SOLO (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengajak mahasiswa di perantauan jika sudah menyelesaikan studi di berbagai perguruan tinggi untuk kembali ke daerah membangun Lampung.
“Lampung membutuhkan pemikiran dan tenaga yang terampil. Jadikanlah cita-cita kembali ke daerah untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat,” kata Gubernur dalam silaturahmi masyarakat dan mahasiswa asal Lampung di Solo, Sabtu (25-6).
Dalam silaturahmi yang dikemas malam keakraban itu, Gubernur mendorong mahasiswa kritis dan ideali dengan tidak meninggalkan disiplin sebagai ciri khas masyarakat kampus. "Lampung membutuhkan generasi yang tangguh dalam membangun daerah pada masa mendatang."
Selain dihadiri masyarakat dan mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta di Solo dan Yogyakarta, juga dihadiri Sekprov Berlian Tihang, anggota DPD asal Lampung Aryodhia Febriansya, Kadis Pendidikan Lampung Tauhidi, Asisten IV Setprov Adeham, dan Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza.
Nilai Pancasila
Menurut Gubernur, mahasiswa tidak boleh meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. "Pancasila adalah perekat dari berbagai agama, etnis, dan golongan menjadi Indonesia satu. Bangsa kian rapuh karena masyarakat sudah meninggalkan dan tidak lagi mengamalkan nilai-nilai luhur dari Pancasila. Mahasiswa asal Lampung juga harus menghormati adat istiadat Solo."
Lampung, kata dia, terdiri masyarakat yang heterogen dan hidup harmonis yang menjadi contoh daerah lain karena menjunjung tinggi nilai bersatu untuk membangun daerah. "Tidak ada masyarakat pendatang dan penduduk asli. Mereka adalah warga Lampung dari berbagai daerah di Indonesia untuk membangun Sai Bumi Ruwa Jurai."
Perhatian
Pada kesempatan itu, Ketua Ikatan Mahasiswa Lampung (Ikamala) Solo, Bambang, merasa bersyukur karena Pemprov mempunyai perhatian besar terhadap mahasiswa yang menimba ilmu di perantauan. "Perhatian ini menjadi pendorong dan semangat kami untuk kembali ke daerah untuk membangun Lampung jika sudah menyelesaikan studi."
Bambang berharap silaturahmi yang dapat merekatkan hubungan mahasiswa perantauan dan Pemprov ini, tidak hanya sebagai seremonial, tapi dapat berkelanjutan membentuk studi pengkajian yang lebih intensif membantu Pemprov dalam membangun daerah. (IKZ/U-3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juni 2011
June 27, 2011
Lampung-Surakarta Kerja Sama Budaya
SOLO (Lampost): Lampung dan Keraton Surakarta menjajaki kerja sama pertukaran budaya untuk melestarikan nilai-nilai luhur adat istiadat sehingga tidak punah dirampas oleh zaman.
GELAR ADAT. Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza (kanan) diangkat menjadi kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat dengan mendapat gelar adat Kanjeng Raden Ario (KRA) Rycko Menoza Noto Adinegoro yang dianugerahkan oleh S.I.S>KS. Pakuboewono XIII (kiri) di Keraton Surakarta Hadiningrat, Solo, Minggu (26-6). (DOKUMENTASI HUMAS PEMKAB LAMSEL)
Hal itu disampaikan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dan Ketua Lembaga Adat Keraton Surakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari dalam Pertukaran Budaya Lampung dan Surakarta di Keraton Surakarta, Solo, Minggu (26-6).
Sebelum acara tersebut, Keraton Surakarta menganugerahkan gelar keraton kepada Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza dengan panggilan Kanjeng Raden Ario (KRA) Rycko Menoza Noto Adinegoro di Bangsal Sumorokoto (Tempat yang Menyenangkan).
Menurut Sjachroedin, jika tidak dilestarikan budaya, nilai luhur itu akan hilang. Surakarta mempunyai istana yang megah dan sudah berdiri ratusan tahun lalu. Ini adalah aset budaya.
"Kerja sama pertukaran budaya ini juga untuk merajut kebhinnekaan dan menjaga persatuan Nusantara. Lampung yang penduduknya beragam dari berbagai daerah, antara lain dari Jawa, sangat berkepentingan melestarikan adat istiadat. Untuk itu, Lampung yang kini banyak kedatuan dihimpun melalui Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL)," kata Sjachroedin.
Pada kesempatan itu, Gubernur juga ingin membantu membesarkan dan melestarikan Keraton Surakarta. "Peninggalan sejarah ini terasa terpinggirkan. Jika tidak dibantu, akan punah," kata Sjachroedin yang menawarkan keluarga besar Paku Buwono XIII untuk bersilaturahmi ke Lampung.
Hal senada juga ditegaskan G.K.R. Wandansari. "Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak terlepas dari peran kerajaan. Sedikitnya 250 kerajaan termasuk Surakarta di Nusantara bersatu mendirikan negara Indonesia. Dalam Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tujuh dari sembilan orang panitia BPUPKI berasal dari Surakarta yang diutus oleh Paku Buwono," kata Wandansari.
Namun, dia mengakui akhir-akhir ini banyak hak-hak adat istiadat dirampas oleh Pemerintah Pusat. Tersirat bagaimana pemerintah dan Keraton Yogyakarta memperdebatkan perlu tidaknya gubernur Yogyakarta ditetapkan atau dipilih rakyat.
Dalam pertemuan raja-raja di Nusantara, seperti di Bandung, Palembang, dan Makassar, pemerintah diingatkan agar tidak merampas hak-hak adat istiadat tersebut, juga pemerintah agar ikut membantu melestarikan aset-aset sejarah.
Hadir dalam acara pertukaran budaya itu, Sekprov Lampung Berlian Tihang, anggota DPD Aryodhia Febriansya S.Z.P., Asisten IV Setprov Adeham, anggota DPRD Lampung Syarifah Widianti, pengurus MPAL, pejabat di lingkungan Pemprov dan Lampung Selatan. (IKZ/U-3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juni 2011ro
GELAR ADAT. Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza (kanan) diangkat menjadi kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat dengan mendapat gelar adat Kanjeng Raden Ario (KRA) Rycko Menoza Noto Adinegoro yang dianugerahkan oleh S.I.S>KS. Pakuboewono XIII (kiri) di Keraton Surakarta Hadiningrat, Solo, Minggu (26-6). (DOKUMENTASI HUMAS PEMKAB LAMSEL)
Hal itu disampaikan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dan Ketua Lembaga Adat Keraton Surakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari dalam Pertukaran Budaya Lampung dan Surakarta di Keraton Surakarta, Solo, Minggu (26-6).
Sebelum acara tersebut, Keraton Surakarta menganugerahkan gelar keraton kepada Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza dengan panggilan Kanjeng Raden Ario (KRA) Rycko Menoza Noto Adinegoro di Bangsal Sumorokoto (Tempat yang Menyenangkan).
Menurut Sjachroedin, jika tidak dilestarikan budaya, nilai luhur itu akan hilang. Surakarta mempunyai istana yang megah dan sudah berdiri ratusan tahun lalu. Ini adalah aset budaya.
"Kerja sama pertukaran budaya ini juga untuk merajut kebhinnekaan dan menjaga persatuan Nusantara. Lampung yang penduduknya beragam dari berbagai daerah, antara lain dari Jawa, sangat berkepentingan melestarikan adat istiadat. Untuk itu, Lampung yang kini banyak kedatuan dihimpun melalui Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL)," kata Sjachroedin.
Pada kesempatan itu, Gubernur juga ingin membantu membesarkan dan melestarikan Keraton Surakarta. "Peninggalan sejarah ini terasa terpinggirkan. Jika tidak dibantu, akan punah," kata Sjachroedin yang menawarkan keluarga besar Paku Buwono XIII untuk bersilaturahmi ke Lampung.
Hal senada juga ditegaskan G.K.R. Wandansari. "Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak terlepas dari peran kerajaan. Sedikitnya 250 kerajaan termasuk Surakarta di Nusantara bersatu mendirikan negara Indonesia. Dalam Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tujuh dari sembilan orang panitia BPUPKI berasal dari Surakarta yang diutus oleh Paku Buwono," kata Wandansari.
Namun, dia mengakui akhir-akhir ini banyak hak-hak adat istiadat dirampas oleh Pemerintah Pusat. Tersirat bagaimana pemerintah dan Keraton Yogyakarta memperdebatkan perlu tidaknya gubernur Yogyakarta ditetapkan atau dipilih rakyat.
Dalam pertemuan raja-raja di Nusantara, seperti di Bandung, Palembang, dan Makassar, pemerintah diingatkan agar tidak merampas hak-hak adat istiadat tersebut, juga pemerintah agar ikut membantu melestarikan aset-aset sejarah.
Hadir dalam acara pertukaran budaya itu, Sekprov Lampung Berlian Tihang, anggota DPD Aryodhia Febriansya S.Z.P., Asisten IV Setprov Adeham, anggota DPRD Lampung Syarifah Widianti, pengurus MPAL, pejabat di lingkungan Pemprov dan Lampung Selatan. (IKZ/U-3)
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juni 2011ro
June 26, 2011
[Perjalanan] Menengok Kampung Mayjen Ryacudu
NAMA Mayjen Ryacudu menjulang di Lampung. Apabila kampungnya, Mesirilir, disebut, penduduk Lampung juga langsung tune in. Namun, kampung Sang Jenderal ternyata tak semegah namanya.
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/SUDARMONO
Ketika mengetik kata Mesirilir di mesin pencari lokasi Google Maps, nama itu tidak dikenal di tempat mana pun. Nama yang terdekat adalah Bahuga, kota kecamatan yang menaungi Kampung Mesirilir.
Melihat peta Bahuga, tergambar posisi yang jauh dari jalan utama. Jalur berwarna abu-abu yang menggambarkan jalur kecil juga kurang detail, sehingga untuk menuju kampung Sang Jenderal di Mesirilir, Kecamatan Bahuga, Way Kanan, informasi informal menjadi lebih utama.
Untuk saat ini, nyaris tidak ada pilihan terbaik mengakses Mesirilir dari Bandar Lampung. Lintasan paling lazim adalah lewat Way Tuba, Way Kanan, yang menyempal dari jalinsum hanya berjarak 48 km. Namun, jalan provinsi dari jalinsum sampai ke lokasi rusak parah, sehingga untuk menempuh 48 km itu dibutuhkan 3 jam. Itu pun jika tidak kepater atau gardan nyangkut.
Jarak paling dekat adalah lintas Kotabumi, Negararatu, Pakuanratu, sampai ke Mesirilir. Jalur ini potensial secara sosial ekonomi, tetapi pemerintah belum melirik untuk menjadi jalur pertumbuhan. Jika memilih jalur ini, spidometer tidak boros angka, tetapi bahan bakar dan waktunya jauh lebih royal. Dengan melewati hutan belukar, kebun karet, dan sawit, perjalanan memakan waktu sembilan jam untuk sampai ke Bandar Lampung.
Pilihan bijak adalah lewat provinsi tetangga, Sumatera Selatan. Perjalanan di jalinsum harus sengaja dibablaskan hingga Martapura, mengambil arah Belitang, masuk Bendungan Komering Perjaya, dan mengikuti tanggul irigasi yang memisahkan air ke arah Bahuga. Jalan mulus terus di atas tanggul, tetapi sempit.
Baru, setelah turun tanggul, perjalanan sekitar satu jam melintasi belukar dan kebun karet rakyat dan tebu serta sawit perkebunan swasta, sampailah di Bahuga. Ada penanda berupa tugu batas provinsi yang dibangun Pemkab Way Kanan di tengah belukar. Sayang, bangunan yang masih gress dengan keramik dan tulisannya itu sudah mberodol di hampir semua sisinya.
Praktis, tidak ada pilihan menarik untuk hadir di kampung Sang Jenderal ini. Padahal, selain jasa Mayjen Ryacudu yang tercatat sebagai pahlawan nasional, dia adalah tokoh perjuangan Lampung, dan namanya pun diabadikan untuk rumah sakit, monumen, dan nama jalan di hampir semua kota di Lampung. Selain itu, nama putra-putrinya juga berkibar dalam karier.
Ada Ryimizard yang pernah menjadi kasad, ada Syamsurya yang pernah menjadi wakil gubernur untuk kemudian menjadi gubernur Lampung meskipun hanya semester pendek, ada Ryamur sebagai pengusaha, dan lain-lain. Nama-nama itu nyaris tak menolong infrastruktur jalan untuk mengakses Mesirilir.
Wajar jika Bahuga tak ada gemanya sebagai kota kecamatan, terlebih setelah dipecah menjadi tiga. Saat Lampung Post menyinggahi di kantor camat, Rabu (23-6), sekitar pukul 10.30, hanya ada tiga pegawai sedang asyik mengobrol.
Tak ada camat, tak ada warga yang butuh layanan, tak ada juga tanda-tanda aktivitas pemerintahan. Meskipun demikian, bendera merah putih tetap berkibar deras di halaman kantor yang lengang.
Untuk memasuki Kampung Mesirilir kami diantar Hifni, seorang pamong yang juga staf kecamatan. Rasa etnik Lampung memang begitu terasa. Pedukuhan yang berada di pinggir Way Umpu itu masih arif dengan arsitektur rumah aslinya yang panggung dengan kayu warna alam.
Satu jembatan gantung sepanjang 120 meter menjadi penguat rasa kampung etnik itu meskipun sejak 2005, jembatan hanya menjadi ornamen karena sudah dibangun jembatan baja sekitar 150 meter di bagian atas.
Menilik rumah keluarga Mayjen Ryacudu tidak terlalu istimewa. Hunian yang menjadi wasiat keluarga seluas 20 x 40 meter ini agak berbeda dengan tetangganya. Tak ada lagi beranda balkon tempat kongko-kongko penghuninya saat sore atau pagi hari sambil menyeruput kopi.
Fungsi balkon itu digantikan gazebo besar di sisi kanan bangunan yang terhubung dengan ruang tamu. Gubuk terbuka dengan panggung rendah berlantai papan itu disebut peranginan. “Ini tempat musyawarah-musyawarah adat dilakukan,” kata Hanafi, keponakan menantu Ryacudu yang merawat dan menunggu rumah itu.
Atmosfer rumah adat peninggalan seorang prajurit tampak kental di rumah yang dipugar pada 1985 ini. Memasuki ruang tamu rumah kayu itu, foto Jenderal Soeharto yang mulai lapuk terpampang tegar. Selain foto Mayjen Ryacudu, juga hadir foto Jenderal Ahmad Yani di ruang itu. “Entah, mengapa foto Pak Yani yang dipasang di sini. Mungkin dia atasannya kali,” kata Hanafi. Satu foto lagi dalam ukuran besar adalah foto Mayjen Ryacudu dengan pakaian tempur TNI.
Barang-barang tua yang ditinggalkan keluarga Ryacudu masih terawat dan tertata apik. Foto Ryacudu yang bersanding dengan Nur’aini, istrinya, menjadi pemandu untuk sembilan foto lainnya di barisan bawah.
Sembilan anak Ryacudu itu adalah Ryamizard, Ryamur, Nuhsin, Ida, Syamsurya, Krisna Murti, Hery, Irawan, dan Ryana. “Mereka semua tidak ada yang tinggal di sini,” kata Hanafi yang asli Cianjur ini.
Meskipun tidak ada yang tinggal di Mesirilir, tiga kamar masih tersedia dan siap menjadi “bilik rindu” anak-anak Ryacudu jika berkunjung. Bahkan, kamar sang ayah yang berada di bilik luar bagian kiri masih dirawat dengan baik. “Tapi tidak setahun sekali mereka menginap. Paling-paling Meli (Ryamur) yang masih sering ke sini. Ryamizard masih kadang-kadang,” ujar Hanafi.
Kilau Kampung Mesirilir memang menggema sampai ke sudut Lampung. Namun, derap pembangunan di tanah Sang Jenderal ini tidak beranjak dari keterbelakangan. Bahkan, stigma sebagai kampung yang sebaiknya tidak usah dilewati cukup kental melekat. (SUDARMONO)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/SUDARMONO
Ketika mengetik kata Mesirilir di mesin pencari lokasi Google Maps, nama itu tidak dikenal di tempat mana pun. Nama yang terdekat adalah Bahuga, kota kecamatan yang menaungi Kampung Mesirilir.
Melihat peta Bahuga, tergambar posisi yang jauh dari jalan utama. Jalur berwarna abu-abu yang menggambarkan jalur kecil juga kurang detail, sehingga untuk menuju kampung Sang Jenderal di Mesirilir, Kecamatan Bahuga, Way Kanan, informasi informal menjadi lebih utama.
Untuk saat ini, nyaris tidak ada pilihan terbaik mengakses Mesirilir dari Bandar Lampung. Lintasan paling lazim adalah lewat Way Tuba, Way Kanan, yang menyempal dari jalinsum hanya berjarak 48 km. Namun, jalan provinsi dari jalinsum sampai ke lokasi rusak parah, sehingga untuk menempuh 48 km itu dibutuhkan 3 jam. Itu pun jika tidak kepater atau gardan nyangkut.
Jarak paling dekat adalah lintas Kotabumi, Negararatu, Pakuanratu, sampai ke Mesirilir. Jalur ini potensial secara sosial ekonomi, tetapi pemerintah belum melirik untuk menjadi jalur pertumbuhan. Jika memilih jalur ini, spidometer tidak boros angka, tetapi bahan bakar dan waktunya jauh lebih royal. Dengan melewati hutan belukar, kebun karet, dan sawit, perjalanan memakan waktu sembilan jam untuk sampai ke Bandar Lampung.
Pilihan bijak adalah lewat provinsi tetangga, Sumatera Selatan. Perjalanan di jalinsum harus sengaja dibablaskan hingga Martapura, mengambil arah Belitang, masuk Bendungan Komering Perjaya, dan mengikuti tanggul irigasi yang memisahkan air ke arah Bahuga. Jalan mulus terus di atas tanggul, tetapi sempit.
Baru, setelah turun tanggul, perjalanan sekitar satu jam melintasi belukar dan kebun karet rakyat dan tebu serta sawit perkebunan swasta, sampailah di Bahuga. Ada penanda berupa tugu batas provinsi yang dibangun Pemkab Way Kanan di tengah belukar. Sayang, bangunan yang masih gress dengan keramik dan tulisannya itu sudah mberodol di hampir semua sisinya.
Praktis, tidak ada pilihan menarik untuk hadir di kampung Sang Jenderal ini. Padahal, selain jasa Mayjen Ryacudu yang tercatat sebagai pahlawan nasional, dia adalah tokoh perjuangan Lampung, dan namanya pun diabadikan untuk rumah sakit, monumen, dan nama jalan di hampir semua kota di Lampung. Selain itu, nama putra-putrinya juga berkibar dalam karier.
Ada Ryimizard yang pernah menjadi kasad, ada Syamsurya yang pernah menjadi wakil gubernur untuk kemudian menjadi gubernur Lampung meskipun hanya semester pendek, ada Ryamur sebagai pengusaha, dan lain-lain. Nama-nama itu nyaris tak menolong infrastruktur jalan untuk mengakses Mesirilir.
Wajar jika Bahuga tak ada gemanya sebagai kota kecamatan, terlebih setelah dipecah menjadi tiga. Saat Lampung Post menyinggahi di kantor camat, Rabu (23-6), sekitar pukul 10.30, hanya ada tiga pegawai sedang asyik mengobrol.
Tak ada camat, tak ada warga yang butuh layanan, tak ada juga tanda-tanda aktivitas pemerintahan. Meskipun demikian, bendera merah putih tetap berkibar deras di halaman kantor yang lengang.
Untuk memasuki Kampung Mesirilir kami diantar Hifni, seorang pamong yang juga staf kecamatan. Rasa etnik Lampung memang begitu terasa. Pedukuhan yang berada di pinggir Way Umpu itu masih arif dengan arsitektur rumah aslinya yang panggung dengan kayu warna alam.
Satu jembatan gantung sepanjang 120 meter menjadi penguat rasa kampung etnik itu meskipun sejak 2005, jembatan hanya menjadi ornamen karena sudah dibangun jembatan baja sekitar 150 meter di bagian atas.
Menilik rumah keluarga Mayjen Ryacudu tidak terlalu istimewa. Hunian yang menjadi wasiat keluarga seluas 20 x 40 meter ini agak berbeda dengan tetangganya. Tak ada lagi beranda balkon tempat kongko-kongko penghuninya saat sore atau pagi hari sambil menyeruput kopi.
Fungsi balkon itu digantikan gazebo besar di sisi kanan bangunan yang terhubung dengan ruang tamu. Gubuk terbuka dengan panggung rendah berlantai papan itu disebut peranginan. “Ini tempat musyawarah-musyawarah adat dilakukan,” kata Hanafi, keponakan menantu Ryacudu yang merawat dan menunggu rumah itu.
Atmosfer rumah adat peninggalan seorang prajurit tampak kental di rumah yang dipugar pada 1985 ini. Memasuki ruang tamu rumah kayu itu, foto Jenderal Soeharto yang mulai lapuk terpampang tegar. Selain foto Mayjen Ryacudu, juga hadir foto Jenderal Ahmad Yani di ruang itu. “Entah, mengapa foto Pak Yani yang dipasang di sini. Mungkin dia atasannya kali,” kata Hanafi. Satu foto lagi dalam ukuran besar adalah foto Mayjen Ryacudu dengan pakaian tempur TNI.
Barang-barang tua yang ditinggalkan keluarga Ryacudu masih terawat dan tertata apik. Foto Ryacudu yang bersanding dengan Nur’aini, istrinya, menjadi pemandu untuk sembilan foto lainnya di barisan bawah.
Sembilan anak Ryacudu itu adalah Ryamizard, Ryamur, Nuhsin, Ida, Syamsurya, Krisna Murti, Hery, Irawan, dan Ryana. “Mereka semua tidak ada yang tinggal di sini,” kata Hanafi yang asli Cianjur ini.
Meskipun tidak ada yang tinggal di Mesirilir, tiga kamar masih tersedia dan siap menjadi “bilik rindu” anak-anak Ryacudu jika berkunjung. Bahkan, kamar sang ayah yang berada di bilik luar bagian kiri masih dirawat dengan baik. “Tapi tidak setahun sekali mereka menginap. Paling-paling Meli (Ryamur) yang masih sering ke sini. Ryamizard masih kadang-kadang,” ujar Hanafi.
Kilau Kampung Mesirilir memang menggema sampai ke sudut Lampung. Namun, derap pembangunan di tanah Sang Jenderal ini tidak beranjak dari keterbelakangan. Bahkan, stigma sebagai kampung yang sebaiknya tidak usah dilewati cukup kental melekat. (SUDARMONO)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011
June 19, 2011
[Wawancara] Menghidupkan Kesenian Lampung
Syafariah Widianti
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung
MASYARAKAT Lampung harus tersentuh dengan kesenian. Sebab, seni akan membuat hidup lebih indah. Seni juga akan membangun harmoni hidup lebih baik. Oleh sebab itu, kesenian harus tetap hidup pada diri kita semua.
Lampung menjadi salah satu nama yang cukup mapan dalam perkembangan kesenian di Indonesia. Produktivitas dan kreativitas seniman Bumi Ruwa Jurai ini cukup baik dan selalu ambil bagian dalam setiap event seni budaya nasional, bahkan internasional.
Seni memang idealnya tumbuh dan hidup dari dalam dirinya sendiri yang mampu menampilkan keindahan lahir maupun batin. Itu yang terjadi pada karya-karya seni murni (fine art). Nama-mana seperti Bali, Yogya, dan Bandung, misalnya, adalah contoh dari kehidupan seni yang sesungguhnya. Di situ, seni sudah menjadi komoditas yang menjanjikan.
Di Lampung, atmosfer fine art memang belum subur. Namun, beberapa cabang seni, seperti teater, sudah mulai menempatkan pada posisi idealnya. Kita bisa simak kiprah Teater Satu Lampung yang dinobatkan sebagai teater terbaik nasional 2010 versi Majalah Tempo yang kini sudah “laku” di pentas nasional dan mancanegara.
Meskipun demikian, perkembangan seni juga harus didorong pemerintah. Sebab, untuk menjaga agar para seniman tetap berkarya dan berkreasi untuk kemudian menjadi eksis, memang butuh dukungan moral dan meterial. Itulah mengapa Dewan Kesenian Lampung (DKL) masih begitu diperlukan sebagai penjaga seni dan seniman.
Untuk mengetahui apa kiprah dan visi DKL dalam menjaga dan mengembangkan seni budaya Lampung, berikut petikan wawancara wartawan Lampung Post Hesma Eryani, Wiwik Hastuti, dan Sudarmono dengan Ketua DKL Syafariah Widiyanti, Kamis (16-6), usai pengukuhan DKL masa bakti 2011—2014.
Anda baru saja dikukuhkan kembali menjadi ketua umum DKL. Apakah merasa berhasil mengantar DKL pada periode lalu?
Bukan seperti itu. Untuk sesuatu tugas yang diamanahkan, saya selalu menganggapnya sebagai kepercayaan yang harus dijalankan. Itu adalah bagian dari cita-cita hidup saya, agar bisa bermanfaat bagi lebih banyak orang lain.
Soal apakah berhasil atau tidak dari apa yang saya kerjakan, itu bukan bagian saya. Penilaian saya serahkan kepada orang lain, terutama kepada pihak yang memberi amanah. Dalam hal ini, amanah itu diberikan kepada saya dari para seniman dan pekerja seni. Nah, saya tidak tahu mengapa mereka meminta saya untuk kembali memimpin DKL. Maka, saya serahkan penilaian itu kembali kepada Anda.
Apa yang sudah Anda lakukan untuk kesenian di Lampung?
Terus terang belum maksimal apa yang saya lakukan untuk kesenian di Lampung melalui DKL. Meskipun banyak orang menilai sejak beberapa tahun terakhir, kegiatan kesenian dan agenda-agenda untuk memajukan kesenian juga lebih terasa.
DKL berusaha aktif untuk mengikuti setiap agenda seni budaya di luar daerah, bahkan luar negeri. Saya berusaha keras agar seniman-seniman Lampung bisa ikut pada kegiatan-kegiatan yang levelnya lebih luas. Intinya, agar tidak hanya berkutat di daerahnya. Lebih dari itu, ini adalah kesempatan seni budaya dan Lampung pada umumnya agar dikenal di dunia luar. Kalau cuma hebat di daerahnya sendiri, ya bagaimana?
Di periode kedua kepemimpinan, apa yang akan Anda lakukan?
Saya berpikir kesenian adalah sesuatu yang indah. Kata orang bijak, dunia akan indah jika ada seni. Dan saya juga yakin, setiap kegiatan manusia jika dilandasi dengan seni dan keindahan, hidup ini akan terasa lebih indah. Bagitu, kali ya.
Oleh sebab itu, saya menganggap kesenian harus menjadi bagian dari hidup kita. Seni dan budaya tentu saja yang bermuatan kebaikan-kebaikan, harus masuk kepada setiap orang, termasuk para pejabat, politisi, profesional, dan lainnya.
Beberapa waktu lalu saya pernah mengajak Gubernur untuk ikut main warahan. Dia sudah mau, tetapi kebetulan belum dapat waktu yang tepat dan senggang. Nah, dengan main sandiwara warahan itu, kita akan mengenal dunia seni. Dan diharapkan semua orang kenal dengan seni. Dengan demikian, pekerjaan apa pun, kita tetap bisa enjoy. Atau setidaknya, berkesenian bisa menjadi saluran positif untuk menghibur diri melepaskan penat.
Anda sendiri sudah pernah main warahan?
Lo, enggak pernah nonton berarti, ya? Saya memang tidak punya keahlian di bidang seni. Memang, kalau baca puisi dan nyanyi-nyanyi, ya bisalah sedikit-sedikit. Nah, dengan modal sedikit modal suka dan sedikit nekat, saya berusaha ikut dan merasakan menjadi seniman.
Apa manfaat seni itu bagi Anda?
Sekali lagi, saya meyakini bahwa seni itu akan membuat kita lebih berbudaya. Artinya, orang akan lebih peka, lebih mudah simpati, lebih lembut jiwanya dari pada orang yang tidak pernah berkesenian.
Kalau manfaat secara pribadi, ya tentu saja kesenian itu membuat kita lebih rileks. Orang menyanyi-nyanyi itu kan bisa gembira dan terlepas dari ketegangan.
Tentu kalau kami main warahan ya bukan yang lakonnya serius. Ya, seperti ketoprak humor, begitulah. Jadi, kita kan bisa ketawa-ketawa. Dan itu bisa membuat kita lega.
Kembali ke program DKL tiga tahun ke depan, konkretnya seperti apa?
Soal program kerja memang sedang kita godok untuk ditetapkan menjadi program nyata. Yang pasti, semua program yang selama ini menjadi agenda DKL dan dalam evaluasinya punya imbas positif dan signifikan, kami akan teruskan.
Untuk diketahui, DKL hanyalah suatu wadah yang diakui pemerintah dan bertugas menjadi fasilitator bagi tumbuh-kembangnya kesenian di daerah. Oleh sebab itu, kami akan memfasilitasi setiap kegiatan yang bersifat seni budaya untuk mendapatkan tempat dan fasilitas yang sepadan dengan prestasi dan kiprahnya.
Evaluasi selama tiga tahun Anda pimpin, seperti apa?
Ya, masih banyak yang harus kita benahi dan tingkatkan. Pada kepengurusan yang baru ini, ketua hariannya berganti kepada Mas Harry (Harry Jayaningrat). Saya yakin, dia bisa menjembatani para seniman di semua lapisan masyarakat di Lampung untuk bisa tumbuh dan berkembang bersama.
Kami ingin kesenian ini benar-benar menjadi seni yang bisa dinikmati masyarakat, bukan seni yang hanya dinikmati oleh para seniman sendiri. Pendek kata, kesenian harus membumi.
Soal seni yang membumi, seperti apa contoh konkretnya?
Kebetulan beberapa waktu lalu DKL membuat kegiatan melukis bersama di Kelumbayan. Kami mengajak sekitar 130 pelukis, termasuk kami mengundang pelukis dari Jerman, datang ke Desa Batulayar, Kelumbayan, Tanggamus. Di situ kami mengundang masyarakat sekitar, bersama-sama melukis keindahan alam Kelumbayan. Di situlah kami merasakan masyarakat harus kita libatkan agar menjadi bagian dari kesenian itu sendiri.
Dan ternyata, warga sangat antusias dan bergembira bersama kami. Mereka bisa tahu dan kenal dengan pelukis-pelukis terkenal, mengenal karya lukis yang baik, dan ini menjadi pendidikan tentang seni rupa kepada masyarakat. Artinya, seni lukis itu harus juga dinikmati masyarakat. Dan masih banyak contoh lain. Ke depan, kita akan lebih banyak membuat kegiatan yang membumi seperti itu.
Banyak yang menyoroti DKL tidak peduli dengan kesenian yang tumbuh sendiri di masyarakat, seperti kuda kepang, ketoprak, atau sejenisnya. Apa komentar Anda?
Penilaian seperti itu bisa saja benar. Kami sudah berusaha untuk mengakomodasi semua kesenian, tetapi mungkin belum bisa seluas yang kami inginkan. Tetapi baik, itu akan menjadi bahan evaluasi dan menjadi acuan menyusun rencana kerja mendatang.
Soal fasilitas kesenian di Lampung, apa komentar Anda?
Ya, saya kira seni juga harus ditunjang modal. Meskipun idealnya seni itu seharusnya bisa menghidupi dirinya sendiri. Itu terjadi pada kesenian-kesenian yang sudah mapan atau kesenian tradisional yang mendapat upah dari menjual karyanya. Tetapi, untuk seni secara umum masih belum.
Oleh sebab itu, sejak tiga tahun lalu kami sudah mendesak Pemprov untuk menyediakan atau membangun gedung kesenian. Sejak tahun lalu pembangunan gedung kesenian Lampung sudah dimulai, tetapi sampai sekarang belum rampung. Tadi pada acara pengukuhan DKL, Pak Berlian (Sekprov) sudah memberi sinyal bahwa melalui anggaran perubahan, pembanguan gedung kesenian akan berlanjut tahun ini. Minta doanya supaya segera terwujud, ya.
Apa arti penting gedung kesenian?
Ya, tentu penting sekali. Percuma kita latihan seni kalau tidak bisa pentas. Nah, gedung kesenian yang representatif menjadi penting ada.
Selain itu, gedung kesenian diharapkan akan menjadi rumah bersama para seniman. n
BIODATA
Nama : Hj. Syafariah Widianti, S.H., M.H.
Kelahiran : Bandar Lampung, 27 November 1945
Anak :
1. Reza Pahlevi, S.T.
2. Diza Noviandi, S.T., M.Sc.
3. Andi Trevino, S.H.
4. Mona Monica, S.S.S.
5. Donna Febiola, S.E., M.M.
6. Dimas Aditya, S.H., M.H.
7. M. Rinaldi
Pendidikan :
- SD Xaverius Tanjungkarang (1958)
- SMPN 1 Tanjungkarang (1961)
- SMAN 5 Bandung (1964)
- S-1 FH Unila (1969)
- S-1 FH Unila (2002)
Organisasi :
- Ketua Umum DKL (2007—2010, 2011—2014)
- Bendahara Majelis Penyimbang Adat Lampung
- Anggota Komisi IV DPRD Lampung
- Wakil Ketua DPD PDIP Perjuangan Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011
Lampung menjadi salah satu nama yang cukup mapan dalam perkembangan kesenian di Indonesia. Produktivitas dan kreativitas seniman Bumi Ruwa Jurai ini cukup baik dan selalu ambil bagian dalam setiap event seni budaya nasional, bahkan internasional.
Seni memang idealnya tumbuh dan hidup dari dalam dirinya sendiri yang mampu menampilkan keindahan lahir maupun batin. Itu yang terjadi pada karya-karya seni murni (fine art). Nama-mana seperti Bali, Yogya, dan Bandung, misalnya, adalah contoh dari kehidupan seni yang sesungguhnya. Di situ, seni sudah menjadi komoditas yang menjanjikan.
Di Lampung, atmosfer fine art memang belum subur. Namun, beberapa cabang seni, seperti teater, sudah mulai menempatkan pada posisi idealnya. Kita bisa simak kiprah Teater Satu Lampung yang dinobatkan sebagai teater terbaik nasional 2010 versi Majalah Tempo yang kini sudah “laku” di pentas nasional dan mancanegara.
Meskipun demikian, perkembangan seni juga harus didorong pemerintah. Sebab, untuk menjaga agar para seniman tetap berkarya dan berkreasi untuk kemudian menjadi eksis, memang butuh dukungan moral dan meterial. Itulah mengapa Dewan Kesenian Lampung (DKL) masih begitu diperlukan sebagai penjaga seni dan seniman.
Untuk mengetahui apa kiprah dan visi DKL dalam menjaga dan mengembangkan seni budaya Lampung, berikut petikan wawancara wartawan Lampung Post Hesma Eryani, Wiwik Hastuti, dan Sudarmono dengan Ketua DKL Syafariah Widiyanti, Kamis (16-6), usai pengukuhan DKL masa bakti 2011—2014.
Anda baru saja dikukuhkan kembali menjadi ketua umum DKL. Apakah merasa berhasil mengantar DKL pada periode lalu?
Bukan seperti itu. Untuk sesuatu tugas yang diamanahkan, saya selalu menganggapnya sebagai kepercayaan yang harus dijalankan. Itu adalah bagian dari cita-cita hidup saya, agar bisa bermanfaat bagi lebih banyak orang lain.
Soal apakah berhasil atau tidak dari apa yang saya kerjakan, itu bukan bagian saya. Penilaian saya serahkan kepada orang lain, terutama kepada pihak yang memberi amanah. Dalam hal ini, amanah itu diberikan kepada saya dari para seniman dan pekerja seni. Nah, saya tidak tahu mengapa mereka meminta saya untuk kembali memimpin DKL. Maka, saya serahkan penilaian itu kembali kepada Anda.
Apa yang sudah Anda lakukan untuk kesenian di Lampung?
Terus terang belum maksimal apa yang saya lakukan untuk kesenian di Lampung melalui DKL. Meskipun banyak orang menilai sejak beberapa tahun terakhir, kegiatan kesenian dan agenda-agenda untuk memajukan kesenian juga lebih terasa.
DKL berusaha aktif untuk mengikuti setiap agenda seni budaya di luar daerah, bahkan luar negeri. Saya berusaha keras agar seniman-seniman Lampung bisa ikut pada kegiatan-kegiatan yang levelnya lebih luas. Intinya, agar tidak hanya berkutat di daerahnya. Lebih dari itu, ini adalah kesempatan seni budaya dan Lampung pada umumnya agar dikenal di dunia luar. Kalau cuma hebat di daerahnya sendiri, ya bagaimana?
Di periode kedua kepemimpinan, apa yang akan Anda lakukan?
Saya berpikir kesenian adalah sesuatu yang indah. Kata orang bijak, dunia akan indah jika ada seni. Dan saya juga yakin, setiap kegiatan manusia jika dilandasi dengan seni dan keindahan, hidup ini akan terasa lebih indah. Bagitu, kali ya.
Oleh sebab itu, saya menganggap kesenian harus menjadi bagian dari hidup kita. Seni dan budaya tentu saja yang bermuatan kebaikan-kebaikan, harus masuk kepada setiap orang, termasuk para pejabat, politisi, profesional, dan lainnya.
Beberapa waktu lalu saya pernah mengajak Gubernur untuk ikut main warahan. Dia sudah mau, tetapi kebetulan belum dapat waktu yang tepat dan senggang. Nah, dengan main sandiwara warahan itu, kita akan mengenal dunia seni. Dan diharapkan semua orang kenal dengan seni. Dengan demikian, pekerjaan apa pun, kita tetap bisa enjoy. Atau setidaknya, berkesenian bisa menjadi saluran positif untuk menghibur diri melepaskan penat.
Anda sendiri sudah pernah main warahan?
Lo, enggak pernah nonton berarti, ya? Saya memang tidak punya keahlian di bidang seni. Memang, kalau baca puisi dan nyanyi-nyanyi, ya bisalah sedikit-sedikit. Nah, dengan modal sedikit modal suka dan sedikit nekat, saya berusaha ikut dan merasakan menjadi seniman.
Apa manfaat seni itu bagi Anda?
Sekali lagi, saya meyakini bahwa seni itu akan membuat kita lebih berbudaya. Artinya, orang akan lebih peka, lebih mudah simpati, lebih lembut jiwanya dari pada orang yang tidak pernah berkesenian.
Kalau manfaat secara pribadi, ya tentu saja kesenian itu membuat kita lebih rileks. Orang menyanyi-nyanyi itu kan bisa gembira dan terlepas dari ketegangan.
Tentu kalau kami main warahan ya bukan yang lakonnya serius. Ya, seperti ketoprak humor, begitulah. Jadi, kita kan bisa ketawa-ketawa. Dan itu bisa membuat kita lega.
Kembali ke program DKL tiga tahun ke depan, konkretnya seperti apa?
Soal program kerja memang sedang kita godok untuk ditetapkan menjadi program nyata. Yang pasti, semua program yang selama ini menjadi agenda DKL dan dalam evaluasinya punya imbas positif dan signifikan, kami akan teruskan.
Untuk diketahui, DKL hanyalah suatu wadah yang diakui pemerintah dan bertugas menjadi fasilitator bagi tumbuh-kembangnya kesenian di daerah. Oleh sebab itu, kami akan memfasilitasi setiap kegiatan yang bersifat seni budaya untuk mendapatkan tempat dan fasilitas yang sepadan dengan prestasi dan kiprahnya.
Evaluasi selama tiga tahun Anda pimpin, seperti apa?
Ya, masih banyak yang harus kita benahi dan tingkatkan. Pada kepengurusan yang baru ini, ketua hariannya berganti kepada Mas Harry (Harry Jayaningrat). Saya yakin, dia bisa menjembatani para seniman di semua lapisan masyarakat di Lampung untuk bisa tumbuh dan berkembang bersama.
Kami ingin kesenian ini benar-benar menjadi seni yang bisa dinikmati masyarakat, bukan seni yang hanya dinikmati oleh para seniman sendiri. Pendek kata, kesenian harus membumi.
Soal seni yang membumi, seperti apa contoh konkretnya?
Kebetulan beberapa waktu lalu DKL membuat kegiatan melukis bersama di Kelumbayan. Kami mengajak sekitar 130 pelukis, termasuk kami mengundang pelukis dari Jerman, datang ke Desa Batulayar, Kelumbayan, Tanggamus. Di situ kami mengundang masyarakat sekitar, bersama-sama melukis keindahan alam Kelumbayan. Di situlah kami merasakan masyarakat harus kita libatkan agar menjadi bagian dari kesenian itu sendiri.
Dan ternyata, warga sangat antusias dan bergembira bersama kami. Mereka bisa tahu dan kenal dengan pelukis-pelukis terkenal, mengenal karya lukis yang baik, dan ini menjadi pendidikan tentang seni rupa kepada masyarakat. Artinya, seni lukis itu harus juga dinikmati masyarakat. Dan masih banyak contoh lain. Ke depan, kita akan lebih banyak membuat kegiatan yang membumi seperti itu.
Banyak yang menyoroti DKL tidak peduli dengan kesenian yang tumbuh sendiri di masyarakat, seperti kuda kepang, ketoprak, atau sejenisnya. Apa komentar Anda?
Penilaian seperti itu bisa saja benar. Kami sudah berusaha untuk mengakomodasi semua kesenian, tetapi mungkin belum bisa seluas yang kami inginkan. Tetapi baik, itu akan menjadi bahan evaluasi dan menjadi acuan menyusun rencana kerja mendatang.
Soal fasilitas kesenian di Lampung, apa komentar Anda?
Ya, saya kira seni juga harus ditunjang modal. Meskipun idealnya seni itu seharusnya bisa menghidupi dirinya sendiri. Itu terjadi pada kesenian-kesenian yang sudah mapan atau kesenian tradisional yang mendapat upah dari menjual karyanya. Tetapi, untuk seni secara umum masih belum.
Oleh sebab itu, sejak tiga tahun lalu kami sudah mendesak Pemprov untuk menyediakan atau membangun gedung kesenian. Sejak tahun lalu pembangunan gedung kesenian Lampung sudah dimulai, tetapi sampai sekarang belum rampung. Tadi pada acara pengukuhan DKL, Pak Berlian (Sekprov) sudah memberi sinyal bahwa melalui anggaran perubahan, pembanguan gedung kesenian akan berlanjut tahun ini. Minta doanya supaya segera terwujud, ya.
Apa arti penting gedung kesenian?
Ya, tentu penting sekali. Percuma kita latihan seni kalau tidak bisa pentas. Nah, gedung kesenian yang representatif menjadi penting ada.
Selain itu, gedung kesenian diharapkan akan menjadi rumah bersama para seniman. n
BIODATA
Nama : Hj. Syafariah Widianti, S.H., M.H.
Kelahiran : Bandar Lampung, 27 November 1945
Anak :
1. Reza Pahlevi, S.T.
2. Diza Noviandi, S.T., M.Sc.
3. Andi Trevino, S.H.
4. Mona Monica, S.S.S.
5. Donna Febiola, S.E., M.M.
6. Dimas Aditya, S.H., M.H.
7. M. Rinaldi
Pendidikan :
- SD Xaverius Tanjungkarang (1958)
- SMPN 1 Tanjungkarang (1961)
- SMAN 5 Bandung (1964)
- S-1 FH Unila (1969)
- S-1 FH Unila (2002)
Organisasi :
- Ketua Umum DKL (2007—2010, 2011—2014)
- Bendahara Majelis Penyimbang Adat Lampung
- Anggota Komisi IV DPRD Lampung
- Wakil Ketua DPD PDIP Perjuangan Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011
[Inspirasi] ‘Khembak Sumbuk’ Bersama Mera dan Sucia
GAMOLAN (Gemelan Lampung) yang dinamis dengan dominasi suara kenong menguasai Balai Keratun, Kamis (16-6) siang. Dua penari cantik dengan pakaian adat Lampung Barat yang dirancang sederhana mengikuti ritme musik tersebut. Mereka adalah Mera Putri (16) dan Sucia Aprilia (16).
Mera Putri dan Sucia Aprilia.
Dua siswi SMA Negeri 1 Pesisir Tengah, Lambar, ini terus ngigel menguasai panggung yang ditonton seratusan hadirin pada acara Pengukuhan Pengurus Dewan Kesenian Lampung. Gerakannya yang indah dengan masing-masing menjinjing bakul kecil memukau penonton. Mereka sedang menarikan tari Khembak Sumbuk (bermain bakul bersama) karya Sudaryanto, guru SMAN 1 Pesisir Tengah.
Sayangnya, pentas dua dara yang concern dengan kesenian daerah itu terhenti di tengah, karena musik yang diputar menggunakan CD player itu ngadat. Tarian sempat diulang, tetapi insiden kembali terjadi. Terpaksa dua penari berbaju merah terang itu keluar panggung tanpa menyelesaikan misinya.
Mera dan Sucia dengan Khembak Sumbuk ini menjadi tamu kehormatan untuk tampil di pentas ini. Itu karena mereka adalah pemenang Festival Tari Provinsi Lampung 2011. “Kami diundang untuk tampil di sini atas undangan Dewan Kesenian Lampung,” kata Mera.
Tentang ketertarikan kepada tari daerah itu, Mera mengaku karena ia memang tinggal di daerah yang masih sering melaksanakan prosesi adat Lampung. “Kalau di daerah kami memang masih sering ada acara adat. Seperti nyambai, masih ada di tempat kami dan kami masih ikut,” kata gadis berkulit putih ini, didampingi Sucia.
Sudaryanto, guru SMAN 1 Pesisir Tengah yang aktif membina siswa dalam berbagai event seni budaya, mengaku tidak sulit mencari penari dan pelaku seni Lampung untuk berbagai event. Saat ada informasi lomba tari kreasi tradisional tingkat provinsi, ia menciptakan tari Khembak Lumbuk.
Kemudian ia merekrut Mera dan Sucia untuk mengekspresikan gerak yang diadopsi dari kebiasaan warga Lambar menggunakan bakul untuk berbagai keperluan. Menang di lomba tingkat provinsi, khuwa muli Lampung ini dikirim ke Makassar untuk mengikuti lomba sejenis di tingkat nasional. “Kami akan berangkat Senin tanggal 20 Juni. Doakan kami menang, ya,” ujar dia.
Mera dan Sucia mengaku akan sekuat tenaga mempertahankan kesenian Lampung agar tetap hidup. Menurut mereka, kesenian Lampung dapat mendekatkan penggunanya dengan budaya daerahnya. (SDM)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011
Mera Putri dan Sucia Aprilia.
Dua siswi SMA Negeri 1 Pesisir Tengah, Lambar, ini terus ngigel menguasai panggung yang ditonton seratusan hadirin pada acara Pengukuhan Pengurus Dewan Kesenian Lampung. Gerakannya yang indah dengan masing-masing menjinjing bakul kecil memukau penonton. Mereka sedang menarikan tari Khembak Sumbuk (bermain bakul bersama) karya Sudaryanto, guru SMAN 1 Pesisir Tengah.
Sayangnya, pentas dua dara yang concern dengan kesenian daerah itu terhenti di tengah, karena musik yang diputar menggunakan CD player itu ngadat. Tarian sempat diulang, tetapi insiden kembali terjadi. Terpaksa dua penari berbaju merah terang itu keluar panggung tanpa menyelesaikan misinya.
Mera dan Sucia dengan Khembak Sumbuk ini menjadi tamu kehormatan untuk tampil di pentas ini. Itu karena mereka adalah pemenang Festival Tari Provinsi Lampung 2011. “Kami diundang untuk tampil di sini atas undangan Dewan Kesenian Lampung,” kata Mera.
Tentang ketertarikan kepada tari daerah itu, Mera mengaku karena ia memang tinggal di daerah yang masih sering melaksanakan prosesi adat Lampung. “Kalau di daerah kami memang masih sering ada acara adat. Seperti nyambai, masih ada di tempat kami dan kami masih ikut,” kata gadis berkulit putih ini, didampingi Sucia.
Sudaryanto, guru SMAN 1 Pesisir Tengah yang aktif membina siswa dalam berbagai event seni budaya, mengaku tidak sulit mencari penari dan pelaku seni Lampung untuk berbagai event. Saat ada informasi lomba tari kreasi tradisional tingkat provinsi, ia menciptakan tari Khembak Lumbuk.
Kemudian ia merekrut Mera dan Sucia untuk mengekspresikan gerak yang diadopsi dari kebiasaan warga Lambar menggunakan bakul untuk berbagai keperluan. Menang di lomba tingkat provinsi, khuwa muli Lampung ini dikirim ke Makassar untuk mengikuti lomba sejenis di tingkat nasional. “Kami akan berangkat Senin tanggal 20 Juni. Doakan kami menang, ya,” ujar dia.
Mera dan Sucia mengaku akan sekuat tenaga mempertahankan kesenian Lampung agar tetap hidup. Menurut mereka, kesenian Lampung dapat mendekatkan penggunanya dengan budaya daerahnya. (SDM)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011
June 16, 2011
Bupati Lampung Selatan Dapat Gelar Adat
BANDAR LAMPUNG—Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza akan menerima gelar adat dari Keraton Solo. Penyerahan gelar adat tersebut rencananya dilakukan pada 26 Juni 2011 dan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. juga dijadwakan hadir. "Saya belum tahu gelar adatnya apa. Kemungkinan Bupati Lamsel diberikan gelar karena Keraton Solo menganggap Pak Rycko sebagai contoh sukses karena berhasil menjadi bupati di usia muda," kata Berlian di ruang kerjanya, Selasa (14-6).
Menurut Berlian, Gubernur ingin pada penyerahan gelar untuk Rycko nanti, masyarakat adat Lampung, khususnya yang tergabung dalam Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menampilkan berbagai kesenian dan budaya khas Lampung, seperti tari-tarian dan lagu khas Lampung. Selain itu, seserahan dari MPAL ke Keraton Solo juga akan dilakukan dengan budaya khas Lampung. (LIN/D-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
Menurut Berlian, Gubernur ingin pada penyerahan gelar untuk Rycko nanti, masyarakat adat Lampung, khususnya yang tergabung dalam Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menampilkan berbagai kesenian dan budaya khas Lampung, seperti tari-tarian dan lagu khas Lampung. Selain itu, seserahan dari MPAL ke Keraton Solo juga akan dilakukan dengan budaya khas Lampung. (LIN/D-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
Alat Musik Gamolan Bagian Kebudayaan Indonesia
Waykanan, Lampung (ANTARA News) - Dosen Program Studi Seni Tari FKIP Universitas Lampung (Unila) Hasyimkan menyatakan alat musik gamolan merupakan bagian kebudayaan Indonesia.
"Gamolan berasal dari kata `begamol` yang dalam bahasa Lampung sama dengan kata `begumul` dalam bahasa Melayu yang artinya berkumpul," terang dia di Blambanganumpu, Waykanan, Kamis.
Penduduk yang tinggal di kebun-kebun dan di lereng-lereng gunung pada zaman dahulu, sambung dia, telah mempunyai sumber bunyi yang terbuat dari kayu atau bambu dan pada awalnya hanya merupakan alat yang berfungsi sebagai simbol pemberitahuan atau pengumuman.
Delapan lempengan bambu pada gamolan diikat secara bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng.
"Penyangga yang tergantung bebas di atas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul oleh sepasang tongkat kayu yang ujungnya ialah buah pinang," kata dia.
Secara usia, terus Hasyimkan, gamolan lebih dari usia Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah.
"Penelitian saya, di bagian Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra terdapat relief gamolan, artinya dan secara logika, sebelum ada Borobudur sudah ada alat tersebut," papar dia.
Namun, kata dia menambahkan, dengan merujuk teori perpindahan bangsa-bangsa, alat musik gamolan adalah perpaduan antara musik India dan China yang diakulturasi oleh warga lokal Lampung menjadi instrumen musik tradisional masyarakat Lampung.
"Gamolan dan gamelan memiliki nama yang nyaris mirip tetapi berbeda. Tangga nada gamolan Lampung berdasarkan arkeologi atau instrumen ialah do re mi so la si do. Sementara gamelan Jawa Slendro berdasarkan Andersen Sutton ialah do re mi so la si," kata dia menerangkan.
Jadi, kata dia menegaskan, barang siapa mengganti nama gamolan menjadi nama lain, maka sama saja orang tersebut telah memenggal kenyataan dan sejarah yang ada di nusantara.
Sumber: Antara, Kamis, 16 Juni 2011
"Gamolan berasal dari kata `begamol` yang dalam bahasa Lampung sama dengan kata `begumul` dalam bahasa Melayu yang artinya berkumpul," terang dia di Blambanganumpu, Waykanan, Kamis.
Penduduk yang tinggal di kebun-kebun dan di lereng-lereng gunung pada zaman dahulu, sambung dia, telah mempunyai sumber bunyi yang terbuat dari kayu atau bambu dan pada awalnya hanya merupakan alat yang berfungsi sebagai simbol pemberitahuan atau pengumuman.
Delapan lempengan bambu pada gamolan diikat secara bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng.
"Penyangga yang tergantung bebas di atas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul oleh sepasang tongkat kayu yang ujungnya ialah buah pinang," kata dia.
Secara usia, terus Hasyimkan, gamolan lebih dari usia Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah.
"Penelitian saya, di bagian Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra terdapat relief gamolan, artinya dan secara logika, sebelum ada Borobudur sudah ada alat tersebut," papar dia.
Namun, kata dia menambahkan, dengan merujuk teori perpindahan bangsa-bangsa, alat musik gamolan adalah perpaduan antara musik India dan China yang diakulturasi oleh warga lokal Lampung menjadi instrumen musik tradisional masyarakat Lampung.
"Gamolan dan gamelan memiliki nama yang nyaris mirip tetapi berbeda. Tangga nada gamolan Lampung berdasarkan arkeologi atau instrumen ialah do re mi so la si do. Sementara gamelan Jawa Slendro berdasarkan Andersen Sutton ialah do re mi so la si," kata dia menerangkan.
Jadi, kata dia menegaskan, barang siapa mengganti nama gamolan menjadi nama lain, maka sama saja orang tersebut telah memenggal kenyataan dan sejarah yang ada di nusantara.
Sumber: Antara, Kamis, 16 Juni 2011
HUT ke-329: Bandar Lampung Harus Lebih Baik
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wali Kota Herman H.N. bertekad mengubah Bandar Lampung menjadi kota yang lebih baik dalam bidang pelayanan publik maupun infrastruktur.
Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N.
"Kalau ada yang berbeda antara sebelum dan sesudah saya pimpin, berarti ada perubahan. Lihat saja apa yang sudah saya lakukan dalam sembilan bulan ini," kata Herman H.N. terkait dengan ulang tahun ke-329 Bandar Lampung yang jatuh pada Jumat (17-6).
Herman tidak berkeinginan muluk-muluk untuk mengubah Bandar Lampung. "Kalau muluk-muluk saya khawatir apa yang saya janjikan tidak tercapai. Intinya saya ingin Bandar Lampung lebih bagus," kata dia.
Ia menambahkan banyak program yang sudah berjalan seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis, bantuan alat sekolah, bantuan uang kematian, dan pelayanan KTP gratis. "Padahal saya dulu tidak menjanjikan KTP gratis, tapi tetap saya berikan buat masyarakat," ujarnya.
Selain itu, Pemkot juga mulai memperbaiki infrastruktur yang rusak. Dananya bersumber dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kota, serta bantuan pengusaha.
Saat dihubungi terpisah, Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S. meminta Pemkot segera mengatasi kemacetan lalu lintas. Setiap tahun jumlah kendaraan bermotor terus bertambah, sedangkan kapasitas dan panjang jalan tidak berubah. "Wali Kota harus membuat terobosan untuk mengurai kemacetan," kata dia.
Budiman mengakui perbaikan jalan di beberapa titik sudah dimulai. Namun, perbaikan sektor pendidikan dan pariwisata juga harus diprioritaskan. Ia juga melihat Bandar Lampung perlu memiliki ikon kota dan destinasi wisata. "Kita memiliki potensi wisata. Namun, belum dioptimalkan," kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Bandar Lampung Fahmi Sasmita menilai dalam lima tahun Kota Tapis Berseri ini tidak mengalami perubahan yang berarti. "Bandar Lampung stagnan. Pemkot perlu membuat terobosan," ujarnya.
Ia mengusulkan agar Pemkot membuka daerah-daerah yang masih sepi seperti di Sukarame dan Kemiling untuk memecah kepadatan di pusat kota. Pembukaan daerah yang sepi harus dibarengi pembangunan infrastruktur. "Pemkot juga perlu membangun pusat-pusat perbelanjaan di daerah yang masih sepi agar menjadi ramai," kata dia. (MG3/U-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N.
"Kalau ada yang berbeda antara sebelum dan sesudah saya pimpin, berarti ada perubahan. Lihat saja apa yang sudah saya lakukan dalam sembilan bulan ini," kata Herman H.N. terkait dengan ulang tahun ke-329 Bandar Lampung yang jatuh pada Jumat (17-6).
Herman tidak berkeinginan muluk-muluk untuk mengubah Bandar Lampung. "Kalau muluk-muluk saya khawatir apa yang saya janjikan tidak tercapai. Intinya saya ingin Bandar Lampung lebih bagus," kata dia.
Ia menambahkan banyak program yang sudah berjalan seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis, bantuan alat sekolah, bantuan uang kematian, dan pelayanan KTP gratis. "Padahal saya dulu tidak menjanjikan KTP gratis, tapi tetap saya berikan buat masyarakat," ujarnya.
Selain itu, Pemkot juga mulai memperbaiki infrastruktur yang rusak. Dananya bersumber dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kota, serta bantuan pengusaha.
Saat dihubungi terpisah, Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S. meminta Pemkot segera mengatasi kemacetan lalu lintas. Setiap tahun jumlah kendaraan bermotor terus bertambah, sedangkan kapasitas dan panjang jalan tidak berubah. "Wali Kota harus membuat terobosan untuk mengurai kemacetan," kata dia.
Budiman mengakui perbaikan jalan di beberapa titik sudah dimulai. Namun, perbaikan sektor pendidikan dan pariwisata juga harus diprioritaskan. Ia juga melihat Bandar Lampung perlu memiliki ikon kota dan destinasi wisata. "Kita memiliki potensi wisata. Namun, belum dioptimalkan," kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Bandar Lampung Fahmi Sasmita menilai dalam lima tahun Kota Tapis Berseri ini tidak mengalami perubahan yang berarti. "Bandar Lampung stagnan. Pemkot perlu membuat terobosan," ujarnya.
Ia mengusulkan agar Pemkot membuka daerah-daerah yang masih sepi seperti di Sukarame dan Kemiling untuk memecah kepadatan di pusat kota. Pembukaan daerah yang sepi harus dibarengi pembangunan infrastruktur. "Pemkot juga perlu membangun pusat-pusat perbelanjaan di daerah yang masih sepi agar menjadi ramai," kata dia. (MG3/U-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
[Tajuk] ‘Nyeruit’
BERBAHAGIALAH menjadi—atau sebagai—orang Lampung. Bukan cuma dianugerahi alam dan iklim yang elok, daerah ini mewarisi jiwa yang baik. Unsurnya mulai dari sikap terbuka warga asli terhadap pendatang, menghormati orang lain, sampai sifat komunal yang mengesankan. Kulturnya, antara lain, undangan makan antar-sanak keluarga (tradisi chuak mengan) dengan seruit sebagai main course dan pengikat utama.
Maka, ketika ribuan orang berkumpul nyeruit (makan dengan menu utama seruit) di lapangan Saburai, pecahlah rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Perhelatan puncak menyambut ulang tahun ke-329 Bandar Lampung itu menjadi penegas kearifan lokal yang mengitari suku di ujung Sumatera ini. Unsur superlatif, langka, dan unik memang syarat penting rekor Muri.
Namun, urusan sesungguhnya jelas bukan pada rekor semata. Ribuan orang dengan pakaian adat, lengkap dengan sarung yang melilit pinggang plus cara duduk mengangkat kaki—sangat khas. Di luar tampilan fisik, atmosfer persatuan memayungi hajat yang disaksikan belasan ribu warga yang antuasias menyaksikan kejadian langka ini.
Seruit adalah makanan yang terdiri dari ikan bakar atau goreng beserta lalapannya. Lalu dicampur sambal terasi, tempoyak, atau mangga. Tempoyak merupakan hasil fermentasi durian. Seruit kian nikmat jika disantap dengan nasi, ikan pindang kuning, dan serbat (jus mangga dan kiwi). Nyeruit identik dengan makan rame-rame, khususnya dengan anggota keluarga. Maka, prosesi nyeruit massal kemarin menjadi puncak keindahan masyarakat yang amat mengutamakan persaudaraan.
Yang menarik, semua unsur makanan diracik sekaligus dan harus habis saat itu juga. Lap dan air es atau jus menjadi syarat berikutnya mengingat tangan yang mesti "dinetralkan" dan tenggorokan yang perlu didinginkan untuk mengurangi rasa panas akibat sambal yang pedas. Seruit yang sudah jadi dalam satu wadah dimakan bareng. Rebusan daun singkong diambil secukupnya lalu dicocol ke seruit. Setelah itu letakkan di sesuap nasi, dan tandas masuk perut dalam satu entakan. Lalapan mentah mengiringi nasi yang segera ditelan tersebut. Rasa seruit yang pedas, asam, dan manis memiliki "daya desak" penikmatnya untuk menuntaskan hidangan sampai habis. Mereka umumnya saling berbicara pada momen ini; dari masalah domestik sampai urusan luar negeri.
Bagi masyarakat Lampung, seruit bukan sekadar makanan. Inilah lambang yang menegaskan kebersamaan; kebersamaan yang dikayuh berabad-abad, sehingga proses akulturasi budaya berlangsung mulus di sini. Daerah ini telah membuktikan dirinya sebagai Indonesia mini. Ratusan suku bergabung dan tersebar di hampir setiap inci wilayah.
Kekayaan tradisi ini menjadi penanda penting bergeraknya Lampung, khususnya Bandar Lampung sebagai ibu kota, menghadapi modernitas tanpa kehilangan visi. Dan seruit sukses menjadi unsur yang mempertalikan keberagaman tersebut dalam suatu ikatan yang indah.
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
Maka, ketika ribuan orang berkumpul nyeruit (makan dengan menu utama seruit) di lapangan Saburai, pecahlah rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Perhelatan puncak menyambut ulang tahun ke-329 Bandar Lampung itu menjadi penegas kearifan lokal yang mengitari suku di ujung Sumatera ini. Unsur superlatif, langka, dan unik memang syarat penting rekor Muri.
Namun, urusan sesungguhnya jelas bukan pada rekor semata. Ribuan orang dengan pakaian adat, lengkap dengan sarung yang melilit pinggang plus cara duduk mengangkat kaki—sangat khas. Di luar tampilan fisik, atmosfer persatuan memayungi hajat yang disaksikan belasan ribu warga yang antuasias menyaksikan kejadian langka ini.
Seruit adalah makanan yang terdiri dari ikan bakar atau goreng beserta lalapannya. Lalu dicampur sambal terasi, tempoyak, atau mangga. Tempoyak merupakan hasil fermentasi durian. Seruit kian nikmat jika disantap dengan nasi, ikan pindang kuning, dan serbat (jus mangga dan kiwi). Nyeruit identik dengan makan rame-rame, khususnya dengan anggota keluarga. Maka, prosesi nyeruit massal kemarin menjadi puncak keindahan masyarakat yang amat mengutamakan persaudaraan.
Yang menarik, semua unsur makanan diracik sekaligus dan harus habis saat itu juga. Lap dan air es atau jus menjadi syarat berikutnya mengingat tangan yang mesti "dinetralkan" dan tenggorokan yang perlu didinginkan untuk mengurangi rasa panas akibat sambal yang pedas. Seruit yang sudah jadi dalam satu wadah dimakan bareng. Rebusan daun singkong diambil secukupnya lalu dicocol ke seruit. Setelah itu letakkan di sesuap nasi, dan tandas masuk perut dalam satu entakan. Lalapan mentah mengiringi nasi yang segera ditelan tersebut. Rasa seruit yang pedas, asam, dan manis memiliki "daya desak" penikmatnya untuk menuntaskan hidangan sampai habis. Mereka umumnya saling berbicara pada momen ini; dari masalah domestik sampai urusan luar negeri.
Bagi masyarakat Lampung, seruit bukan sekadar makanan. Inilah lambang yang menegaskan kebersamaan; kebersamaan yang dikayuh berabad-abad, sehingga proses akulturasi budaya berlangsung mulus di sini. Daerah ini telah membuktikan dirinya sebagai Indonesia mini. Ratusan suku bergabung dan tersebar di hampir setiap inci wilayah.
Kekayaan tradisi ini menjadi penanda penting bergeraknya Lampung, khususnya Bandar Lampung sebagai ibu kota, menghadapi modernitas tanpa kehilangan visi. Dan seruit sukses menjadi unsur yang mempertalikan keberagaman tersebut dalam suatu ikatan yang indah.
Sumber: Lampung Post, Kamis, 16 Juni 2011
June 15, 2011
HUT ke-329 Bandar Lampung: 'Nyeruit' Massal Masuk Rekor Muri
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Nyeruit bersama yang diikuti 10.800 warga Bandar Lampung masuk Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Pemecahan rekor menyantap hidangan khas Lampung itu berlangsung di Lapangan Saburai, Selasa (14-6), dalam rangka HUT ke-329 Bandar Lampung.
REKOR ‘NYERUIT’. Nyeruit bersama yang diikuti 10.800 warga Bandar Lampung di Lapangan Saburai masuk Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Acara tersebut digelar dalam HUT ke-329 Bandar Lampung. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Piagam rekor Muri diserahkan langsung Deputi Manajer Muri Awan Rahargo kepada Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. disaksikan Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S., Asisten Bidang Umum Pemprov Lampung Adeham, Kapolresta Bandar Lampung Kombes Guntor F. Gaffar, dan para pejabat Pemkot, serta anggota DPRD.
Awan mengatakan nyeruit bersama masuk dalam rekor Muri karena ada unsur superlatifnya. "Untuk masuk dalam rekor Muri harus memenuhi salah satu unsur, superlatif, langka, dan unik. Acara makan seruit bersama sudah memenuhi unsur superlatif," kata Awan.
Jumlah peserta yang mengikuti nyeruit bersama mencapai 10.800 orang. Namun, versi Pemkot peserta mencapai 13 ribu orang. Makan seruit bersama tercatat dalam rekor Muri nomor 4.937.
Dalam sertifikat rekor Muri disebutkan Wali Kota Bandar Lampung sebagai pemrakarsa acara nyeruit yang diikuti lebih dari 10 ribu peserta, Ketua Tim Penggerak PKK Eva Dwiana Herman H.N. sebagai penyelenggara acara, dan masyarakat Bandar Lampung sebagai peserta.
Menurut Awan, acara nyeruit massal ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Daerah lain belum pernah menggelar makan seruit dengan jumlah peserta lebih dari 10 ribu orang. Ia menambahkan sebelumnya memang sudah ada rekor Muri untuk kategori kuliner, misalnya di Sawahlunto dan Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Herman H.N. mengungkapkan acara nyeruit ini bukan menggunakan dana APBD. Masing-masing masyarakat membuat seruit dan memakannya bersama.
Sementara itu, Adeham yang mewakili Gubernur Lampung mengatakan seruit merupakan makanan khas Lampung yang terdiri dari ikan, sambal, dan aneka lalapan. Awalnya seruit merupakan makanan suku Lampung saja. Namun, seiring dengan akulturasi budaya, seruit pun disenangi warga asli dan pendatang.
"Acara nyeruit massal ini diharapkan dapat melestarikan kuliner Lampung," ujarnya. (MG3/U-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 15 Juni 2011
REKOR ‘NYERUIT’. Nyeruit bersama yang diikuti 10.800 warga Bandar Lampung di Lapangan Saburai masuk Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri). Acara tersebut digelar dalam HUT ke-329 Bandar Lampung. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Piagam rekor Muri diserahkan langsung Deputi Manajer Muri Awan Rahargo kepada Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. disaksikan Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S., Asisten Bidang Umum Pemprov Lampung Adeham, Kapolresta Bandar Lampung Kombes Guntor F. Gaffar, dan para pejabat Pemkot, serta anggota DPRD.
Awan mengatakan nyeruit bersama masuk dalam rekor Muri karena ada unsur superlatifnya. "Untuk masuk dalam rekor Muri harus memenuhi salah satu unsur, superlatif, langka, dan unik. Acara makan seruit bersama sudah memenuhi unsur superlatif," kata Awan.
Jumlah peserta yang mengikuti nyeruit bersama mencapai 10.800 orang. Namun, versi Pemkot peserta mencapai 13 ribu orang. Makan seruit bersama tercatat dalam rekor Muri nomor 4.937.
Dalam sertifikat rekor Muri disebutkan Wali Kota Bandar Lampung sebagai pemrakarsa acara nyeruit yang diikuti lebih dari 10 ribu peserta, Ketua Tim Penggerak PKK Eva Dwiana Herman H.N. sebagai penyelenggara acara, dan masyarakat Bandar Lampung sebagai peserta.
Menurut Awan, acara nyeruit massal ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Daerah lain belum pernah menggelar makan seruit dengan jumlah peserta lebih dari 10 ribu orang. Ia menambahkan sebelumnya memang sudah ada rekor Muri untuk kategori kuliner, misalnya di Sawahlunto dan Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Herman H.N. mengungkapkan acara nyeruit ini bukan menggunakan dana APBD. Masing-masing masyarakat membuat seruit dan memakannya bersama.
Sementara itu, Adeham yang mewakili Gubernur Lampung mengatakan seruit merupakan makanan khas Lampung yang terdiri dari ikan, sambal, dan aneka lalapan. Awalnya seruit merupakan makanan suku Lampung saja. Namun, seiring dengan akulturasi budaya, seruit pun disenangi warga asli dan pendatang.
"Acara nyeruit massal ini diharapkan dapat melestarikan kuliner Lampung," ujarnya. (MG3/U-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 15 Juni 2011
June 12, 2011
Sansayan Sekeghumong: Pemantik Sendratari Skala Brak?
Oleh Sigid Nugroho
Nujum Gerinung di tanah kerajaan Skala Brak
Percintaan berbeda kasta adalah tabu
Pangeran dan rakyat jelata tak akan bersatu
Darah "Saibatin" harus selalu biru
Tak akan bercampur darah jelata Seperdu
: Inilah titah Pun Beliau Ratu
Bertaruh nyawa risalah cinta tanpa restu
Kemurkaan Sekeghumong Saibatin Ratu
SANSAYAN SEKEGHUMONG. Pementasan Tari Sansayan Sekeghumong dalam rangkaian Gelar Kereografi Ajang Kreasi 2011 di Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (4-6) lalu. Koreografi tarian dari salah satu bagian novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni ini digarap Ayu Endiarti dan Dina Febriani. (FOTO: SIGID NUGROHO)
SEJENAK ruangan gelap dan sunyi. Lirih sayatan biola mengiring kemunculan Ratu Sekeghumong di tengah panggung yang disulap menjadi Lamban Dalom Skala Brak berbalut temaram cahaya bernuansa magis, menandai dimulainya pertunjukan Sansayan Sekeghumong dalam rangkaian Gelar Koreografi Ajang Kreasi 2011 di Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta pada 4 Juni 2011.
Sansayan Sekeghumong adalah tarian tentang kemurkaan. Garapan koreografer muda Ayu Endiarti dan Dina Febriani ini melibatkan tujuh penari beserta tujuh pengiring musik yang kesemuanya berasal dari Lampung. Mereka adalah mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa Lampung dan sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Pertunjukan itu mengisahkan Kekuk Siuk, Pangeran Sekala Bgha yang memimpikan Seperdu menjadi Ratu Skala Bgha. Ia ingin mendudukkan kekasihnya yang berasal dari perempuan desa itu menjadi permaisuri "semua kasta", berbekal keyakinan bahwa kelahiran seorang anak manusia dari perkawinan keturunan Wangsa Sekala Bgha dengan rakyat jelata tidak melanggar aturan dewa. Tapi tidak bagi ibundanya, Ratu Sekeghumong. Perkawinan semacam itu hanyalah cara purba yang biasa ditempuh para penakluk untuk mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya dan tak lebih dari sekadar ungkapan tanda takluk suatu bangsa terhadap bangsa lain. Kisah cinta putra mahkota dan Seperdu, gadis pekon pedalaman Kulut itu pun berakhir dengan kematian tragis Seperdu.
Kisah Sansayan Sekeghumong sendiri adalah hasil eksplorasi yang bersumber dari salah satu bagian cerita dalam novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni (BE Press, 2011) yang mengangkat kenyataan sejarah asal muasal Lampung. Hal ini juga ditegaskan oleh Ayu Erindiasti, "Novel ini secara tidak langsung berpengaruh bagi kami, terutama mahasiswa Lampung yang tinggal di asrama. Kami semacam menemukan gerbang untuk menyelami muasal moyang kami. Lewat pergelaran inilah kemudian kami sengaja menyuguhkan cerita rakyat Lampung kepada khalayak luas sebagai wujud kecintaan terhadap kebudayaan Lampung yang harus tetap dijaga," ujar mahasiswi semester akhir Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) ini.
Warna Baru
Selama pertunjukan berlangsung, penonton tidak melulu disuguhi tarian klasik. Pada beberapa adegan tarian memang masih terlihat gerak dasar tari klasik, sepeti gerak kenui melayang, samber yang biasa ditemui pada tari Sembah, gerak babar kipas atau sughung skapan pada tari Melinting. Selebihnya gerakan tari melayu yang rampak mendominasi adegan jogetan pasangan, sedangkan pada adegan-adegan romantis tidak berpijak pada gerak apa pun, mengalir begitu saja.
Begitu pula dengan iringan musiknya, boleh dibilang lebih modern. "Dalam pertunjukan ini kami sengaja mencoba untuk keluar dari pakem, ini sebagai proses pembelajaran sekaligus ingin menawarkan warna berbeda dari model musik pengiring pertunjukan tari yang biasa ditemui di Lampung. Musik yang kami kemas lebih menonjolkan warna musik kolosal dan kekinian dengan menggunakan alat musik seperti biola dan gamolan peghing Lampung," ujar Risendy Nopriza, penata musik yang sedang menyelesaikan studi di Jurusan Entomusikologi, Institut Seni Indonesia ini.
"Keberadaan musik di Lampung sangatlah beragam, sebut saja misalnya gambus, biola, harmonium kayu, gitar peting, serdam, gamolan peghing, ghaddap/teghbangan, hadra, ini menunjukkan Lampung sangatlah kaya, tetapi lebih jauh kalau melihat dan mengamati musik-musik tari di Lampung saat ini masih terkesan monoton, belum berani mengeksplor, contohnya pada lomba tari kreasi dalam Festival Krakatau," ujarnya.
Butuh Apresiasi Lebih
Setiap tahunnya mahasiswa Lampung yang berproses di Yogyakarta menghasilkan dua sampai tiga garapan baru dalam bentuk pertunjukan tari yang mengangkat kebudayaan Lampung. Meskipun proses kelahiran karya tersebut masih terbatas pada jalur formal pendidikan seni tari, tidak bisa dipungkiri bahwa Lampung mampu memberi insiprasi bagi kemunculan kreator-kreator baru dibarengi dengan catatan-catatan penting yang masih sangat terbuka bagi siapa saja untuk terlibat memberikan kontribusi dalam kerangka pengembangan dan pendokumentasiannya.
"Sesungguhnya novel Perempuan Penunggang Harimau bisa menjadi modal kita untuk melahirkan karya-karya besar," ujar Novan Adi Putra Saliwa, anggota Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Pelajar Mahasiswa Lampung (Himpala) Jogja yang juga salah satu penari dalam pertunjukan tersebut. "Jika belajar dari pergelaran Sendratari Ramayana yang sudah dikenal hingga mancanegara, selayaknya pertunjukan Sansayan Sekeghumong bisa menjadi pemantik lahirnya Sendratari Skala Brak," kata Novan.
Tidak berlebihan jika pertunjukan Sansayan Sekeghumong membutuhkan apresiasi lebih dan panggung yang luas, khususnya di Lampung sendiri. n
Sigid Nugroho, penikmat seni, tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2011YA
Nujum Gerinung di tanah kerajaan Skala Brak
Percintaan berbeda kasta adalah tabu
Pangeran dan rakyat jelata tak akan bersatu
Darah "Saibatin" harus selalu biru
Tak akan bercampur darah jelata Seperdu
: Inilah titah Pun Beliau Ratu
Bertaruh nyawa risalah cinta tanpa restu
Kemurkaan Sekeghumong Saibatin Ratu
SANSAYAN SEKEGHUMONG. Pementasan Tari Sansayan Sekeghumong dalam rangkaian Gelar Kereografi Ajang Kreasi 2011 di Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (4-6) lalu. Koreografi tarian dari salah satu bagian novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni ini digarap Ayu Endiarti dan Dina Febriani. (FOTO: SIGID NUGROHO)
SEJENAK ruangan gelap dan sunyi. Lirih sayatan biola mengiring kemunculan Ratu Sekeghumong di tengah panggung yang disulap menjadi Lamban Dalom Skala Brak berbalut temaram cahaya bernuansa magis, menandai dimulainya pertunjukan Sansayan Sekeghumong dalam rangkaian Gelar Koreografi Ajang Kreasi 2011 di Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta pada 4 Juni 2011.
Sansayan Sekeghumong adalah tarian tentang kemurkaan. Garapan koreografer muda Ayu Endiarti dan Dina Febriani ini melibatkan tujuh penari beserta tujuh pengiring musik yang kesemuanya berasal dari Lampung. Mereka adalah mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa Lampung dan sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Pertunjukan itu mengisahkan Kekuk Siuk, Pangeran Sekala Bgha yang memimpikan Seperdu menjadi Ratu Skala Bgha. Ia ingin mendudukkan kekasihnya yang berasal dari perempuan desa itu menjadi permaisuri "semua kasta", berbekal keyakinan bahwa kelahiran seorang anak manusia dari perkawinan keturunan Wangsa Sekala Bgha dengan rakyat jelata tidak melanggar aturan dewa. Tapi tidak bagi ibundanya, Ratu Sekeghumong. Perkawinan semacam itu hanyalah cara purba yang biasa ditempuh para penakluk untuk mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya dan tak lebih dari sekadar ungkapan tanda takluk suatu bangsa terhadap bangsa lain. Kisah cinta putra mahkota dan Seperdu, gadis pekon pedalaman Kulut itu pun berakhir dengan kematian tragis Seperdu.
Kisah Sansayan Sekeghumong sendiri adalah hasil eksplorasi yang bersumber dari salah satu bagian cerita dalam novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni (BE Press, 2011) yang mengangkat kenyataan sejarah asal muasal Lampung. Hal ini juga ditegaskan oleh Ayu Erindiasti, "Novel ini secara tidak langsung berpengaruh bagi kami, terutama mahasiswa Lampung yang tinggal di asrama. Kami semacam menemukan gerbang untuk menyelami muasal moyang kami. Lewat pergelaran inilah kemudian kami sengaja menyuguhkan cerita rakyat Lampung kepada khalayak luas sebagai wujud kecintaan terhadap kebudayaan Lampung yang harus tetap dijaga," ujar mahasiswi semester akhir Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) ini.
Warna Baru
Selama pertunjukan berlangsung, penonton tidak melulu disuguhi tarian klasik. Pada beberapa adegan tarian memang masih terlihat gerak dasar tari klasik, sepeti gerak kenui melayang, samber yang biasa ditemui pada tari Sembah, gerak babar kipas atau sughung skapan pada tari Melinting. Selebihnya gerakan tari melayu yang rampak mendominasi adegan jogetan pasangan, sedangkan pada adegan-adegan romantis tidak berpijak pada gerak apa pun, mengalir begitu saja.
Begitu pula dengan iringan musiknya, boleh dibilang lebih modern. "Dalam pertunjukan ini kami sengaja mencoba untuk keluar dari pakem, ini sebagai proses pembelajaran sekaligus ingin menawarkan warna berbeda dari model musik pengiring pertunjukan tari yang biasa ditemui di Lampung. Musik yang kami kemas lebih menonjolkan warna musik kolosal dan kekinian dengan menggunakan alat musik seperti biola dan gamolan peghing Lampung," ujar Risendy Nopriza, penata musik yang sedang menyelesaikan studi di Jurusan Entomusikologi, Institut Seni Indonesia ini.
"Keberadaan musik di Lampung sangatlah beragam, sebut saja misalnya gambus, biola, harmonium kayu, gitar peting, serdam, gamolan peghing, ghaddap/teghbangan, hadra, ini menunjukkan Lampung sangatlah kaya, tetapi lebih jauh kalau melihat dan mengamati musik-musik tari di Lampung saat ini masih terkesan monoton, belum berani mengeksplor, contohnya pada lomba tari kreasi dalam Festival Krakatau," ujarnya.
Butuh Apresiasi Lebih
Setiap tahunnya mahasiswa Lampung yang berproses di Yogyakarta menghasilkan dua sampai tiga garapan baru dalam bentuk pertunjukan tari yang mengangkat kebudayaan Lampung. Meskipun proses kelahiran karya tersebut masih terbatas pada jalur formal pendidikan seni tari, tidak bisa dipungkiri bahwa Lampung mampu memberi insiprasi bagi kemunculan kreator-kreator baru dibarengi dengan catatan-catatan penting yang masih sangat terbuka bagi siapa saja untuk terlibat memberikan kontribusi dalam kerangka pengembangan dan pendokumentasiannya.
"Sesungguhnya novel Perempuan Penunggang Harimau bisa menjadi modal kita untuk melahirkan karya-karya besar," ujar Novan Adi Putra Saliwa, anggota Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Pelajar Mahasiswa Lampung (Himpala) Jogja yang juga salah satu penari dalam pertunjukan tersebut. "Jika belajar dari pergelaran Sendratari Ramayana yang sudah dikenal hingga mancanegara, selayaknya pertunjukan Sansayan Sekeghumong bisa menjadi pemantik lahirnya Sendratari Skala Brak," kata Novan.
Tidak berlebihan jika pertunjukan Sansayan Sekeghumong membutuhkan apresiasi lebih dan panggung yang luas, khususnya di Lampung sendiri. n
Sigid Nugroho, penikmat seni, tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2011YA
[Buku] Menanam Kata Mengetam Makna
Judul buku : Menanam Benih Kata
Penulis : Ari Pahala Hutabarat
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung
Cetakan I : Desember 2010
Tebal : 284 halaman
ADA saatnya menanam ada saatnya mengetam. Sebelum mengetam ada proses menanam jika tidak ingin menjadi pengetam tanaman orang. Tapi sebelum menanam, ada proses lain yang harus ditunaikan. Mulai dari babat alas bagi pemula, mencangkul, membuat lalahan, menggemburkan persemaian, menyiram, menaburi pupuk, hingga lahan siap dibenami biji-biji yang kelak bermunculan manjadi pohon dengan buah ranumnya.
Itu idealnya. Untuk menuju yang ideal itu, sehuma langkah menjadi PR petani kata. Untuk sampai pada pencapaian buah makna, benih kata harus dijaga, disiram, disiangi, selain petani harus telaten mengusir setiap hama yang bertandang. Itu saja tak purna, perlu ketekunan dan kesabaran menanti bunga yang tak juga tiba atau buah yang hanya muncul pada waktunya. Aha....adakah itu melelahkan? Ataukah itu pekerjaan mahasulit yang tak dapat diselesaikan? Jika pertanyaan ini disampaikan pada petani yang begitu besar cintanya pada pekerjaanya, tentu ini pekerjaan yang membahagiakan. Tak ingin rasanya meninggalkan semua hanya untuk menengok layar televisi sekalipun. Tapi coba tanyakan kepada para pejabat yang tak pernah kenal musim pun sasmita alam. Pasti akan menganggapnya sebagai beban mahaberat yang tak layak bagi kaum intelektual. Huffff.....
Semua berasal dari rasa cinta yang membuat segala hal menjadi tanpa beban, ringan, seringan cahaya. Lalu bagaimana menjadikan semua seringan cahaya. Bagi para pemula pun pencinta sastra yang kesulitan megeluarkan kata-kata, meroncenya menjadi kalimat, hingga pembaca menuai makna, tanyakan pada Ari Pahala! Lo, kok???!
Kita tidak akan memberikan tanda tanya jika telah membaca bukunya: Menanam Benih Kata. Ari pahala Hutabarat yang menjadi suhu di Komunitas Berkat Yakin (Kober) tak berbeda dengan petani sastra yang begitu tekun babat alas kegersangan dunia sastra Lampung, mencangkul lahan puisi, menyemai biji-biji huruf hingga tumbuh kata yang siap ditanam di persilatan intelektual. Semoga bertaburanlah makna yang dicecap para pembaca yang mengetam lembar-lembar karyanya. Seperti pada buku Menanm Benih Kata yang tak bosan saya baca.
Sebenarnya jika diringkas ini akan menjadi buku metodologi menulis puisi yang bisa tunai dalam beberapa lembar saja. Tapi saya yakin jika itu yang dilakukan penulis, tak beda dengan pelajaran-pelajaran sastra di sekolah yang menjemukan. Sebagai seorang “petani ulung”, bukan itu yang dilakukan Ari. Dengan sadar ia mengatakan dalam bukunya yang disarikan dari soneta Sanusi Pane : “...Yang menjadi soal baik dan buruknya sebuah karya pertama-tama bukanlah dilihat dari apa yang akan disampaikan oleh penulis, tapi bagaimana cara kita mengungkapkannya.”
Dari kesadaran itu lahirlah lembar-lembar makna tanpa membebani pembaca dengan kesulitan-kesulitan yang mengerutkan dahi. Tulisan yang dikemas dalam bentuk cerita antara murid dan sang guru ini terasa ringan tapi begitu hadir. Seperti cahaya yang tak membebani tapi menerangi. Dengan diselingi gurauan kocak antara Mbah Bob dan para santrinya, menjadikan bacaan ini tak lagi menjelma metodologi menulis puisi bagi pemula. Ia serupa warahan dari Sang Guru kepada muridnya. Kita tidak hanya dituturi ajaran-ajaran, tapi kita seolah masuk dalam halakah sastra yang setiap harinya mendapatkan pencerahan tanpa kesakitan. Pada halaman 13, salah satu ungkapan Mbah Bob pada santrinya, Budi, yang menjadi murid tercerahkan.
“Menulis itu enggak perlu serius. Kalau kamu mau serius, saat kamu mengumpulkan bahan untuk apa yang kau tuliskan nanti. Risetlah yang sedalam-dalamnya, seteliti-setelitinya, sebanyak-banyaknya, tapi ketika datang saatnya untuk menulis, santailah, bergembiralah, apalagi kalau kau mau menulis puisi.”
Pada bagian lain, dengan piawai Ari menaburkan ajaran dengan cara kocak tapi cukup mengena. Saat Mbah Bob menanyakan tujuan Budi menulis puisi, spontan muridnya menjawab:
“Ya, aku ingin menyampaikan gagasan-gagasan yang ada di kepalaku kepada pembaca, Mbah.”
Dengan nada kocak Sang Guru menjawab:
“Ke kepala pembaca saja? Ke hatinya enggak?”
Pertanyaan Sang Guru tentu menjadi koreksi bagi para penulis, baik pemula maupun yang telah mendapat gelar Malaikat Sastra sekalipun. Karena tulisan yang dapat diterima hati tentu bukan tulisan biasa, melainkan tulisan yang ditulis dengan segenap hati oleh penyampainya.
Buku ini dikemas dengan elok, membuat kita tak bosan membaca lembar demi lembar. Dikuatkan aforisma dari penulis dan penyair ternama pada lembar kiri buku dan cerita pada lembar kanan membuat kita semakin termanjakan untuk belajar sastra, wabilkhusus puisi.
Budi, sang tokoh, yang semula sangat kesulitan dalam menulis puisi, setelah mendapat pencerahan dari lembar-lembar harinya bersama Mbah Bob dan teman-teman sepergurunnya menjadi penulis yang dengan sepenuh cinta menaburkan ide-idenya.
Pada lembar ke 281 dikisahkan :
Budi tersenyum, sekian banyak citra, personifikasi, dan metafora bercahaya di ujung jari-jarinya. Sekian ungkapan yang dianggapnya ketinggalan zaman dan klise tanpa ragu-ragu dibuang dan diubahnya.
Penutup ini seperti happy ending dalam cerita-cerita dongeng, tapi bukan hal yang mustahil bagi para peminat sastra untuk memasuki rimba sastra pun menulis dongeng.
S.W. Teofani, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2011
June 9, 2011
Lomba Baca Puisi Tingkat SD
BANDAR LAMPUNG—Untuk memeriahkan HUT ke-329 Kota Bandar Lampung tahun 2011 ini, Komite Sastra Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL) akan menyelenggarakan lomba baca puisi bagi pelajar SD se-Kota Bandar Lampung.
Acara yang rencananya diselenggarakan pada 15 Juni 2011 di Lapangan Parkir Saburai ini menetapkan juara I, II, dan III beserta juara suporter terbanyak.
Adapun hadiahnya berupa piala wali kota, uang pembinaan, sertifikat untuk para guru pembimbing serta cendera mata. Bagi para calon peserta akan dilakukan pertemuan teknis pada 14 Juni 2011 di Gedung PKK (samping lapangan parkir Saburai).
Ketua Pelaksana Kegiatan Ahmad Thohamuddin mengatakan kegiatan ini merupakan inisiatif DKBL untuk mengajak siswa SD agar lebih akrab dengan puisi, khususnya puisi beberapa penyair Lampung. Selain itu, diharapkan pula para guru dan kepala sekolah di SD-SD se-Bandar Lampung dapat memberikan perhatian lebih dalam mendidik anak-anak SD untuk belajar membaca dan menulis puisi. (MG1/K-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 Juni 2011
Acara yang rencananya diselenggarakan pada 15 Juni 2011 di Lapangan Parkir Saburai ini menetapkan juara I, II, dan III beserta juara suporter terbanyak.
Adapun hadiahnya berupa piala wali kota, uang pembinaan, sertifikat untuk para guru pembimbing serta cendera mata. Bagi para calon peserta akan dilakukan pertemuan teknis pada 14 Juni 2011 di Gedung PKK (samping lapangan parkir Saburai).
Ketua Pelaksana Kegiatan Ahmad Thohamuddin mengatakan kegiatan ini merupakan inisiatif DKBL untuk mengajak siswa SD agar lebih akrab dengan puisi, khususnya puisi beberapa penyair Lampung. Selain itu, diharapkan pula para guru dan kepala sekolah di SD-SD se-Bandar Lampung dapat memberikan perhatian lebih dalam mendidik anak-anak SD untuk belajar membaca dan menulis puisi. (MG1/K-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 Juni 2011
HUT Bandar Lampung: Sektor Pariwisata Bisa Jadi Pilar Ekonomi Daerah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sektor pariwisata dapat menjadi pilar peningkatan perekonomian daerah jika dikembangkan secara optimal. Prioritas pembangunan sektor ini harus dimulai dari sumber daya manusia (SDM) serta sarana/prasarana wisata.
BEGAWI BANDAR LAMPUNG. Ratusan pelajar mengenakan busana nusantara pada pembukaan Begawi Bandar Lampung di Lapangan Saburai, Rabu (8-6). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
"Pariwisata bisa menjadi pilar untuk meningkatkan ekonomi daerah. Pemkot perlu mendorong pembenahan dan daya saing wisata sehingga mampu mengangkat citra wisata lokal ke dunia internasional," kata Staf Ahli Bidang Pranata Sosial Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Surya Yoga saat membuka begawi dan Bandar Lampung Expo, di Lapangan Saburai, Rabu (8-6). Begawi dan Bandar Lampung Expo dilangsungkan dalam rangka memeriahkan HUT ke-329 Kota Bandar Lampung.
Surya mengatakan Pemkot harus mempercepat pembangunan sarana pariwisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing dan dalam negeri. Selain itu, Pemkot juga harus meningkatkan kualitas SDM dan kesiapan masyarakat sekitar. "Kedua hal tersebut perlu menjadi perhatian utama untuk mendorong perkembangan kota wisata," ujar Surya.
Menurut Surya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyambut gembira dan mendukung begawi. Kegiatan tahunan ini diharapkan mampu menggalakkan dan menarik minat masyarakat untuk melakukan kunjungan wisata ke kota Tapis Berseri. Surya meminta Pemkot dan pelaku wisata untuk serius memajukan pariwisata. "Percepatan pembangunan sarana pariwisata akan meningkatkan kunjungan wisatawan manacanegara dan dalam negeri," kata dia.
Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. mengatakan begawi dan Bandar Lampung Expo merupakan kegiatan rutin tahunan yang menjadi momentum visualisasi produk unggulan dan hasil pembangunan. "Kegiatan ini diadakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan," kata dia.
Begawi diadakan untuk mengembangkan dan melestarikan seni budaya yang sudah ada agar nilai-nilainya dapat dipelihara dan dikembangkan serta diwariskan kepada generasi mendatang.
Begawi dihadiri Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S., Kapolda Lampung Brigjen Sulistyo Ishak, Ketua Tim Penggerak PKK Eva Dwiana, serta pejabat Pemkot dan jajarannya.
Begawi diisi dengan parade seni dan budaya serta peragaan busana. Beberapa siswa menampilkan atraksi drumben, serta pawai kesenian dan adat Lampung. Begawi tahun 2011 hampir tidak mengalami perubahan dibandingkan begawi tahun sebelumnya. Pembukaan diisi dengan penglepasan balon ke udara, pemotongan kue ulang tahun, dan pawai dari beberapa kecamatan. Rancangan tempat begawi dan Bandar Lampung Expo pun hampir tidak berubah dengan tahun sebelumnya.
Begawi dan Bandar Lampung Expo akan berlangsung hingga 17 Juni mendatang. Aneka perlombaan akan memeriahkan kegiatan ini, lomba lagu pop Lampung, lomba tari Lampung, lomba busana Lampung, dan lomba makanan tradisional khas Lampung. (MG3/U-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 Juni 2011
BEGAWI BANDAR LAMPUNG. Ratusan pelajar mengenakan busana nusantara pada pembukaan Begawi Bandar Lampung di Lapangan Saburai, Rabu (8-6). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
"Pariwisata bisa menjadi pilar untuk meningkatkan ekonomi daerah. Pemkot perlu mendorong pembenahan dan daya saing wisata sehingga mampu mengangkat citra wisata lokal ke dunia internasional," kata Staf Ahli Bidang Pranata Sosial Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Surya Yoga saat membuka begawi dan Bandar Lampung Expo, di Lapangan Saburai, Rabu (8-6). Begawi dan Bandar Lampung Expo dilangsungkan dalam rangka memeriahkan HUT ke-329 Kota Bandar Lampung.
Surya mengatakan Pemkot harus mempercepat pembangunan sarana pariwisata untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing dan dalam negeri. Selain itu, Pemkot juga harus meningkatkan kualitas SDM dan kesiapan masyarakat sekitar. "Kedua hal tersebut perlu menjadi perhatian utama untuk mendorong perkembangan kota wisata," ujar Surya.
Menurut Surya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyambut gembira dan mendukung begawi. Kegiatan tahunan ini diharapkan mampu menggalakkan dan menarik minat masyarakat untuk melakukan kunjungan wisata ke kota Tapis Berseri. Surya meminta Pemkot dan pelaku wisata untuk serius memajukan pariwisata. "Percepatan pembangunan sarana pariwisata akan meningkatkan kunjungan wisatawan manacanegara dan dalam negeri," kata dia.
Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. mengatakan begawi dan Bandar Lampung Expo merupakan kegiatan rutin tahunan yang menjadi momentum visualisasi produk unggulan dan hasil pembangunan. "Kegiatan ini diadakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan," kata dia.
Begawi diadakan untuk mengembangkan dan melestarikan seni budaya yang sudah ada agar nilai-nilainya dapat dipelihara dan dikembangkan serta diwariskan kepada generasi mendatang.
Begawi dihadiri Ketua DPRD Bandar Lampung Budiman A.S., Kapolda Lampung Brigjen Sulistyo Ishak, Ketua Tim Penggerak PKK Eva Dwiana, serta pejabat Pemkot dan jajarannya.
Begawi diisi dengan parade seni dan budaya serta peragaan busana. Beberapa siswa menampilkan atraksi drumben, serta pawai kesenian dan adat Lampung. Begawi tahun 2011 hampir tidak mengalami perubahan dibandingkan begawi tahun sebelumnya. Pembukaan diisi dengan penglepasan balon ke udara, pemotongan kue ulang tahun, dan pawai dari beberapa kecamatan. Rancangan tempat begawi dan Bandar Lampung Expo pun hampir tidak berubah dengan tahun sebelumnya.
Begawi dan Bandar Lampung Expo akan berlangsung hingga 17 Juni mendatang. Aneka perlombaan akan memeriahkan kegiatan ini, lomba lagu pop Lampung, lomba tari Lampung, lomba busana Lampung, dan lomba makanan tradisional khas Lampung. (MG3/U-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 Juni 2011
June 6, 2011
Pariwisata Kurang Inovasi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sektor kebudayaan dan pariwisata Lampung dinilai kurang memiliki inovasi. Hal itu berdampak buruk dalam upaya mengangkat potensi wisata Lampung yang berlimpah.
"Jika mau berpikir inovasi dan bertahap mengembangkan serta menggali potensi wisata, sektor ekonomi kerakyatan bisa berkembang pesat," kata Donny Irawan, anggota Komisi II DPRD Lampung, saat dihubungi Lampung Post terkait dengan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) baru tentang Pariwisata, Minggu (5-6).
Donny mengatakan selain kurang memiliki inovasi, Pemprov Lampung, terutama satker terkait, juga dinilai kurang mengikuti perkembangan-perkembangan program yang didorong Pusat.
Padahal, kata Donny, dana pengembangan sektor kebudayaan dan pariwisata di pusat relatif cukup besar.
"Dana pengembangan kebudayaan dan pariwisata dari Pusat belum bisa digali maksimal. Hal ini juga yang kemungkinan dirasa orang Pusat, jika Lampung ini termasuk kategori yang malas," kata dia.
Menurut Donny, jika dana Pusat bisa tergali dan dimanfaatkan dengan maksimal, tentunya sangat positif dalam upaya promosi dan pengembangan objek wisata di Lampung. "Jadi jangan selalu berpikirnya dana APBD habis dan kurang, lalu habis dan kurang saja."
Gali Potensi
Menurut Donny, dalam upaya mempercepat destinasi dan kunjungan objek wisata yang ada di Lampung, Komisi II DPRD Lampung hari ini (6-5) akan menggelar rapat dengan mengundang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten/kota se-Lampung. Adapun agenda utama dalam rapat tersebut, yakni pembahasan Raperda Pariwisata yang baru.
"Raperda Pariwisata ini sudah melalui uji publik, tapi tentunya kita masih menerima berbagai masukan agar nantinya bisa lebih kompleks dan komprehensif," ujarnya.
Melalui raperda yang rencananya ditargetkan untuk diparipurnakan akhir Juni 2011, dan sudah bisa direalisasikan menjadi perda awal Juli ini, nantinya selain dapat menjadi payung hukum yang jelas, juga dapat membuat satker terkait mempunyai inovasi dan bergerak untuk saling bergotong-royong serta bekerja sama mengangkat objek pariwisata di Lampung.
"Intinya kita mendorong bagaimana potensi wisata di Lampung bisa terus tergali maksimal dan tidak mati," kata Donny.
Ia menambahkan satker terkait hendaknya jangan hanya berpikir mengenai potensi daerah luar, tapi seharusnya berpikir bagaimana dapat menggali maksimal potensi wisata di Lampung.
Menurut Donny, potensi wisata di Lampung tidak kalah dari Lombok atau Bali sekalipun. Sebab itu, perlu keseriusan dan kepedulian serta promosi untuk mengangkat objek wisata Lampung.
"Lumbok, misalnya, saat kita datang ke sana tidak ada apa-apa dan biasa saja. Tapi, justru wisata Lombok banyak dikunjungi wisatawan, tidak hanya nasional tapi juga mancanegara," kata dia. (YAR/K-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 6 Juni 2011
"Jika mau berpikir inovasi dan bertahap mengembangkan serta menggali potensi wisata, sektor ekonomi kerakyatan bisa berkembang pesat," kata Donny Irawan, anggota Komisi II DPRD Lampung, saat dihubungi Lampung Post terkait dengan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) baru tentang Pariwisata, Minggu (5-6).
Donny mengatakan selain kurang memiliki inovasi, Pemprov Lampung, terutama satker terkait, juga dinilai kurang mengikuti perkembangan-perkembangan program yang didorong Pusat.
Padahal, kata Donny, dana pengembangan sektor kebudayaan dan pariwisata di pusat relatif cukup besar.
"Dana pengembangan kebudayaan dan pariwisata dari Pusat belum bisa digali maksimal. Hal ini juga yang kemungkinan dirasa orang Pusat, jika Lampung ini termasuk kategori yang malas," kata dia.
Menurut Donny, jika dana Pusat bisa tergali dan dimanfaatkan dengan maksimal, tentunya sangat positif dalam upaya promosi dan pengembangan objek wisata di Lampung. "Jadi jangan selalu berpikirnya dana APBD habis dan kurang, lalu habis dan kurang saja."
Gali Potensi
Menurut Donny, dalam upaya mempercepat destinasi dan kunjungan objek wisata yang ada di Lampung, Komisi II DPRD Lampung hari ini (6-5) akan menggelar rapat dengan mengundang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten/kota se-Lampung. Adapun agenda utama dalam rapat tersebut, yakni pembahasan Raperda Pariwisata yang baru.
"Raperda Pariwisata ini sudah melalui uji publik, tapi tentunya kita masih menerima berbagai masukan agar nantinya bisa lebih kompleks dan komprehensif," ujarnya.
Melalui raperda yang rencananya ditargetkan untuk diparipurnakan akhir Juni 2011, dan sudah bisa direalisasikan menjadi perda awal Juli ini, nantinya selain dapat menjadi payung hukum yang jelas, juga dapat membuat satker terkait mempunyai inovasi dan bergerak untuk saling bergotong-royong serta bekerja sama mengangkat objek pariwisata di Lampung.
"Intinya kita mendorong bagaimana potensi wisata di Lampung bisa terus tergali maksimal dan tidak mati," kata Donny.
Ia menambahkan satker terkait hendaknya jangan hanya berpikir mengenai potensi daerah luar, tapi seharusnya berpikir bagaimana dapat menggali maksimal potensi wisata di Lampung.
Menurut Donny, potensi wisata di Lampung tidak kalah dari Lombok atau Bali sekalipun. Sebab itu, perlu keseriusan dan kepedulian serta promosi untuk mengangkat objek wisata Lampung.
"Lumbok, misalnya, saat kita datang ke sana tidak ada apa-apa dan biasa saja. Tapi, justru wisata Lombok banyak dikunjungi wisatawan, tidak hanya nasional tapi juga mancanegara," kata dia. (YAR/K-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 6 Juni 2011
June 5, 2011
Sansayan Sekeghumong
"Sansayan Sekeghumong"
dalam Gelar Korasi | Kolaborasi Ajang Kreasi
4 Juni 2011 | Stage Tedjokusumo Universitas Negeri Yogyakarta
Nujum Gerinung di tanah kerajaan Skala Brak
Percintaan berbeda kasta adalah tabu
Pangeran dan rakyat jelata tak akan bersatu
Darah Sai Batin harus selalu Biru
Tak akan bercampur darah Jelata Seperdu
:Inilah titah Pun Beliau Ratu
Bertaruh nyawa risalah cinta tanpa restu
Kemurkaan “Sekeghumong” Saibatin Ratu
[diambil dari novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni]
Penata Tari: Ayu Erindiasti | Dina Febriani
Penari: Reni | Aline | Novan | Dion | Anugrah | Ismu
Penata Iringan: Risendy Nopriza
Pemusik: Arsyad | Rahmat | Andi | Kiki | Ali | Deri | Sodiq
Sumber: Facebook, Sigid Sahaja, Minggu, 5 Juni 2011
[Buku] Kepergian Nyatanya adalah Kepulangan
Oleh Udo Z. Karzi
KEPERGIAN sesungguhnya sesuatu hal yang kurang-lebih sama dengan kepulangan. Tinggal bagaimana perspektif yang diambil. Pada titik ekstrem, orang yang tak memiliki ikatan tempat tidak pernah merasa pulang atau pergi.
Paling tidak pikiran ini menyelinap setelah membaca Kereta Pagi Menuju Den Haag, kumpulan cerpen Rilda A. Oe. Taneko (diterbitkan Pensil 324, Jakarta, September 2010). Cerpen Kereta Api Menuju Den Haag (hlm. 67-139) yang kemudian dijadikan judul kumpulan cerpen ini menceritakan bagaimana tokoh Tita harus berkali-kali mengalami peristiwa yang menyebabkan orang-orang yang tercinta harus pergi. Mulanya si aku pergi ke Kota Maastricht, Belanda, untuk melanjutkan pendidikan, walau kemudian dia menyusul ke kota yang sama. Lalu Erin, anaknya yang baru berusia lima bulan, meninggal yang disusul dengan kepergian suaminya: bercerai.
Sahabatku Rere
Besok pagi aku akan meninggalkan Maastricht menuju Den Haag. Aku tak mengharapkanmu untuk datang dan mengucapkan selamat tinggal padaku, karena itu terasa tak mungkin sekarang. Atau jika aku salah menduga dan masih ada harapan bagiku bertemu denganmu, tolong sempatkan membalas surat ini (hlm. 129).
Kisah persahabatan yang pedih. Dalam cerpen yang cukup panjang ini, pertemuan dan perpisahan atau kepergian dan kepulangan dalam arti kepergian ke luar negeri dan kepulangan ke Tanah Air, keengganan bertemu dan waktu yang tak memberi kempatan bersua, serta kepergian menghadap Ilahi yang bermakna juga berpulang ke rahmat Allah silih berganti datang dan pergi mengharu-biru.
Hampir semua cerpen karya pengarang kelahiran Tanjungkarang, Lampung, pada 1980 -- yang sekarang tinggal di Newcastle upon Tyne, United Kingdom -- ini bercerita tentang kepergian dan kepulangan, baik secara denotatif maupun konotatif.
Cerpen pembuka, Manusia Antarbangsa (hlm. 1-28) berkisah tentang kerinduan-kerinduan dan hasrat untuk pulang ke Tanah Air. Cerpen Lesung Pipi Ibu jelaslah cerita yang "pulang": Ibuku adalah ketegaran. Setiap harinya, Ibu bangun bangun jauh lebih pagi dari Bapak. Ia akan langsung menuju dapur. Di dapur itulah ia bergumul dengan bumbu, mengolah lauk, dan menyajikan makanan ternak. Tidak jarang tubuh Ibu terciprat minyak hingga lebam.
Cerpen-cerpen Anak-Kanakku, Istri Pilihan, Batu, Koran Pagi, Yang Terusir, Aku Ingin Pulang, Ibunda, dan Malaikat yang Turun Ketika Hujan pun banyak bertutur tentang kepulangan ke Tanah Air. Barangkali cerpen yang mengambil tema agak berbeda, di antaranya cerpen Perempuan di Seberang Jendela, Lapangan Tengah Kota, Koper Hitam Sang Profesor, Orang Asingnya Mr. Caldell, dan Di 55 Degree North.
Dengan ketebalan 332 halaman, memuat 16 cerpen ditambah semacam cerita penutup dari penulisnya, Rilda Taneko; membaca buku kumpulan cerpen ini seharusnya cukup menjemukan. Apalagi, cerpen-cerpen Rilda panjang-panjang, kecuali beberapa cerpen yang pernah dimuat Lampung Post, seperti Anak-Kanakku, Batu, Koran Pagi, Lapangan Tengah Kota, Perempuan, Perempuan di Seberang Jendela, Istri Pilihan, dan Orang Asingnya Mr. Caldwell karena harus menyesuaikan halaman koran.
Meskipun demikian, membaca cerpen-cerpen Rilda terasa menyenangkan. Sebab, Rilda bertutur secara segar mengenai (sebenarnya) dirinya sendiri, Lampung Tanah Lada tempat kelahiran, orang tua, saudara-saudaranya, sahabat, dan orang-orang yang kenal, bahkan akrab di lingkungannya di luar negeri, tetapi lebih banyak cerita tentang orang-orang di Tanah Air.
Meskipun tinggal jauh dari Lampung, Rilda tetap mengingat pohon mangga di depan rumahnya, kebiasaan, tata cara, adat-istiadat, bahasa, dan budaya tanah kelahirannya. Bahasa Rilda pun sangat lancar mengalir bolak-balik: pulang-pergi ke/dari dalam dan luar negeri.
Yang paling terasa Kereta Pagi Menuju Den Haag tidak lain adalah mendendangkan Kembali Pulang—meminjam judul lagu grup band asal Lampung, Kangen Band. Begitulah kepergian senyatanya adalah kepulangan. Mengesankan sekaligus mengharukan!
Kalaulah ada yang sedikit mengganggu, ternyata cerpen-cerpen Rilda ini (tidak?) disunting—setidaknya tidak tercantum nama editornya. Soal pemakaian huruf kapital mungkin tidak terlalu fatal, tetapi cukup mengganjal bagi pembaca. Misalnya, bagaimana Rilda menulis kata ibu, bapak, tante, dan lain-lain dengan huruf kapital. Padahal, seharusnya tetap huruf kecil jika tidak di awal kalimat, bukan merupakan sapaan langsung dalam kalimat langsung, atau kata itu bersanding dengan namanya.
Hanya itu. Selebihnya, membaca Kereta Pagi Menuju Den Haag terasa asyik. Kita diajak berjalan-jalan ke belahan dunia luar sembari tetap banyak-banyak mengingat (baca: berzikir) tentang Tanah Air, terutama tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Barangkali benar juga pesan ulun tuha di pekon, “Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal.” (Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang ditinggal)—supaya tidak tersesat. Bukan begitu?
Udo Z. Karzi, tukang tulis, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2011
KEPERGIAN sesungguhnya sesuatu hal yang kurang-lebih sama dengan kepulangan. Tinggal bagaimana perspektif yang diambil. Pada titik ekstrem, orang yang tak memiliki ikatan tempat tidak pernah merasa pulang atau pergi.
Paling tidak pikiran ini menyelinap setelah membaca Kereta Pagi Menuju Den Haag, kumpulan cerpen Rilda A. Oe. Taneko (diterbitkan Pensil 324, Jakarta, September 2010). Cerpen Kereta Api Menuju Den Haag (hlm. 67-139) yang kemudian dijadikan judul kumpulan cerpen ini menceritakan bagaimana tokoh Tita harus berkali-kali mengalami peristiwa yang menyebabkan orang-orang yang tercinta harus pergi. Mulanya si aku pergi ke Kota Maastricht, Belanda, untuk melanjutkan pendidikan, walau kemudian dia menyusul ke kota yang sama. Lalu Erin, anaknya yang baru berusia lima bulan, meninggal yang disusul dengan kepergian suaminya: bercerai.
Sahabatku Rere
Besok pagi aku akan meninggalkan Maastricht menuju Den Haag. Aku tak mengharapkanmu untuk datang dan mengucapkan selamat tinggal padaku, karena itu terasa tak mungkin sekarang. Atau jika aku salah menduga dan masih ada harapan bagiku bertemu denganmu, tolong sempatkan membalas surat ini (hlm. 129).
Kisah persahabatan yang pedih. Dalam cerpen yang cukup panjang ini, pertemuan dan perpisahan atau kepergian dan kepulangan dalam arti kepergian ke luar negeri dan kepulangan ke Tanah Air, keengganan bertemu dan waktu yang tak memberi kempatan bersua, serta kepergian menghadap Ilahi yang bermakna juga berpulang ke rahmat Allah silih berganti datang dan pergi mengharu-biru.
Hampir semua cerpen karya pengarang kelahiran Tanjungkarang, Lampung, pada 1980 -- yang sekarang tinggal di Newcastle upon Tyne, United Kingdom -- ini bercerita tentang kepergian dan kepulangan, baik secara denotatif maupun konotatif.
Cerpen pembuka, Manusia Antarbangsa (hlm. 1-28) berkisah tentang kerinduan-kerinduan dan hasrat untuk pulang ke Tanah Air. Cerpen Lesung Pipi Ibu jelaslah cerita yang "pulang": Ibuku adalah ketegaran. Setiap harinya, Ibu bangun bangun jauh lebih pagi dari Bapak. Ia akan langsung menuju dapur. Di dapur itulah ia bergumul dengan bumbu, mengolah lauk, dan menyajikan makanan ternak. Tidak jarang tubuh Ibu terciprat minyak hingga lebam.
Cerpen-cerpen Anak-Kanakku, Istri Pilihan, Batu, Koran Pagi, Yang Terusir, Aku Ingin Pulang, Ibunda, dan Malaikat yang Turun Ketika Hujan pun banyak bertutur tentang kepulangan ke Tanah Air. Barangkali cerpen yang mengambil tema agak berbeda, di antaranya cerpen Perempuan di Seberang Jendela, Lapangan Tengah Kota, Koper Hitam Sang Profesor, Orang Asingnya Mr. Caldell, dan Di 55 Degree North.
Dengan ketebalan 332 halaman, memuat 16 cerpen ditambah semacam cerita penutup dari penulisnya, Rilda Taneko; membaca buku kumpulan cerpen ini seharusnya cukup menjemukan. Apalagi, cerpen-cerpen Rilda panjang-panjang, kecuali beberapa cerpen yang pernah dimuat Lampung Post, seperti Anak-Kanakku, Batu, Koran Pagi, Lapangan Tengah Kota, Perempuan, Perempuan di Seberang Jendela, Istri Pilihan, dan Orang Asingnya Mr. Caldwell karena harus menyesuaikan halaman koran.
Meskipun demikian, membaca cerpen-cerpen Rilda terasa menyenangkan. Sebab, Rilda bertutur secara segar mengenai (sebenarnya) dirinya sendiri, Lampung Tanah Lada tempat kelahiran, orang tua, saudara-saudaranya, sahabat, dan orang-orang yang kenal, bahkan akrab di lingkungannya di luar negeri, tetapi lebih banyak cerita tentang orang-orang di Tanah Air.
Meskipun tinggal jauh dari Lampung, Rilda tetap mengingat pohon mangga di depan rumahnya, kebiasaan, tata cara, adat-istiadat, bahasa, dan budaya tanah kelahirannya. Bahasa Rilda pun sangat lancar mengalir bolak-balik: pulang-pergi ke/dari dalam dan luar negeri.
Yang paling terasa Kereta Pagi Menuju Den Haag tidak lain adalah mendendangkan Kembali Pulang—meminjam judul lagu grup band asal Lampung, Kangen Band. Begitulah kepergian senyatanya adalah kepulangan. Mengesankan sekaligus mengharukan!
Kalaulah ada yang sedikit mengganggu, ternyata cerpen-cerpen Rilda ini (tidak?) disunting—setidaknya tidak tercantum nama editornya. Soal pemakaian huruf kapital mungkin tidak terlalu fatal, tetapi cukup mengganjal bagi pembaca. Misalnya, bagaimana Rilda menulis kata ibu, bapak, tante, dan lain-lain dengan huruf kapital. Padahal, seharusnya tetap huruf kecil jika tidak di awal kalimat, bukan merupakan sapaan langsung dalam kalimat langsung, atau kata itu bersanding dengan namanya.
Hanya itu. Selebihnya, membaca Kereta Pagi Menuju Den Haag terasa asyik. Kita diajak berjalan-jalan ke belahan dunia luar sembari tetap banyak-banyak mengingat (baca: berzikir) tentang Tanah Air, terutama tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Barangkali benar juga pesan ulun tuha di pekon, “Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal.” (Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang ditinggal)—supaya tidak tersesat. Bukan begitu?
Udo Z. Karzi, tukang tulis, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2011
Perayaan Kemurungan
Oleh Beni Setia
MITOS yang mengeliling Li Tai-Po, seorang penyair liris China klasik, berkaitan dengan arak, bersampan setengah berhanyut di arus sungai, dan menulis puisi dengan kepekaan batin merespons berdasarkan apa yang tampil di kesadarannya—baik akibat rangsangan objektif kesekitaran atau melulu hanya cetusan imajinasi instinktif dalam batin. Katanya, ia menulis beratus-ratus puisi untuk dihanyutkan bila secara diksiah gagal karena tak bisa direvisi lagi, dan kemurungan kehilangan emosi liris yang tidak bisa dikonkretkan itu akan menjadi sebuah energi liris (baca: level kepekaan puitik) yang membuat menulis puisi semakin membius.
Energi tranced. Mungkin itu artifisialitas menulis—katanya Li Tai-Po kehilangan orientasi ketika merasa menemukan bulan dan merengkuh bayangan bulan di air yang disangka bulan itu sendiri, dan ia mati tenggelam di arus. Tapi identifikasi pada corak energi kreatif itu itu dipertegas oleh seorang Rahmah Purwahida, ketika ia membahas 10 cerpenis muda Jawa Tengah, yang tergabung dalam antologi cerpen Joglo 10: Paras Perempuan Padas, TBJT, Solo 2011, di TBJT, (28-05). Dosen UMS ini menyebut itu sebagai perayaan kemurungan, saat energi kreatif dan kepekaan bersinergi dengan hal-hal keseharian yang tak lagi menggugah simpati dan solidaritas kemanusiaan kita, lantas kemurungan bangkit menggarisbawahinya dalam narasi yang sepertinya hanya mimesis memotret kenyataan sosial.
Keunggulan cerpen—dan pada akhirnya novel dan puisi—simpati sosial semacam itu terletak pada penggarisbawahan yang menyebabkan sebuah potret berbeda dengan lukisan, sebuah berita dengan prosa dan puisi. Dan karenanya, meski ada kesejajaran dengan olah kepekaan puitik Li Tai-Po, tekanan Rahmah Purwahida terletak pada apa yang jadi obsesi kreatif mereka merupakan ihwal yang ada di luar diri, bersipat objek dan berlevel sosial. Ini berbeda dengan Li Tai-Po yang bersipat reflektif, menggali ke kedalaman diri, subjektif seperti bersilarat-larat dengan hal yang liris—meski mampu memotret yang objektif, yang naratif menuturkan apa yang tampak dengan nampan puitika liris yang kental. Dan seorang Isbedy Stiawan Z.S.—terutama dalam Taman di Bibirmu, Siger Publisher dan Lamban Sastra, Bandar Lampung, 2011—bermain dalam tataran ini, bergerak reflektif ke dalam dan naratif ke luar.
Ada 82 puisi dalam kumpulan puisi setebal 104 halaman ini, dan yang lebih unik puisi tertua dalam kumpulan ini ber-titi mangsa 2011—2010;23.31 dan diletakkan di sisi belakang, sedangkan yang terbaru bertarikh 5211.7:23 dengan diletakkan di depan. Ini mengesankan sebuah pemindahan dari dokumentasi file dari laptop ke ujud pra cetak secara sederhana, dan sepengetahuan saya Isbedy Stiawan Z.S. selalu membawa laptop ke mana pun pergi—kini malah dilengkapi oleh handycam untuk merekam momentum sosial yang unik sesuai dengan tuntutan sebagai si pewarta televisi di Bandar Lampung. Pada status Facebook-nya ia pernah bercerita tentang perjalanan jarak jauh dengan sepeda motor, kelelahan perjalanan, daya tahan fisik sebagai seorang karateka, dan kepekaan puitik Li Tai-Po dan instink merayakan kemurungan ala Rahmah Purwahida yang menuntut bergerak dan terus bergerak.
Tak heran kalau dari kumpulan puisi terbarunya kita bisa menemukan romatisme sentimental liris tentang cinta dan si dia seperti tersurat dalam puisi-puisi Mawar, Menjadi Api, Kupilih Wajahmu, Sebuah Pesan, Di Tepi Kolam, dan banyak lagi. Selain narasi seperti yang tertera dalam puisi-puisi Kau adalah Laut, Lelaki Penjaga Pohon, Bulan di Kota Awan, Liwa, Dalam Bayangan, Kembali ke Kotamu, Mencatat sebagai Peristiwa, dan seterusnya. Sebuah rentetan puitika yang berada dalam liris reflektif dan narasi kuyup emosi—sebuah pencapaian yang berawal dari 20 November 2010 sampai 05 Februari 2011—sebuah pencapaian kreativitas dalam rentang 10 minggu, energi kreatif yang sebenarnya tak hanya merujuk 82 buah puisi tapi juga ada sekian cerpen, esei-esai sastra dan sosial-budaya, dan mungkin beberapa berita/liputan televisi. Satu aset sastrawiah yang mencengangkan, yang dieksolorasi dan dieksploitasi dengan sangat efisien—tapi tak pernah benar-benar diapresiasi secara benar.
Bagi saya Isbedy merupakan passion serta daya tahan, terlebih ketika bersitemu dengannya selalu ada membawa ransel yang menggelembung di punggung dan tas di tangan. Dengan berjaket dan bertopi ia seperti sedang memindahkan kesiapan untuk mengeksploitasi kepekaan puitik dan mengeksplorasi wacana kemurungan (realitas) sosial—kesiapan yang dimanifestasikan dalam perlengkapan yang kayak arep minggat dalam idiom Surabayaan. Tak heran kalau keutamaan Isbedy sesungguhnya terletak pada produktivitas, bahkan produktivitas yang tak kenal jeda sejak pertengah dekade 1980-an. Rentangan produktivitas (baca: keajekan mengolah kreativitas) yang ada di sekitar hitungan 25 tahunan lebih. Dan dalam rentangan itu kita menemukan karya sastranya berada di berbagai media massa cetak di mana-mana, dan dalam bermacam-macam dan tak putusnya terbit setiap tahun—terutama dalam hitungan dekade terakhir.
Dan ia sebenarnya tak sendirian—ada Soni Farid Maulana yang berkubang dalam puisi an kemudian Bandung Mawardi yang lebih konsentrasi pada esai dan apresiasi. Celakanya, khazanah sastra Indonesia tak begitu peduli dengan fakta itu. Di tengah minat baca sastra yang lemah, yang menyebabkan buku sastra tersenggal—dan seorang Nurel Javissyarqi, sang penerbit yang memegang bendera Pustaka Pujangga, pernah mengatakan pasar ril buku sastra hanya 300 buku, sedangkan seorang penerbit lain di Solo bilang ongkos cetak yang efisien minimal 500 eksemplar dengan titik optimum 1.000 eksemplar—, penghargaan justru lebih dipusatkan pada kualitas cq Khatulistiwa Award, misalnya. Produktivitas bertahan dengan ekplorasi dan eksploitasi kreativitas yang tanpa jeda dan dalam jangka panjang dan dilakukan dengan irasionalitas berterus mengolah kreativitas tak pernah dipedulikan.
Tak ada penghargaan bagi loyalitas buat pengabdian sepanjang masa, karena itu kita berkaca-kaca melihat nasibnya Ratna Indraswari Ibrahim yang sakit dan tak bisa berkreasi. Semua itu dianggap wajar, itu dianggap risiko pribadi dari pengamalan hidup sesuai dengan filsafat Eksistensialisme—seperti pejabat yang siap pensiun dan dihantui KPK. Padahal selain Ratna Indraswari Ibrahim kita telah mencatat dan sekaligus melupakan beberapa sastrawan berbakat yang didera masa surut dan terjerembab dalam sakit dan dianggap rongsokan yang tak perlu diingat. Menurut saya, seharusnya the stakeholder yang berkepentingan dengan sastra Indonesia mau memedulikan pengabdian kreatif sastrawan, dengan hadiah yang bersipat pengabdian lifetime, dan juga semacam fund untuk mengongkosi sastrawan produktif untuk berkarya dalam acuan risidensi.
Pertamina pernah mengundang sastrawan menuliskan tentang kilang minyak di lepas pantai Papua, seorang individu membiayai penulisan novel bertemakan korban G30S/PKI dari Seno Gumira Ajidarma serta cerpen-cerpen bertema kota di Amerika Serikat dari Budi Darma dkk., TSI III meminta beberapa sastrawan menulis puisi serta cerpen tentang Tanjungpinang, dan TSI IV membiayai beberapa sastrawan berbakat ke Halmahera. Tapi itu tak cukup. Dan sebuah dana residensi pada Isbedy dkk. mungkin membuat kita menemukan sebuah tempat serta satu eksotika yang unik dalam sebuah kumpulan puisi dan prosa. Memang! Tapi siapa yang mau peduli kalau eksekutif dan legislatif lebih terpikat membiayai sepak bola dengan APBD kabupaten/kota? Karena—sebenarnya—sastra itu berada di ekor dari proyek pencitraan politis.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2011
MITOS yang mengeliling Li Tai-Po, seorang penyair liris China klasik, berkaitan dengan arak, bersampan setengah berhanyut di arus sungai, dan menulis puisi dengan kepekaan batin merespons berdasarkan apa yang tampil di kesadarannya—baik akibat rangsangan objektif kesekitaran atau melulu hanya cetusan imajinasi instinktif dalam batin. Katanya, ia menulis beratus-ratus puisi untuk dihanyutkan bila secara diksiah gagal karena tak bisa direvisi lagi, dan kemurungan kehilangan emosi liris yang tidak bisa dikonkretkan itu akan menjadi sebuah energi liris (baca: level kepekaan puitik) yang membuat menulis puisi semakin membius.
Energi tranced. Mungkin itu artifisialitas menulis—katanya Li Tai-Po kehilangan orientasi ketika merasa menemukan bulan dan merengkuh bayangan bulan di air yang disangka bulan itu sendiri, dan ia mati tenggelam di arus. Tapi identifikasi pada corak energi kreatif itu itu dipertegas oleh seorang Rahmah Purwahida, ketika ia membahas 10 cerpenis muda Jawa Tengah, yang tergabung dalam antologi cerpen Joglo 10: Paras Perempuan Padas, TBJT, Solo 2011, di TBJT, (28-05). Dosen UMS ini menyebut itu sebagai perayaan kemurungan, saat energi kreatif dan kepekaan bersinergi dengan hal-hal keseharian yang tak lagi menggugah simpati dan solidaritas kemanusiaan kita, lantas kemurungan bangkit menggarisbawahinya dalam narasi yang sepertinya hanya mimesis memotret kenyataan sosial.
Keunggulan cerpen—dan pada akhirnya novel dan puisi—simpati sosial semacam itu terletak pada penggarisbawahan yang menyebabkan sebuah potret berbeda dengan lukisan, sebuah berita dengan prosa dan puisi. Dan karenanya, meski ada kesejajaran dengan olah kepekaan puitik Li Tai-Po, tekanan Rahmah Purwahida terletak pada apa yang jadi obsesi kreatif mereka merupakan ihwal yang ada di luar diri, bersipat objek dan berlevel sosial. Ini berbeda dengan Li Tai-Po yang bersipat reflektif, menggali ke kedalaman diri, subjektif seperti bersilarat-larat dengan hal yang liris—meski mampu memotret yang objektif, yang naratif menuturkan apa yang tampak dengan nampan puitika liris yang kental. Dan seorang Isbedy Stiawan Z.S.—terutama dalam Taman di Bibirmu, Siger Publisher dan Lamban Sastra, Bandar Lampung, 2011—bermain dalam tataran ini, bergerak reflektif ke dalam dan naratif ke luar.
Ada 82 puisi dalam kumpulan puisi setebal 104 halaman ini, dan yang lebih unik puisi tertua dalam kumpulan ini ber-titi mangsa 2011—2010;23.31 dan diletakkan di sisi belakang, sedangkan yang terbaru bertarikh 5211.7:23 dengan diletakkan di depan. Ini mengesankan sebuah pemindahan dari dokumentasi file dari laptop ke ujud pra cetak secara sederhana, dan sepengetahuan saya Isbedy Stiawan Z.S. selalu membawa laptop ke mana pun pergi—kini malah dilengkapi oleh handycam untuk merekam momentum sosial yang unik sesuai dengan tuntutan sebagai si pewarta televisi di Bandar Lampung. Pada status Facebook-nya ia pernah bercerita tentang perjalanan jarak jauh dengan sepeda motor, kelelahan perjalanan, daya tahan fisik sebagai seorang karateka, dan kepekaan puitik Li Tai-Po dan instink merayakan kemurungan ala Rahmah Purwahida yang menuntut bergerak dan terus bergerak.
Tak heran kalau dari kumpulan puisi terbarunya kita bisa menemukan romatisme sentimental liris tentang cinta dan si dia seperti tersurat dalam puisi-puisi Mawar, Menjadi Api, Kupilih Wajahmu, Sebuah Pesan, Di Tepi Kolam, dan banyak lagi. Selain narasi seperti yang tertera dalam puisi-puisi Kau adalah Laut, Lelaki Penjaga Pohon, Bulan di Kota Awan, Liwa, Dalam Bayangan, Kembali ke Kotamu, Mencatat sebagai Peristiwa, dan seterusnya. Sebuah rentetan puitika yang berada dalam liris reflektif dan narasi kuyup emosi—sebuah pencapaian yang berawal dari 20 November 2010 sampai 05 Februari 2011—sebuah pencapaian kreativitas dalam rentang 10 minggu, energi kreatif yang sebenarnya tak hanya merujuk 82 buah puisi tapi juga ada sekian cerpen, esei-esai sastra dan sosial-budaya, dan mungkin beberapa berita/liputan televisi. Satu aset sastrawiah yang mencengangkan, yang dieksolorasi dan dieksploitasi dengan sangat efisien—tapi tak pernah benar-benar diapresiasi secara benar.
Bagi saya Isbedy merupakan passion serta daya tahan, terlebih ketika bersitemu dengannya selalu ada membawa ransel yang menggelembung di punggung dan tas di tangan. Dengan berjaket dan bertopi ia seperti sedang memindahkan kesiapan untuk mengeksploitasi kepekaan puitik dan mengeksplorasi wacana kemurungan (realitas) sosial—kesiapan yang dimanifestasikan dalam perlengkapan yang kayak arep minggat dalam idiom Surabayaan. Tak heran kalau keutamaan Isbedy sesungguhnya terletak pada produktivitas, bahkan produktivitas yang tak kenal jeda sejak pertengah dekade 1980-an. Rentangan produktivitas (baca: keajekan mengolah kreativitas) yang ada di sekitar hitungan 25 tahunan lebih. Dan dalam rentangan itu kita menemukan karya sastranya berada di berbagai media massa cetak di mana-mana, dan dalam bermacam-macam dan tak putusnya terbit setiap tahun—terutama dalam hitungan dekade terakhir.
Dan ia sebenarnya tak sendirian—ada Soni Farid Maulana yang berkubang dalam puisi an kemudian Bandung Mawardi yang lebih konsentrasi pada esai dan apresiasi. Celakanya, khazanah sastra Indonesia tak begitu peduli dengan fakta itu. Di tengah minat baca sastra yang lemah, yang menyebabkan buku sastra tersenggal—dan seorang Nurel Javissyarqi, sang penerbit yang memegang bendera Pustaka Pujangga, pernah mengatakan pasar ril buku sastra hanya 300 buku, sedangkan seorang penerbit lain di Solo bilang ongkos cetak yang efisien minimal 500 eksemplar dengan titik optimum 1.000 eksemplar—, penghargaan justru lebih dipusatkan pada kualitas cq Khatulistiwa Award, misalnya. Produktivitas bertahan dengan ekplorasi dan eksploitasi kreativitas yang tanpa jeda dan dalam jangka panjang dan dilakukan dengan irasionalitas berterus mengolah kreativitas tak pernah dipedulikan.
Tak ada penghargaan bagi loyalitas buat pengabdian sepanjang masa, karena itu kita berkaca-kaca melihat nasibnya Ratna Indraswari Ibrahim yang sakit dan tak bisa berkreasi. Semua itu dianggap wajar, itu dianggap risiko pribadi dari pengamalan hidup sesuai dengan filsafat Eksistensialisme—seperti pejabat yang siap pensiun dan dihantui KPK. Padahal selain Ratna Indraswari Ibrahim kita telah mencatat dan sekaligus melupakan beberapa sastrawan berbakat yang didera masa surut dan terjerembab dalam sakit dan dianggap rongsokan yang tak perlu diingat. Menurut saya, seharusnya the stakeholder yang berkepentingan dengan sastra Indonesia mau memedulikan pengabdian kreatif sastrawan, dengan hadiah yang bersipat pengabdian lifetime, dan juga semacam fund untuk mengongkosi sastrawan produktif untuk berkarya dalam acuan risidensi.
Pertamina pernah mengundang sastrawan menuliskan tentang kilang minyak di lepas pantai Papua, seorang individu membiayai penulisan novel bertemakan korban G30S/PKI dari Seno Gumira Ajidarma serta cerpen-cerpen bertema kota di Amerika Serikat dari Budi Darma dkk., TSI III meminta beberapa sastrawan menulis puisi serta cerpen tentang Tanjungpinang, dan TSI IV membiayai beberapa sastrawan berbakat ke Halmahera. Tapi itu tak cukup. Dan sebuah dana residensi pada Isbedy dkk. mungkin membuat kita menemukan sebuah tempat serta satu eksotika yang unik dalam sebuah kumpulan puisi dan prosa. Memang! Tapi siapa yang mau peduli kalau eksekutif dan legislatif lebih terpikat membiayai sepak bola dengan APBD kabupaten/kota? Karena—sebenarnya—sastra itu berada di ekor dari proyek pencitraan politis.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)