Oleh Slamet Sudaryono
DUNIA pendidikan tingkat perguruan tinggi telah memasuki tahun ajaran baru. Prosesi penerimaan calon mahasiswa baru pun telah digelar melalui berbagai jalur yang tersedia, dan hanya menyisakan jalur mandiri. Dari berbagai lulusan sekolah menengah atas (SMA), yang jumlahnya puluhan ribu, berebut posisi di berbagai perguruan tinggi pilihan masing-masing, baik lokal maupun luar daerah.
Di Lampung, Universitas Lampung (unila) menjadi Universitas yang selalu banyak diburu oleh lulusan SMA dan sederajat. Sekitar 46.123 calon mahasiswa mengkuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) untuk masuk Unila. Namun, universitas bergengsi di Lampung tersebut hanya akan menerima sekitar 2.328 calon mahasiswa (Lampost, 10/7/2015).
Dari data seleksi masuk perguruan tinggi dan jumlah calon mahasiswa yang akan diterima, timbul masalah. Dalam arti, akan ada sekitar 43 ribu calon mahasiswa yang akan disibukkan berburu perguruan tinggi, mengingat waktu yang terus berputar. Dari berbagai jalur untuk masuk perguruan tinggi, hanya tersisa jalur mandiri. Tentunya, sisa kesempatan yang ada harus dimanfaatkan secara baik dan benar untuk dapat masuk ke jenjang perguruan tinggi.
Perguruan tinggi merupakan jenjang formal pendidikan yang mengemban banyak tuntutan zaman. Dari lembaga itulah diharapkan muncul generasi-generasi berpendidikan sehingga dapat diandalkan untuk meneruskan perjuangan bangsa, atau meminjam istilah Anis Baswedan yaitu dipersiapkan untuk melunasi hutang kemerdekaan, sehingga menjadi penting untuk diperjuangkan.
Dikotomi PTN-PTS
Di sisi lain, moment-momen menjelang masuk perguruan tinggi selalu diiringi dengan adanya sikap dikotomi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Hal tersebut di satu sisi dapat dipahami mengingat belum adanya keseimbangan kualitas antara keduanya, dan entah apa penyebabnya. Kesenjangan kualitas dalam aspek fasilitas, misalnya, akan berdampak pada output yang dihasilkan.
Terlebih lagi, orientasi calon mahasiswa saat ini lebih terfokus pada dunia kerja. Dibuktikan dengan pertanyaan yang sudah lazim dan pasti ditanyakan, kalau lulus mau kerja apa dan di mana? Paradigma yang dibangun sejak awal adalah sekolah maupun kuliah untuk kerja. Tentunya gengsi perguruan tinggi pun memengaruhi masa depan karier, dan itulah yang akhirnya menjadi salah satu penyebab dikotomi lembaga pendidikan di atas.
Pada dasarnya, jika diperhatikan lebih dalam, prinsip ilmu pengetahuan adalah tidak mengenal adanya dikotomi karena menganut azas integralistik. Dasar atau prinsip ilmu pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi pegangan siswa masuk ke lembaga pendidikan tinggi, sehingga tidak lagi terlalu mempertimbangkan bahkan mempermasalahkan adanya dikotomi atau dualisme lembaga pendidikan yang ada.
Memang, penulis mengakui adanya ilmu–ilmu alat yang bersifat teknis aplikatif yang harus dipelajari secara terfokus dan melalui lembaga pendidikan tertentu, misalnya, statistik, akuntansi, dan sejenisnya. Namun, bagi penulis hal tersebut harus pula didasari ketulusan menggali ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan manusia di sekitarnya, bukan hanya semata untuk menggapai sebuah profesi yang dinginkan.
Kemuliaan Watak
Hampir setengah badan tulisan ini penulis telah mengambarkan beberapa atau bahkan sebagian kecil dari permasalahan dasar pendidikan. Itulah yang akan mengantarkan pada pembahasan yang sebenarnya. Dalam sebuah buku Sosiologi Islam, Ali Syariati berargumen bahwa sebenarnya masyarakat atau bangsa ini tidak membutuhkan sarjana. Bukan hanya karena saat ini sarjana sudah banyak layaknya buih di laut, melainkan karena alasan spesifik yang akan penulis uraikan kemudian. Lalu, apa yang saat ini dibutuhkan bangsa? Jawabnya adalah cendekiawan.
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang mejadikan keduanya berbeda? Sarjana adalah orang yang mempunyai kemampuan keilmuan dan ditandai oleh selembar ijazah. Selain itu, ijazah kesarjanaan tersebut biasanya menggambarkan kemampuan sarjana yang bersangkutan. Misalnya, sarjana ekonomi, pendidikan, hukum, dan sebagainya. Namun, sarjana itu minus tanggung jawab (Ali Syariati).
Jadi, sarjana hanya orang yang pintar dan memiliki kompetensi melalui kemampuan berpikir ilmiah. Lain halnya dengan cendekiawan. Bukan hanya pintar, cerdas, dan mampu berpikir ilmiah, juga memiliki hati yang mulia.
Setiap cendekiawan adalah orang yang memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab atas kesejahteraan dan pembangunan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, mencetak cendekiawan tidaklah semudah mencetak sarjana, sehingga terdapat sarjana di mana-mana seperti sekarang ini.
Lebih dalam lagi, dalam diri seorang cendekiawan terdapat ciri kecerdasan otak dan kemuliaan watak yang bertemu dalam satu titik kepribadian. Dalam konteks ini, cendekiawan pasti akan tergugah manakala terdapat ketidakadilan sosial, kesejahteraan yang senjang, dan penderitaan masyarakat sekitarnya. Cendekiawan tidak hanya memikirkan kebutuhan kebutuhan pribadinya (orientasi kerja), tetapi juga dituntut berperan aktif dalam menyejahteraan masyarakat sekitarnya.
Oleh sebab itu, sudah menjadi benar apa yang ada dalam konstitusi negara ini mengenai tujuan pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa. Perlu digarisbawahi bahwa mencerdaskan kehidupan bukan mencerdaskan otak. Dalam kehidupan tercakup aspek otak dan watak. Begitulah nilai terdalam dari sebuah amanat konstitusi negara ini yang perlu ditafsirkan dan diejawantahkan secara baik dan benar. Oleh karena itu, dalam konsep pendidikan Islam juga dikenal iman, takwa, dan ahlak terpuji. Hal itu sesuai pula dengan tujuan spesifik pendidikan negara ini yang bermuara pada ahlak mulia untuk sebuah peradaban (Bab 2, pasal 3, UU No. 20 Tahun 2003).
Mengingat pendiri bangsa ini adalah orang-orang cerdas dan juga berhati mulia, sehingga merasa bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan dan menyejahterakan masyarakat. Begitulah seharusnya paradigma yang dibangun dan ditanamkan kepada anak didik dan calon mahasiswa yang akan mendaftar ke perguruan tinggi (calon cendekia). Apa pun jurusannya, konsentrasi belajarnya, nama perguruan tingginya, haruslah mengemban amanat kecendekiawanan, bukan sekadar ingin menjadi sarjana. Wallahualam bissawab. n
Slamet Sudaryono, Alumnus MA Tuma’ninah Yasin, Metro, Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Agustus 2015
DUNIA pendidikan tingkat perguruan tinggi telah memasuki tahun ajaran baru. Prosesi penerimaan calon mahasiswa baru pun telah digelar melalui berbagai jalur yang tersedia, dan hanya menyisakan jalur mandiri. Dari berbagai lulusan sekolah menengah atas (SMA), yang jumlahnya puluhan ribu, berebut posisi di berbagai perguruan tinggi pilihan masing-masing, baik lokal maupun luar daerah.
Di Lampung, Universitas Lampung (unila) menjadi Universitas yang selalu banyak diburu oleh lulusan SMA dan sederajat. Sekitar 46.123 calon mahasiswa mengkuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) untuk masuk Unila. Namun, universitas bergengsi di Lampung tersebut hanya akan menerima sekitar 2.328 calon mahasiswa (Lampost, 10/7/2015).
Dari data seleksi masuk perguruan tinggi dan jumlah calon mahasiswa yang akan diterima, timbul masalah. Dalam arti, akan ada sekitar 43 ribu calon mahasiswa yang akan disibukkan berburu perguruan tinggi, mengingat waktu yang terus berputar. Dari berbagai jalur untuk masuk perguruan tinggi, hanya tersisa jalur mandiri. Tentunya, sisa kesempatan yang ada harus dimanfaatkan secara baik dan benar untuk dapat masuk ke jenjang perguruan tinggi.
Perguruan tinggi merupakan jenjang formal pendidikan yang mengemban banyak tuntutan zaman. Dari lembaga itulah diharapkan muncul generasi-generasi berpendidikan sehingga dapat diandalkan untuk meneruskan perjuangan bangsa, atau meminjam istilah Anis Baswedan yaitu dipersiapkan untuk melunasi hutang kemerdekaan, sehingga menjadi penting untuk diperjuangkan.
Dikotomi PTN-PTS
Di sisi lain, moment-momen menjelang masuk perguruan tinggi selalu diiringi dengan adanya sikap dikotomi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Hal tersebut di satu sisi dapat dipahami mengingat belum adanya keseimbangan kualitas antara keduanya, dan entah apa penyebabnya. Kesenjangan kualitas dalam aspek fasilitas, misalnya, akan berdampak pada output yang dihasilkan.
Terlebih lagi, orientasi calon mahasiswa saat ini lebih terfokus pada dunia kerja. Dibuktikan dengan pertanyaan yang sudah lazim dan pasti ditanyakan, kalau lulus mau kerja apa dan di mana? Paradigma yang dibangun sejak awal adalah sekolah maupun kuliah untuk kerja. Tentunya gengsi perguruan tinggi pun memengaruhi masa depan karier, dan itulah yang akhirnya menjadi salah satu penyebab dikotomi lembaga pendidikan di atas.
Pada dasarnya, jika diperhatikan lebih dalam, prinsip ilmu pengetahuan adalah tidak mengenal adanya dikotomi karena menganut azas integralistik. Dasar atau prinsip ilmu pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi pegangan siswa masuk ke lembaga pendidikan tinggi, sehingga tidak lagi terlalu mempertimbangkan bahkan mempermasalahkan adanya dikotomi atau dualisme lembaga pendidikan yang ada.
Memang, penulis mengakui adanya ilmu–ilmu alat yang bersifat teknis aplikatif yang harus dipelajari secara terfokus dan melalui lembaga pendidikan tertentu, misalnya, statistik, akuntansi, dan sejenisnya. Namun, bagi penulis hal tersebut harus pula didasari ketulusan menggali ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan manusia di sekitarnya, bukan hanya semata untuk menggapai sebuah profesi yang dinginkan.
Kemuliaan Watak
Hampir setengah badan tulisan ini penulis telah mengambarkan beberapa atau bahkan sebagian kecil dari permasalahan dasar pendidikan. Itulah yang akan mengantarkan pada pembahasan yang sebenarnya. Dalam sebuah buku Sosiologi Islam, Ali Syariati berargumen bahwa sebenarnya masyarakat atau bangsa ini tidak membutuhkan sarjana. Bukan hanya karena saat ini sarjana sudah banyak layaknya buih di laut, melainkan karena alasan spesifik yang akan penulis uraikan kemudian. Lalu, apa yang saat ini dibutuhkan bangsa? Jawabnya adalah cendekiawan.
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang mejadikan keduanya berbeda? Sarjana adalah orang yang mempunyai kemampuan keilmuan dan ditandai oleh selembar ijazah. Selain itu, ijazah kesarjanaan tersebut biasanya menggambarkan kemampuan sarjana yang bersangkutan. Misalnya, sarjana ekonomi, pendidikan, hukum, dan sebagainya. Namun, sarjana itu minus tanggung jawab (Ali Syariati).
Jadi, sarjana hanya orang yang pintar dan memiliki kompetensi melalui kemampuan berpikir ilmiah. Lain halnya dengan cendekiawan. Bukan hanya pintar, cerdas, dan mampu berpikir ilmiah, juga memiliki hati yang mulia.
Setiap cendekiawan adalah orang yang memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab atas kesejahteraan dan pembangunan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, mencetak cendekiawan tidaklah semudah mencetak sarjana, sehingga terdapat sarjana di mana-mana seperti sekarang ini.
Lebih dalam lagi, dalam diri seorang cendekiawan terdapat ciri kecerdasan otak dan kemuliaan watak yang bertemu dalam satu titik kepribadian. Dalam konteks ini, cendekiawan pasti akan tergugah manakala terdapat ketidakadilan sosial, kesejahteraan yang senjang, dan penderitaan masyarakat sekitarnya. Cendekiawan tidak hanya memikirkan kebutuhan kebutuhan pribadinya (orientasi kerja), tetapi juga dituntut berperan aktif dalam menyejahteraan masyarakat sekitarnya.
Oleh sebab itu, sudah menjadi benar apa yang ada dalam konstitusi negara ini mengenai tujuan pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa. Perlu digarisbawahi bahwa mencerdaskan kehidupan bukan mencerdaskan otak. Dalam kehidupan tercakup aspek otak dan watak. Begitulah nilai terdalam dari sebuah amanat konstitusi negara ini yang perlu ditafsirkan dan diejawantahkan secara baik dan benar. Oleh karena itu, dalam konsep pendidikan Islam juga dikenal iman, takwa, dan ahlak terpuji. Hal itu sesuai pula dengan tujuan spesifik pendidikan negara ini yang bermuara pada ahlak mulia untuk sebuah peradaban (Bab 2, pasal 3, UU No. 20 Tahun 2003).
Mengingat pendiri bangsa ini adalah orang-orang cerdas dan juga berhati mulia, sehingga merasa bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan dan menyejahterakan masyarakat. Begitulah seharusnya paradigma yang dibangun dan ditanamkan kepada anak didik dan calon mahasiswa yang akan mendaftar ke perguruan tinggi (calon cendekia). Apa pun jurusannya, konsentrasi belajarnya, nama perguruan tingginya, haruslah mengemban amanat kecendekiawanan, bukan sekadar ingin menjadi sarjana. Wallahualam bissawab. n
Slamet Sudaryono, Alumnus MA Tuma’ninah Yasin, Metro, Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment