July 13, 2008

Apresiasi: Merenggut Kata dan Makna dari Mala

-- Asarpin*

SUNGGUH keterlaluan bila ada yang mengaku pembaca sastra di Lampung tapi tak kenal Isbedy Stiawan Z.S. Penyair ini telah jadi bagian penting perkembangan puisi di tanah kelahirannya, bahkan di kancah nasional. Mungkin hanya Isbedy yang menghasilkan buku puisi terbanyak. Kadang-kadang, tidak sampai lima puluh puisi telah diterbitkan menjadi buku. Sudah sepuluh buku puisi Isbedy terbit, dan terakhir buku Setiap Baris Hujan yang diterbitkan BukuPop Jakarta (Juni 2008).

Isbedy sangat teruit pada kata, walau kadang-kadang ia tak berdaya oleh kehadiran kata-kata, dirajam kata-kata. Sejak halaman muka buku barunya ini, kita disuguhkan pada kata sebagai personifikasi berbagai peristiwa dengan menempatkan kata sebagai kuda pedati yang mengusung makna.

Apa saja ingin jadi kata dan menyusun kalimat yang pekat. Rintik-rintik hujan jadi kalimat. Laut dan alam raya seakan menjadi sekolahnya.

Tengok saja larik puisi yang jadi judul buku analekta puisinya ini, yang melukiskan hujan dengan jernih: "pada setiap baris hujan yang jatuh, mengetuk-ketuk detak sepiku, senyummu pula menulis baris itu jadi kalimat:-cuaca khianat-". Dan sang penyair bisa mati ditenung kata. Hal itu mungkin karena dalam sajak-sajak Isbedy, kata tak ubahnya seperti rajutan benang-benang intuitif yang memintal kandungan

maksud dengan cara membuka diri kepada pembaca. Sajak-sajaknya mengusung kemaknaan dengan maksud ingin berbagi, tidak sebagaimana sajak-sajak mahagelap yang antikata.

Membaca sajak-sajak Isbedy di buku ini, terasa bahagia jika menyelam kandungan maknanya, ketimbang bersibuk-ria mempersoalkan tipografi dan gaya karena sangat umum. Mungkin karena pengaruh musibah yang menimpa negeri ini, dalam buku puisi ini banyak muncul tematik laut dalam konteks bencana.

Dialektika kata dengan makna dan peritiwa tidak lain adalah suara: kata menghadirkan dirinya, membentuk sebuah kemaknaan, dan pada kedalaman kemaknaan itu, sang penyair tidak pernah kembali pada kata-kata ini, melainkan menuju suatu benda yang dirujuk, baru kemudian kata tersebut dilepas dengan aturan main.

Namun ada bedanya dengan imaji. Dalam kasus imaji, intensionalitas justru berbalik pada lukisan imaji yang menyelubungi makna secara konstan. Imaji, tidak lain seperti halnya dalam suatu kesadaran sang penyair.

Di sini jelas Isbedy tidak terpengaruh post-modernisme yang menggejala sejak 1990-an di negeri ini. Ia tetap intens menghayati kata, menakik struktur kata, dan sajak-sajaknya tidak hendak berada dalam menara epistemologi eksistensial dengan menghadirkan imaji, tetapi masuk ke dalam kandungan makna melalui teruit kata-kata.

Puisinya membangun rima dan bunyi hidup sebagaimana kebanyakan sajak liris. Tapi apakah cukup hanya dengan membuat kegaduhan bunyi subkultur atau bahana-bahana keras kepala agar menjadi resistensi? Sajak-sajak Isbedy di buku ini menjawab: tidak. Puisi-puisinya tak membahana oleh tekanan suara yang teratur, tapi ada suatu maksud dan "nilai" yang sampai.

Dengan maksud yang tegas, dan tak jarang menampilkan asosiasi yang mengajak pembaca untuk mencari referensi ke sana-kemari, mampu memunculkan renungan yang sadar diri untuk tak hendak mengejar kebaruan, meski pun ada kata-kata yang sudah khas jadi milik sang penyair. Tak ada bunyi yang tanpa makna, karena dalam puisi bunyi memang seperti gema kemaknaan itu sendiri, dan rasa yang ditimbulkannya pun muncul secara bersama dengan rimanya. Aku lirik terjun dari kekosongan pencarian menuju bumi dan sumber-sumber literer untuk menemukan bahasa biasa saja lagi.

Isbedy memang seorang pemain di lapangan kata-kata, yang di awal kemunculannya dianggap sebagai penyair terdepan di Lampung. Tapi kini ia harus "bersaing" ketat dengan penyair-penyair lain yang menantang kata-kata.

Keintimannya menjadikan kata sebagai alat tak lagi menghiraukan kalau bahasa dan gramatikanya terpeleset, tergelincir, karena hal ini erat hubungannya dengan kreativitas. Sajak-sajaknya menampilkan kristalisasi dari kata. Sebagai contoh: "di bukit ini, kami disalib!" (Tanah Lot), "pantai tetap bercahaya, meski laut tak mengecupnya" (Bersama Penyair 1), "dalam keheningan kata, tercipta jalan mencapi Tuhan" atau "setiap kalimat adalah ayat-ayat" (Bersama Penyair 4), dan lain-lain.

Semantik dari kata begitu dominan. Kata sebagai alat muncul bertubi-tubi, dan ini bukan sesuatu yang haram dalam sajak mutakhir. Sejak puisi lirik hadir sebagai salah satu genre puisi yang dirayakan banyak penyair di negeri ini, kehadirannya tak bisa menghindar sepenuhnya dari godaan subjek kata yang menekankan kesadaran tentang manusia dan alam raya.

Dengan lirik, Isbedy berusaha melukiskan dan mengungkapkan makna secara ilustratif. Pembaca dengan mudah bersua dengan renungan kemanusiaan.

Isbedy konsisten dengan penampilan lirik dan larik yang koheren dan rapih. Sesekali muncul suasana melankolis, guratan kata yang keletihan dan pendakian puncak-puncak kata tak sampai-sampai, baik melalui peristiwa hujan, peristiwa di ladang tebu, lukisan yang tak transparan, ilustrasi yang berupa gambaran, yang agaknya begitu dekat dengan dunia keseharian yang tengah carut-marut.

Sebagian besar sajaknya di buku ini cukup dominan mempersoalkan realitas sosial dan bencana besar kemanusian: kemiskinan yang melaju drastis, perampasan hak atas tanah ulayat warga oleh negara, pembalakan kayu (hutan) hingga tanahnya menguning karena tandus, penindasan gaya pemerintahan model raja, pembodohan kaum paria, ketidaktanggapan pemerintah, dsb. Kalaupun ada luka, luka itu adalah luka besar kemanusiaan.

Beberapa sajak bahkan muncul kenaifan dan kepolosan tak ubahnya imajinasi infantil, misi propetik yang banal, dengan pengucapan ah-ah dan ai-ai yang khas gebalau aku lirik. Kepekaan yang berlebihan pada kata, kesadaran yang semakin merunduk, pengucapan yang matang, pola pikir yang tak berumit-rumit tapi dengan hasil pikiran yang wagu, bukanlah hal yang acak, sekonyong-konyong, melainkan masih tunduk pada aturan-aturan tentang konvensi dan struktur kata.

Sang penyair cukup intens memikirkan kata hingga menjadi plastik kata, sampai-sampai nekat ingin "mengayak pasir-garam kata", atau yakin "akan kekal bersama kata", atau "akan hidup dalam kata". Namun apa boleh buat: aku lirik pada akhirnya "tak berdaya oleh kata" (sajak Bersama Penyair 3). Lalu, setelah kata, apa? Kalimat yang menyusun arti karena "setiap kalimat adalah mukjizat" (Bersama Penyair 4) yang mampu menghadirkan dunianya sendiri.

Bersama penyair Isbedy ingin menyuling kata lagi, menjadi darah dan daging saja lagi. Untuk apa? Agar kata yang bersajak tak tersesat. Agar kata kembali menjadi doa menjadi sihir. Dan di atas segalanya: agar puisi tak mati ditikam kata.

Lagi-lagi Isbedy tak hendak menampilkan sajak antikata, karena apa artinya jika sajak justru tak berdaya. Maka pilihan Isbedy kembali merenggut kata dari mala merupakan strategi untuk mempertahankan kreativitas agar tidak mandek.

Namun, celakanya, sering kali kita temukan perbandingan sajak-sajak Isbedy dengan sajak-sajak lain dari perspektif perbandingan nilai. Seakan-akan sajak lirik lebih rendah mutunya dengan sajak puitik. Sajak antikata lebih kuat dari sajak yang menempatkan kata sebagai alat.

Memang, di tengah arus-bandang lirikisme, pilihan pada sajak tidak prosais dan tidak lirik, bisa menjadi pilihan yang segar. Saya percaya bahwa puisi liris Isbedy yang menempatkan kata sebagai segala-galanya dengan puisi yang antikata tak pantas dibandingkan dengan perspektif perbandingan nilai literer. Kedua jenis puisi ini punya kelebihan juga kekurangan pada dirinya.

Demikian pula sajak lirik dan sajak puitik, sejauh dihayati dengan perenungan dan keintiman, ia bisa berpeluang sebagai sajak berhasil.

n Asarpin, Pembaca sastraA

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2008

No comments:

Post a Comment