January 3, 2011

Di Tengah Globalisasi dan Mataramisme

Oleh Hardi Hamzah

DALAM hitungan jam, kita telah memasuki tahun baru versi kalender Masehi. Kaleder yang segera menunjuk angka 2011, kiranya dapat dikatakan lama, utamanya dalam bahasa kuantitatif. Namun dalam bahasa kualitatif, ternyata kita masih sangat minim dalam mengerjakan "PR-PR".

Kita masih berada pada impitan perang mata uang dan manufaktur antara AS dan China. Kita tiarap dalam pasaran global. Padahal, kalender itu telah memasuki apa yang disebut dengan MDGs.

Millinieum Development Goals, suatu hasrat negara maju melibatkan negara berkembang untuk dapat membangun pilar ekonominya dalam batasan standar pasar. Namun, sayangnya, NKRI yang kita banggakan ini, setelah 65 tahun merdeka belum juga menyentuh pilar milenium itu, apatah lagi akan berkompetisi.

Cerita, hikayat, mocopat, serat puisi jawa kuno yang penuh falsafah itu, hanya kita hitung pada standar normatif. Maka, wajar apabila negara yang berpilar pada human materials mulai menggerakkan roda perekonomian.

Korsel, Hong Kong, Taiwan, dan menyusul Naga raksasa China, belum lagi Brasil dan India ternyata dua negara di Amerika Latin dan Asia Selatan itu telah merajalela.

Sebagai bangsa yang berstandar pada pilar leluhur, relegiositas, kenyataannya kita menjadi bangsa yang estetis, tidak ingin mengaktualkan etos secara konkret. Bahkan, kita satu sama lain saling sikut, saling sikat. Keramahan kita menjadi mitos untuk melayani majikan, keramahan kita berstandar pada paternalistik sambil kita tidak malu-malu membungkam konsumerisme dalam syahwat kapitalisme.

Bangsa kita yang lahir melalui kerajaan kerajaan besar, tampak tenggelam, kita lebih banyak berbicara tentang transformasi etis ketimbang praksis menuju globalisasi yang sebenarnya. Inilah kekuatan semu yang selama runtuhnya kerajaan dan Islam, kita membangun atmosfer yang sukar dicerna oleh rakyat.

Pada usia dunia yang entah berapa tahun, saya teringat Boris Pasternak dalam Dr. Chivago, Grotta Azura-nya St. Takdir Alisjahbana yang menghibahkan kemanusiaan pada derajat yang sama antara manusia, inilah inti dari kepedulian sosial itu. Sementara dalam kapitalisme malu-malu itu, kita beranjak dari anatomi tawar-menawar rasa, kita tidak lagi bermain pada nurani, kita lebih bermain pada aspek spiritual dengan variabel yang acap menyimpang.

Memasuki Masehi yang ke 2011, panggung kesejarahan Indonesia sebagai suatu bangsa hendaknya dibuat baru dan matang, ia seyogianya bertahan pada gugusan dan gagasan baru tanpa harus meninggalkan yang lama. Manifestasi adakah mengubah struktur ekonomi selaras dengan struktur budaya dan spiritual sehingga setting sejarah bergeser bandulnya atas kemauan waktu. Sesungguhnya Indonesia sedang merenda taplak kesejarahan baru untuk suatu meja besar, yakni meja kebangsaan yang mempunyai visi dan misi yang jauh ke depan.

Dalam kesejarahannya yang gilang gemilang sejak Sriwijaya sampai Samudera Pasai, Indonesia adalah suatu titik besar yang belum tertanam di tanah yang subur, Indonesia pada pascakemerdekaan lebih banyak menyemai benih kebangsaan dan diplomasi, juga ebih banyak menyemai heroisme, dan menabur benih politik di luar presisinya sebagai bangsa yang baru merdeka. Ini yang kemudian memanggil founding father kita untuk melakukan polemik kebudayaan di tengah strategi dan interaksi politik yang dipengaruhi mocopat-mocopat bernuansa mataramisme.

Apakah dari sini nanti kita akan menebar term-term baru di-setting sejarah yang telah lama berubah. Kita kini dibangun oleh kesejarahan yang instan dan imitasi, kesenian yang hanya disponsor pemda, komparador ekonomi makro dan perhelatan besar yang tak berkesudahan untuk terus-menerus melecehkan hukum. Lalu kita sebagai bangsa harus mengikrarkan apa untuk daulat rakyat kita, di tengah merkantilisme global di antara rayuan pulau kelapa.

Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Senin, 3 Januari 2011

No comments:

Post a Comment