SELAMA dua hari, mulai 12 hingga 13 Juli, Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) menggelar Parade Monolog. Acara yang berlangsung di Taman Budaya Lampung ini menyisakan catatan-catatan kelemahan peserta. Kompetisi pun berakhir tanpa juara pertama. Lalu, dari 21 pendaftar hanya 11 peserta yang siap unjuk kemampuan.
ITU hanya sebagian indikasi kelemahan dari sisi peserta parade monolog tahun ini. Ketiga juri, yakni Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, dan Edi Samudra Kertagama memiliki catatan tersendiri tentang masing-masing peserta.
Pada akhir penjurian, penilaian mengerucut pada keputusan tidak ada jawara utama kompetisi. Alasan yang diungkapkan Ketua Komite Teater DKL Ahmad Zilalin karena tidak ada peserta yang mampu mencapai standar penilaian untuk juara pertama alias tidak ada yang pantas.
Dalam bidikan Lampung Post, kelemahan itu juga terbaca. Rata-rata aktor dan artis mengintepretasikan naskah monolog dalam pertunjukan sekitar setengah jam.
Jika tidak terbiasa tampil di atas panggung, tentunya ini menjadi sesuatu yang berat. Aktor harus tetap berkonsentrasi dengan kekuatan daya ingat pada naskah. Ia pun harus memainkan olah tubuh.
Jadi, dari sisi waktu, kemungkinan lelah bisa terjadi. Sehingga beberapa peserta terlihat kedodoran pada durasi akhir. Bisa lupa teks, vokal lemah dan olah tubuh yang kurang ekspresif.
Menurut Iswadi, sastrawan yang juga direktur artistik Teater Satu, Kamis (17-7), kelemahan itu bersumber pada tradisi latihan yang tidak baik. Tidak berulang. "Mereka mungkin tidak menjaga latihan secara ajeg. Meskipun aktor memiliki potensi sebagai teaterwan, tetapi percuma jika tidak memiliki tradisi latihan yang baik," ujarnya.
Kedua, tidak tercukupinya pelatih yang memiliki seluruh perangkat pengetahuan. Berkesenian, khususnya berteater dengan genre apa pun, ujar Iswadi, harus berlandaskan pada tradisi ilmiah. "Aktor harus memiliki logika penalaran yang baik dalam menafsirkan naskah, barulah itu diresapi dengan hati."
Iswadi mencontohkan salah satu kesalahan penafsiran peserta parade monolog. Lakon sang koruptor yang sebenarnya menggambarkan sosok pejabat yang masih berkuasa dan sibuk luar biasa. Tetapi dalam penampilan, aktor memainkan perannya di atas kursi roda.
"Dalam naskah itu tidak digambarkan. Berarti sudah ada salah penafsiran," ujarnya.
Sejauh ini, dalam penilaian Iswadi, pekerja teater Lampung masih banyak mengandalkan intuisi untuk mendapatkan permainan yang baik. Padahal, seperti bidang lain berteater juga butuh pengetahuan yang standarnya baku dan bisa dipelajari. Demikian kondisinya, sehingga muara yang tepat adalah membutuhkan wadah pendidikan untuk membina para bibit-bibit muda. "Di Jawa sudah banyak berdiri akademi seni yang bisa menjadi penjaga atau tolak ukur yang jelas dan ajeg dalam berkesenian. Di Sumatera baru ada di Kota Padang Panjang yaitu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang," ungkap Iswadi.
Salah tafsir juga dilihat Lampung Post yaitu saat seorang peserta memainkan naskah monolog Merdeka yang diadopsi dari cerpen Putu Wijaya. Aktor dalam tampilan adalah sosok muda, padahal pada naskah menyiratkan tokoh yang sudah tua dengan segudang penyesalan memiliki nama Merdeka. Padahal sepanjang hidupnya ia merasa kalah dan tak berdaya.
Kompetisi kali ini juga menguji kemampuan peserta untuk menafsirkan naskah. Tantangannya, beberapa naskah monolog diadopsi dari cerpen kaya penulis luar negeri. Tentunya konteks suasana berbeda dengan yang biasa dihadapi peserta. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008
No comments:
Post a Comment