Oleh Dodi H. dan Yanti Oktriani*
BARU-BARU ini, sastrawan Lampung mendapat penghargaan sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang berada di Bandung. Penghargaan ini hanya diberikan pada sastrawan yang menulis dalam bahasa-bahasa ibu.
Penghargaan Rancage dimulai pertama kali pada 1989, hanya diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Tapi sejak 1994, para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga dapat penghargaan ini.
Selanjutnya pada 1998, para sastrawan yang menulis dalam bahasa Bali juga mendapatkan hadiah sastra Rancage. Kemudian, tahun ini, sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung juga mendapat Rancage.
Penghargaan sastra Rancage menjadi sangat penting dan berarti bagi perkembangan budaya Lampung, khususnya terkait dengan bahasa Lampung itu sendiri. Lampung merupakan salah satu daerah yang memiliki bahasa dan aksara sendiri (ka ga nga), selain Jawa, Bali, Sunda, dan Batak.
Sayangnya, kini bahasa Lampung terkekang dan termarginalkan di rumah sendiri. Terkekang oleh hegemoni bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Mengutip penjelasan Prof. Dr. Edi Subroto, pakar bahasa dari Universitas Negeri Sebelas Maret, salah satu penyebab lunturnya bahasa daerah adalah fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing. Kini, kita harus mengakui, seseorang akan lebih bangga bila berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing (Inggris, Prancis, Jepang) baik secara lisan maupun tulisan.
Berbeda jika kita menggunakan bahasa daerah (khususnya bahasa Lampung), orang-orang akan menilai kita sebagai orang yang kuno dan kampungan. Memang permasalahan ini tidak hanya terjadi di Lampung, tetapi terjadi juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Sebenarnya, Lampung mempunyai kekayaan budaya beraneka ragam. Namun, kekayaan budaya tersebut saat ini kurang mendapat perhatian Pemerintah Provinsi Lampung sendiri. Padahal beberapa waktu lalu, tari tradisional Lampung mendapat penghargaan sebagai tari tradisional terbaik dalam Korea World Travel Fair (Kofta) ke-21 di Seoul.
Perhatian terhadap perkembangan budaya Lampung hanya diberikan segelintir orang yang terus berjuang agar budaya Lampung tetap hidup. Sebut saja Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Udo Z. Karzi, dan masih banyak yang lain yang sampai kini tetap berjuang untuk kemajuan budaya Lampung.
Terobosan yang dilakukan Udo Z. Karzi (nama pena Zulkarnain Zubairi) melalui sajak-sajaknya dalam buku Mak Dawah Mak Dibingi atau dalam bahasa Indonesia berarti Tak Siang Tak Malam. Karya yang dibuat Udo setidaknya memberikan motivasi pada generasi muda untuk melestarian budaya Lampung agar tetap eksis dan mampu bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan daerah lain.
Sekiranya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak khususnya Pemprov Lampung agar budaya Lampung tetap eksis. Pertama, pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kemajuan kebudayaan Lampung. Kedua, pemerintah harus ikut andil dalam setiap event yang bertajuk tentang kebudayaan.
Itulah dua hal yang perlu menjadi perhatian kita semua, apalagi kini Lampung sedang berupaya menjalankan Visit Lampung Year 2009 yang seyogianya acara tersebut dapat dijadikan sebagai ajang pameran kebudayaan Lampung, selain itu pada 3 September 2008 Lampung akan melaksanakan pemilihan gubernur yang tentunya kita berharap gubernur terpilih nanti lebih memperhatikan budaya Lampung.
* Dodi H. dan Yanti Oktriani, Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Jumat, 4 Juli 2008
No comments:
Post a Comment