January 23, 2011

[Perjalanan] ‘Spekta’ Kampung Tua Gedungbatin

PEMERINTAH Kabupaten Way Kanan menetapkan Kampung Tua Gedungbatin sebagai daerah cagar wisata sejarah. Sayang, pembinaan tak sampai pada pengelolaan dan tindak lanjutnya.

Puluhan rumah yang berjajar di kanan-kiri jalan kampung Gedungbatin itu terlihat usang. Selintas, permukiman etnis Lampung ini seolah menghindari kemapanan yang identik dengan rumah beton dan warna-warna cerah mutakhir. Namun, di dalam kompleks inilah sesungguhnya spektakulasi sejarah Lampung masih dapat disaksikan.

Meskipun masih diharapkan agar tetap lestari, sulit bagi sebagian yang lain untuk tetap teguh pada pakem sejarah. Seiring menurunnya kualitas dan konstruksi bangunan, beberapa rumah mulai direhabilitasi. Bentuk-bentu rumah modern mulai merangsek perkampungan.

Kampung tua di Kecamatan Blambangan Umpu, Way Kanan, itu dipilih sebagai kampung wisata. Banyak sejarah yang tersimpan di kampung tersebut. Bahkan rumah-rumah tua yang masih terlihat berdiri dengan ornamen lama terlihat asri.

Perjalanan menuju di kampung wisata tersebut, masuk dari Kampung Gunungkatun, Baradatu. Kemudian kita mengarah ke jalan Kecamatan Negeriagung. Sekitar 35 menit kita akan memasuki jalan menuju ke kampung wisata tersebut.

Terlihat SMPN berdiri di pinggir jalan itu, tetapi arah yang hendak dituju untuk masuk kampung wisata itu kita harus mengerahkan kendaraan masuk ke jalan aspal yang sudah rusak. Di kiri jalan terlihat perkebunan karet milik warga sedangkan di sebelah kanan jalan tampak belukar, tetapi beberapa plang tertulis di lokasi itu.

Tulisan besar berbunyi “Bank Pohon Langka”, ternyata memang betul langka alias tidak ada. Proyek ratusan juta itu tidak terealisasi.

Dalam pelukan jalan masuk kampung yang parah, rumah-rumah tua mulai terlihat jelas. Satu tugu mini dengan desain sekenanya berdiri di tengah jalan, sehingga jalan dibentuk sedikit membelah untuk melalui tugu tersebut. Lalu, satu unit rumah tua yang besar dan panjang menyambut. Rumah yang dibangun puluhan tahun lalu, masih menggunakan bahan papan berkelas, dan tiang-tiang bulat besar menambah keindahan rumah tersebut.

Beberapa ukiran menghiasi teras rumah berbentuk panggung itu. Selanjutnya deretan rumah juga berdiri di sepanjang jalan itu. Sekitar dua kilometer rumah-rumah berdiri dan semua berbentuk panggung. Hanya ada beberapa rumah baru yang dibangun biasa (tidak panggung).

Satu rumah tampak usang dan atap mulai berjatuhan, penyangga atap rapuh dan tampak kumuh, karena tidak lagi ditempati. Tetapi rumah lain yang seharusnya sudah mulai direhabilitasi juga masih dibiarkan, padahal puluhan, bahkan ratusan juta dana APBD Way Kanan pernah dialokasikan untuk rehabilitasi rumah-rumah itu.

Ketika kita melewati beberapa rumah arah masuk kampung tersebut, akan terlihat sebuah bangunan gapura mini dengan hiasan canang. Gapura kecil itu menuju permakaman warga dan permakaman nenek moyang kampung tersebut. Sayang sekali gapura itu juga dibangun asal jadi dan penempatannya tidak sesuai, karena gapura yang seharusnya dibangun indah dan dapat dilewati kendaraan roda empat itu ternyata sangat sempit.

Kompleks bangunan tua itu memang cikal-bakal kampung, seperti sudah pasangan, kompleks itu bersanding dengan sungai besar yang masih tampak asri dan sejuk. Air yang tenang dan besar itu dihiasi pepohonon yang rimbun di pinggir-pinggir sungai tersebut.

Jika hendak menyeberangi sungai itu, pengunjung harus melewati jembatan ayun yang masih terlihat kokoh. Terasa dingin dan sejuk di pinggir sungai itu, bahkan akan menarik hati untuk sekadar mandi atau berenang di air lepas.

Salah satu harapan tempat wisata yang asri itu, memang hanya sebuah kenangan. Proyek pencanangan kampung menjadi objek wisata lebih sekadar mencairkan dana pemerintah. Sebab, tidak ada realisasinya sebagai tempat yang layak untuk dikunjungi.

Kampung tua di Gedungbatin, Blambangan Umpu, yang banyak meninggalkan sejarah itu, banyak kalangan mengkhawatirkan hanya tinggal kenangan. Atap rumah yang seharunya direhabilitasi menggunakan genting, ternyata karena ingin mengeruk keuntungan pribadi, dipasang beberapa atap seng.

Dari penuturan warga setempat, dahulu, di lokasi tersebut ada penjara Belanda. Perahu bersandar di tempat itu. Namun, petilasan itu sudah tidak ada tanda-tandanya.

Di kampung tersebut sekitar 14 rumah tua yang berbentuk panggung dan merupakan kampung pertama di Way Kanan, dan diprioritaskan menjadi kampung wisata. Bahkan sudah ratusan juta dana yang dianggarkan untuk melestarikan rumah-rumah di kampung itu.

“Kami sangat kecewa, ternyata dana yang dianggarkan 2009 itu kok hanya digunakan untuk pembelian 30 lembar seng, beberapa keping papan,” kata dia. (WARSENO/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Januari 2011

No comments:

Post a Comment