April 5, 2009

Apresiasi: Yurisdiksi Estetik Puisi Jimmy

Oleh Asarpin*

Jimmy Maruli Alfian adalah sisi lain dari para penyair lirik yang mukim di Lampung. Bisa jadi, Jimmy antipoda puisi lirik sekaligus puisi dramatik.

Syahdan, di sebuah negeri yang sedang dijiwai oleh puisi, telah lahir seorang sultan terakhir dari kebimbangan Hamlet. Si sultan itu ternyata adalah salah seorang penyair lirik sekaligus pemain drama, yang namanya sudah mulai akrab di telinga para pencinta sastra. Baru-baru ini ia menerbitkan himpunan sajaknya, yang juga memuat dua buah puisi yang bicara tentang Ophelia dan Hamlet.

Penyair muda itu konon gemar pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena puisi-puisi labirin dan femininnya mencoba menyuarakan dunia puan, sementara ia sendiri sang tuan, maka dengarkan pengakuan Jimmy Maruli Alfian ini: "Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata". Sajak Tamsil Damar Batu itu ternyata mengandung monolog batin, tapi sayang masih nenes, kenes, dan cengeng.

Berkatalah Hamlet kepada Ophelia dalam sajak Jimmy: "Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut". Ophelia menjawab: "Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar berahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat".

Apa cuma Ophelia yang punya berahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespeare saat bicara tentang sifat solilokui di atas panggung.

Kalimat "dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya....", bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: "apa dalam kalimat-kalimat ini dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori kalian?"

Jika aku diminta mengaitkan Hamlet dan Stanislavski agak panjang di sini, itu karena dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang diilhami oleh kedua dramawan ternama itu. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama; bisa juga tidak.

***

Dialog dan monolog memiliki banyak ruang dalam sajak-sajak Jimmy. Ketika acara peluncuran bukunya di UKMBS Unila beberapa waktu lalu, saya sempat mengajukan pengamatan tentang sajak-sajak Jimmy yang sebagian menyerupai dialog-dialog tak ubahnya dalam naskah teater. Jimmy bilang: itu wajar mengingat dia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, khususnya di Komunitas Berkat Yakin. Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater ternyata ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya.

Syahdan, seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Katanya, di sana tampak sekali matahari, memberat pada kedua matamu, seolah kau ingin melata, dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya hingga renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali kini. Makin lama kata-katanya tampak bersayap kupu-kupu yang hanya bisa betah di cuaca.

Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis, gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, bagikan kisah jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk. Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun, prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian.

Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok, dan berbentuk--bagaikan sebuah adegan--gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: "Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari".

Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih. Aku lirik seorang yang muram, luka, duka, dan maut, dengan kalimat yang memberat oleh cerita.

***

Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang, kadang dengan mendadak mengejutkan oleh karena kehadiran bahana yang tiba-tiba. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah, drama-drama, bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, seperti pernah dituturkan Afrizal Malna, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.

Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini (sajak Lomba Domba dan Dayang Rindu). Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang.

Sebuah kisah, sebuah tuturan, (di)hadir(kan) bukan karena disebabkan abskuritas penyairnya, melainkan karena mengaburnya posisi aku lirik dalam sajak-sajaknya. Beberapa sajak Jimmy tampak menyisakan pengucapan puisi emosi, puisi ide atau puisi suasana, dengan gaya romantik banal. Ada pertemuan lirik dan mitos, yang menghasilkan gaya penokohan, seperti munculnya tokoh Maria, Fatima, Sulaiman, dll.,

yang mengingatkan pada Patima atau Maria Zaitun dalam balada-balada Rendra.

Jimmy berusaha menggapai puncak pengalaman kreatif lewat puisi dan dramaturgi. Saya tak terlampau akrab dengan sajak-sajak Jimmy, namun ketika membaca 49 sajak dalam Puan Kecubung--judul unik yang tidak diambil dari salah satu sajak sebagaimana umumnya buku kumpulan sajak--saya baru sadar bahwa Jimmy penyair yang menyimpan bakat. Ada banyak kosakata yang asing--dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.

***

Penyair kelahiran 1980 ini adalah sisi lain dari para penyair lirik yang mukim di Lampung. Bisa jadi Jimmy adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi dramatik. Puisi liriknya ternyata sebuah migrasi dari dunia konvensi ke sumber-sumber realitas terdalam, dengan bahasa yang kadang terasa sugestif dan pasif.

Dari segi stilistika, tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan pantun dan mantra, drama purba, dan lirik tua.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat enigma, pilihan kata, pilihan tema, dan logat daerah (Lampung) dihadirkan dengan jujur di dalam penciptaan sajak-sajaknya. Seandainya hukum diksi puisi memang ada, dan berlaku pula dalam telisik ini, maka Jimmy patut disebut penyair muda yang memiliki talenta dalam jurisdiksi penciptaan. Puisi Jimmy, dengan demikian, mampu mengekspresikan dunia yurisdiksi estetiknya sendiri, tanpa mendurhaka pada kata dan makna.

* Asarpin, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 April 2009

No comments:

Post a Comment