November 16, 2009

Teater Sarana Kritik Sosial

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Salah satu fungsi dari teater sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial. Naskah Lena Tak Pulang karya Muram Batubara dinilai bagus karena ada pesan moral yang disampaikan.

"Tidak semua dinilai dari sisi materi," kata Yani Maemunah, dosen Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, yang menjadi salah satu juri dalam Liga Teater SMA se-Lampung pekan lalu.

Naskah Lena Tak Pulang ini adalah salah satu naskah yang menjadi naskah wajib dalam Liga Teater SMA se-Lampung 2009 yang diadakan pada 12--19 November di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.

Berkaitan dengan Liga Teater tersebut, Yani mengutarakan dirinya sangat antusias ketika diminta untuk menjadi juri. "Liga ini bagus. Karena juga sebagai proses pembinaan terhadap bakat-bakat muda."

Tetapi, Yani menilai hendaknya proses pembinaan tersebut jangan hanya berhenti pada peristiwa-peristiwa semacam Liga Teater tersebut, melainkan kontinuitas.

"Yang terpenting itu kontinuitasnya. Jangan kalau pas ada festival atau lomba-lomba baru latihan. Pihak sekolah pun seharusnya bisa kooperatif. Ambil saja seniman teater sebagai pembimbing," kata dia.


Dua Grup

Lakon Lena Tak Pulang tersebut dimainkan oleh dua grup teater (Teater Lintang Sri Bawono dan Teater Empat SMAN 4 Kotabumi), Jumat (13-11) lalu.

Lakon realis ini ber-setting di sebuah ruang tamu. Adegan dibuka dengan dialog antara orang tua Lena. Sang ibu merasa khawatir karena Lena sudah tiga hari tidak pulang tanpa diketahui berada di mana.

Satu per satu temannya datang mencarinya ke rumah. Namun yang didapat hanyalah sepasang suami istri yang tak tahu di mana anaknya berada saat itu. Rasa khawatir tersebut pun membuat kedua orang tua Lena salah menanggapi ucapan seorang laki-laki teman main Lena, bahwa Lena telah mencuri.

Ucapan laki-laki tersebut mengejutkan kedua orang tua Lena. Mereka berkata akan mengganti segala kerugian yang telah disebabkan oleh Lena.

Hari berganti, kekhawatiran kedua orang tua Lena makin jadi. Hingga akhirnya Lena pulang dengan wajah yang kusut. Perutnya yang kosong membuatnya langsung makan tanpa memerdulikan orang tuanya. Kelegaan karena Lena akhirnya pulang malah dijawab dengan caci maki oleh Lena.

Lena mencurahkan tentang apa yang selama ini dipendamnya. Curahan hati atas segala sikap dari orang tua yang dianggapnya tak pernah memikirkan dan memberikan kasih sayang padanya. Suaranya semakin keras, air matanya hampir tumbang membasahi pipi, Bu Lena dan Pak Lena semakin bingung akan situasi yang terjadi.

Keadaan malah bertambah runyam saat seorang lelaki, teman Lena, datang dan menagih janji. Lena keluar kamar dan berdiskusi. Situasi semakin ribut dan penuh emosi.

Saat itu, suara ketukan pintu memecah kebekuan yang sedang terjadi. Satu lagi temannya datang, memperkeruh suasana.

Dengan ketidakjelasan yang terjadi, tangisan Lena semakin jadi. Kedua teman Lena menyingkir, dan hanya tinggal kebingungan dan koreksi diri yang dilakukan Bu Lena dan Pak Lena akan dirinya. Namun, beberapa detik kemudian setelah sunyi, pintu rumah kembali terketuk lagi.

Di akhir adegan, sang ayah menceritakan sedikit tentang pengalaman kekangan dari kedua orang tua, suami-istri itu pun sama-sama memiliki komitmen untuk tidak mengekang anak mereka di kemudian hari.

Sehingga Lena besar tanpa kekangan dan penuh kebebasan dari orang tua, malah membuat Lena tumbuh serasa tanpa orang tua dan kehangatan keluarga. Semua kebutuhan telah terpenuhi.

Semuanya berkisar dan dinilai dengan uang. Orang tuanya selalu memberikan uang yang lebih untuk kebutuhannya. Naskah ini menyindir tentang kehidupan zaman sekarang yang apa pun selalu dinilai dengan rupiah. n MG13/K-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 16 November 2009

No comments:

Post a Comment