July 7, 2008

Hubungan Kekerabatan Bahasa Melayu dan Bahasa Lampung

-- Sudirman AM, M. Ramlan, Inyo Yos Fernandez, Harimurti Kridalaksana*

Abstract

This paper discusses the relationship between Malay and Lampung language, and attempts to answer the issue whether Lampung language is actually as old as Malay language. Malay language is considered more dominant them Lampung language, and the people are unclined to use Malay language. The result of reconstruction and comparative analyses of sound elements of lexicons indicate that Lampung language barrows and absorbs sound elements of Malay language. The status of relationship between Malay and Lampung language may be defined as languages of a family. People use Malay language to listeners outside his ethnic groups and use Lampung language on family and traditional ceremonies in the village.

Key words: relationship - reconstruction - use - language

Pendahuluan

Perspektif geografis bahasa Melayu (BM) dan bahasa Lampung (BL) mempunyai hubungan kekerabatan yang baik dan dekat. Secara historis penutur BM dan BL di Sumatra bagian selatan dalam sejarah perkembangannya hingga dewasa ini mempunyai corak tersendiri.

Corak perkembangan BM dan BL yang ada dewasa ini tidak terlepas dari sejarah perkembangannya pada masa silam karena di Lampung tidak pernah ada suatu kerajaan yang bersifat feodal dan teratur. Yang ada hanya merupakan persekutuan adat yang dikukuhkan pada abad kedelapan berupa keratuan, seperti Keratuan Dipuncak, Keratuan Pemanggilan, Keratuan Pugung, Keratuan Dibalau, dan Keratuan Darah Putih (cf. Hadikusuma, 1989: 157). Oleh karena di Lampung tidak pernah ada kerajaan yang feodal dan teratur, masyarakat Lampung tunduk kepada Sriwijaya abad ketujuh sampai ketiga belas, tunduk kepada Majapahit abad ketiga belas dan keempat belas, dan tunduk pada Banten abad kelima belas dan keenam belas. Selanjutnya, sejak abad keenam belas - kedua puluh sampai sekarang telah terjadi kolonisasi dan transmigrasi untuk kemajuan masyarakat Lampung dari berbagai aspek sosial, budaya, dan agraris. Akibat dari perkembangan itu, penutur BL lebih cenderung menggunakan BM sebagai penutur yang bilingualisme, disertai terjadinya pemukiman orang Lampung di Cikoneng Jawa Barat pada masa Kesultanan Banten (cf. Broesma, 1916: 17).

Rekonstruksi sejarah bahasa dan budaya ini sangat penting untuk mengetahui dan mengungkapkan keberadaan isolek satuan lingual yang digunakan oleh penuturnya masa kini, sebagai refleksi dari endapan proses perkembangan sosial budaya penuturnya pada masa lampau.

Ihwalnya penutur BL itu sendiri, kehidupannya yang berkelompok-kelompok berdasarkan buay atau marga ethnic group sampai pada akhir abad keduapuluh mengakibatkan masing-masing kelompok etnik itu menggunakan dialeknya sendiri-sendiri. Untuk kepentingan berkomunikasi antarkelompok buay atau marga lazimnya mereka menggunakan BM atau bahasa Indonesia sebagai suatu prestise. Persoalan ini telah dijelaskan oleh Walker bahwa di wilayah pemakaian BL banyak variasi dialek yang membingungkan karena karakter penutur dari salah satu dialek lebih suka menggunakan dialek campuran BM atau bahasa Indonesia di tempat lain. Persoalan ini dapat diketahui dari publikasi terakhir tentang itu yang menyebutkan seorang penutur dialek Abung seperti Peminggir, Pubian, dan Maringgai yang pada umumnya antarkelompok itu lebih cenderung berbicara dalam BM atau bahasa Indonesia (Walker, 1975: 11).

Yang dimaksud Walker dengan karakter penutur di atas, yaitu karakter masyarakat Lampung yang tercermin dalam lambang daerah Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai ”bumi yang dihuni dua keturunan”; maksudnya, wilayah Lampung dihuni oleh penduduk asli dan penduduk pendatang. Untuk menjaga solidaritas antarsesama dalam kehidupan bermasyarakat, baik penduduk asli maupun pendatang dalam berkomunikasi lebih cenderung menggunakan BM atau bahasa Indonesia dalam mengatasi kebuntuan atau kemandekan komunikasi di antara mereka, sedangkan penggunaan BL oleh penuturnya hanya dilakukan dalam kelompok etnik, rumah tangga, dan upacara adat yang masih homogen saja. Tentu saja, akibat penggunaan BL antarkelompok etnik masyarakat Lampung dalam ruang waktu dan tempat yang berbeda di Sumatra bagian selatan ini mengakibatkan sifat BL dalam masa terakhir ini sudah agak homogen. Oleh sebab itu, sifat BL yang agak homogen — terutama yang banyak ditemukan di wilayah pedusunan — telah dilakukan penelitian geografi dialek BL dalam perspektif geografis di Sumatra Bagian Selatan (selanjutnya disingkat Sumbagsel).[1]

Dalam penelitian tersebut dijelaskan, dengan banyaknya penduduk Lampung asal kolonisasi atau transmigrasi, orang Lampung dan perkampungannya sudah ada yang bercampur baur dengan kaum pendatang sehingga di pasar-pasar, desa-desa, dan kota-kota umumnya yang dipakai adalah BM atau bahasa Indonesia. Bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan lain-lain dipakai di lingkungan pasar-pasar desanya masing-masing, sedangkan BL banyak dipakai di perkampungan orang Lampung. Orang-orang Lampung banyak yang pandai berbahasa bahasa pendatang, sedangkan para pendatang banyak yang tidak pandai berbahasa Lampung, karena BL hanya digunakan sebagai bahasa keluarga atau rumah tangga, upacara adat, dan sesama orang Lampung dalam lingkungan pergaulan yang terbatas (cf. Hadikusuma,1988: 2).

Dalam kajian ini, BL dilihat dari perspektif geografis, yakni geografi dialek BL di Sumbagsel. Secara geografis bahasa-bahasa di Sumbagsel menunjukkan sifat yang heterogen. Sifat heterogen ini diperlihatkan oleh banyaknya anak suku bangsa sebagai penutur bahasa, dan sebagai akibat interaksi antar-penutur BL dengan penutur bahasa dan budaya lainnya di wilayah ini. Di bagian utara Sumbagsel banyak didominasi oleh penutur BM Palembang, seperti bahasa Semende dan Ogan; di bagian selatan banyak didominasi oleh penutur BM Jakarta; ditambah lagi di Lampung Barat dan sekitarnya banyak dipengaruhi oleh BM Minangkabau.[2] Selain itu, ada daerah kantong penutur bahasa Semende, dan wilayah transmigrasi yang terdiri dari penutur bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan lain-lain, sedangkan penutur asli BL itu sendiri tersebar secara merata di Sumbagsel yang diperkirakan hanya 30% dari populasi penduduk cenderung untuk menjadi kelompok minoritas di wilayah ini. Dengan demikian, penutur bahasa di Sumbagsel yang terdiri dari bermacam-macam kelompok etnik dengan latar belakang budayanya yang beragam, dan di wilayah ini mereka menggunakan bermacam-macam bahasa dengan aneka dialeknya (Cf. Sudrajat, 1987: 3).

Gambaran mengenai heterogenitas masalah kebahasaan di Sumbagsel, sebagai bagian dari wilayah Indonesia telah diteliti oleh Pusat Bahasa Jakarta pada tahun 1997 dalam penelitian berskala nasional, yakni Proyek Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, sedangkan penelitian BL ini dilihat dari perspektif geografis, kajiannya difokuskan pada penutur BL yang agak homogen di wilayah pedesaan yang lebih bersifat antropologis.

Sifat BL yang agak homogen tersebut tersebar secara merata di Sumbagsel, di bagian utara penuturnya telah banyak melakukan kontak dengan penutur bahasa dan budaya Melayu Palembang sejak masa Sriwijaya, dan di bagian selatan banyak melakukan kontak dengan penutur bahasa dan budaya Melayu Jakarta sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam kenyataannya, BL dominan digunakan dalam rumah tangga, kelompok etnik, dan kegiatan upacara tradisi adat yang banyak dilakukan di desa-desa. Penutur BL lebih suka menggunakan BM atau bahasa Indonesia terhadap mitra tutur di luar kelompok etniknya, baik terhadap mitra tutur yang berbeda dialek sesama penutur BL, maupun mitra tutur yang berbeda etniknya sehingga BL tidak banyak diketahui mengenai fungsi dan kedudukannya bagi pendatang yang baru memasuki dan mengenal wilayah ini.

Jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berkuasa di seantero Nusantara pada abad ketujuh, orang Lampung dari wilayah Skalaberak[3] telah mengadakan migrasi dan mendirikan Kerajaan Tulangbawang pada pada abad keempat. Mereka mempunyai persekutuan adat Lampung yang dikukuhkan pada abad kedelapan pada masa keratuan, yakni Keratuan Dipuncak, Pemanggilan, Pugung, Balau, dan Darah Putih. Sekalipun mereka berasal dari wilayah Skalaberak yang sama, kemudian hidup dalam persekutuan adat di wilayah geografis yang berbeda-beda, masing-masing kelompok etnik itu menggunakan dialeknya sendiri-sendiri. Untuk kepentingan komunikasi antarkelompok buay atau marga, lazimnya mereka menggunakan BM atau bahasa Indonesia sebagai suatu prestise, sekaligus untuk menjaga solidaritas penduduk asli dan pendatang yang bermukim di wilayah ini, yang sepadan dengan lambang daerah Lampung Sang Bhumi Ruwa Jurai hingga sekarang.

Ihwalnya gambaran mengenai variasi kebahasaan BL itu pada mulanya diperikan oleh van der Tuuk (1872) yang dalam penelitian awal hanya meliputi empat wilayah titik pengamatan (TP) Aboeng, Peminggir, Boemi Agoeng, dan Pubiyan di Sumbagsel tengah bagian selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan van Royen (1930)[4] dari segi hukum adat tampaknya secara dominan memengaruhi pandangan van der Tuuk. Kemajuan di bidang kajian hukum adat Lampung yang dilakukan van Royen memanfaatkan hasil kajian dialektologi yang dilakukan van der Tuuk, kemudian memengaruhi juga pandangan Hadikusuma sebagai budayawan dan ahli hukum adat Lampung.

Pandangan yang lebih dominan dipengaruhi oleh kajian budaya dan hukum adat Lampung tersebut telah dianut oleh sejumlah masyarakat hingga kini walaupun mengenai persebaran variasi BL hingga kini belum dikaji berdasarkan geografi dialek yang sistematis melalui pendekatan dialektologi. Pandangan ini penting karena pendapat yang dikemukakan oleh ketiga orang perintis bahasa dan budaya Lampung itu pada dasarnya dianut oleh sebagian besar masyarakat akademik hingga kini. Pandangan yang dianut ini sangat memengaruhi pengelompokan dialek-dialek BL yang dianut oleh masyarakat pada umumnya hingga saat ini.

Penelitian khusus di bidang linguistik deskriptif tentang BL telah mendapat perhatian para sarjana, baik sarjana Indonesia maupun Barat. Namun, penelitian yang lebih dominan mengenai deskripsi struktur BL itu sendiri tidak banyak memberikan informasi tambahan mengenai persebaran variasi BL.

Dalam kajian ini, perhatian terhadap persebaran variasi-variasi BL dikaji berdasarkan pendekatan yang lazim dilakukan dalam geografi dialek modern atau historis komparatif, terutama di wilayah perbatasan administratif pemerintahan Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatra Selatan.

Di sisi lain, ihwalnya penggunaan BM, di samping sebagai lingua franca sejak masa Sriwijaya di seantero Nusantara, juga sebagai bahasa prestise bagi masyarakat Sumbagsel dalam situasi pemakai dan pemakaiannya yang bersifat nonformal. Akibat pemakaian BM yang demikian, wilayah sebaran BM yang digunakan di wilayah dekat perbatasan Lampung, terutama mulai dari Kayu Agung, Gunung Batu, Martapura, Muaradua, Ranau, hingga Aji Kagungan Kota Bumi dan sekitarnya, penutur BL secara eksternal menggunakan BM terutama di daerah kantong bahasa Semende ‘Enclave Bahasa Semende‘.

Berdasarkan penuturan sebelumnya, bahasan dalam makalah ini terbatas pada pembicaraan mengenai hubungan kekerabatan BM dan BL, terutama untuk mendeskripsikan unsur bunyi serapan, dan unsur bunyi pinjaman sebagai secondary change BM terhadap BL. Hal ini dilakukan untuk membuktikan suatu anggapan bahwa BL apakah sebagai BM tua atau bukan. Oleh para ahli terdahulu yang menggunakan data van der Tuuk yang sangat terbatas, seperti yang dilakukan oleh Dyen (1965) yang diikuti oleh Nothofer (1975) yang menggunakan instrumen seratus kosa kata dasar Swadesh dalam perhitungan leksiko-statistik memperlihatkan hubungan kekerabatan BM dan BL itu sangat rendah, yakni 39,9 % (1965: 26). Menurut kelaziman kedua ahli tersebut, dalam perhitungan yang demikian status BL sudah sangat jauh dari BM, tidak seperti halnya kekerabatan BM dengan bahasa Seraway. Jika hubungan kedua isolek itu rendah, berarti penutur isolek tersebut terisolisasi dan menggunakan bahasa tua. Di sisi lain, di Lampung telah dijumpai prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan, prasasti Haur Kuning di Balik Bukit Lampung Barat, dan prasasti Ulu Belu di Wonosobo Tanggamus Lampung yang menggunakan BM Kuno (Profit Provinsi Republik Indonesia: Lampung, 1992: 293; cf. Kridalaksana, 1991: 166). Berdasarkan banyaknya fakta tertulis pada prasasti, dimungkinkan munculnya suatu prediksi yang menyatakan BL sebagai BM tua. Beranjak dari persoalan di atas, kajian ini dapat dilakukan setelah melihat evidensi satuan lingual yang ada di lapangan, banyak sekali fakta yang memperlihatkan kemiripan-kemiripan unsur bunyi antarleksikon BM dan BL. Persoalan itu perlu diverifikasi mengenai analogi unsur bunyi serapan, dan analogi unsur serapan pinjaman sebagai secondary change BM terhadap BL. Berpijak pada suatu anggapan dasar, sebagian besar penutur BL sebagai masyarakat yang mempunyai persekutuan adat, sedangkan penutur BM sebagai masyarakat yang biasa mempunyai pemerintahan yang feodalistis dan teratur merupakan ciri khas penutur yang bergengsi. Masing-masing aspirasi penutur BL dan BM itu berkembang menurut situasi pemakai dan pemakaiannya dalam dua wilayah geografis yang bersentuhan. Akibat persentuhan wilayah geografis dan berikut sosial budayanya, selanjutnya terjadi kontak bahasa dan budaya, terutama antarpenutur BM dan BL yang menggunakan kedua bahasa yang berkerabat. Yang perlu dipertanyakan apakah BL sebagai BM tua, dan apakah BL mempunyai corak tersendiri yang berbeda dengan BM.

Selanjutnya, dalam kajian ini perlu ditelusuri mengenai hubungan kekerabatan antar-BM dan BL terbatas pada 200 kosa kata dasar Swadesh, menggunakan teori perbandingan fonologi antarkedua bahasa, seperti dilakukan oleh Crowley. Crowley menyatakan bahwa:

"You should remember from your study of phonology, that when we are looking for possible conditioning factors for allophones, we need to consider the following (a) the nature of the sound or sounds which follow; (b) the nature of the sound or sounds which precede; (c) the nature of the syllable i.e. whether open or closed; (d) the position in the word i.e. initial, medial, or final. Let us consider these possible conditioning factors to see if these two sets of correspondences are in complementary or contrastive distribution" (Crowley, 1987:108).

Crowley menyatakan bahwa dalam studi fonologi kita perlu mencari kemungkinan kondisi faktor-faktor bunyi yang beralofon, dan kita perlu mempertimbangkan (kaidah) sebagai berikut: (a) sifat bunyi atau bunyi-bunyi yang mengikutinya; (b) sifat bunyi atau bunyi-bunyi yang mendahuluinya; (c) sifat silabe apakah terbuka atau tertutup; dan (d) posisi (unsur) bunyi dalam kata (leksikon) apakah di awal, di tengah, dan di akhir. Kita perlu mempertimbangkan kemungkinan kondisi faktor-faktor seperti ini untuk dicermati jika (dijumpai persoalan) dua perangkat (kata/leksikon) yang berkorespondensi itu distribusinya saling melengkapi atau kontrastif.

Analisis Perbandingan antar-BM dan BL

Dalam analisis perbandingan antar-BM[5] dan BL berikut ini, dideskripsikan BM terdiri dari bahasa Minangkabau, bahasa Semende, bahasa Ogan— dan BL yang menggunakan instrumen 200 kosa kata dasar Swadesh versi Pusat Bahasa Jakarta tahun 2000. Dari 200 kosa kata dasar Swadesh itu, yang disajikan dalam analisis ini hanya yang mempunyai kesamaannya saja, selain itu diabaikan dan tidak dihitung dalam perhitungan leksikostatistik.

1. Korespondensi Bahasa Minangkabau dengan BL

Korespondensi bahasa Minangkabau dengan BL ini sudah diidentifikasi dalam penelitian terbatas pada unsur bunyi yang berkorespondensi saja, mengenai unsur bunyi serapan dan unsur bunyi pinjaman analogi dari bahasa Minangkabau ke BL sekedar contoh, seperti berikut ini (grafis lihat sumber asli).

2. Korespondensi Bahasa Semende dengan BL

Korespondensi bahasa Semende dengan BL ini telah diidentifikasi dalam penelitian, terbatas pada unsur bunyi yang berkorespondensi saja, mengenai unsur bunyi serapan dan unsur bunyi pinjaman analogi dari bahasa Semende ke BL, sekedar contoh seperti berikut. (grafis lihat sumber asli)

3. Korespondensi Bahasa Ogan dengan BL

Korespondensi bahasa Ogan dengan BL ini sudah diidentifikasi dalam penelitian terbatas pada unsur bunyi yang berkorespondensi saja, mengenai unsur bunyi serapan dan unsur bunyi pinjaman analogi dari bahasa Ogan ke BL, untuk sekadar contoh sebagai berikut (grafis lihat sumber asli).

Berdasarkan data leksikon yang telah diperhatikan dan dicermati korespondensi kognatnya sebagai satuan unsur bunyi yang sama, dan yang mengalami perubahan teratur, kemudian diikuti dengan perhitungan kesamaan leksikon antara BM —yang meliputi bahasa daerah (BD) Minangkabau, Semende, dan Ogan— dengan BL sebanyak dua ratus kosa kata dasar, di samping memperlihatkan unsur bunyi serapan, dan unsur bunyi pinjaman, juga memperlihatkan kesamaan antarleksikon BM dan BL yang dapat dipersentasekan. Jumlah kesamaan antarleksikon BM dan BL dipersentasekan itu tanpa memperhitungkan kesamaan unsur fonologis dan morfologisnya. Selanjutnya, dapat ditentukan status hubungan kekerabatan antarkedua bahasa tersebut pada rentangan:

dialect of a language 81 - 100%,
languages of a family 36 - 81%,
families of a stock 12 - 36%,
stocks of a microphylum 04 - 12%,
microphyla of a mesophyulum 01 - 4%,
mesophyla of a macrophylum 00 - 1°/0
(Crowley, 1987:192)

Apabila kita cermati data di atas, BL mempunyai unsur bunyi serapan, dan pinjaman dari BD Minangkabau, BD Semende, dan BD Ogan. Deskripsi satuan lingual yang diperikan dalam makalah ini sekadar contoh yang terbatas, dan tidak direntangkan sejumlah perbandingan dua ratus kosa kata dasar antarleksikon bahasa-bahasa yang diperbandingkan untuk membuahkan jumlah kesamaan yang dialihgantikan dalam bentuk hasil persentase.

Semua hasil persentase kognat leksikon antara BM dan BL yang dijaring dari daftar dua ratus kosa kata dasar Swadesh itu, di samping dapat diperhatikan unsur serapan dan pinjaman analogi, juga dapat diperhatikan jumlah persentase persamaan dalam perhitungan leksikostatistik, sebagai upaya pembuktian status kekerabatan BM dan BL. Sebelum pembuktian dilakukan, terlebih dahulu dapat diamati tabel berikut ini.

Tabel: Hasil Persentase Unsur Serapan dan Pinjaman BL dari BM

No Bahasa Melayu (BM) Unsur Serapan dalam Persentase Unsur Pinjaman dalam Persentase Jumlah Persentase
1. BD Minangkabau 55,5% 4,5% 59,5%
2. BD Semende 36,5% 9% 45,5%
3. BD Ogan 31,5% 9% 40,5%


Sumber: Sudirman AM (2005: 334)

Setelah evidensi tersebut dapat diamati dan dibuktikan, ternyata BL banyak menyerap dan meminjam unsur bunyi BM —meliputi BD Minangkabau, Semende, dan Ogan— berdasarkan perhitungan persamaan leksikon yang terjadi korespondensi pada kognatnya. Analisis ini dapat mengungkapkan jati diri BL itu sendiri bahwa eksistensinya masih tetap ada. Mengenai kemiripan-kemiripan antarleksikon BM dan BL itu hanya disebabkan oleh secondary change BM terhadap BL, seperti terlihat pada contoh unsur bunyi serapan, dan pinjaman di atas. Selain itu, dari jumlah persentase persamaan seperti yang tertera pada tabel di atas dapat pula dibuktikan status hubungan kekerabatan BM dan BL. Jika dijumlahkan angka 59,5%, 45,5%, dan 40,5%, dan ditarik angka rata-ratanya, maka diperoleh angka rata-rata 48,2%. Jumlah rata-rata 48,2% ini memperlihatkan hubungan kekerabatan BM dan BL yang berada pada rentangan kriteria 36 - 81% ini menunjukkan status hubungan bahasa kerabat ‘languages of a family‘. Jadi, status hubungan kekerabatan BM dan BL yang berada pada level bahasa kerabat, antara BM dan BL mempunyai fungsi dan kedudukannya sendiri-sendiri BL bukan sebagai BM tua, dan BL bukan bagian atau dialek dari BM.

Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Akibat hubungan kontak bahasa dan budaya antara penutur BL dan BM sebagai bahasa yang berkerabat, BL banyak menyerap dan meminjam fonem dan leksikon BM, berupa secondary change BM sehingga banyak kemiripan fonem dan leksikon antara BL dan BM. Tampaknya, penutur BM Lebih mendominasi pengaruh ekspansinya terhadap penutur BL yang mengakibatkan penutur BL sebagai penutur yang bilingualisme. Lebih-lebih lagi, bagi penutur bilingualisme dalam penggunaan BM atau bahasa Indonesia ini penggunaannya sebagai suatu prestise mengakibatkan fungsi dan kedudukan BL kurang maksimal dan kurang dikenal oleh masyarakat lainnya.

2. Ihwal unsur bunyi serapan dan pinjaman BL dari BM —BD Minangkabau, BD Semende, dan BD Ogan— baik sebagai unsur bunyi serapan analogi maupun sebagai unsur pinjaman yang dapat dijaring berdasarkan 200 kosa kata dasar Swadesh yang telah dipersentasekan, unsur bunyi serapan analogi BL dari BM rata-rata 48,2%, yang menunjukkan status hubungan kekerabatan antarbahasa ‘languages of a family‘, bukan dialek dari suatu bahasa.

3. Selain kecenderungan penutur BL menggunakan BM atau bahasa Indonesia, juga akibat pengaruh ekspansi Sriwijaya masa silam —di Lampung banyak ditemukan prasasti yang menggunakan BM Kuno—, oleh para ahli BL disebut sebagai BM tua dengan dalih hubungan kekerabatannya dengan BM sudah terlalu jauh, yang ditandai oleh hasil perhitungan leksikostatistik yang rendah, yakni 39,9% (Dyen, 1965:26). Simpulan demikian, berdasarkan tradisi atau kebiasaan para ilmuwan terdahulu dalam pembuktian perhitungan leksikostatistik menggunakan data sekunder yang sangat terbatas. Setelah diverifikasi berdasarkan data primer BL di lapangan, patut kita akui bahwa substansi sebaran BL yang asli itu sendiri masih ada dan tetap bertahan, bukan sebagai BM tua.

_______________________

Tulisan ini dikutip dari Humanionra, Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Volume 17, No. 1, Februari 2005, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Indonesia.

* Sudirman AM, adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia Kopertis II Palembang dipekerjakan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Metro Lampung.

* M. Ramlan dan Inyo Yos Fernandez, adalah Staf Pengajar Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

* Harimurti Kridalaksana, adalah staf pengajar Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta; dan Staf Pengajar Luar Biasa Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.


Daftar Rujukan

* Bukri, Sayuti, Soepangat, dan Sukiji. 1981. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

* Broesma, Dr., R., 1916. De Lampongsche Districten. Batavia: Jawasche Boekhandel & Drukkerij.

* Crowley, Terry. 1987. An Introduction To Historical Linguistics. Papua New Guinea: University of Papua New Guinea Press, University of the South Pacific.

* Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1976. Monografi Daerah Lampung. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

* Dewan Harian Angkatan 45. 1994. Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Lampung, Buku II. Bandar Lampung: Badan Penggerak Pembina Potensi Angkatan 45 Provinsi Lampung.

* Dunggio, Yuslizal Saleh, dan Natidjah. 1983. Bahasa Palembang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

* Dyen, Isodore.1965. A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Language. Bloomington, Indiana: Indiana University.

* Hadikusuma, Hilman. 1988. Bahasa Lampung. Jakarta: Fajar Agung.

* -------. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: CV Mandan Maju.

* Kridalaksana, Harimurti. 1991. "Perihal Konstruksi Sintaksis dalam Bahasa Melayu Kuna" dalam Kridalaksana (ed.) Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.

* Nothofer, B. 1975. The Reconstruction of Prato-Malayo-javanic. S-Gravenhage-Martinus Nijhoff.

* -------. 1992. Profit Provinsi Republik Indonesia: Lampung. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.

* Royen, JW Van. 1930. Nota over de Lampoengsche Merga‘s, Lansdrukkerij Weltev-reden. Batavia: TBG Bruining & Wijt.

* Sudirman AM. 2005. "Geografi Dialek Bahasa Lampung di Wilayah Sumatra Bagian Selatan". Disertasi, Yogyakarta: PPS Universitas Gadjah Mada.

* Sudradjat. 1987. Bahasa dan Aksara Lampung: Kajian Sosiolinguistik. Universitas Lampung: Teknokrat.

* Tuuk, H.N.van der. 1872. ”‘t Lampongsch en zijne tongvallen". Tijdschrift in lndische Taal-, Land-En Vokkenkunde Deal 18. Batavia: W Bruining & Co‘s Hage, M. Nijhoff.

* Walker, Dale, F. 1975. "A Lexical Study of Lampung Dialects". Dalam Verhaar JWM (ed.). Miscellaneus Studies in Indonesian and Languages in Indonesia Part I. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA.


[1] Sumbagsel (merupakan akronim dari Sumatra bagian selatan) merujuk pada sebutan nama satu provinsi sebelum tahun ‘60-an dengan pusat Ibu Kotanya di Palembang. Sumbagsel pada masa kolonial Hindia Belanda disebut sebagai Keresidenan Sumbagsel yang meliputi daerah Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Lampung. Setelah 1960 ke-4 daerah itu menjadi keresidenan sendiri-sendiri yang dikembangkan pula menjadi provinsi masing-masing. Istilah Sumbagsel yang dirujuk ini masih tetap dipertahankan Kodam IV Sriwijaya yang berpusat di Palembang yang membawahkan komando teritorial keamanan "security" yang ada di ke-4 provinsi itu.

Sejak peristiwa G-30S/PKI Kodam IV berada di bawah koordinator Pangdam IV Sriwijaya, Sumbagsel berpusat di Palembang hingga kini. Begitu juga untuk pendistribusian kegiatan dinas instansi yang terkait dalam bidang pemerintahan, apabila kegiatannya melibatkan ke-4 provinsi di Palembang, sebutan Sumbagsel masih tetap berlaku (Cf.Depdikbud, 1976:86); Dewan Harian Angkatan 45, 1994: xxxvii). Atas dasar itu, BL yang berada di Provinsi Lampung dan Sumsel atau yang berada dalam wilayah Sumbagsel dalam tulisan ini digunakan istilah BL di Sumbagsel.

[2] Setelah berakhirnya kerajaan Sriwijaya pada abad ke-14, kerajaan Majapahit mengadakan ekspansi di Sumatra, dan mendirikan kerajaan Melayu. Setelah kerajaan Melayu berdiri sendiri, kerajaan Melayu diubah menjadi kerajaan Pagaruyung yang menyebarkan pengaruhnya hingga ke wilayah Lampung Barat.

[3] Pendapat ini disokong oleh data tertulis sebagai: Pertama, dalam Monografi Daerah Lampung dijelaskan "... orang-orang suku bangsa Lampung dari semua sub-subsukunya percaya bahwa tempat asal nenek moyang mereka adalah dari Skalaberak" (Depdikbud,1976:11: Cf. Bukri, dkk. 1981:11). Kedua, Hadikusuma (1989:3) dalam bukunya Bahasa Lampung menjelaskan bahwa asal-usul nama Lampung berasal dari ucapan asli penutur Lampung [anja" lambuK] ‘dari atas‘. Maksudnya untuk menyatakan bahwa nenek moyang orang Lampung itu berasal dari daerah pegunungan, yaitu dataran tinggi Belalau di kaki Gunung Pesagi yang terletak di sebelah timur Danau Ranau atau di hulu Way Semangka yang bermuara di Teluk Semangka Kota Agung. Ketiga, dalam buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Lampung Buku ll yang ditulis oleh Dewan Harian Daerah Angkatan ‘45 (1994:38) telah dijelaskan, bahwa "... pada umumnya ‘Orang Lampung‘ hingga kini sebagian besar mengaku nenek moyang mereka dari dan pernah berkerajaan ‘Skala Beghak‘ [skala b¶Ra"] di Kenali Belalau".

[4] Pemetaan van Royen yang diikuti Hadikusuma itu berdasarkan daerah teritorial hukum adat, yang berbeda dengan hasil pemerian van der Tuuk (1872:119) dari segi dialektologi. Kajian dialektologi BL yang pertama kali dilakukan van der Tuuk menggunakan empat TP, yakni Aboeng, Paminggir, Boemi Agoeng, dan Pubiyan (1872). Dalam perkembangan berikutnya oleh van Royen (1930) yang diikuti Hadikusuma (1976) memanfaatkan hasil penelitian van der Tuuk untuk menetapkan wilayah hukum adat di Sumbagsel. Meskipun apa yang dikerjakan oleh van Royen dan Hadikusuma sesungguhnya terjadi tumpang tindih antara wilayah hukum adat dan wilayah sebaran varian BL di Sumbagsel, nama Van der Tuuk tetap menjadi terangkat dan terkenal.

[5] BM Palembang ada 12 bahasa daerah (BD) yang terdiri dari BD Palembang, Kubu, Musi, Rawas, Pasemah, Enim, Ogan, Komering, Bangka, Belitung, Semende, Sekak, dan Orang Lom (Dunggio dkk., 1983:88). Yang bersentuhan langsung (kontak budaya) dengan BL adalah BD Ogan dan Semende, sedangkan BM Minangkabau yang dijadikan bahasan ini, atas dasar pertimbangan pengaruh ekspansi kerajaan Pagaruyung masa silam yang sudah diadopsi oleh bahasa dan budaya setempat

Sebagai tambahan mengenai ikhwalnya BM Minangkabau, setelah berakhirnya kerajaan Sriwijaya pada abad ke-14, kerajaan Majapahit mengadakan ekspansi di Sumatra, dan mendirikan kerajaan Melayu. Setelah kerajaan Melayu berdiri sendiri, kerajaan Melayu diubah menjadi kerajaan Pagaruyung yang menyebarkan pengaruhnya hingga ke wilayah Lampung Barat.

Sumber: Melayu Online, 7 Juli 2008

No comments:

Post a Comment