July 20, 2008

Apresiasi: Monolog versus Eksistensi

MONOLOG, pertunjukan teater dengan genre tersebut bukan sesuatu yang asing. Selera berteater monolog menjadi gairah tersendiri. Tetapi sayang jika hanya jadi pertunjukan yang asal-asalan demi eksistensi keaktoran.

"Hanya dengan properti kotak pun, disutradarai sendiri, main musik sendiri, sudah bisa bermonolog. Jadi tidak perlu awak besar dan anggaran bisa ditekan," ujar Manajer Teater Satu Imas Sobariah, Selasa (15-7), di Bandar Lampung.

Jika diminta tampil dalam event teater tertentu, tetapi anggaran minim, Imas menyatakan teater monolog bisa menjadi solusinya. Alasan minimnya anggaran juga menjadi motivasi penyelenggara atau lembaga sponsor pun lebih bersemangat menyajikan program pertunjukan monolog.

Demikian cuplikan pendapat seorang teaterwan di Lampung. Dari pendapat itu setidaknya dapat diketahui sekilas tentang teater monolog. Yaitu genre teater yang tidak memerlukan ongkos produksi yang besar seperti halnya teater ansambel.

Secara harfiah, monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran, di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan atau sketsanya. Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an. Pada saat itu pertelevisian tidak mengenal dubbing atau pengisian suara, karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi atau horor.

Salah satu pengagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin. Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood sekitar tahun 1964, lalu berkembang menjadi sarana seni dan teater dan sudah menjadi salah satu teori dari karya seni teater.

Prinsip pada pertunjukan teater adalah untuk membuat penonton terus terjaga menonton, tidak mengantuk, tidak ngobrol. Caranya jelas, pertunjukan teater haruslah menarik dan atraktif. Khususnya teater monolog, yaitu pertunjukan teater yang dimainkan oleh seorang pemain atau pelakon. Seorang pemain monolog harus mampu membuat penonton terus menatapnya sepanjang pertunjukan. Ia harus mampu membawa perasaan dan pikiran seluruh penonton ke atas panggung, dan terlibat di dalamnya meski tak harus secara fisikal.

Monolog disambut dengan kegairahan banyak orang termasuk di jagat perteateran Lampung. Dua kali menggelar kompetisi yang dikemas dalam parade teater monolog, Dewan Kesenian Lampung mengakui animo masyarakat menjadi peserta cukup tinggi. Sayangnya ketika sudah tampil, masih banyak ditemukan kekurangan yang perlu menjadi introspeksi. Kesimpelan monolog, tentunya bukan berarti bergerak ke arah kelatahan atas nama eksistensi keaktoran.

Imas yang juga penggiat teater di Lampung menjelaskan monolog adalah puncak keaktoran, sehingga semua bertumpu pada aktor itu sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan kepiawaian aktor dalam pertunjukan yang harus diawali dengan perencanaan pertunjukan yang matang. Yaitu dalam hal menafsirkan naskah, kemampuan vokal, bagaimana dia mewakili tokoh lain sehingga membutuhkan olah tubuh yang matang. Berbeda dengan teater konvensional, kekurangan aktor dalam peran tertentu dalam sebuah pertunjukan dapat tertutupi dengan aktor lainnya.

Pencitraan monolog terfokus pada aktor yang membahasakan dirinya sebagai aku. Lewat sudut pandang orang pertama tersebut, aktor akan menceritakan siapa dirinya, kehidupannya di masa lalu (flashback) hingga apa yang dihadapinya sekarang. Imas mencontohkan peran aku sebagai Merdeka, yaitu naskah monolog yang diadopsi dari cerpen Merdeka karya Putu Wijaya. Berbeda dengan teater konvensional atau ensambel, cerita bisa bergulir bebas dari masa sekarang hingga masa depan.

Meskipun dalam monolog aku menjadi tokoh sentral, tetapi tetap tidak boleh mengabaikan peran lain yang harus dimainkannya juga. "Aktor monolog harus mampu memerankan semua lakon, peran lain bukan sekedar tempelan, tak ada peran kecil dalam sebuah pertunjukkan," jelas Imas.

Hal lain sebagai pendukung permainan aktor monolog adalah properti. Dalam monolog memang bisa cukup simpel, tetap menjadi bagian penting dari pertunjukan ini. Ketika tim Lampung membawakan monolog Perempuan di Titik Nol tahun 2007 lalu, properti menjadi bagian dari perencanaan yang matang. Berupa lighting, vokal dan musik, yang merupakan hasil olahan natural maupun teknologi. Namun demikian, dalam pertunjukan ini tetaplah pemain menjadi satu-satunya aktor, yang menjadi tumpuan perhatian.

Kesimpulannya, pertunjukan panggung perlu menjadi satu kesatuan terpadu, yang perlu perencanaan dan latihan yang matang. n DWI WAHYU HANDAYANI/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008

No comments:

Post a Comment