January 21, 2011

Anatomi Kemiskinan dan Infrastruktur Pedesaan

Oleh Hardi Hamzah


KEMISKINAN di pedesaan, bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hal ini dikarenakan masyarakat kita yang mayoritas tinggal di pedesaan selalu mengalami fluktuasi sebagai akibat adanya policy. Di satu pihak terdapat kebijakan yang linear dan kurang antisipatif, dipihak lain adanya jeratan para tengkulak.

Dalam kaitan itulah, kali ini penulis mencoba mengangkat perihal kemiskinan, meski tidak hanya berbicara tentang spesifik di pedesaan, namun pokok bahasan lebih bermuara pada hal-hal yang diharapkan mampu mencari jawab dan solusi kemiskinan yang ada pada masyarakat desa.

Mengapa desa menjadi skala prioritas, karena desa merupakan lumbung utama dari berbagai komoditi yang nota bene komoditi tersebut dinikmati masyarakat kota, dan elite perkotaan pula yang membuat policy (kebijakan), sehingga apakah masyarakat desa hanya menjadi obyek policy, dan bagaimana pula agar mereka menjadi subject dari negara ini, mengingat mereka merupakan anak bangsa mayoritas.

Apabila kita memahami kemiskinan sebagai suatu aspek yang rawan, maka korelasi terpenting yang harus kita kaitkan, adalah antara persepsi tentang kemiskinan itu terlebih dahulu. Demikian, ekonom sekaligus Ustad, Syafii Antonio mengatakan, bahwa standar BPS yang mengungkap adanya 31 juta jiwa lebih penduduk miskin di Indonesia, tidak relevan bila standar kemiskinan itu dibanding dengan apa yang dikemukakan World Bank dalam Annual Report (Laporan Tahunan).

Kita ketahui bersama, bahwa standar penduduk miskin di Indonesia, adalah sosok manusia yang berpenghasilan Rp.220.000,- per bulan. Sementara Word Bank menstandarisasi, bahwa masyarakat di Asia, Afrika dan Amerika Latin dapat dikategorikan miskin apabila berpenghasilan 2 US dolar per hari, ini berarti sekurangnya Rp. 18.000 per hari, yakni Rp.540.000 per bulan, kalau mengikuti standarisasi ini, berarti terdapat lebih dari sembilan puluh juta penduduk miskin, belum lagi yang berda di bawah garis kemiskinan. Kalau perhitungan itu disamaratakan, pun akan terdapat kejanggalan mengapa demikian, karena, dalam masyarakat kota, fluktuasi penghasilan pengangguran terselubung, sangatlah tidak jelas. Mulai dari pemulung, LSM, pers, kelompok penekan, dan para pekerja serabutan, menunjukkan angka yang destruktif antara kebutuhan mereka di perkotaan dengan penghasilannya, dan inilah, yang menurut sosiolog Dr. Imam Prasodjo cenderung melahirkan kriminalitas dan berbagai aspek negatif lainnya. Angka kemiskinan yang menunjuk pada kelipatan tiga (90 juta jiwa lebih), hal ini hendaknya menyadarkan kita sebagaimana yang dikatakan Syafii Maarif, bahwa perahu repbulik ini sedang oleng. Akan halnya kalau kita merujuk dengan hitungan World Bank, angka kemiskinan menjadi 90 juta jiwa lebih, bahkan bisa saja lebih dari itu. Desa kita yang berjumlah 72 ribu lebih , apabila 80% penduduk pedesaan berada pada garis kemiskinan,ini berarti dalam masyarakat pedesaanlah kemiskinan itu terbanyak.

Survei Divisi Penelitian MAHAR Foundation, menunjukkan bahwa 65,8 juta jiwa di pedesaan mengalami kemiskinan Absolut, dan lebih dari 15 juta jiwa mengalami kemiskinan antara struktural dan Absolut. Survei itu juga menunjukkan, bahwa angka masyarakat miskin di pedesaan dapat membludak . MAHAR Foundation yang mengikuti secara cermat laporan tahunan (annual Report) World Bank maka dapatlah dijelaskan lebih rinci, angka kemiskinan di pedesaan sudah sangat akut. Kenyataan ini, ternyata bukan karena pemerintah yang tidak mempunyai program, tetapi dalam survei MAHAR Foundation itu, bahwa Rakyat dan Kemiskinannya kurang Antisipatif terhadap program pemerintah, seperti KUR, UKM, dan beberapa BLK yang ada. Survei MAHAR Foundation kemudian juga melihat, bahwa titik rawan yang paling membahayakan hampir membawa perahu Indonesia oleng tak tentu Arah. Asumsi ini, setidaknya bila kita melihat angka survei, ternyata lebih banyak pengangguran “tidak kentara” (disguest unemployement) di pedesaan ketimbang di perkotaan. Di pedesaan menunjukan angka 47%, sementara di perkotaan hanya 17%.

Rapat koordinasi pemerintah dengan melibatkan 15 kementrian, menunjukan bahwa pemerintah antisipatif terhadap kemiskinan yang ada. Namun demikian, kita tidak memahami secara struktural, bahwa kemiskinan yang dirumuskan oleh 15 kementrian tersebut masih pada standar yang ada dewasa ini, yakni 31 juta jiwa. Kalau demikian halnya, maka benar apa yang dikatakan oleh sekjend PBB Bankimun , bahwa kalau dalam 2 triwulan di Tahun 2010 ini negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, tetap berstandar pada katagori kemiskinan yang rawan,bila ini terus terjadi, lanjut sekjend PBB itu maka dominasi politik arus bawah akan menguat.Penulis sendiri melihat, bahwa kemiskinan di pedesaan lebih besar implikasinya, dikarenakan masyarakat pedesaan belum banyak yang memahami komunikasi sosial, sangat boleh jadi mereka akan mendapat informasi yang salah, yang akan melahirkan selain ketidak pahaman tentang program pemerintah, juga akan cepat memicu potensi konflik.

Kemiskinan, memang tidak dapat dibiarkan, kita harus merubah culture Institusi dari bawah sampai atas. Apabila culture birokrasi kita tidak diubah, maka kebijakan akan menyediakan “karpet merah” pada elite politik dan pelaku ekonomi di pusat. Inilah yang kemudian, membuat kemiskinan di pedesaan disorientasi. Penduduk yang disorientasi, akan menampilkan bentuk-bentuk skeptis, tidak produktif terhadap SDA dan mencelakakan negara.

Penulis melihat bahwa kemiskinan, yang kemudian menjadi dua sisi mata uang, sesungguhnya akan terus menerus absolut, apabila kita melihat dari aspek matrerial (fisik) saja. Dalam kaitan ini untuk mengatasi kemiskinan, nampaknya yang dapat menjadi rujukan adalah kemiskinan di pedesaan harus dilihat dari Infra struktur sosial yang ada di pedesaan, perlu dipertimbangkan infra struktur sosial pedesaan, karena infra struktur sosial di pedesaan mencerminkan tingkat kemampuan masyarakat desa didalam mengelola pedesaan. Dalam tahapan ini, pertanyaan pertanyaan penting yang harus kita jawab bersama, adalah, apakah sistem organisasi masyarakat di suatu desa sudah cukup mapan atau setidaknya mampu untuk mengantisipasi suatu proses pembangunan yang dicanangkan pemerintah, atau justeru masih lemah sama sekali.

Hal ini perlu dipertanyakan, karena dengan memahami infra struktur sosial, kita akan memahami, sampai sejauh mana kesiapan masyarakat pedesaan untuk menghadapi dan menjalankan program pemerintah, ini berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan di pedesaan tidak hanya dengan pendekatan kuantitatif semata, tetapi juga pendekatan sosial, dimana, kita perlu memahami sejauh mana kelompok sosial, seperti pemuka agama, pemilik tanah atau kelompok elite pedesaan bisa diberdayakan untuk turut berperan serta aktif sebagai suatu instrumen sosial agar dapat ikut aktif bersama pemerintah dalam melakukan perubahan. Dan, yang juga amat penting kita perhatikan, apakah sarana seperti bank, pusat pasar, jalan dan fasilitas angkutan, baik di dalam desa, kota kota terdekat di pedesaan telah dapat dimanfaatkan secara baik. Nah, kalau hal ini kita maknai, bahwa pengentasan kemiskinan di pedesaan equivalen dengan kerja sama seluruh elemen, maka program yang telah dikoordinasikan oleh lima belas kementerian terkait untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya di pedesaan akan berjalan baik pula.

Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation

Sumber: Lampung Post, Jumat, 21 Januari 2011

No comments:

Post a Comment