August 23, 2009

Festival Film Pendek 2009: Mimpi, Perempuan, dan Kue Tart

Oleh Syaiful Irba Tanpaka

MENONTON film buat saya adalah sebuah perjalanan menikmati realitas batin dari para pekerjanya; penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata musik, editor, serta kru lainnya. Bagaimana gagasan-gagasan mereka bersinergi mewujudkan mimpi dari kehidupan yang penuh kontradiksi.

Sebuah mimpi yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan untuk memahami dan memaknai realitas secara jujur dan terbuka. Bahwa hitam adalah hitam sesungguhnya dan bahwa putih adalah putih sesungguhnya, bukan abu-abu. Setelah pengalaman empiris sering memosisikan kebenaran secara kacau, dan melemparnya ke dalam jaring-jaring relativitas. Inilah ziarah batin dengan kenikmatan dan kepuasan yang melimpah ruah.

Bagaimana misalnya takdir mencibir dan mengejek rasa cinta dan kasih sayang orang-orang miskin. Apalah artinya semangat, apalah artinya tekad ketika harus berhadapan dengan nasib yang dingin dan angkuh. Masih adakah obat bagi rasa sakit, kesepian dan kerinduan orang-orang terpinggirkan. Apakah arti pertemuan, perpisahan, persahabatan, idealisme, cinta, dan kehilangan?

Rasa lirih serupa ini ternyata telah menjadi tema yang mengemuka dalam film-film peserta Festival Film Pendek 2009 yang diselenggarakan Komite Film Dewan Kesenian Lampung bekerja sama dengan MM Studio SMKN 5 Bandar Lampung dan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Lampung yang digelar tanggal 6 Agutus lalu. Festival dengan kategori film fiksi dan film dokumenter ini diikuti 28 peserta, terdiri dari 19 film fiksi dan 9 film dokumenter dengan mayoritas sineas yang masih terbilang remaja.

Menggembirakan! Barangkali ini adalah kata yang tepat sebagai bentuk apresiasi untuk merayakan potensi mereka. Sebab; pertama, mereka mampu menyodorkan keragaman dan kekayaan tema dari ruang-ruang kehidupan yang mungkin luput dari perhatian kita. Hal-hal sederhana yang mengabarkan keperihan hidup masyarakat kecil dari sebuah negara besar yang dipuja sebagai tanah surga. Siapa mau mendengarkan, siapa mau merasakan, dan siapa mau memedulikan di tengah kesibukan sebagian orang-orang yang sibuk merebut pangkat dan jabatan, menimbun kekayaan sebagai harta karun tujuh turunan.

Sudah tentu kita berharap onggokan mimpi ini dapat menjadi kenyataan (the dream come true) dengan adanya kerja sama dan sinergisitas dari semua stakeholder. Para sineas yang visioner dan kompak yang tidak lelah untuk terus meningkatkan kualitas diri, para produser, para sponsor, media penyiaran, pemerintah daerah, dan penonton yang yang memberikan apresiasi. .

Kedua, buat saya ini suatu fenomena yang menarik ketika mencermati bahwa banyak sutradara yang menggarap film dalam festival ini adalah perempuan. Seperti pada kategori film fiksi, tercatat nama-nama: Endras Astuti (Bunda), Melisa (Just Do It, Hanya Mimpi dan Sang Pemimpin), Erliana (Edelweis), Susi Rodiyanti (Kue Tart Tengah Malam), Frecilia (Tara), Rully O.P. (Forbidden of Love dan Di Manakah Engkau Seruit). Di kategori Dokumenter, ada Indah Mayshinta (Mang Rusli), Ika Yulistia (Mbah Rinam), Dwi Ria Nurmalia (Kisah Hidupku), Mery (Merah Gulaku Gula Merah dan Perayaan Odalan).

Para perempuan sutradara yang relatif muda ini ternyata mampu memilih dan menyajikan karya-karya yang penuh muatan sosial. Dari tema problematika kemanusiaan yang berseliweran di sekitar kita sampai dengan norma-norma ideal yang terjadi dalam pertarungan pemikiran. Mereka kaya akan tema dan gagasan.

Penaka idealisme yang digarap Melisa dalam Just Do It. Bagaimana seorang remaja laki-laki menyikapi teman-temannya yang datang dengan segepok uang yang dicurigai olehnya didapat secara haram. Konflik batin terjadi dalam diri remaja laki-laki itu. Melisa tidak memberi keputusan, kecuali membiarkan tokoh remaja laki-laki itu akhirnya mengambil uang bagiannya yang ditinggalkan teman-temannya dan menuju ke arah luar rumah. Kita dipersilakan untuk menginterpretasikan apakah tokoh itu memang menerima bagiannya atau ingin mengembalikan uang itu kepada teman-temannya atau pemiliknya yang entah di mana.

Kue Tart Tengah Malam yang dibesut Susi Rodiyanti merupakan kisah horor romantis dari sebuah persahabatan di kalangan remaja. Film ini menjadi menarik lantaran menyodorkan surprise ending. Ketika tokoh remaja putri yang ulang tahun pada malam itu ditinggal sendiri dan dikerjain teman-temannya yang berdandan serupa hantu. Saat skenario seperti April Mop itu dianggap selesai, mereka merayakan ultah sang remaja putri. Namun ketika acara tiup lilin akan berlangsung, tiba-tiba lampu mati, dan ketika lampu hidup kembali, di antara mereka ada hantu sesungguhnya.

Kemudian apa yang disajikan oleh Rully O.P. dalam Forbidden of Love buat saya merupakan keberanian tersendiri. Betul-betul tampil beda. Mengingatkan saya pada pernyataan dramawan Putu Wijaya bahwa karya seni harus bisa memberikan teror mental. Menggedor batin kita. Dalam versi sastra Budi Darma juga menuliskan bahwa karya yang baik justru mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak terjadi. Sifat-sifatnya menuntut orang untuk melihat kenyataan, kalau perlu yang tidak sejalan dengan kepentingan moral.

Melalui kemasan cinta segitiga yang unik Forbidden of Love punya daya betot yang lumayan kuat. Tokoh A (putri) menaruh cinta dengan tokoh B (putra) yang berpacaran dengan tokoh C (putri), tapi tokoh A dan C juga menjalin hubungan sebagai lesbi. Cerita ini juga menampilkan dunia tokoh D (lelaki banci) yang kemudian dibunuh oleh ayahnya sendiri saat mereka berkencan. Sang ayah merasa malu ketika mengetahui bahwa teman kencannya adalah anak lelakinya sendiri. Ending yang sama dimunculkan untuk tokoh A yang akhirnya membunuh tokoh C dan tokoh B. Hasrat birahi telah membuat seseorang menjadi buta hati dan pikir. Menjadi alasan yang fakir bagi seseorang melakukan pembunuhan. Tapi begitulah crime of sex menyodorkan kenyataan. Tragis!

Film ini sebetulnya memberikan ruang eksplorasi yang cukup luas jika didukung kemampuan teknis yang piawai. Mulai dari karakteristik tokoh, sudut pengambilan, artistik visual yang memperhitungkan faktor pencahayaan dan setting lokasi hingga proses editing-nya. Forbidden of Love memang masih banyak menghadapi kendala teknis serupa itu. Sehingga yang kita saksikan adalah visualisasi-visualisasi gambar yang verbal dengan adegan-adegan percintaan dan pembunuhan yang sedikit seronok. Ternyata keberanian saja belum cukup. Namun saya menghargai keberanian Rully bereksplorasi.

Dan bila saja para perempuan sutradara ini konsisten berkarya dan mengasah diri, daerah Lampung akan menjadi satu lumbung sineas yang menambah panjang deretan perempuan sutradara di antara nama-nama Mira Lesmana, Nia Dinata, dll.

Kendala teknis tampaknya menjadi persoalan krusial bagi para peserta. Dan ini adalah catatan saya yang ketiga. Jika film dianalogikan sebagai kue tart, proses pemilihan bahan menjadi penting. Sebab di sinilah asal mula kualitas cita rasa ditentukan. Meskipun itu belum cukup, karena cita rasa yang lezat sebaiknya harus juga ditunjang oleh kemasan tampilan yang menarik, dan ini akan menjadi kekuatan kreativitas yang bernilai tinggi.

Mulai dari memilih skenario, berlangsungnya proses produksi hingga pengeditan. Film membutuhkan koki-koki yang memiliki wawasan dan kemampuan teknis yang baik. Penulis skenario, sutradara, kameramen, penata artistik, penata musik, dan editor. Ini merupakan faktor-faktor utama yang menentukan kualitas sebuah film. Bayangkan jika skenarionya terbilang buruk, proses kerja sutradara, kameramen, dll juga menjadi persoalan yang berat.

Dalam Festival Film Pendek kali ini kemampuan teknis para peserta relatif sama. Sama-sama mendekati standar. Namun potensi mereka sungguh bersahaja. Senja Terakhir garapan Budi Stiawan merupakan film yang cukup kuat dari segi cerita, penokohan, dan visual.

Film yang menceritakan cinta kasih seorang anak (remaja putri) kepada ibunya, sehingga rela bekerja sambilan untuk membeli obat bagi ibunya yang sakit. Dengan cerita yang sederhana, Senja Terakhir mampu memberikan sajian yang membetot emosi kita.

Jauh berbeda dengan film-film yang ditaja Hendrik Liu (Kotak sakti, Di Antara Dua Pilihan dan Cape Deh) yang begitu "cerewet" untuk menjelaskan cerita dengan kata-kata. Padahal, bukankah dunia film adalah dunia audiovisual, dunia pandang dengar yang mengandung gagasan-gagasan idiologis dari sineasnya?

Garin Nugroho lewat Bulan Tertusuk Ilalang justru menawarkan konsep inovatif untuk membebaskan film dari keterjajahan sastra (kata-kata). Bagaimana adegan-adegan yang disajikan mampu berbicara dan membetot sukma penontonnya tanpa harus banyak dijelaskan oleh kata-kata.

Pada kategori dokumenter, saya menyayangkan kealpaan (?) Mery yang menggarap dokumentasi Perayaan Odalan tanpa ada penjelasan dari narasumber maupun yang disampaikan lewat narator. Sungguh saya dibuat tidak paham dan merasa kesulitan mengapresiasinya. Kalau ada penjelasan dari narasumber atau narator, tentu saya bisa menikmati setiap prosesi yang berlangsung, namanya apa dan tujuannya apa.

Dengan mempertimbangkan di antara kreteria-kreteria di atas dan dengan perdebatan yang romantis, maka dewan juri Festival Film Pendek 2009 yang terdiri dari Syaiful Irba Tanpaka, Didi Pramudya Mukhtar, dan Budi Meong bersepakat menetapkan para pemenang sebagai berikut: Kategori film fiksi juara I Senja Terakhir sutradara Budi Stiawan; juara II Kue Tart Tengah Malam (Susi Rodiyanti); juara III Sang Pemimpin (Melisa). Kategori film dokumenter juara I Seuntai Harapan Dari Pulau Tabuan (Balya Kretarta), juara II Sang Penambang (Nanang Tarzan), juara III Merah Gulaku Gula Merah (Mery).

Namun, secara keseluruhan selain yang telah dituliskan, film-film para peserta lainnya seperti Hendrik berjudul Sekolah; Dayat, Selamat Jalan yang merupakan sebuah visioklip; Angga Ong, Aden Jangan Marah; Ajat Sudrajat, Angin Dari Barat; Balya Kretarta, Sholeha; Rangga, Halimi; juga cukup menjanjikan sebagai benih-benih yang dapat menyemarakkan dunia perfilman di bumi Lampung bersama para seniornya seperti Dede Safara Wijaya, Ibrahim Wardin, Hermansyah G.A., Irwan Wahyudi, dll. Tabik pun.

* Syaiful Irba Tanpaka, Juri Festival Film Pendek 2009, Sutradara Film Rindu tak Hilang di Tokyo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Agustus 2009

1 comment:

  1. Perkenalkan nama saya Lulu Ratna dari boemboe.org, Jakarta. Selain sedang menulis buku mengenai festival film, kami juga sedang meuat program film tentang perempuan yang dibuat oleh perempuan.

    Apakah saya dapat mendapatkan data festival film pendek Lampung ini lebih jauh? Dapatkan saya mendapat kontak salah satu juri, Bapak Syaiful Irba Tanpaka? Juga bagaimana caranya mendapatkan copy film-film yang diputar di festival ini?

    Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya,
    Lulu Ratna
    lu2ratna@yahoo.com

    ReplyDelete