Oleh Eko Sugiarto
KEDUA anak saya begitu antusias ketika saya ajak berkunjung ke sebuah kompleks pemakaman, sekitar dua minggu yang lalu. Kompleks pemakaman yang kami kunjungi adalah Taman Makam Seniman Budayawan Girisapto di Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Dr. Liberty Manik. Komponis,” ucap seorang anak saya ketika membaca tulisan di sebuah nisan. Dia juga menanyakan apa itu komponis.
“Satu Nusa Satu Bangsa. Berarti yang dimakamkan di sini yang menulis (penggubah) lagu Satu Nusa Satu Bangsa, Yah,” kata anak saya yang lain setelah membaca baris ketiga tulisan yang ada di nisan itu dan langsung saya benarkan sekaligus menjelaskan arti kata ‘komponis’.
Itulah cara yang sering saya gunakan (jika memang memungkinkan) untuk memperkaya pengetahuan anak-anak terhadap apa yang sudah mereka peroleh di bangku sekolah. Jika selama ini dari dalam kelas mereka hanya tahu dan hafal lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, kali ini saya mengajak mereka belajar di luar kelas, berkunjung ke makam penggubah lagu tersebut serta beberapa seniman dan budayawan lain. Saya ajak mereka melakukan perjalanan. Saya ajak mereka berwisata.
Ketika berwisata bersama anak-anak, saya selalu menjadikan aktivitas itu sebagai sarana untuk memperkenalkan segala sesuatu yang ada di sekitar tempat yang kami kunjungi. Saya merasa perlu melakukan hal ini karena saya pernah punya pengalaman yang akhirnya menyadarkan saya bahwa saya ternyata tidak mengetahui banyak hal yang ada di sekitar kehidupan masa kecil, khususnya tanah kelahiran saya.
Sewaktu masuk kuliah, saya mengisi tempat lahir saya Gunung Balak karena di akta kelahiran dan semua ijazah dari SD sampai SLTA juga tertulis seperti itu. Tampaknya Gunung Balak begitu menarik bagi beberapa orang atau setidaknya membuat mereka penasaran.
Pegawai di bagian pengajaran dan beberapa kawan yang berasal dari berbagai daerah yang ada di kampus saya bertanya Gunung Balak itu daerah mana? Lantas di antara mereka bertanya lagi tentang banyak hal terkait dengan Gunung Balak: lokasi dalam peta, makanan khas, kesenian, bahasa, adat-istiadat, dan seterusnya. Sayang, saya sama sekali buta dengan semua itu dan hanya mengatakan bahwa Gunung Balak adalah sebuah daerah di Provinsi Lampung yang kini (ketika itu) dihutankan kembali. Saya juga katakan saya hanya numpang lahir di tempat itu karena ketika masih balita harus meninggalkan Gunung Balak.
Ketika itulah saya mulai sadar bahwa sesungguhnya masing-masing dari kita adalah duta atau utusan yang harus menjelaskan banyak hal terkait tanah kelahiran kita: lokasi dalam peta, makanan khas, kesenian, bahasa, adat-istiadat, dan seterusnya. Oleh karena itu, masing-masing dari kita secara langsung maupun tidak langsung, baik diakui maupun tidak, adalah duta wisata bagi daerah asal atau tanah kelahiran kita.
Jika selama ini kita menganggap bahwa memperkenalkan berbagai objek dan daya tarik wisata (setidaknya yang menjadi ikon) suatu daerah adalah melulu tugas duta wisata yang terpilih melalui sebuah penjurian berjenjang, saya kira pemikiran semacam ini harus diubah. Tugas ini bisa dilakukan oleh siapa pun, terutama generasi muda.
Mengingat hal tersebut, perlu juga kiranya untuk membekali anak-anak kita dengan pengetahuan tentang berbagai objek dan daya tarik wisata yang ada di tanah kelahirannya. Siapa tahu suatu saat mereka harus meninggalkan tanah kelahiran, entah untuk menuntut ilmu maupun untuk bekerja. Ketika saat itu tiba, merekalah yang akan menjadi duta wisata yang akan memperkenalkan berbagai objek dan daya tarik wisata yang ada di tanah kelahirannya kepada orang yang mereka temui yang bisa jadi tidak hanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, melainkan juga dari mancanegara.
Sebagai penutup, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Ingatlah bahwa anak-anak kita sebenarnya adalah duta wisata masa depan bagi setiap daerah dan kita harus peduli terhadap hal ini. Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita, baik sebagai orang tua, lebih-lebih bagi para insan pariwisata dan para pengambil kebijakan di daerah sehingga kita bisa mempersiapkan duta wisata masa depan yang membanggakan dan tentunya bisa diandalkan.
Eko Sugiarto, Lulusan Magister Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 20 Agustus 2015
KEDUA anak saya begitu antusias ketika saya ajak berkunjung ke sebuah kompleks pemakaman, sekitar dua minggu yang lalu. Kompleks pemakaman yang kami kunjungi adalah Taman Makam Seniman Budayawan Girisapto di Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Dr. Liberty Manik. Komponis,” ucap seorang anak saya ketika membaca tulisan di sebuah nisan. Dia juga menanyakan apa itu komponis.
“Satu Nusa Satu Bangsa. Berarti yang dimakamkan di sini yang menulis (penggubah) lagu Satu Nusa Satu Bangsa, Yah,” kata anak saya yang lain setelah membaca baris ketiga tulisan yang ada di nisan itu dan langsung saya benarkan sekaligus menjelaskan arti kata ‘komponis’.
Itulah cara yang sering saya gunakan (jika memang memungkinkan) untuk memperkaya pengetahuan anak-anak terhadap apa yang sudah mereka peroleh di bangku sekolah. Jika selama ini dari dalam kelas mereka hanya tahu dan hafal lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, kali ini saya mengajak mereka belajar di luar kelas, berkunjung ke makam penggubah lagu tersebut serta beberapa seniman dan budayawan lain. Saya ajak mereka melakukan perjalanan. Saya ajak mereka berwisata.
Ketika berwisata bersama anak-anak, saya selalu menjadikan aktivitas itu sebagai sarana untuk memperkenalkan segala sesuatu yang ada di sekitar tempat yang kami kunjungi. Saya merasa perlu melakukan hal ini karena saya pernah punya pengalaman yang akhirnya menyadarkan saya bahwa saya ternyata tidak mengetahui banyak hal yang ada di sekitar kehidupan masa kecil, khususnya tanah kelahiran saya.
Sewaktu masuk kuliah, saya mengisi tempat lahir saya Gunung Balak karena di akta kelahiran dan semua ijazah dari SD sampai SLTA juga tertulis seperti itu. Tampaknya Gunung Balak begitu menarik bagi beberapa orang atau setidaknya membuat mereka penasaran.
Pegawai di bagian pengajaran dan beberapa kawan yang berasal dari berbagai daerah yang ada di kampus saya bertanya Gunung Balak itu daerah mana? Lantas di antara mereka bertanya lagi tentang banyak hal terkait dengan Gunung Balak: lokasi dalam peta, makanan khas, kesenian, bahasa, adat-istiadat, dan seterusnya. Sayang, saya sama sekali buta dengan semua itu dan hanya mengatakan bahwa Gunung Balak adalah sebuah daerah di Provinsi Lampung yang kini (ketika itu) dihutankan kembali. Saya juga katakan saya hanya numpang lahir di tempat itu karena ketika masih balita harus meninggalkan Gunung Balak.
Ketika itulah saya mulai sadar bahwa sesungguhnya masing-masing dari kita adalah duta atau utusan yang harus menjelaskan banyak hal terkait tanah kelahiran kita: lokasi dalam peta, makanan khas, kesenian, bahasa, adat-istiadat, dan seterusnya. Oleh karena itu, masing-masing dari kita secara langsung maupun tidak langsung, baik diakui maupun tidak, adalah duta wisata bagi daerah asal atau tanah kelahiran kita.
Jika selama ini kita menganggap bahwa memperkenalkan berbagai objek dan daya tarik wisata (setidaknya yang menjadi ikon) suatu daerah adalah melulu tugas duta wisata yang terpilih melalui sebuah penjurian berjenjang, saya kira pemikiran semacam ini harus diubah. Tugas ini bisa dilakukan oleh siapa pun, terutama generasi muda.
Mengingat hal tersebut, perlu juga kiranya untuk membekali anak-anak kita dengan pengetahuan tentang berbagai objek dan daya tarik wisata yang ada di tanah kelahirannya. Siapa tahu suatu saat mereka harus meninggalkan tanah kelahiran, entah untuk menuntut ilmu maupun untuk bekerja. Ketika saat itu tiba, merekalah yang akan menjadi duta wisata yang akan memperkenalkan berbagai objek dan daya tarik wisata yang ada di tanah kelahirannya kepada orang yang mereka temui yang bisa jadi tidak hanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, melainkan juga dari mancanegara.
Sebagai penutup, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Ingatlah bahwa anak-anak kita sebenarnya adalah duta wisata masa depan bagi setiap daerah dan kita harus peduli terhadap hal ini. Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita, baik sebagai orang tua, lebih-lebih bagi para insan pariwisata dan para pengambil kebijakan di daerah sehingga kita bisa mempersiapkan duta wisata masa depan yang membanggakan dan tentunya bisa diandalkan.
Eko Sugiarto, Lulusan Magister Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 20 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment