August 10, 2015

Quo Vadis Pariwisata Daerah?

Oleh Eko Sugiarto


TULISAN ini terinspirasi dari keluhan kawan-kawan di bebeberapa daerah, khususnya yang berasal dari luar Pulau Jawa. Dalam beberapa kali perbincangan, muncul beberapa hal terkait dengan pariwisata di daerah mereka. Dua di antaranya adalah masalah kelembagaan dan masalah sumber daya manusia di bidang pariwisata.

Dalam hal kelembagaan, dengan berbagai pertimbangan (antara lain untuk alasan efektivitas), penggabungan beberapa dinas dalam satu lembaga adalah hal yang wajar dilakukan oleh daerah. Misal, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan digabung menjadi satu adalah sesuatu yang memang sudah umum dan masuk akal. Namun, ada daerah yang menggabungkan Dinas Pariwisata dengan dinas lain yang terkesan dipaksakan.

Beberapa yang penulis tahu dari kawan-kawan di beberapa daerah adalah penggabungan Dinas Pariwisata dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ada juga daerah yang menggabung Dinas Pariwisata dengan Dinas Tata Kota. Bahkan, ada daerah yang menggabung Dinas Pariwisata dengan Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Hal terakhir ini yang membuat penulis tidak habis pikir. Bagaimana bisa urusan pemakaman atau kematian digabung dengan pariwisata? Namun, penulis menghibur diri dengan berbaik sangka, “Mungkin di daerah itu hanya ada wisata ziarah.”

Terkait dengan sumber daya manusia, dari cerita beberapa kawan di daerah khususnya luar Pulau Jawa, penulis menangkap adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan SDM dengan fakta di lapangan. Terbatasnya pegawai di Dinas Pariwisata yang benar-benar punya kompetensi keilmuan di bidang pariwisata memang menjadi satu masalah serius. Hal ini rupanya disadari oleh beberapa daerah yang kemudian mengirimkan beberapa pegawainya untuk kuliah (tugas belajar) di Program Studi Pariwisata. Tidak heran jika di beberapa kampus yang notabene punya Program Studi Pariwisata (khususnya jenjang S-2), di setiap angkatan hampir selalu ditemukan mahasiswa berstatus pegawai negeri sipil dari Dinas Pariwisata daerah yang diutus untuk tugas belajar.

Upaya pemerintah daerah mengirimkan pegawainya untuk tugas belajar di Program Studi Pariwisata memang sepantasnya diapresiasi, bahkan harus diapresiasi. Namun, hal ini ternyata tidak serta-merta menyelesaikan masalah ke-SDM-an bidang pariwisata di daerah.
Beberapa kawan mengungkapkan bahwa ada pegawai yang setelah lulus dari tugas belajar dan kembali ke daerah, dengan alasan promosi jabatan, dalam waktu yang tidak begitu lama akan diminta memegang jabatan tertentu. Hal ini memang tidak keliru. Namun, satu hal yang sungguh disayangkan adalah jabatan itu tidak berada di Dinas Pariwisata, melainkan di SKPD lain.

Ada sebagian yang lain setelah lulus kemudian pulang ke daerah, ternyata atasannya (kepala daerah atau kepala dinas) sudah diganti orang lain. Hanya karena alasan suka dan tidak suka yang notabene sangat personal, pegawai yang sudah dibiayai dengan dana pemerintah ini juga dimutasi ke bagian atau SKPD lain. Akhirnya nasibnya setali tiga uang dengan mereka yang dimutasi dengan alasan promosi jabatan. Ilmu dan wawasan di bidang pariwisata yang diperoleh pascatugas belajar yang diharapkan bisa diaplikasikan untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya justru nyaris tidak termanfaatkan secara optimal.

Masalah kelembagaan dan sumber daya manusia adalah dua masalah di bidang pariwisata daerah yang bisa terungkap dari perbincangan penulis dengan kawan-kawan dari beberapa daerah. Tentunya masih banyak permasalahan lain di bidang pariwisata yang belum terungkap dan perlu mendapat perhatian serta penanganan yang serius. Jika berbagai permasalahan ini tidak mendapat perhatian dan penanganan yang serius, penulis khawatir insan pariwisata di daerah yang benar-benar peduli dengan pariwisata di daerahnya justru dibuat bingung dengan masalah-masalah tersebut. Alih-alih bekerja keras memajukan pariwisata daerah, jangan-jangan mereka malah bertanya, “Mau dibawa ke mana pariwisata daerah kita?”

Kita tentu berharap fenomena semacam ini hanya terjadi di beberapa daerah dan bersifat sementara. Penulis yakin lulusan Program Studi Pariwisata dari beberapa perguruan tinggi yang diberi amanat untuk tugas belajar masih memiliki cita-cita mulia untuk menyumbangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi kemajuan pariwisata di daerahnya. Pertanyaan selanjutnya adalah bersediakah para kepala daerah memberi kesempatan kepada mereka meskipun (mungkin) berseberangan dalam hal politik maupun ada rasa tidak suka yang notabene bersifat personal? Kiranya waktulah yang akan bisa menjawabnya.

Eko Sugiarto, Lulusan Magister Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber: Fajar Sumatera, Senin, 10 Agustus 2015


No comments:

Post a Comment