan visual naskah, tata cahaya yang apa adanya, karakterisasi tokoh yang stereotip seperti orang kebanyakan, suara yang tak lantang serta jernih artikulasi, intonasi, dan rasa bahasanya, dan lain sebagainya.
Buku-buku mengenai langkah pemeranan tak pula kurang dewasa ini. Setiap aktor bisa dengan mudah membaca (dengan benar) langkah menjadi aktor dari Stanislavski, Brecht, Grotowski, atau Rendra dan Suyatna Anirun.
Konsep-konsep penyutradaraan telah pula banyak yang bisa diakses; mulai dari konsep-nya Rendra, Nano Riantiarno, sampai Putu Wijaya. Sehingga menjadi lucu pula bila Aris Hadianto, aktor dari Komunitas Baik Hati Metro, yang membawakan lakon Merdeka karya Putu Wijaya tapi membawakan lakonnya dengan begitu "serius dan berat" seperti kebanyakan cara pemeranan Bengkel Teaternya Rendra. Begitulah.
Maka menjadi perlulah pembinaan berkelanjutan bagi para aktor dan sutradara teater di Lampung. Maka jadi tambah beratlah tugas Iswadi Pratama sebagai Pusaka Teater Lampung untuk mendidik, membimbing, mentransformasi sekian "kupu-kupu" teater di Lampung. Maka harus menjadi tambah sabarlah para pengurus Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) untuk terus mengadakan event-event kompetisi seni semacam Parade Monolog ini, seperti yang pernah dilakukan Taman Budaya Lampung dengan Liga Teater Pelajarnya--yang sekarang telah almarhum itu. Begitulah!
3. Kalau saja para aktor itu agak sedikit berendah hati saat berhadapan dengan teks, membacanya dengan perlahan, mencoba menyimak dengan sabar lalu merengkuh pesan-pesan implisit apa yang hendak disampaikan penulis teks itu, lalu menghapal dialog-dialognya, mengikuti dengan telaten petunjuk-petunjuk pemanggungan yang ada—mungkin penonton teater di Lampung akan mendapat banyak hidangan pertunjukan yang tidak saja lezat tapi mungkin mencerahkan saat melihat penampilan para aktor yang berlaga pada Parade Monolog yang diadakan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya, 12--13 Juli 2008 kemarin.
Kalau saja cukup dana di Komite Teater DKL dan Taman Budaya Lampung, sehingga mereka bisa mengadakan paling tidak dua sampai tiga kali/tahun lomba semacam ini, baik monolog ataupun grouping, di Lampung.
Kalau saja dewan-dewan kesenian yang ada di kabupaten-kabupaten, seperti Dewan Kesenian Lampung Utara (DKLU), Dewan Kesenian Lampung Selatan, dewan Kesenian Metro (DKM), Dewan Kesenian Tanggamus, Dewan Kesenian Lampung Timur menjadi lebih waras dalam melakukan sosialisasi dan pembinaan teater, hingga kelak akan ada aktor atau kelompok teater di Lampung Utara, Tanggamus, Metro, dan Lampung Selatan yang ikut dalam lomba atau Parade Monolog ini.
Kalau saja di Kabupaten Lampung Tengah, Way Kanan, Tulangbawang membentuk juga dewan-dewan kesenian untuk menyemarakkan dunia seni dan budaya di Lampung ini. Kalau saja para pelaku seni lebih menghargai kesenian dan tak larut dalam seremonial dan sikap narsistik yang tak juntrungan.
Kalau saja kesenian lebih dihargai di negeri ini...
* Ari Pahala Hutabarat, Anggota Dewan Juri Parade Monolog ke-2 Komite Teater DKL, 12-13 Juli 2008
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008
No comments:
Post a Comment