August 27, 2015

Pariwisata, Medsos, Kearifan Lokal, dan PAD

Oleh Eko Sugiarto


TULISAN berjudul Mengembangkan PAD Lampung melalui Pariwisata (Fajar Sumatera,5/8/2015) mendorong saya untuk membuat tulisan ini. Tulisan Saudara Muswir tersebut memang agak sulit saya pahami. Meskipun demikian, ada beberapa catatan kecil atas tulisan tersebut dan perlu saya sampaikan di sini. Tentu sebatas yang bisa saya pahami dari tulisan Saudara Muswir tersebut.

Pertama, di awal tulisan tersebut Saudara Muswir mengemukakan bahwa Provinsi Lampung punya potensi untuk meraup PAD melalui pariwisata, namun banyak destinasi wisata yang cukup sulit dikembangkan. Saya bersepakat bahwa masih banyak destinasi wisata di Lampung yang sulit dikembangkan. Akan tetapi, sulit bukan berarti tidak mungkin, bukan? Saya kira Saudara Muswir juga bersepakat dengan hal ini. Satu hal yang saya khawatirkan dari tulisan Saudara Muswir ini adalah pengembangan destinasi wisata yang semata-mata hanya bertumpu pada aspek ekonomi (dalam hal ini meraup PAD).

Diakui atau tidak, selama ini sebagian besar dari kita (khususnya para pemangku kepentingan) memang menempatkan pariwisata sebagai sebuah industri. Lebih spesifik lagi adalah industri yang diharapkan bisa memberikan keuntungan secara materi berupa pendapatan (baik devisa maupun pendapatan asli daerah bahkan pendapatan pribadi). Dengan demikian, tidak heran jika pembangunan pariwisata lebih sering mengedepankan aspek ekonomi atau bisnis dibanding aspek lain.

Menempatkan pariwisata sebagai sebuah industri tentu tidak salah karena kenyataan memang demikian. Namun, kita juga harus ingat bahwa pariwisata merupakan sebuah fenomena kompleks yang mencakup banyak aspek. Tidak hanya ekonomi, melainkan juga politik, sosial, budaya, psikologi, bahkan religi. Dengan demikian, tidak seharusnya pembangunan di bidang pariwisata melulu fokus kepada aspek ekonomi (urusan bisnis), sedangkan aspek lain jarang (atau bahkan sama sekali tidak) disentuh.

Kedua, Saudara Muswir mencontohkan penggunaan brosur sebagai sarana promosi yang disebut sebagai salah satu strategi interaktif. Pertanyaannya saya adalah letak interaktif brosur sebagai sebuah sarana promosi di mana? Penggunaan brosur sebagai alat promosi tentu bukanlah hal yang keliru. Namun, kita juga mesti sadar bahwa dunia pariwisata saat ini hidup pada abad informasi sehingga pariwisata tidak boleh terjebak kepada media promosi konvensional semacam brosur. Karena pariwisata saat ini hidup di abad informasi, mau tidak mau harus bisa memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk berpromosi.

Jika memang ingin melakukan terobosan dalam hal promosi supaya lebih interaktif, saya kira media sosial jauh lebih interaktif dibanding brosur. Melalui media sosial calon wisatawan bisa langsung berkomentar atau bertanya tentang sebuah destinasi wisata, baik kepada pengelola maupun kepada sesama wisatawan yang pernah berkunjung ke destinasi wisata tersebut. Dengan demikian, media sosial kiranya bisa menjawab kebutuhan akan promosi yang interaktif dibanding dengan brosur. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk promosi lewat media sosial juga relatif lebih murah dan bisa menjangkau lebih banyak calon wisatawan.

Ketiga, Saudara Muswir juga menyinggung soal kearifan lokal. Namun, Saudara Muswir justru menulis “banyak statemen (mungkin maksudnya statement) tentang masyarakat Pesisir Barat yang “kurang” friendly (ramah)”. Pertanyaan saya adalah siapa saja yang mengeluarkan statement tersebut? Lantas dalam konteks apa masyarakat dianggap “kurang” ramah? Apakah dalam hal menerima dan melaksanakan program pemerintah setempat? Atau dalam hal menerima tamu/wisatawan? Atau dalam konteks yang lain?

Sekalipun dalam konteks tertentu pernyataan bahwa masyarakat setempat “kurang” ramah adalah benar, sebagai wakil rakyat saya kira Saudara Muswir tidak perlu ikut-ikutan menyebut mereka “kurang” ramah. Kira-kira apakah mereka tidak sakit hati jika diberi label sebagai mayarakat yang “kurang” ramah dan hal ini seolah “dibenarkan” oleh orang yang dipercaya untuk mewakili mereka? Jika memang pernyataan bahwa masyarakat setempat “kurang” ramah adalah benar, mereka semestinya didekati dan diajak berbicara dengan “bahasa” mereka. Kita ajak mereka bicara dalam “bahasa budaya”, bukan “bahasa birokrat”.

Terakhir, Saudara Muswir mengusulkan untuk mengadakan diklat ringan (paragraf ke-4) dan pelatihan-pelatihan (paragraf ke-6). Hal ini ditulis Saudara Muswir dalam konteks kearifan lokal dan pengembangan kultur. Jika kultur yang dimaksud di sini adalah kebudayaan masyarakat setempat, tentu sama juga dengan kearifan lokal. Pertanyaan saya adalah pelatihan seperti apa yang harus diberikan kepada mereka? Adakah pihak yang lebih bisa memahami kearifan lokal mereka yang memang sudah diwariskan secara turun-temurun? Saya khawatir pelatihan-pelatihan tersebut nanti tak lebih dari sebuah seremonial yang dijadikan sebagai ajang untuk pencairan dana demi kepentingan pihak tertentu. Kalau memang demikian, tentu lagi-lagi rakyat yang bakal jadi korban.

Saya kira beberapa catatan di atas sudah cukup untuk dijadikan bahan renungan atas ketidaksepakatan saya terhadap pengembangan wisata yang selalu mengedepankan aspek ekonomi atau bisnis dan mengesampingkan aspek lain, khususnya di Lampung. Hal ini perlu saya sampaikan karena ketika bicara tentang pariwisata dengan para pemangku kepentingan, saya sering mendapati bahwa aspek ekonomi akan selalu mendominasi sepanjang perbincangan. Sekali lagi, pariwisata bukan semata-mata alat untuk mendongkrak PAD karena selain aspek ekonomi, di sana ada aspek politik, sosial, budaya, psikologi, bahkan religi. Sebagai penutup, izinkan saya mengutip kalimat dari seorang dosen saya dalam sebuah kuliah, “Pariwisata adalah sebuah alat untuk melengkapkan kemanusiaan kita.”

Eko Sugiarto, Lulusan Magister Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber: Fajar Sumatera, Kamis, 27 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment